Chapter 2 - β

Matahari perlahan memancarkan sinar hangatnya dan dengan lembut menembus tirai jendela yang berhiaskan sulaman indah. Merasakan cahaya hangat yang menyilaukan matanya, tacha akhirnya terbangun dengan kebingungan saat melihat apa yang ada disekelilingnya, "Di mana aku?" sembari menggaruk kepalanya, ia berusaha mengingat kembali bagaimana ia bisa berada di tempat ini.

Ruangan itu dipenuhi dengan ornamen kuno yang indah, menggambarkan sejarah yang lama terlupakan. Dindingnya berhiaskan lukisan-lukisan yang menggambarkan pemandangan alam, seolah memberi petunjuk tentang zaman yang sudah berlalu. Suara burung berkicau di luar jendela bercampur dengan desiran angin, menciptakan melodi yang membuat keindahan ruangan tersebut bertambah.

Namun, kenangan akan malam sebelumnya muncul tiba-tiba dalam benaknya. Ia teringat akan benturan keras yang dialaminya ketika listrik seketika padam karena disebabkan oleh naga kuning yang melingkari bulan. Dalam kebingungan, ia bertanya-tanya, "Seharusnya aku berada di rumah sakit, bukan di tempat asing ini."

Tacha kemudian meraba keningnya yang semalam terasa sakit dan terkejut menemukan tidak ada luka. "Aneh, seharusnya ada lukanya," gumamnya pelan. Semakin ia mengamati ruangan itu, semakin ia bergidik ngeri dan satu hal yang terlintas dalam benaknya "Aku harus pergi dari sini."

Ia kemudian melangkah cepat menuju pintu. Namun, ketika membukanya, seorang wanita berpakaian sederhana berdiri di ambang pintu. "Anda sudah bangun, nona. Tuan ingin berbicara dengan nona dan menunggu di ruangannya," ujarnya dengan suara lembut.

"Dia berbicara padaku? Apa aku terlihat seperti manusia di matanya bukan hantu di pagi buta?" pikir Tacha, bingung.

"Nona," panggil pelayan itu lagi.

"Hah? Oh, baiklah, antar aku ke sana," jawab Tacha, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari pertemuan tersebut

"Aku akan mencari tau lebih lanjut, jawaban mengapa aku bisa ada di tempat seperti ini, dengan berpakaian kuno dan ornamen-ornamen yang benar-benar khas pada zaman-zaman dinasti," sambung tacha dalam benaknya sembari berjalan kearah yang dituju oleh pelayan tersebut

Setibanya di depan sebuah ruangan besar, pelayan itu dengan sopan mengatakan, "Permisi, tuan, nona Cha—" Namun, sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, suara pria tua yang berwibawa terdengar menjawab, "Masuklah."

Dengan hati yang berdebar, Tacha melangkah masuk. Di meja kayu besar itu, seorang pria tua dengan jubah panjang menatapnya dengan bijaksana. 

"Duduklah," ujar pria tua itu dengan nada penuh wibawa, tangannya mengarah ke kursi di seberang meja kayu tua yang dihiasi ukiran rumit. Tacha, jantungnya berdegup kencang, akhirnya mengambil tempat, merasa seolah berada di tengah-tengah sebuah teka-teki yang rumit.

"Selamat datang, Nona Tacha. Aku sudah menantikan kedatanganmu," kata pria tua itu dengan suara yang tenang namun penuh makna

Tacha menelan ludah. "Apa maksud perkataan Anda, dan bagaimana Anda bisa tahu nama saya? Siapa Anda sebenarnya?" Pertanyaannya meluncur seperti panah, satu demi satu, menusuk keheningan.

Pria tua itu tersenyum kecil, "Tenanglah, Nona Tacha. Semuanya akan saya jawab. Sepekan yang lalu, langit memberikan tanda padaku, sebuah penglihatan akan kedatangan seseorang dari dimensi lain, seseorang yang akan menjadi kunci bagi masa depan dimensi ini. Aku mencoba mempelajarinya, namun hanya namamu yang kudapat, dan tentang beberapa informasi termasuk keberadaanmu datang ke tempat ini."

Tacha mengerutkan kening. "Di mana tepatnya aku berada?"

"Hutan willow," jawabnya sambil mengangguk pelan. "Nona ditemukan tidak sadarkan diri, mengenakan pakaian putih dengan luaran berwarna lembut, seperti warna buah persik."

"Mengapa langit memberimu tanda? Dan mengapa harus Anda?" Tacha masih penasaran, ingin tahu lebih dalam.

Pria tua itu menghela napas, lalu berkata, "Aku Loyi, seorang alkemis yang bertugas menjaga dimensi ini atas perintah para dewa. Tugasku adalah memastikan dimensi ini tetap aman. Namun, aku tak lagi sekuat dulu. Usia membuatku lamban, tapi tugas ini tetap harus kulaksanakan hingga akhir."

"Lalu kenapa harus aku?" suara Tacha kini lebih rendah, hampir seperti bisikan.

Loyi menatapnya dengan tatapan lembut. "Itu, aku juga tak tahu, Nona. Mungkin jawabannya akan kamu temukan sendiri di waktu yang akan datang. Kadang, alasan di balik takdir hanya terungkap seiring langkah yang kita ambil."

Tacha merenung sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Apa yang harus saya lakukan, tuan loyi?"

Loyi memandangnya dengan mata yang penuh harapan. "Di dalam hutan Willow, ada sebuah altar kuno. kita harus menemukannya dan memecahkan teka-teki yang ada di sana. Altar itu menyimpan kunci untuk memahami peranmu dalam pertempuran yang akan datang."

"Hutan willow yang anda maksud adalah tempat anda menemukan saya?" Tacha mencoba memastikan dan pak tua itu menganggukkan kepalanya sembari berkata "ayo kita pergi,".

Dengan tekad dan rasa penasaran yang mendalam, Tacha mengikuti Loyi keluar dari ruangan. Namun di luar, langit mulai memudar menjadi jingga sore, sementara hutan Willow di kejauhan menanti kedatangannya dengan suasana yang misterius. Tacha tahu bahwa langkah pertamanya dalam perjalanan ini mungkin adalah langkah menuju takdirnya yang belum sepenuhnya terungkap.

Mereka terus melangkah hingga mencapai batas hutan. Di sini, kabut menjadi lebih pekat, dan suasana berubah menjadi lebih tenang. Hutan tampak seperti dunia yang berbeda—seperti sebuah ruang di antara kenyataan dan mimpi. 

Di tengah hutan, mereka menemukan sebuah jalan setapak yang tertutup oleh lumut dan tanaman merambat. "Ini adalah jalan menuju altar," ujar tuan loyi "Awalnya saya tidak bisa menemanimu lebih jauh dari sini. Karena Jalan ini hanya bisa dilalui oleh mereka yang benar-benar dipilih oleh takdir. Tapi karena saya punya tanggung jawab atas, nona. Maka saya akan bersama dengan nona hingga sampai di altar."

Ketika mereka tiba di altar kuno, Tacha melihat ukiran-ukiran kuno di permukaannya. Simbol-simbol itu tampak memiliki makna yang mendalam, seolah menceritakan sebuah kisah kuno yang telah lama terlupakan. Dengan hati-hati, Tacha memeriksa setiap simbol. 

Dan ternyata simbol-simbol itu tampak familiar baginya, "Simbol-simbol ini… bukankah mereka melambangkan empat penguasa langit dalam mitologi kuno?"

Loyi terkejut. "Kamu mengetahui tentang empat penguasa langit?"

Dalam mitologi kuno, empat penguasa langit adalah entitas agung yang mengatur keseimbangan dan harmoni alam semesta. Mereka dikenal sebagai penjaga dari empat arah, masing-masing mewakili kekuatan dan kebijaksanaan yang unik. Kisah mereka adalah campuran dari keagungan dan misteri, diukir dalam setiap simbol yang terukir di altar kuno ini.

Harimau, simbol dari arah barat, adalah penguasa kekuatan dan keberanian. Dalam legenda, harimau melambangkan kekuatan tanah yang tak tertandingi, berkuasa atas kekuatan gelombang dan arus yang mengalir dengan ganas. Ia adalah pelindung yang melawan kegelapan dengan kekuatan yang tak tergoyahkan, menjaga keadilan dan keberanian.

Burung Phoenix, yang melambangkan arah selatan, adalah simbol dari pembaharuan dan transformasi. Dalam kisah-kisah kuno, Phoenix adalah burung api yang mampu membangkitkan kembali dari abu, mewakili siklus kehidupan dan kematian serta kemampuan untuk memulai kembali dengan kekuatan baru. Ia adalah pelindung perubahan dan pembaharuan, membawa harapan baru di tengah kehancuran.

Kura-kura, penjaga arah utara, melambangkan kebijaksanaan dan kestabilan. Dalam mitologi, kura-kura adalah makhluk yang hidup di atas punggung bumi, menjaganya dengan ketenangan dan ketabahan. Ia adalah simbol dari kebijaksanaan yang mendalam dan kekuatan yang stabil, mengajarkan bahwa kekuatan sebenarnya terletak pada ketenangan dan keteguhan.

Dan terakhir, naga, penguasa arah timur, adalah simbol dari kekuatan dan keberuntungan. Dalam cerita rakyat, naga adalah makhluk mistis yang memiliki kekuatan untuk mengendalikan elemen dan memberikan keberuntungan kepada mereka yang layak. Ia adalah pelindung dari kekuatan magis dan energi kehidupan, menjaga keseimbangan dan harmoni di seluruh alam semesta.

Setiap simbol mewakili elemen yang esensial, dan keberadaan mereka di altar ini menunjukkan pentingnya menjaga keseimbangan dan harmoni dalam segala aspek kehidupan. Melihat simbol-simbol ini, Tacha merasakan kehadiran kekuatan kuno yang masih bergetar di setiap ukiran, menghubungkannya dengan energi yang telah lama ada.

"Ya, saya dulu sangat tertarik mencari tahu tentang kisah itu, Tuan Loyi," jawab Tacha dengan senyum, matanya berbinar saat mengingat bagaimana simbol-simbol di altar itu selalu membuatnya penasaran sejak kecil.

Loyi mengangkat sebelah alis, wajahnya sedikit heran dengan sikap Tacha yang tampak santai. "Dan kamu percaya bahwa mereka benar-benar ada?" tanyanya, mencoba untuk tetap serius meski ada sedikit senyum di sudut bibirnya.

"Mungkin." Jawab tacha sembari memiringkan kepalanya "Lalu apa hubungan simbol-simbol di altar ini dengan diriku?"" sambungnya

"Altar ini dulunya digunakan oleh para Penjaga Langit dalam ritual kuno untuk berkomunikasi dengan dewa-dewa dan menjaga keseimbangan Phanxian," kata Loyi, suaranya lembut namun penuh arti. "Ribuan tahun lalu, setelah melawan iblis, para Penjaga menghilang, tetapi mereka meninggalkan sebagian jiwa mereka yang terpecah menjadi fragmen. Dari penglihatanku, saat bulan berada tepat di atas kita, nona harus berdiri di tengah altar ini. Ketika itu terjadi, nona akan berada pada masa di mana keempat Penguasa Phanxian masih hidup. Nona harus mengubah nasib mereka, sehingga masa depan yang kita hadapi sekarang, dimensi ini tidak pernah ada, dan Phanxian tetap utuh."

Tacha menatap Loyi dengan ekspresi skeptis, tapi ada keinginan untuk mempercayai kata-katanya. "Dan kau yakin ini akan berhasil? Bahwa aku bisa mengubah masa lalu?"

"Mungkin," jawab Loyi sambil menyeringai lagi. "Tapi aku punya firasat bagus. Lagipula, aku tidak akan berada di sini kalau langit tidak menunjukkan jalan padaku."

Tacha mengangkat bahu, tersenyum kecil. "Baiklah, kalau begitu, semoga langit tidak salah, ya?"

Mereka berdua tertawa, tetapi suasana segera berubah ketika cahaya bulan mulai menyinari altar dengan intensitas yang tidak biasa. Simbol-simbol di altar mulai bersinar, perlahan-lahan semakin terang. "Waktunya sudah tiba," ucap Loyi dengan nada lebih serius. "Bulan akan segera berada tepat di atas kita. Kamu harus berdiri di tengah altar, nona."

Dengan langkah ragu namun tegas, Tacha melangkah ke tengah altar. Begitu ia berdiri di sana, simbol-simbol di sekelilingnya mulai bersinar lebih terang, seakan merespon kehadirannya. Udara di sekitar mereka berputar pelan, dan getaran energi kuno mulai terasa semakin nyata.

"Siap untuk perjalanan waktu?" tanya Loyi dengan nada setengah bercanda, meski matanya menunjukkan keseriusan yang dalam.

Tacha menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Siap, atau tidak siap, aku rasa aku tidak punya pilihan lain. Semoga aku tidak tersesat di masa lalu."

"Jangan khawatir, masa lalu sudah menantimu," jawab Loyi dengan nada penuh arti.

Dalam sekejap, simbol-simbol itu bersinar sangat terang hingga menyilaukan. Tacha merasakan tubuhnya ditarik oleh kekuatan yang tidak terlihat, seolah-olah seluruh dunia di sekitarnya mulai larut. 

Sebelum semuanya menghilang, ia sempat mendengar suara Loyi bergema di kepalanya, "Ingat, Tacha, hanya kau yang bisa mengubah takdir ini." Dan tiba-tiba, semuanya lenyap.