Chapter 3 - γ

Ketika Tacha membuka matanya, ia mendapati dirinya di tempat yang sama sekali berbeda. Langit terlihat lebih biru, angin terasa lebih segar, dan di kejauhan menjulang sebuah istana megah yang berdiri kokoh.

Tiba-tiba, seorang wanita berpakaian sederhana menghampiri, napasnya masih terengah-engah. "Nona, maafkan saya... sulit sekali mengejar langkah nona yang begitu cepat."

Tacha menoleh, matanya memancarkan kebingungan yang tak bisa ia sembunyikan. 

"Namun, secepat apa pun nona berlari, Tuan pasti akan menemukan Anda. Bukankah lebih baik kita kembali sebelum Tuan marah?" suara wanita itu terdengar lembut, namun penuh peringatan.

"Hah?" hanya itu yang mampu terucap dari bibir Tacha yang kaku.

"Nona..." wanita itu mengeluh, suaranya lemah, seperti kehabisan pilihan.

Tacha mengerutkan kening, berusaha memahami kata-kata wanita yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Pikirannya berputar, mencari petunjuk dalam ingatannya, tetapi tak ada yang mengingatkan dirinya tentang situasi ini.

"Aku harus bagaimana? Sepertinya aku terjebak dalam diri seseorang," batinnya

Kemudian wanita berpakaian sederhana itu melangkah mendekat, memegang lengan baju tacha dengan wajah penuh harap. "Nona, Haya telah melayani Anda sejak kecil. Saya sangat khawatir, jika Anda kabur dari hari besar Anda, itu bisa berakibat fatal dan tuan pasti marah besar bahkan menghukum nona tanpa ampun."

"Hari besar?" Tacha mencoba memastikan

Haya menarik napas dalam-dalam. "Iya nona, Besok adalah hari pernikahan Anda, bukankah itu disebut hari besar."

Tacha merasa seolah dunia bergetar di sekitarnya. "Pernikahan? Dengan siapa?"

Haya menunduk, suaranya nyaris tak terdengar. "Dengan Yang Mulia Raja Hubai, penguasa Wilayah Barat, nona. Tuan pasti belum memberitahu nona."

Nama itu menggema dalam pikiran Tacha, Hubai... sosok misterius yang sering ia dengar dalam buku-buku tentang penguasa langit.  Seorang pria yang dikatakan tak pernah tersenyum, dingin, dan sangat berpendidikan. Tapi hubai adalah karakter yang paling dia sukai dan kagumi dalam semua buku penguasa langit.

"Lebih baik kita kembali, nona. Ayo..." Sambung Haya sembari menarik lengan tacha

"Aku bukan dia. Aku bukan wanita yang mereka sebut 'nona' ini," batin Tacha, tetapi dia tahu dia tak bisa mengatakan itu pada Haya. Jika pun dia melakukannya, siapa yang akan mempercayainya? 

"Apa yang harus kulakukan," guman Tacha dia benar-benar bingung harus bagaimana. disatu sisi wanita ditubuh ini ingin melarikan diri, disatu sisi dia harus pergi mencari tau tentang negeri bernama phanxian itu.

"Tadi, kamu mengatakan bahwa, wanita ini, bukan maksudku aku, akan menikah dengan yang mulia raja hubai?" Sambung tacha

"Benar, nona." Balas pelayan itu

"Jika saat ini Raja hubai adalah penguasa langit barat maka negeri ini adalah negeri phanxian. Tapi tidak mungkin mengubah masa lalu dan mempertahankan negeri phanxian dengan melakukan pernikahan. Tapi jika dikaitkan dengan perkataan tuan loyi terakhir kali, kalau masa lalu sudah menantimu itu mungkin maksudnya tentang pernikahanku dengan raja hubai. Tidak, Pria tua itu benar-benar menjebakku, pantas saja dia terkejut aku mengetahui tentang empat penguasa langit." Ucap tacha dalam benaknya

Tacha kemudian mengangguk perlahan, "Baiklah, kita kembali."

Haya tampak lega, bibirnya melengkung dalam senyuman kecil. "Terima kasih, Nona. 

"Maaf, aku tidak bisa melanjutkan keinginanmu untuk melarikan diri, tapi aku akan membuat yang terbaik untuk dirimu. Mulai sekarang tubuhmu adalah milikku." Gumam tacha pada tubuh wanita itu

Namun, jauh di balik bayangan pepohonan, seorang pria bertopeng mengamati pergerakan mereka. Mata dinginnya mengikuti gerak mereka.

Setelah beberapa saat, mereka tiba di kediaman Moru tempat tinggal wanita yang kini menjadi tubuh Tacha. Tacha hanya diam, matanya menelusuri setiap sudut tempat yang asing baginya, sementara para pelayan menyambutnya dengan sopan dan membungkuk rendah. 

"Kata pelayan lain, Tuan telah menunggu Anda di aula nona," kata Haya lembut, sebelum mempersilakan Tacha masuk ke sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan tirai sutra dan perabotan mewah. Di tengah ruangan, seorang pria paruh baya duduk, auranya penuh wibawa. Itu adalah Tuan Moru, kepala keluarga.

"Kau melarikan diri, Tacha," kata pria itu dingin. "Mengapa? Kau pikir kakakmu bisa menggantikanmu? Tidak! Aku tidak akan membiarkan Orien menikah dengan pria yang tidak diinginkannya. Kau yang harus menanggung tanggung jawab ini!"

"Pria tua ini, tampaknya pilih kasih pada anak-anaknya. Jika dia sangat menyayangi anaknya satu lagi yang bernama orien itu, bagaimana perasaan wanita ditubuh ini. Apa dia tidak memikirkan itu, pasti menyakitkan sekali." Gumam tacha dalam hati

"Saya hanya ingin mencari udara segar, tidak berencana melarikan diri, jika iya tidak mungkin saat ini saya berada disini," balas tacha

"Kau!! Sudah berani kau menjawabku?!" ucap tuan moru dengan penuh amarah

"Bagaimana pun, besok saya akan melaksanakan pernikahan itu, saya harap itu kali terakhir anda dapat mengatur hidup saya." Balas tacha 

Setelah mengucapkan perkataan itu tacha keluar dari ruangan itu dan dia merasa menang. Benar-benar lega memberikan pembalasan terhadap perlakuan pria tua itu dan mungkin saja ini pertama kalinya dalam hidup wanita ini berani melawan Tuan Moru. 

"Aku akan melakukan semuanya dengan caraku mulai saat ini, tidak peduli jika orang lain heran padaku," ucap tacha dengan penuh keyakinan pada dirinya

Malam itu, Tacha duduk di dekat jendela kamarnya, memandang ke luar dengan bulan menggantung dilangit yang hitam 

"Kalau aku ingat-ingat lagi, sepertinya buket bunga sialan itu yang membuatku menikah di negeri phanxian ini. Tapi pernikahan yang kuinginkan benar-benar nyata di duniaku bukan di semesta lain. Tapi tidak apa selama itu dengan hui." 

Ketika Tacha tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba terdengar ketukan lembut di pintu.

"Masuk," Tacha berkata, suaranya masih tenang.

Haya muncul dengan nampan berisi teh hangat. "Nona, ini untuk menenangkan pikiran Anda. Saya tahu hari ini pasti berat."

Tacha tersenyum tipis dan menerima teh tersebut. "Terima kasih, Haya." Setelah menyesap sedikit, ia memandang ke luar jendela, suasana hening membuat pikirannya melayang.

"Hmm, haya."

"Ya, nona?" Balas pelayan itu

"Tidak jadi, deh." 

"Nona ingin menanyakan apa?" Sambung pelayan itu 

"Bagaimana menurut pandanganmu raja hubai itu," tanya tacha

"Raja, dia sangat peduli pada rakyatnya. Sikapnya yang berwibawa dan berpendidikan membuat raja jauh dari rumor yang tidak mengenakkan. Seperti saat raja berada di rumah pelacur, tidak ada yang berani bergosip apakah raja melakukan hal kotor. karena di dalam tempat itu, raja hanya minum menghargai jamuan dari perdana menteri. Sekalipun dengan tari-tarian yang cukup vulgar tapi raja tidak tergoda sama sekali dia hanya fokus pada topik yang akan dibicarakan dengan perdana menteri. Raja sangat menawan tapi sangat disayangkan nona, raja sangat dingin dan tidak pernah senyum." Ucap haya

"Haha... Semua yang diucapkannya sama seperti yang tergambar dalam buku," ucap tacha dalam benaknya

"Kamu sepertinya sangat tau cerita tentang raja hubai," ucap tacha

"Tentu saja nona, karena pria itu akan menikah dengan nona yang sangat saya sayangi, saya tidak ingin nona menikah dengan pria yang tidak baik. Meskipun semua paksaan dari tuan moru." Balas haya

"Aku cukup beruntung punya seseorang yang sepertinya bisa aku andalkan dan mengkhawatirkanku di negeri ini, meskipun yang dia khawatirkan bukan aku tapi wanita yang dia sebut nona itu," sambung tacha dalam benaknya

Keesokan paginya, suasana di kediaman Moru dipenuhi dengan hiruk-pikuk persiapan pernikahan. Tacha, yang masih berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya, duduk sambil mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Di depan cermin besar, gaun pengantin merah yang megah, dihiasi sulaman benang emas, melingkupi tubuhnya. Para pelayan bergerak cepat, merapikan rambut dan memasangkan perhiasan yang berkilau di tubuhnya. Namun, di dalam hatinya, Tacha merasa campur aduk—kecemasan dan rasa penasaran bercampur menjadi satu saat ia memikirkan pernikahan yang akan segera terjadi.

Saat prosesi dimulai, Tacha dikawal menuju kereta kerajaan yang akan membawanya ke istana. Jalanan dipenuhi dengan penduduk yang menonton dengan penuh antusiasme, berharap untuk melihat sekilas calon ratu mereka. Di kejauhan, istana Raja Hubai berdiri megah, menjulang tinggi di antara pegunungan yang mengelilingi wilayah Barat.

"Ini benar-benar seperti cerita dalam buku," gumam Tacha, matanya terpaku pada istana itu.

Setelah sampai di istana, tacha kemudian turun dari kereta kerajaan dan perlahan menapaki karpet merah yang membentang menuju aula pernikahan, jantungnya berdebar-debar seiring langkahnya. Saat pintu aula di buka, tacha tertegun dengan dekorasi ruangan yang menggambarkan kemegahan pernikahan sebuah kerajaan.

Langit-langitnya tinggi, dipenuhi dengan lukisan-lukisan indah tentang mitologi kuno, sementara pilar-pilar marmer berdiri kokoh di setiap sudut, dihiasi dengan kain berwarna merah dengan ukiran benang emas serta bunga-bunga berwarna cerah yang beraroma manis. Musik lembut mengalun dari sudut ruangan, dimainkan oleh sekelompok musisi dengan alat musik yang belum pernah dilihat Tacha sebelumnya. 

Para tamu yang ada di ruangan tersebut merupakan para bangsawan dan pejabat tinggi kerajaan yang duduk dalam kekaguman dengan mengenakan pakaian seremonial mereka yang berwarna-warni.

Di tengah ruangan berdiri Raja Hubai, mengenakan pakaian kerajaan berwarna merah dengan jubah panjang berhiaskan emas. Sosoknya tinggi, gagah, dan auranya memancarkan kekuasaan yang tak tertandingi. Matanya yang tajam memeriksa setiap gerakan di ruangan itu, namun tak ada ekspresi di wajahnya—hanya ketenangan dingin yang membuat siapa pun merasa sungkan untuk mendekat. Dan saat tacha melihat pria itu, dengan spontan dia berkata "Semua buku yang mendeskripsikannya, benar."

Ketika Tacha melangkah ke aula, semua mata tertuju padanya. Keheningan menyelimuti ruangan. Langkah-langkah kakinya seolah menggema, namun perasaannya bercampur aduk—antara takut dan penasaran. Ini adalah pernikahan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi dalam hidupnya. Saat ia semakin dekat ke altar, matanya menangkap pandangan Raja Hubai. Untuk sesaat, ia merasa seperti ditelanjangi oleh tatapan pria itu—tajam, mengamati, namun tak terbaca.

Setelah Tacha tiba di altar, upacara pun dimulai. Sang tetua mulai melantunkan doa-doa suci, mengucapkan janji sakral yang mengikat Tacha dan Hubai dalam ikatan yang tak terpisahkan. 

"Raja Hubai, apakah Anda menerima wanita ini sebagai istri Anda, baik susah maupun senang?" tanya tetua dengan suara lantang yang bergema di seluruh aula.

Raja Hubai menatap Tacha dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Ya, saya terima."

Hati Tacha berdebar. Suara itu, meskipun dingin dan jauh dari emosi, membuat sesuatu bergetar dalam dirinya. Namun, ia segera menyadari bahwa dirinya bukan bagian dari dunia ini—bukan bagian dari hidup Raja Hubai. Ia hanyalah pengembara di tubuh yang bukan miliknya.

"Apakah Anda, Nona Tacha, menerima Yang Mulia Raja Hubai sebagai suami Anda, baik susah maupun senang?" tetua itu kini beralih menanyakan pada Tacha.

Tacha terdiam sejenak. Ia bisa merasakan tatapan tajam semua orang di aula menantikan jawabannya. Dalam kebingungannya, ia tiba-tiba menyadari bahwa ini adalah titik di mana ia bisa mengubah nasib wanita yang tubuhnya ia tempati—mengambil alih takdirnya dan membentuk masa depannya sendiri.

"Ya, saya terima," jawab Tacha akhirnya dengan suara mantap, meskipun hatinya masih penuh keraguan.

Kemudian Keduanya saling memberi hormat sebelum akhirnya bertukar cincin dan memakainya di jari manis satu sama lain.  Dengan berakhirnya upacara, mereka kini resmi menjadi suami istri dan disambut oleh tepuk tangan para tamu.