"Takdir memberiku pilihan A, B, atau C. Tapi pada akhirnya, akulah yang menentukan jalanku."
Kalimat itu sering sekali muncul di kepalaku. Entah dari mana aku pernah mendengarnya, aku sama sekali tidak ingat. Banyak hal yang sulit kuingat sejak kecil, seolah hidupku (ingatanku) baru dimulai sejak masa SD, masa-masa yang masih bisa kuingat dengan baik.
Mungkin hal ini hanya terjadi padaku, atau kalian juga mengalaminya?
Sejak aku masuk ke salah satu pesantren (sekolah asrama religius) terkenal di kota Tangerang, aku seperti mendapatkan lebih banyak waktu luang dan kebebasan. Terbebas dari media sosial dan segala macam distraksi, hidup di pesantren yang bisa dibilang 'penjara suci' ini membuatku bingung harus menghabiskan waktu luang dengan apa. Setiap hariku diisi dengan sekolah, beribadah, makan, dan bermain tanpa henti. Keesokan harinya, hal yang sama terulang lagi. Bayangkan saja, berapa banyak waktu luang yang kupunya.
Oh iya, aku belum memperkenalkan diriku.
Namaku Arsa, santri yang 'tidak' biasa-biasa saja.
Banyak hal aneh yang sangat mengganggu dalam hidupku, salah satunya adalah penyakit 'mencuri' ku, penyakit 'Kleptomania' yang ku derita (penyakit di mana seseorang selalu ingin mencuri barang milik orang lain). Hidup di pesantren bukannya membuatku menjadi alim, malah membuatku menjadi seorang 'pencuri'.
Aku menderita Kleptomania sejak kecil (aku lupa tepatnya kapan). Namun, tidak ada orang lain yang mengetahuinya sampai saat ini. Aku juga tidak ada niatan untuk memberitahu orang-orang terdekatku, pergi ke rumah sakit, ataupun berobat ke RSJ. Pasti biayanya sangat mahal.
Setiap mengingat akan hal ini, aku juga teringat dengan guru SD-ku yang selalu menekankan bahwa setiap manusia harus memahami dan bersyukur atas keahliannya masing-masing. Menurutku, aku bisa dikatakan cukup bersyukur dengan keahlian 'mencuri' ku. Kalau mengikut bahasa pesantren, aku adalah seorang peng-'Ghosob' handal (Ghosob adalah salah satu pelanggaran terberat di pesantren kami. Ghosob adalah tindakan dimana seseorang memakai barang orang lain dengan bentuk apapun itu tanpa izin pemiliknya, hampir mirip dengan mencuri, tetapi dengan memakai istilah arab).
Sejak masuk pesantren, banyak hal yang sudah ku ghosob dengan tanganku sendiri tanpa orang-orang di sekitarku menyadarinya. Mungkin karena yang ku ghosob hanyalah barang-barang kecil seperti roti di kantin, baju teman di laundry-an kotornya, sendal di masjid, dan barang-barang kecil lainnya.
Kalian mungkin mengira, aku berasal dari keluarga yang miskin karena aku sering meng-ghosob barang milik orang lain. Apakah aku benar-benar semiskin itu? Tidak, ayahku adalah seorang pengusaha sukses di luar negeri, dan ibuku adalah dokter ternama di ibu kota. Aku meng-ghosob karena penyakitku membuatku merasa nyaman. Itu saja.
Orang tua sama sekali tidak tahu soal penyakitku ini. Sama sekali tidak ada yang tahu. Alasan aku dimasukkan ke pesantren ini pun, sama sekali tidak ada hubungannya dengan kleptomania, melainkan karena kedua orang tuaku yang sangat super sibuk dan menginginkan anaknya menjadi alim. Aku merasa tujuan orang tua ku sangat berkebalikan dengan kondisiku saat ini.
Apakah aku tahu yang kulakukan itu salah? Yah, menurutku hal ini memang salah. Jangan jadikan aku sebagai panutan. Aku tidak pernah membenarkan perbuatan yang dihasilkan penyakitku dan selalu berusaha untuk menahannya. Namun, entah kenapa aku tidak bisa menghentikannya dengan kemauanku sendiri.
Seperti saat ini, aku yang sedang berjalan dengan perasaan senang, kembali ke kamar asramaku setelah selesai meng-ghosob beberapa gorengan di kantin. Penyakit ku seolah menutup rasa bersalah ku dengan kenikmatan sementara dari mengambil barang orang lain.
Saat aku membuka pintu kamar, aku melihat Kaisa yang tengah bersiap-siap shalat magrib di depan lemari pribadinya. Kaisa adalah salah satu sahabat terdekatku sejak tahun pertama. Ia identik dengan tubuh kecil, kulit putih bersih, serta sifatnya yang ngeselin dan suka mencari perhatian. Walaupun begitu, Kaisa sangat perhatian kepada teman-temannya.
"Arsa, lihat nih," panggil Kaisa sambil mengayunkan tangan, memanggilku kedepan lemarinya.
Aku segera menghampirinya.
"Ada apa, Kaisa?"
"Ini, aku baru beli sendal baru. Imut banget kan? Warna putih sendalnya terang banget, loh!" katanya sambil menunjukkan sendal putih dari kotak barunya.
Mataku sekilas berbinar-binar.
"Lah, sendal yang kemarin ke mana?" tanyaku basa-basi.
"Kemarin diambil santri lain di masjid, biarin aja lah," jawab Kaisa sambil geleng-geleng kepala. Sebenarnya, aku yang meng-ghosob sendal lamanya, tapi, sendal itu di ghosob kembali oleh santri lain dan menghilang tanpa jejak.
"Harga sendal yang baru ini berapa, Kaisa?"
"Harganya standar, 50 ribu-an."
Aku terkejut.
"Sendal apa 50 ribu? Modelnya saja seperti yang cepat rusak begini," jawabku tidak percaya.
Kaisa langsung cemberut dan menatap mataku tajam.
"Ini limited edition, Arsa! LIMITED EDITION! Emang ada santri di pesantren ini yang sendalnya warna putih terang begini?" Kaisa menyombongkan sendalnya.
Aku memalingkan muka.
"Iya, deh."
Aku segera tersenyum simpul. Lebih tepatnya, bukan aku yang tersenyum, melainkan penyakit 'mencuri' ku. Perasaan bersalahku mendadak muncul. Namun, segera tertutupi oleh keinginan untuk meng-ghosob yang kian mendesak. Kleptomania ku sepertinya mulai kambuh
Maafkan aku, Kaisa, sepertinya sendal mu akan hilang lagi, batinku.
KRING!! KRING!!
Tiba-tiba, pikiran itu segera dibuyarkan oleh bel jaros (semacam bel raksasa yang digunakan sebagai alarm) maghrib yang berbunyi di tengah-tengah gedung asrama. Hal ini adalah penanda bagi seluruh santri untuk segera menuju masjid untuk melaksanakan shalat maghrib.
Aku beranjak dari depan lemari Kaisa, segera mengambil sendal dan kopiah milikku sendiri di lemari ku untuk persiapan shalat maghrib. Kaisa juga bersiap dengan sendal barunya. Kami pun keluar dari kamar asrama dan berjalan bersama menuju masjid pesantren yang jaraknya tidak jauh dari asrama.
Di sepanjang jalan, aku terus memikirkan, Haruskah aku mengambil sendal putih terang itu? Hati kecilku menolak, tetapi penyakitku seolah memaksaku untuk melakukannya.
"Arsa?" Kaisa menepuk pundakku.
"Ah, iya?"
Kaisa menatapku janggal. "Kamu sakit? Mau diantar berobat nggak?"
Aku baru sadar kalau tubuhku mulai berkeringat dingin. Hal ini sering terjadi saat aku berusaha menahan diri dan menekan penyakit kleptomania ku.
"Enggak kok, tadi cuma kepikiran rumah saja," jawabku berbohong.
Kaisa menatapku sebentar.
"Ooh. Kadang aku juga begitu, Arsa. Tiba-tiba saja kangen rumah."
"Lah.." Aku terkejut.
"Lah?" Kaisa bingung dengan tanggapanku.
"Bukannya kamu udah nyaman di pesantren sejak tahun pertama? Masih kepikiran rumah?" Remehku. Kaisa yang terkenal sebagai seorang yang periang dan sangat aktif di pesantren, tidak mungkin merindukan rumah.
Kaisa terdiam sebentar.
"Meskipun sudah tahun kedua, aku beberapa kali masih kangen rumah. Namun, aku pikir-pikir lagi, nanti kalau udah lulus, mungkin kita malah bakal kangen sama suasana pesantren ini. Suasana ngaji bareng, belajar sama teman-teman, canda-tawa di malam hari."
Aku terdiam.
KRING!! KRING!! Bel jaros berbunyi untuk kedua kalinya menaikkan detak jantung kami berdua.
Saat itu juga, kakak-kakak OSIS tahun ketiga keluar dari kamar asrama mereka dan berdiri di depan bel jaros, bersiap menghukum jika ada santri yang telat masuk ke dalam masjid. Ini adalah hal yang sangat normal di pesantren. Junior takut melanggar hukuman karena takut dihukum oleh seniornya. Biasanya hal ini bertujuan untuk membuat para santri agar selalu tepat waktu.
Salah satu kakak OSIS mulai menghitung satu sampai sepuluh. Siapa pun yang belum berada di masjid akan mendapat hukuman, entah itu push-up, lari keliling pesantren, ataupun menuliskan surat permintaan maaf yang berisi ribuan kata.
"WAHID!!!" Salah satu kakak OSIS berteriak menghitung dalam bahasa Arab.
"Itu juga tuh, aku juga bakal kangen dikejar jaros kalau udah lulus. Ayo cepat lari, Arsa!" Kaisa segera berlari sambil menarik tanganku menuju masjid.
***
Suasana sebelum shalat maghrib itu berjalan seperti biasanya. Speaker masjid sedang melantunkan nada-nada suci, beberapa santri yang sudah berada di masjid sejak sore melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, santri lain yang terlambat sedang dihukum di luar masjid. Untunglah aku dan Kaisa tiba tepat sebelum kakak OSIS selesai menghitung.
Kami pun segera menuju tempat wudhu. Jarak tempat wudhu tidak terlalu jauh, tetapi banyaknya santri lain yang juga ingin wudhu membuat suasana semakin sesak. Jalan penghubung antara masjid dan tempat wudhu, sudah benar-benar seperti lautan manusia.
"Tempat wudhunya rame banget, Sa," ucap Kaisa sambil menunjuk ke arah tempat wudhu yang penuh sesak oleh santri-santri lain.
"Paksain aja deh. Kalau kita masuk sendiri-sendiri, mungkin lebih cepat ke tempat wudhunya karena bisa nyelip. Habis kita wudhu pun, shaf shalatnya pasti sudah lumayan penuh. Kita ketemu abis maghrib aja, gimana?" saranku.
Kaisa mengangguk setuju.
Kami pun segera berwudhu. Tidak lama, aku dan Kaisa terpisah di tempat wudhu sesuai dengan saranku sebelumnya. Setelah wudhu, aku langsung mencari tempat shalat. Kaisa entah berada di shaf mana sekarang, aku sama sekali tidak melihatnya.
Singkat cerita, kami mulai melaksanakan shalat maghrib berjamaah.
GRSK! GRSK! Entah kenapa, disaat sujud, perutku mulai mengeluarkan bunyi yang aneh. Mungkin ini karmaku karena aku makan gorengan hasil ghosob tadi sore.
Setelah selesai shalat maghrib, aku berencana mengajak Kaisa ke dapur. Namun, aku masih belum menemukan Kaisa, begitu pula dengan sendalku. Saat masuk ke masjid tadi, aku asal melemparkan sendal yang kupakai karena terburu-buru dan takut dihukum kakak OSIS. Sekarang aku harus mencari sendal sambil menahan perut yang entah kenapa terus berbunyi dan Kaisa yang entah berada dimana.
"Assalamualaikum, Arsa! Lagi ngapain antum nunduk-nunduk gitu?" Seseorang dengan aksen pesantrennya yang kuat menyapaku dari belakang saat aku sedang menunduk mencari sendalku yang kukira terselip di bawah kolong tangga masjid.
Aku menengok. Ternyata itu Zidan, salah satu teman dekatku sejak tahun pertama di pesantren selain Kaisa. Kami bertiga sangat dekat karena pernah satu ekstrakurikuler basket di tahun pertama. Zidan identik dengan postur tubuhnya yang tinggi (mungkin tertinggi se-angkatan), rambutnya yang agak keriting, dan kulitnya yang sawo matang khas orang timur.
"Waalaikumsalam, Zidan. Ini, aku lagi nyari sendalku," jawabku.
"Sendal?" tanyanya.
"Tadi pas dihitung kakak OSIS, aku lupa naruh sendalku di mana." Jelas ku.
"Oalah," Zidan menatapku kasihan. "Sini ane bantuin." Ia pun membantu mencarikan sendalku di sisi lain masjid. Dia tahu bagaimana bentuk sendalku karena sebelumnya pernah meminjamnya.
Aku tersenyum. Mengucapkan terima kasih.
"Btw, abis ini mau ke dapur bareng nggak? Hari ini menunya rendang, loh," ucap Zidan.
Aku tertegun. Ah, itu dia penyebab perutku terus berbunyi. Suara aneh yang terdengar pada perutku sebelumnya itu adalah alarm natural sebagai pengingat jadwal menu kesukaanku di dapur. Aku harus segera mencari sendal dan mengambil antrean di dapur. Aku takut menu rendang yang sangat populer itu habis dan malah digantikan dengan menu telur rebus sebagai cadangan.
Kupikir ini akan cepat, tapi sendalku seolah hilang ditelan bumi.
Sudah lebih dari lima menit lebih aku mencari sendal ku. Saat itu juga lah, aku malah menemukan sendal Kaisa. Sendal putih mengkilap yang tergeletak tepat disisi kanan masjid. Pikiran ku seketika berbeda pandangan dengan hatiku. Aku tahu sendal ini, sendal putih mengkilap ini. Hatiku mengatakan untuk membiarkannya, tetap mencari sendalku, tapi pikiranku memaksaku untuk mengambilnya.
Bagaimana kalau rendang habis?
GRSK! GRSK! GRSK! Kali ini perutku seakan mendukung argumen dari penyakit 'mencuri'ku ini.
Aku pun memilih untuk mengambil sendal itu.
"Ayo, Dan! Kita ke dapur!" seruku.
"Udah ketemu sendalnya? Eh, itu sendal siapa, Sa? Antum ghosob?" Zidan langsung memiliki banyak pertanyaan saat matanya tertuju ke arah kakiku.
Aku berpikir sejenak.
"Enggak kok, ini sendal Kaisa, aku minjam," jawabku.
Aku memang tidak berbohong tentang sendal milik Kaisa, tapi aku berbohong bahwa aku meminjamnya.
Seharusnya, karena sudah menyebut nama Kaisa, Zidan tidak lagi curiga. Nama Kaisa sudah sangat baik di telinga teman-teman dan para ustadz. Menyebut nama Kaisa yang dikenal sebagai santri paling baik di angkatan kami pasti membuat orang mudah percaya. Aku berpikir, Aku akan segera minta maaf, dan Kaisa pasti memaafkanku. Kami bertiga sudah sangat dekat. Tidak mungkin Kaisa atau Zidan akan marah.
Mungkin, aku tidak terlalu memperdulikannya. Namun, jawaban Zidan malah membuatku bingung.
"Siapa Kaisa?"
***