Chereads / GHOSOB / Chapter 1 - BAB 1: Siapa Kaisa?

GHOSOB

🇮🇩POYYY
  • 7
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 379
    Views
Synopsis

Chapter 1 - BAB 1: Siapa Kaisa?

"Takdir adalah pilihan A, B, dan C. Sisanya adalah terserahku"Kalimat itu entah kenapa sering muncul di kepalaku, entah dari mana aku pernah mendengarnya. Aku tidak ingat. Banyak hal yang tidak bisa kuingat sejak kecil, seolah hidupku (ingatanku) baru dimulai sejak masa SD, masa-masa yang masih bisa kuingat dengan baik. Mungkin hal ini hanya terjadi padaku, atau kalian juga mengalaminya?Sejak aku masuk ke salah satu pesantren (sekolah asrama religius) terkenal di pinggiran kota Tangerang, aku mendapatkan lebih banyak waktu luang dan kebebasan. Terbebas dari media sosial dan segala macam distraksi, hidup di pesantren yang bisa dibilang 'penjara suci' ini membuatku memiliki banyak sekali waktu luang. Setiap hari diisi dengan sekolah, beribadah, makan, dan bermain tanpa henti. Keesokan harinya, hal yang sama terulang lagi. Bayangkan saja, berapa banyak waktu luang yang kupunya.Oh iya, aku belum memperkenalkan diriku.Namaku Arsa, santri tahun kedua di salah satu pondok pesantren terkenal di kota Tangerang. Banyak hal aneh yang sangat mengganggu hidupku, salah satunya adalah penyakit 'mencuri' ku, penyakit Kleptomania yang ku derita (penyakit di mana seseorang selalu ingin mencuri barang milik orang lain).Hidup di pesantren bukannya membuatku menjadi alim, malah membuatku menjadi seorang 'pencuri'.Aku menderita kleptomania sejak kecil (aku lupa tepatnya kapan), tetapi sampai sekarang tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Aku tidak berniat memberitahu orang terdekatku, ataupun pergi ke rumah sakit, apalagi RSJ, pasti biayanya sangat mahal. Setiap mengingat akan hal ini, aku juga teringat akan guru SD-ku yang pernah mengatakan bahwa setiap manusia harus memahami dan bersyukur atas keahliannya masing-masing. Menurutku, aku cukup bersyukur dengan keahlian 'mencuri' ku. Kalau mengikut bahasa pesantren, aku adalah seorang peng-ghosob handal.

Ghosob adalah salah satu pelanggaran terberat di pesantren kami. Ghosob adalah tindakan di mana seseorang memakai barang seseorang dengan bentuk apapun itu tanpa izin, sama saja dengan mencuri, namun dengan memakai istilah arab.

Sejak masuk pesantren, banyak hal yang sudah ku ghosob dengan tanganku sendiri tanpa orang-orang di sekitarku menyadarinya. Mungkin karena yang ku ghosob hanyalah barang-barang kecil seperti roti di kantin, baju di laundry-an kotor, sendal, dan lainnya.Kalian mungkin mengira aku berasal dari keluarga miskin karena aku sering meng-ghosob barang milik orang lain. Tidak, ayahku adalah pengusaha sukses di luar negeri, dan ibuku adalah dokter ternama di ibu kota. Namun, kedua orang tua tidak tahu soal penyakitku ini. Sama sekali tidak ada yang tahu. Alasan aku dimasukkan ke pesantren ini pun tidak ada hubungannya dengan kleptomania, melainkan karena kedua orang tuaku yang sangat super sibuk dan meinginkan anaknya menjadi alim.Di pesantren, aku juga sangat super sibuk. Belajar, beribadah, bermain dengan teman-teman, serta meng-ghosob sesuatu yang menjadi kesenangan pribadi ku -entah kenapa aku bisa merasa senang. Apakah teman-temanku tahu tentang penyakitku? Tidak. Zidan, Kaisa, dan teman-teman lainnya sama sekali tidak tahu (padahal banyak barang mereka yang sudah diam-diam aku ghosob).Apakah aku tahu yang kulakukan itu salah? Yah, menurutku hal ini memang salah. Jangan jadikan aku sebagai panutan. Aku tidak pernah membenarkan perbuatan yang dihasilkan penyakitku dan selalu berusaha untuk menahannya. Namun, entah kenapa, aku tidak bisa menghentikannya dengan kemauanku sendiri.Seperti saat ini, aku berjalan dengan perasaan senang kembali ke kamar asrama setelah selesai meng-ghosob beberapa gorengan dikantin. Saat itu juga aku bertemu dengan Kaisa yang sedang bersiap-siap shalat magrib didepan lemari pribadinya. Kaisa adalah salah satu teman terdekatku sejak tahun pertama. Ia identik dengan tubuh kecil, kulit putih bersih, serta sifatnya yang manja dan suka mencari perhatian. Walaupun begitu, Kaisa juga sangat perhatian kepada teman-temannya."Arsa, lihat nih," panggil Kaisa sambil mengayunkan tangan, memanggilku kedepan lemarinya.Aku segera menghampirinya."Ada apa, Kaisa?""Ini, aku baru beli sendal baru. Imut banget kan? Warna putihnya terang banget, loh," katanya sambil menunjukkan sendal putih dari kotak barunya.Mataku sekilas berbinar-binar. Kleptomaniaku sepertinya mulai kambuh."Lah, sendal yang kemarin ke mana?" tanyaku basa-basi."Paling diambil santri lain di masjid, biarin aja lah," jawab Kaisa sambil geleng-geleng kepala. Sebenarnya aku yang meng-ghosob sendalnya, tapi sendal itu di ghosob balik oleh santri lain dan menghilang."Emang harga sendalnya berapa, Kaisa?" aku menanyakan harga sendalnya."Harganya standar, 50 ribu-an.""Sendal apa 50 ribu? Modelnya aja seperti yang dijual di kantin," jawabku tidak percaya.Kaisa langsung cemberut dan menatapku tajam."Ini limited edition, Arsa! LIMITED EDITION! Emang ada santri di pesantren ini yang sendalnya warna putih terang begini?" Kaisa menyombongkan sendalnya."Iya, deh," jawabku sambil mengangguk.Aku segera tersenyum simpul. Perasaan bersalahku mendadak muncul perlahan seiring dengan keinginan untuk meng-ghosob yang kian mendesak. Penyakitku mulai kambuh.Maafkan aku, Kaisa, sepertinya sendal mu akan hilang lagi, batinku.KRING!! KRING!!Tiba-tiba, pikiran itu segera dibuyarkan oleh bel jaros maghrib yang berbunyi. Hal ini adalah penanda untuk segera bersiap shalat maghrib.Aku beranjak dari depan lemari Kaisa, segera mengambil sajadah dan kopiah milikku sendiri untuk persiapan shalat magrib. Kaisa juga bersiap dengan sendal barunya. Kami pun keluar dari kamar asrama dan berjalan bersama menuju masjid yang jaraknya tidak jauh dari asrama. Di sepanjang jalan, aku terus memikirkan, "Haruskah aku mengambil sendal itu?" Hati kecilku menolak, tetapi pikiranku seolah tetap memaksaku."Arsa?" Kaisa menepuk pundakku."Ah, iya?"Kaisa menatapku dalam. "Kamu sakit? Mau kuantar berobat nggak?"Aku baru sadar kalau tubuhku berkeringat. Ini sering terjadi saat aku berusaha menahan diri dan berusaha menekan penyakit kleptomania ku."Enggak kok, tadi cuma kepikiran rumah saja," jawabku berbohong."Ooh. Kadang aku juga begitu, Arsa. Tiba-tiba saja kangen rumah.""Lah.." Aku terkejut."Lah?" Kaisa bingung dengan tanggapanku."Bukannya kamu udah nyaman di pesantren sejak tahun pertama? Masih kepikiran rumah?" Remehku. Setahuku Kaisa yang adalah seorang periang dan sangat aktif di pesantren, tidak mungkin merindukan rumah.Kaisa terdiam sebentar."Meskipun sudah tahun kedua, mungkin aku masih kangen rumah. Tapi nanti kalau udah lulus, mungkin kita malah bakal kangen suasana pesantren ini. Suasana ngaji bareng, bermain sama teman-teman, canda-tawa di malam hari..."Aku juga terdiam.KRING!! KRING!! Bel jaros berbunyi untuk kedua kalinya.Saat itu juga, kakak-kakak OSIS tahun ketiga keluar dari kamar mereka dan berdiri di depan bel jaros. Mereka mulai menghitung satu sampai sepuluh dan siapa pun yang belum berada di masjid akan mendapat hukuman."WAHID!!!" Salah satu kakak OSIS berteriak menghitung dalam bahasa Arab."Itu juga tuh, aku juga bakal kangen dikejar jaros kalau udah lulus. Ayo cepat lari, Arsa!" Kaisa segera berlari sambil menarik tanganku menuju masjid.***Suasana sebelum shalat maghrib itu berjalan seperti biasanya. Speaker masjid sedang melantunkan nada-nada suci, beberapa santri yang sudah berada di masjid sejak sore melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an, ada juga santri lain yang terlambat sedang dihukum di luar masjid. Untunglah aku dan Kaisa tiba tepat waktu.Kami pun segera menuju tempat wudhu. Jarak tempat wudhu tidak terlalu jauh, tetapi banyaknya santri dengan tujuan yang sama membuat suasana semakin sesak."Tempat wudhu rame banget, Sa," ucap Kaisa sambil menunjuk ke arah tempat wudhu yang penuh sesak oleh santri-santri lain."Paksain aja deh. Kalau kita pisah, mungkin lebih cepat ke tempat wudhunya. Kita ketemu abis maghrib aja, gimana?" saranku.Kaisa mengangguk setuju.Kami pun segera berwudhu. Tidak lama, aku dan Kaisa terpisah di tempat wudhu karena padatnya santri. Setelah wudhu, aku langsung mencari tempat shalat, masih terpisah dengan Kaisa yang sekarang entah berada dimana. Singkat cerita, kami mulai melaksanakan shalat maghrib berjamaah.Entah kenapa, saat sujud, perutku mulai berbunyi, Grsk! Grsk!. Mungkin karena aku makan gorengan hasil ghosob tadi siang.Rencananya, aku akan mengajak Kaisa ke dapur setelah shalat maghrib selesai, tapi aku masih belum menemukan Kaisa, begitu pula dengan sendalku. Saat masuk ke masjid tadi, kami asal melemparkan sendal karena terburu-buru dan takut dihukum kakak OSIS. Sekarang aku harus mencari sendal sambil menahan perut yang entah kenapa terus berbunyi dan Kaisa yang entah berada dimana."Halo, Arsa! Lagi ngapain nunduk-nunduk gitu?" Seseorang memanggil dari belakang saat aku sedang mencari sendalku di bawah kolong tangga.Aku menengok, dan ternyata itu Zidan, salah satu teman dekatku sejak tahun pertama di pesantren selain Kaisa. Kami dekat karena pernah satu ekskul basket. Zidan identik dengan postur tubuhnya yang tinggi (mungkin tertinggi se-angkatan), rambutnya agak keriting, dan kulitnya sawo matang khas orang timur."Halo, Zidan. Ini, aku lagi nyari sendalku," jawabku."Sendal?" tanyanya."Tadi pas dihitung kakak OSIS, aku lupa naruh sendal di mana." Jelas ku."Oalah, sini kubantuin." Zidan pun membantu mencarikan sendalku di sisi lain masjid. Dia tahu bagaimana rupa sendalku karena kemarin meminjamnya."Btw, abis ini mau ke dapur nggak? Hari ini menunya rendang, loh," ucap Zidan.Aku tertegun. Ah, itu dia penyebab perutku terus berbunyi. Alarm natural untuk jadwal menu kesukaanku di dapur. Aku harus segera mencari sendal dan mengambil antrean di dapur. Kupikir ini akan cepat, tapi sendalku seolah hilang ditelan bumi.Sudah lebih dari lima menit lebih aku mencari sendal ku. Saat itu juga lah, aku malah menemukan sendal Kaisa. Sendal putih mengkilap yang tergeletak tepat disisi kanan masjid. Pikiran ku seketika berbeda pandangan dengan hatiku. Aku tahu sendal ini, sendal putih mengkilap ini. Hatiku mengatakan untuk membiarkannya, tapi pikiranku memaksaku untuk mengambilnya.Aku pun memilih untuk mengambil sendal itu."Ayo, Dan! Kita ke dapur!" seruku."Udah ketemu sendalnya? Eh, itu sendal siapa, Sa?" Mata Zidan langsung tertuju ke arah kakiku."Enggak kok, ini sendal Kaisa, aku minjam," aku berbohong.Mungkin karena sudah menyebut nama Kaisa, Zidan tidak lagi curiga. Nama Kaisa sudah sangat baik di telinga teman-teman dan para ustadz. Menyebut nama Kaisa yang dikenal sebagai santri paling baik di angkatan kami pasti membuat orang mudah percaya.Saat itu aku berpikir, "Aku akan segera minta maaf, dan Kaisa pasti memaafkanku." Kami sudah sangat dekat. Tidak mungkin dia marah. sendal putih itu dengan santainya kupakai saat berjalan ke dapur.Saat itu, aku tidak terlalu memedulikannya. Tapi jawaban Zidan malah membuatku bingung."Siapa Kaisa?"***