Chereads / GHOSOB / Chapter 2 - Bab 2: Tolong Pergi

Chapter 2 - Bab 2: Tolong Pergi

"Siapa Kaisa?""Hah?" Aku tertegun. Apa maksudnya?"Hah?" Zidan ikut tertegun.Suasana canggung terbentuk diantara kami berdua."Eh, udahlah Sa, sendal Kaisa kek, Kaesan kek, Kinza kek, pake aja dulu. Mending cepat ke dapur, takut lauknya habis." Ujar Zidan sambil melihat jam tangannya.Gruk! perutku kembali berbunyi, seperti memberontak, menuntut untuk segera diisi. Aku mengangguk, tak ingin berlama-lama lagi. Kami berdua segera melangkah cepat menuju dapur yang terletak cukup jauh di belakang asrama. Aroma masakan sudah tercium samar-samar, menggoda perut yang semakin meronta.Di pesantren ini, rendang adalah lauk terlangka dan juga terfavorit bagi seluruh santri, biasanya disajikan sebulan dua kali. Telat ke dapur sama dengan selamat tinggal untuk rendang. Para santri sudah hafal bahwa lauk seenak dan selangka itu akan langsung ludes hanya dalam hitungan menit. Dalam perjalanan ke dapur, aku tidak bisa menahan rasa penasaran tentang ucapan Zidan sebelumnya. Kenapa dia tiba-tiba bertanya tentang Kaisa? Bukannya kami bertiga sudah bersama sejak tahun pertama?.Apakah kepala Zidan abis terbentur keras dengan sesuatu? gumamku dalam hati. Aku mencoba memahami apa maksud dari pertanyaan Zidan. Namun, semakin keras aku bertanya-tanya, semakin keras pula perutku merajuk menginginkan rendang. Aku memutuskan untuk menyingkirkan pikiran itu, fokus pada tujuan utama: makan!***"Arsa," Seseorang memanggilku."...""Arsa," Suara yang terdengar ringan itu memanggil namaku lagi.Itu suara siapa? Siapa yang memanggilku? Aku ingin sekali memastikan asal suara itu, tapi di sekelilingku terasa hampa, kosong. Seakan aku berdiri di tengah ruang yang gelap, tidak ada suara selain suara orang itu yang terus memanggil namaku."Arsa, kamu.." Nada suara itu mulai terdengar sedih, hampir seperti merintih.Suara yang ringan nan rintih itu terus bergema, tapi aku tidak bisa melihat siapa yang berbicara. Selain suara itu, yang tersisa hanyalah kegelapan. Rasanya seperti aku berada di tengah ruangan besar tanpa batas, yang penuh kehampaan. Aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku, tapi tubuhku seolah terikat, kaku. Bahkan kelopak mataku terasa berat, tak bisa kubuka. Seperti terperangkap dalam kegelapan."...""Arsa," Suara ringan itu memanggil namaku sekali lagi.Tidak lama kemudian, terdengar suara seperti pintu yang dibuka. Diiringi dengan langkah-langkah kaki yang perlahan mendekat. Aku bisa merasakan kehadiran seseorang selain asal suara yang kudengar, lebih dekat. "Bagaimana keadaannya?" Suara itu bertanya. Suaranya terdengar berat tapi terasa akrab. Sejenak, aku merasa pernah mendengar suara ini sebelumnya, tapi dari mana?"Aku tidak tahu." Orang dengan suara ringan nan rintih tadi menimpali, suaranya terdengar sedikit bergetar. Aku merasakan ketidakberdayaan dalam nada suaranya."..."Aku masih tidak bisa melakukan apa pun. Tubuhku masih tetap terasa kaku, seolah membeku dalam kegelapan yang pekat. Membuka kelopak mata ku pun, aku tidak bisa.Apakah ini... kematian? pikirku mulai panik. Semakin kupikir akan hal itu, semakin pikiran ku merasa seperti buntu. Semakin banyak tanda tanya yang bermunculan di pikiranku. Mengapa aku berada di sini? Apakah aku benar-benar mati? Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah terakhir aku... terakhir aku—BOOM!!Suara ledakan tiba-tiba menggelegar di sekitarku, membuyarkan pikiranku. Suaranya sangat keras, menggema hingga mencapai ruang kosong ini. Entah apa yang terjadi, tapi kurasakan ada sesuatu yang besar dan mengerikan yang baru saja terjadi."Kita tidak bisa tetap di sini, Kaisa. Orang itu akan mencari dia. Kau tidak bisa terus menjaganya seperti ini." Ucap suara orang yang terdengar akrab itu, dengan nada tegas dan mendesak.Tunggu, dia menyebut Kaisa?Kaisa? Siapa Kaisa?Kata-kata yang entah berasal darimana kembali bergumam di kepalaku.Siapa? Kaisa?Nama itu, Kaisa. Aku seperti pernah mendengar nama itu. Ada perasaan tidak asing yang muncul bersamaan dengan nama itu, seperti memori yang pernah aku ingat. Tapi, kenapa sangat sulit untuk memikirkannya?Kaisa? Siapa?Perlahan, aku mulai bisa merasakan sedikit pergerakan pada mulutku. Meskipun sulit, aku mencoba untuk berbicara."Ka... Kai, Sa?" Ucapku lemah, tapi tetap berusaha mengeraskan suara.Kaisa? Siapa Kaisa? Kaisa... nama itu terus menggema berulang-ulang di kepalaku, seperti gema yang tak mau pergi. Kaisa? Kaisa... semakin aku mencoba mengingat, semakin kosong jawaban yang kudapat. Suara itu memantul, seperti bisikan samar yang terus mengulang—Kaisa, Kaisa, Kaisa... siapa Kaisa? Pertanyaan itu menempel di benakku.Kaisa... Kaisa... TOLONG PERGI!BUK! Sesuatu tiba-tiba menghantam wajahku. Hal ini mendadak membuatku terkejut dan tersadar sepenuhnya. Ruangan gelap itu menghilang, digantikan oleh pemandangan kamar asrama yang familiar."Ahhh, berisik Arsa! Gausah ngigau, ganggu!" Marah Zidan, yang ternyata melempar bantal guling miliknya ke wajahku. Tempat ia tidur berada tepat di ranjang sebelahku.Aku terduduk, melamun. Aku segera sadar bahwa itu semua hanya mimpi. Mungkin karena terlalu banyak makan tadi malam? Atau karena sesuatu yang kupikirkan sebelum tidur? Aku menggeleng-gelengkan kepala, mencoba melupakan mimpi aneh itu."Oh iya, balikin guling yang kulempar dong, Arsa." Zidan menegurku dengan nada setengah mengantuk.Aku tersenyum kecil. Entah kenapa, tanpa sadar penyakit kleptomania ku muncul. Aku segera memeluk guling Zidan dengan erat dan berpura-pura tertidur lagi, seolah tidak mendengarnya."Ah elah, malah dipake gulingnya. Yaudahlah." gumam Zidan kesal, sebelum akhirnya dia pun kembali tertidur.

Tidak lama kemudian waktu subuh tiba. Suara bel jaros pengingat waktu shalat kembali membangunkanku. Aku merenggangkan tubuh, mencoba mengusir rasa kantuk, juga mengembalikan guling Zidan ke ranjangnya yang berada di sebelahku. Tidak ada mimpi aneh itu lagi. Zidan masih pulas, tampak damai dengan wajah tengkurap di atas kasur. Sementara aku duduk terdiam, mengingat kembali mimpiku tadi malam. 

Siapa, Kaisa?***"Zidan," panggilku pelan."Hmm?" gumamnya tanpa mengalihkan pandangan dari novel yang sedang ia baca.Saat ini kami berdua sedang duduk di kelas, mengisi waktu jam kosong karena guru kimia kami tidak masuk. Suasana kelas cukup tenang, sebagian besar teman-teman kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Beberapa bercanda, beberapa yang lain tidur di meja, tapi Zidan malah tenggelam dalam novel di tangannya. Aku, di sisi lain, sibuk dengan pikiranku sendiri, mencerna mimpi aneh yang kualami tadi malam."Zidan, Kamu pernah nggak sih mimpi yang aneh-aneh gitu?" tanyaku pelan, mencoba memancing reaksinya."Hah? Mimpi aneh?" Zidan akhirnya menatapku, meletakkan jari sebagai pembatas halaman buku yang sedang ia baca."Serius antum nggak pernah mimpi yang aneh-aneh? Atau nggak ingat?" tanyanya sambil menatapku dengan pandangan penasaran.Aku mengangguk. Memang, aku jarang sekali mengingat apa yang kumimpikan setiap malam. Biasanya hanya samar-samar, dan pagi harinya semua hilang."Kalau ane, mimpi aneh banyak sih, Arsa," balasnya, tersenyum jahil."Kayak gimana tuh?" tanyaku penasaran."Ane pernah mimpi dikejar pocong, terus pernah juga mimpi ngopi bareng kepala pesantren di kafe mewah. Aneh semua, deh, pokoknya," katanya, menyebutkan beberapa mimpi paling aneh yang pernah kudengar. Mukanya tampak biasa saja saat bercerita, seolah mimpi-mimpi aneh itu adalah hal lumrah baginya.Aku mendengus kecil, mencoba menahan tawa. "Bukan yang kayak gitu," kataku, tak bisa menahan diri untuk menggelengkan kepala.Zidan mengerutkan kening. "Maksudnya?"Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. "Mimpi kayak... kita ada di ruang hampa, seakan kita sudah mati, tapi masih bisa mendengar orang lain ngomong di sekitar kita."Zidan menatapku dengan ekspresi bingung, alisnya sedikit naik. "Hmm... kayak mimpi mati suri, gitu?" tanyanya, mencoba memahami.Aku mengangguk asal, walau perasaanku sebenarnya jauh lebih rumit dari itu. Rasanya seperti sebuah ruang kosong yang menyesakkan, dan satu-satunya yang ada hanyalah suara-suara asing yang berbicara tentang hal-hal yang aku nggak pahami.Zidan mengedikkan bahu dan tersenyum tipis. "Ane nggak tahu yang kayak gitu, Arsa. Mimpi ane kan isinya komedi semua," candanya, lalu kembali menatap novelnya.Aku menghela napas, kecewa. Mungkin aku salah karena bertanya tentang hal ini ke Zidan."Ngomong-ngomong soal aneh, siang ini makanannya rendang lagi, loh," kata Zidan sambil mengubah topik pembicaraan.Aku menyipitkan mata, merasa heran. Rendang lagi? Bukannya itu lauk yang lumayan langka?"Dengar dari mana?" tanyaku, penuh rasa ingin tahu."Ane dengar dari kakak OSIS. Mereka juga bingung soal ini, walau sebenarnya kita seharusnya bersyukur sih," Zidan tersenyum lebar, dengan iler yang nyaris keluar sedikit—kebiasaannya setiap kali membayangkan makanan enak. "Katanya semingguan full kita bakal makan rendang," lanjutnya dengan nada gembira.Aku merasa aneh. Memangnya ada acara apa? Kok tiba-tiba rendang terus? Sebagai santri, pertanyaan ini wajar saja muncul. Rendang bukan lauk yang sering disajikan, dan jika mendadak ada stok berlimpah, tentu ada sesuatu di baliknya.Zidan menggeleng, jelas dia sendiri tidak tahu jawabannya. Kalau Zidan, si "informan dapur" tidak tahu, berarti kemungkinan besar kakak OSIS pun juga tak tahu. Zidan memang terkenal sebagai "informan dapur" karena punya jaringan informasi yang bagus soal menu makanan di dapur."Masa pada nggak tahu?" tiba-tiba ada suara lain yang menyela percakapan kami dengan nada sedikit sombong.Aku dan Zidan menoleh, mendapati Daren, anak kepala pesantren kami, berdiri di dekat meja. Ekspresi wajahnya tampak puas karena berhasil menarik perhatian kami."Emang antum tahu, Ren? Kakak OSIS juga pada bingung loh," kata Zidan, tampak ragu dan tak percaya pada Daren.Daren mengangguk mantap, dengan senyum penuh keyakinan. "Ini informasi TOP SECRET, hehe, khusus untuk kalian saja. Katanya, ada sedekah dari perusahaan makanan ternama ke kita. Ane kurang tahu nama perusahaannya, tapi ayah ane bilang begitu," jelasnya, dengan nada khasnya yang selalu terdengar sedikit menyombongkan diri.Ayah Daren adalah kepala pesantren kami. Ini membuatnya sering dijadikan sebagai sumber informasi bagi para santri. Meski kadang menyebalkan, kami tahu kalau Daren biasanya punya akses ke informasi yang tidak diketahui santri lain, bahkan kakak OSIS sekalipun.Aku dan Zidan mengagguk. Perusahaan makanan itu sudah pasti mengirimkan banyak stok daging untuk dijadikan rendang."Oh iya, Ren, kalau yang kasus kemarin itu gimana?" Zidan mengalihkan topik pembicaraan.Daren mengangkat bahu. "Belum ada update," jawabnya singkat."Kasus apa?" tanyaku, merasa tertinggal dengan pembicaraan ini."Loh, antum nggak tahu, Sa?" Zidan memandangku, memastikan.Aku mengangguk polos, merasa sedikit bingung."Kemarin, salah satu santri ada yang keracunan makanan. Nggak tahu habis makan apa, langsung dibawa ke rumah sakit," terang Daren dengan nada serius.Aku terdiam, terkejut. "Keracunan? Siapa?" tanyaku cepat.Daren menatapku sebentar sebelum menjawab, "Kalau nggak salah, namanya... Kaisa?""Hah?" Aku tertegun, tubuhku kaku sesaat. Nama itu lagi—Kaisa.***