"Kalau nggak salah, namanya... Kaisa?""Hah?"Aku tertegun, tubuhku kaku sesaat. Nama itu seolah-olah bergema dalam pikiranku, mengusik sesuatu yang tidak kumengerti.Tiba-tiba, Zidan menyela. "Ih, apa sih, Ren? Yang keracunan itu kan anak tahun pertama, namanya Kiran."Daren terlihat tersadar sejenak."Oh, iya juga," katanya dengan nada setengah tak peduli.Tak lama setelah itu, guru mata pelajaran berikutnya masuk. Kami pun buru-buru kembali ke tempat duduk masing-masing. Kali ini mata pelajarannya fisika, kesukaanku."Assalamualaikum, bagaimana kabarnya semua?" sapa Ustadz Ari, guru fisika kami yang selalu punya cara untuk membuat pelajaran terasa menyenangkan."Alhamdulillah baik, Ustadz," jawab kami sekelas serempak.Ustadz Ari kemudian menuliskan beberapa rumus fisika di papan. Biasanya, melihat rumus-rumus ini saja sudah cukup membuat sebagian besar santri mengantuk. Namun, berbeda jika Ustadz Ari yang mengajar, ia hanya menuliskan rumus untuk dicatat. Selebihnya akan dijelaskan olehnya dengan bahasa yang mudah kami mengerti."Hari ini kita tidak akan membahas rumus-rumus ini. Pasti membosankan buat kalian. Cukup dicatat saja," ujarnya sambil tersenyum."Betul, Ustadz! Ane ngeliatnya aja udah ngantuk!" teriak Zidan, membuat seisi kelas tertawa."Haha, yang antum tahu kan cuma makan, Dan. Makanya cepat ngantuk!" balas Daren, mengejeknya.Seisi kelas kembali terguncang oleh gelak tawa."Sudah, sudah," Ustadz Ari menenangkan suasana. "Hari ini kita lanjutkan pelajaran minggu lalu. Arsa, kamu ingat terakhir kita bahas apa?" tanyanya, membuat semua mata tertuju padaku.Aku terdiam sesaat, mencoba mengingat. "Ah, itu," gumamku sambil membuka buku catatan. "Ini, Ustadz. Bab 9, termodinamika."Ustadz Ari kemudian mulai menjelaskan materi tentang termodinamika, contoh-contohnya, dan bagaimana cara kerjanya dengan bahasa yang mudah kami mengerti. Kami semua mencatat dengan tenang, larut dalam penjelasannya. Tiga puluh menit berlalu dengan hening, hanya suara Ustadz Ari yang terdengar. Akhirnya, saat-saat yang ditunggu oleh semua santri di kelas kami tiba."Baiklah, kita mulai quiz, ya. Kelihatannya Zidan sudah nggak sabar," katanya sambil menatap Zidan dengan senyum yang langsung menghidupkan suasana.Zidan terlihat malu-malu. Kelas kembali dipenuhi tawa."Nah, siapa yang bisa menjawab, akan berkesempatan pulang duluan untuk istirahat di asrama, mumpung waktu shalat dzuhur masih lama. Semangat, nggak?" Ustadz Ari benar-benar tahu bagaimana memotivasi kami para santri."Semangat, Ustadz!" jawab kami serempak.Aku mencoba untuk terlihat bersemangat seperti teman kelas yang lain. Hanya saja, gara-gara mimpi dan nama itu—Kaisa, kepalaku seakan tidak bisa untuk tidak terus-terusan memikirkannya."Quiz pertama, kalian tahu Pinokio, kan? Yang hidungnya bisa panjang?"Kami semua mengangguk. Siapa yang tidak tahu karakter itu."Nah, bayangkan kalau Pinokio disuruh berbohong, tapi dia mengaku bahwa dia tidak bohong. Terus dia bilang bahwa dia berbohong, tapi sebenarnya tidak bohong. Jadi, apa yang terjadi pada hidungnya?"Kelas mendadak hening. Semua sibuk membayangkan nasib hidung Pinokio dalam situasi rumit itu."Ayo, jawabannya cuma panjang, atau pendek. Yang jawab duluan bisa pulang duluan, loh. Kalau mau mampir ke kantin, silakan, nanti saya izinkan ke kakak OSIS," tambah Ustadz Ari, membuat suasana semakin panas. Siapa yang tidak bersemangat jika membahas tentang pergi ke kantin? (Saat jam sekolah, kantin sangat sepi, kita bisa bebas berbelanja tanpa mengantri. Berbeda jika pada saat jam istirahat yang harus berebut antrian dengan seluruh penduduk pesantren.)"Ustadz!" Zidan di sebelahku mendadak mengangkat tangannya tinggi-tinggi."Iya, Zidan?""Jawabannya, hidungnya meledak, Ustadz! Soalnya, ane mikirnya aja udah pusing, kayak kepala mau meledak, apalagi hidungnya Pinokio, udah meledak dari awal kali..." jawabnya, dengan ekspresi setengah serius setengah bercanda.Kelas kembali terguncang oleh tawa. Tidak ada yang tahu Zidan sedang bercanda atau serius dengan jawaban itu."Apa sih, Zidan," Daren menimpali, "Jelas jawabannya memanjang lah, kan dia bohong kalau dia nggak bohong, tapi dia bohong... tapi... eh?" Ujung-ujungnya, dia bingung sendiri dengan jawabannya.Suasana kelas kembali ricuh. Gelak tawa terus memenuhi ruangan.Sudah lima menit berlalu, hampir semua santri sudah mencoba menjawab, masing-masing dengan teori mereka sendiri. Beberapa, seperti Zidan dan Daren, tampak sudah menyerah dan mulai sibuk mengomentari jawaban teman-teman yang lain.Sementara itu juga, pikiranku melayang, teralihkan oleh mimpi tadi malam. Nama itu—Kaisa—terngiang-ngiang di kepalaku. Aku mencoba fokus, tapi entah mengapa, bayangan itu terus mengusik.Ustadz Ari melihat ke arahku, memanggil namaku. "Arsa, dari tadi diam aja. Kamu punya jawaban?"Aku hendak menjawab sesuai pemahamanku, tapi tiba-tiba kepalaku mulai berdenyut, perlahan makin keras, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba menekan kepalaku dari dalam.Ruangan kelas perlahan terlihat kabur dari hadapanku, suara teman-teman sekelas terdengar sayup-sayup, tenggelam dalam kekosongan. Aku berusaha untuk tetap sadar, fokus pada kata-kata-kata Ustadz Ari.Tapi suara itu, nama itu, terus bergema dalam pikiranku: Kaisa..."Arsa?" Ustadz Ari memanggilku lagi, terdengar sangat kecil dan hampir hanyut dalam kekosongan.Aku merasakan seluruh tubuhku melemas, seperti ditarik ke dalam ruang gelap yang tak berujung. Perlahan, suasana kelas memudar sepenuhnya, dan aku terjebak dalam hening yang ganjil. Namun, dalam keheningan itu, samar-samar aku mendengar suara—halus, hampir seperti bisikan."Arsa... kau tidak ingat?" Suara itu terdengar asing, tapi entah kenapa terasa sangat dekat, seolah-olah pernah ada dalam hidupku.Aku berusaha menggerakkan tubuhku. Namun, seluruh tubuhku terasa kaku. Pandanganku kabur, tetapi aku samar-samar menangkap sosok di depan sana, jauh di ujung kegelapan."Arsa... kenapa kau melupakanku?" Bisikan itu berlanjut.Nada suaranya dipenuhi perasaan yang menusuk—entah marah, sedih, atau kecewa. Semuanya terasa campur aduk. Aku ingin menjawab, ingin berteriak, ingin mengingat, tapi tidak ada yang keluar dari mulutku. Rasa panik mulai menyusup, membuat nafasku tersendat-sendat.Siapa yang bicara? Apa maksudnya? Mengapa aku merasa suara itu begitu akrab?Siapa Kaisa?Aku mencoba memfokuskan pikiranku pada sosok itu, namun pandanganku kembali buram. Kali ini, tubuhku terasa berat, sangat berat, hingga aku hampir tidak bisa bernapas."Arsa... aku di sini... kenapa kau pergi?""..."Tiba-tiba saja, aku sudah berdiri di samping Ustadz Ari."Wah, jawabanmu bagus sekali, Arsa. Silakan pulang," ucapnya membuatku bingung."Hah?"***Aku yang masih bingung segera kembali ke tempat dudukku."Gila, Arsa pintar banget ternyata! Kami aja nggak kepikiran loh dengan jawabannya," puji Zidan."Siapa dulu dong? Sohib ane lah pastinya," ucap Daren dengan nada yang menjengkelkan seperti biasa.Aku yang masih belum memahami apa yang baru saja terjadi hanya mengangguk kepada Zidan dan Daren.Apa itu tadi?"Karena Arsa sudah menjawab dengan benar, maka silakan istirahat di asrama. Yang lain, kerjain tugas." Ucapan Ustadz Ari yang menyuruhku pulang disertai dengan "ah" dari seluruh kelas karena disuruh mengerjakan tugas.Aku segera menyalami Ustadz Ari, mengucapkan salam, dan segera keluar dari kelas. Dalam perjalanan ke kamar asrama, beban pikiranku semakin banyak. Kenapa aku bisa secara tidak sadar menjawab pertanyaan yang sama sekali tidak kumengerti? Pinokio, pinokio apalah itu, mendengarkannya saja membuatku malas berpikir. Apakah penyakitku bertambah? Dari penyakit 'mencuri' kini lupa ingatan? Atau mungkin kepribadian ganda?"Eh antum di sana!" tegur salah satu kakak OSIS bagian pengajaran yang sedang berpatroli memastikan tidak ada santri yang bolos."Iya, al akh?""Kenapa antum di sini? Bukannya masih satu jam lagi sebelum kelas selesai?" ucapnya dengan nada sedikit tegas.Aku menyampaikan beberapa hal tentang kuis Ustadz Ari. Untungnya, kakak OSIS itu juga salah satu santri didikan Ustadz Ari saat tahun kedua dahulu."Oh gitu yah, yaudah selamat istirahat," ucapnya sambil membiarkanku pergi.Aku pun segera berjalan ke kamar asrama. Sesampainya di asrama, aku segera membuka lemari, mengganti seragam sekolahku dengan kaos, dan menyimpan ranselku."Tumben bolos, Arsa," ucap seseorang dari sisi lain kamar.Kulihat, ternyata ia adalah Amir, ketua kamar kami. Meskipun ia seorang ketua kamar, perilakunya sangat bebas dan sering sekali bolos sesukanya."Enggak, aku nggak bolos kok, Mir," ucapku."Terus? Sakit?"Aku menggeleng. Menjelaskan perihal tentang kuis Ustadz Ari.Bolos adalah hal lumrah di pesantren. Bagi para santri, kalian bisa memilih antara bolos legal atau ilegal. Bolos legal adalah seperti menang kuis (seperti diriku secara tidak sadar), izin sakit, dijenguk anggota keluarga, dll. Sedangkan bolos ilegal, kalian tidak memerlukan alasan apa pun. Cukup ber-skill saja dalam hal sembunyi-sembunyi dan main kucing-kucingan dengan kakak OSIS yang sedang patroli agar tidak ketahuan. Namun, jika ada santri yang ketahuan bolos ilegal, maka teman sekamar nya juga akan mendapat hukuman karena tidak mengingatkan temannya."Oalah, Ustadz Ari memang sering bikin kuis, ya?" tanyanya—ia jarang sekali masuk di kelas Ustadz Ari.Aku mengangguk."Oh iya, Arsa," kata Amir tiba-tiba terputus.TOK! TOK! TOK! Suara ketukan mendadak menggema di pintu kamar asrama, menggetarkan suasana.Amir langsung membeku, sorot matanya berubah waspada. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Tanpa sepatah kata lagi, dia bergerak cepat menuju jendela belakang. Dia harus segera pergi dari sini sebelum ia ketahuan dan kami semua bakal kena masalah oleh kakak OSIS. Amir menoleh padaku dengan tatapan memohon, meminta bantuanku."Arsa, pinjam sandal!" Amir berbisik panik, melirik pintu yang tertutup rapat."Assalamualaikum? Akhi yang tadi menang kuis Ustadz Ari? Bukain pintunya sebentar!" Suara dari balik pintu terdengar, penuh ketegasan dan nyaris seperti ancaman. Entah kenapa dia mencariku lagi.Aku segera berjongkok, tangan menyusur cepat di bawah lemari, mencari-cari sendalku, sendal ghosob-an ku secara tidak sadar, atau sendal apapun itu. Aku tidak pernah bolos, dan situasi asing seperti ini membuatku cepat panik. Telingaku hanya mendengar suara kakak OSIS di luar yang terus menggedor pintu, nadanya semakin tajam. Dalam pikiranku, jika Amir ketahuan bolos lagi, kami sekamar yang akan kena sanksinya.Akhirnya, jemariku menyentuh sesuatu—sebuah sendal putih.Sendal putih itu.. sendal yang terasa tidak asing. Rasanya seperti ada sesuatu yang salah."Arsa... cepat, dong!" Amir mendesak, napasnya terdengar tersengal."Assalamualaikum, akhi?!" Suara di luar semakin keras, nada tegas berubah menjadi ancaman nyata.Detak jantungku makin kencang. Lagi-lagi, hawa ruangan di sekitarku mendadak terasa seperti menekan, pandanganku mulai kembali kabur. Semua terasa makin gelap, suara-suara samar menghilang satu per satu. Nafasku tercekat, pusing merambat ke kepalaku, lalu suara Amir yang terakhir kali kudengar mulai menghilang."Ars—"Semua yang kulihat, kudengar, dan kurasakan, seperti hanyut dalam kegelapan. Aku kembali tidak bisa merasakan apa pun, tubuhku seperti terhisap dalam kehampaan yang pekat. Tak ada suara, tak ada cahaya, hanya sunyi yang menelan segalanya.5 menit, tidak, 3 menit, aku tidak tahu berapa lama. Perlahan, semuanya mulai pulih, seperti ditarik dari dasar laut gelap menuju permukaan. Hingga semuanya kembali normal—atau setidaknya begitulah yang kukira.Saat aku membuka mata, ruangan kamar asrama yang seharusnya aku berada, sekejap tergantikan dengan hamparan padang pasir sejauh mata memandang.***