Chereads / New World : War of Destruction / Chapter 2 - Bab 2 - Misi

Chapter 2 - Bab 2 - Misi

"Dimana ini? Kenapa begitu gelap?" Aku membuka mata dan melihat ruangan yang asing dan redup. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu tua, dengan lampu minyak yang memberikan cahaya redup. Sebuah aroma susu yang hangat memenuhi udara. Aku merasa tubuhku sangat kecil dan tak berdaya, seolah-olah aku baru lahir.

Seorang wanita paruh baya berdiri di dekatku, sibuk menyiapkan sebuah botol susu dengan tangan bergetar. Aku menatapnya dengan kebingungan, tidak memahami apa yang terjadi. "Susu? Apa maksudmu?" tanyaku dengan suara yang terdengar asing di telingaku sendiri.

Wanita itu terkejut mendengar suaraku. Botol susu yang dia pegang terjatuh ke lantai dengan suara pecahan yang nyaring. Wajahnya menjadi pucat, dan ia berlari ke luar ruangan sambil berteriak, "Aa, pangeran-pangeran! Ratu! Ratu!"

Aku mencoba untuk bergerak, tetapi tubuhku terasa kaku dan tidak kooperatif. Melihat tangan kecilku yang tak sesuai dengan ukuran yang aku ingat, aku merasa bingung dan frustasi. Suara langkah kaki terburu-buru terdengar mendekat dari luar, diikuti oleh beberapa sosok yang tampaknya tergesa-gesa.

Aku tidak bisa memahami sepenuhnya apa yang terjadi. Bagaimana bisa aku berada di sini, dalam keadaan ini, setelah perintah Dewa Agung yang penuh misteri? Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir.

Saat sosok-sosok lain memasuki ruangan, wajah mereka menunjukkan campuran keterkejutan dan kekhawatiran. Mereka tampaknya merawatku dengan hati-hati, meskipun ketidakpastian memenuhi ekspresi mereka. Aku harus segera memahami apa yang sedang terjadi, bagaimana aku bisa terjebak dalam tubuh ini, dan apa yang diinginkan oleh Dewa Agung dariku di dunia manusia ini.

"Siapa kalian? Apa kalian adalah manusia?" Aku berusaha berbicara dengan lantang, meskipun suara kecilku terasa lemah di ruang yang asing ini.

Sang Raja tampak terkejut, ekspresi wajahnya menunjukkan campuran kekaguman dan kegembiraan. "Tidak mungkin..." ucapnya dengan nada yang penuh keterkejutan.

Sementara itu, sang ibu, Ratu, langsung memelukku dengan lembut di dadanya. Aku merasakan kehangatan dan kelembutan pelukannya, tetapi rasa bingung dan ketidaknyamanan yang mendalam membuatku sulit merasa nyaman. "Apa yang kamu lakukan?" ucapku dengan nada bingung.

"Louis, tenanglah, tidak apa-apa," jawab Ratu sambil menangis dengan penuh kebahagiaan. "Ibu sangat bahagia."

Raja, dengan mata yang bersinar penuh semangat, berteriak dengan gembira, "Anakku adalah utusan dewa! Ini patut dirayakan!" Dia kemudian memerintahkan para prajurit, "Umumkan di semua pos penjagaan kota bahwa hari ini adalah hari perayaan. Semua pekerjaan diliburkan dan semua orang wajib berkumpul di tengah lapangan kastel!"

"Utusan dewa?" ucapku terkejut, masih tidak mengerti sepenuhnya apa maksudnya. Aku merasa seperti berada dalam situasi yang tidak bisa kuontrol, terlempar ke dalam perayaan yang tidak kuinginkan.

Raja, dengan nada tegas, berkata, "Ehem, jangan memeluk utusan dewa seperti itu, lepaskan dia, Ratu."

Ratu menurut, melepaskan pelukannya dan semua orang di dalam kamar menundukkan kepala dengan hormat, "Hormat kepada utusan dewa." 

Aku merasa bingung dan terasing melihat semua orang membungkuk di hadapanku. "Ehem, pergilah kalian semua. Tinggalkan aku sendiri," perintahku dengan nada tegas, mencoba untuk menegaskan sedikit kendali atas situasi ini.

"Tapi..." ucap Ratu dengan nada ragu.

"Ehem! Baiklah, apapun perintah utusan dewa akan kami laksanakan!" sahut Raja dengan tegas, menandakan bahwa perintahku harus dipatuhi.

Saat ruangan tersebut mulai kosong, aku merasakan keheningan yang aneh. Sekarang, aku harus mengatasi kebingungan dan menghadapi kenyataan bahwa aku benar-benar dianggap sebagai utusan dewa, meskipun aku tidak tahu apa artinya atau bagaimana aku harus bertindak.

Setelah ruangan mulai kosong, seorang pria berbaju putih memasuki kamar dengan langkah tenang. Cahaya lembut memancar dari wajahnya, membuatku merasa sedikit silau. "Perkenalkan, aku adalah malaikat penjaga," katanya dengan suara lembut namun penuh kekuatan. "Aku diperintahkan oleh Dewa Agung untuk melindungi dan mengawasi Anda selama berada di dunia manusia."

"Malaikat?" ucapku, terkejut. "Apa kamu bisa menjelaskan di mana aku berada, kapan aku tiba di sini, dan mengapa aku harus berada di sini?"

"Baiklah," jawab malaikat dengan anggukan. Dia mulai menjelaskan situasi dengan tenang, menguraikan bagaimana aku, sebagai utusan dewa, terpaksa menjalani kehidupan sebagai manusia dengan kekuatan yang sangat dibatasi. Penjelasan ini memberikan gambaran tentang peran dan batasan yang harus kuhadapi.

Setelah mendengar penjelasan tersebut, aku mulai memahami sedikit tentang situasiku. Untungnya, keajaiban yang diberikan oleh Dewa Agung, meskipun terbatas, memungkinkan aku untuk mengambil bentuk tubuh yang lebih tua—sekitar usia 10 tahun—sebagai langkah awal untuk beradaptasi. "Untuk memahami kehidupan manusia, aku harus melihat dunia luar," kataku dengan tekad.

"Apa kamu bisa memberiku pakaian?" tanyaku kepada malaikat.

Belum sempat malaikat menjawab, terdengar ketokan pintu dari luar kamar. Malaikat itu menghilang seketika, seolah menghilang dalam kabut.

"Siapa itu? Ada urusan apa?" teriakku, mencoba untuk tetap tegas.

"Saya Sang Raja," terdengar suara dari luar, penuh rasa hormat. "Kami memohon kepada utusan dewa untuk menyapa rakyat negeri ini, karena mereka sangat senang mendengar berita kemunculan Anda."

"Hmm," jawabku sambil membuka pintu. "Boleh saja, tapi sebelum itu, berikan aku pakaian yang layak."

Sang Raja melihat ke arahku dengan kekaguman yang mendalam, terpaku sejenak saat melihat anaknya, yang tadinya bayi, kini telah tumbuh dewasa hanya dalam beberapa jam. Ekspresinya menunjukkan campuran rasa takjub dan keheranan.

"Ehem, aku memerlukan pakaian yang layak. Apakah kamu mendengarkanku?" ucapku sekali lagi, menegaskan permintaanku.

Sang Raja tertegun sejenak sebelum sadar dan segera menjawab, "Baik, saya akan segera mempersiapkannya!"

Saat Raja pergi untuk memenuhi permintaanku, aku berdiri di ruangan tersebut, meresapi situasi ini. Aku tahu bahwa banyak yang harus dipelajari dan dipahami di dunia ini, dan tantangan yang akan kuhadapi mungkin lebih besar daripada yang aku bayangkan. Tetapi untuk saat ini, aku harus mempersiapkan diri dan menyiapkan penampilan yang sesuai untuk pertemuan pertama ini.

***

Di atas kastel yang megah dan kokoh, Raja Ferro Von VII berdiri di balkon utama, dikelilingi oleh semua pejabat dan rakyat kerajaan. Dengan gerakan tangan yang penuh wibawa, Raja mengeluarkan sihir yang menguatkan suaranya hingga terdengar ke seluruh penjuru kota.

Saat suara Raja memenuhi udara, suasana menjadi hening. Semua mata tertuju padanya, menunggu dengan penuh harapan apa yang akan disampaikannya.

"Rakyatku," suara Raja menggema, "Negeri kita telah menghadapi banyak musibah. Dari kekalahan dalam peperangan, kekeringan yang berkepanjangan, hingga penyakit yang melanda. Yang paling mengkhawatirkan adalah gerakan anti kerajaan yang semakin mengancam!"

Suara Raja penuh semangat dan tekad. "Namun, semua ini adalah ujian dari Sang Dewa kepada negeri kita. Kini, saatnya kita menerima pertolongan dari Sang Dewa melalui utusan-Nya!"

Kehadiran utusan dewa kini menjadi pusat perhatian. Dengan penuh kebanggaan, Raja Ferro melepaskan mahkotanya dan menyerahkannya kepada utusan dewa. Namun, utusan dewa, dengan sikap penuh keyakinan, melemparkan mahkota itu ke udara. Mahkota itu seketika berubah menjadi abu yang berterbangan, menandakan akhir dari era lama.

"Di hadapan kalian semua, tidak ada jabatan, status, atau kekuatan yang membedakan kita. Semua orang sama di mataku. Maka dari itu, aku tidak akan menerima jabatan ini," ucap utusan dewa dengan suara lantang dan tegas.

Utusan dewa kemudian menatap langit yang mendung. "Daerah ini sangat kesulitan mendapatkan hujan, bukan?" gumamnya.

"Langit, mulai sekarang, kamu harus menghujani kawasan ini setiap tahun hingga tanaman dan hewan dapat hidup di sini. Lakukan ini selama aku masih berada di dunia manusia," perintah utusan dewa.

Langit yang tadinya gelap mulai berkumpul dengan awan hitam yang menutupinya. Perlahan, hujan rintik-rintik mulai turun, membasahi tanah dan orang-orang di bawahnya. Rakyat mulai merasakan perubahan, ada yang menangis terharu, ada yang bersujud syukur, dan suara mereka bersatu dalam teriakan penuh rasa syukur, "Hidup Sang Dewa! Hidup Sang Dewa!"