Chereads / New World : War of Destruction / Chapter 3 - Bab 3 - Serangan Monster

Chapter 3 - Bab 3 - Serangan Monster

ROAR!

Terdengar jeritan mengerikan dari bagian selatan kastel, jauh di dalam hutan. Monster itu meraung begitu keras hingga suaranya menggema sampai ke dinding-dinding kastel, membuat setiap penghuni terperanjat dalam ketakutan.

TENG TENG TENG!

Suara lonceng dari menara pengawas bergema, peringatan akan bahaya yang mendekat. Warga desa segera bergegas menuju rumah masing-masing, mengunci pintu-pintu rapat-rapat dalam ketakutan yang semakin mencekam.

"Baru beberapa hari sejak aku tiba di sini, dan mereka sudah mulai bergerak. Waktunya sempurna, tepat setelah aku selesai membaca seluruh buku di perpustakaan ini," gumam Louis dengan nada penuh teka-teki.

Malam itu, suasana yang seharusnya tenang berubah drastis. Gelap menyelimuti langit yang tadinya cerah, membawa serta aura mengancam yang semakin mendekati kastel. Warga menjadi semakin khawatir, tetapi mereka berusaha menenangkan diri dengan harapan.

"Tenang saja, ada utusan dewa bersama kita," ujar seorang ibu sambil memeluk anaknya yang gemetar ketakutan.

"Utusan Dewa?" tanya anak itu penasaran, rasa takutnya sedikit mereda. "Apa dia kuat?"

"Entahlah," jawab ibunya sambil tersenyum tipis. "Tapi dulu ada legenda tentang seorang utusan dewa yang bisa mengalahkan naga raksasa hanya dengan satu ayunan pedang."

Sementara itu, di dalam kastel, persiapan untuk pertempuran sedang berlangsung. Raja Ferro, bersama ksatria-ksatria terbaiknya, bersiap di garis depan. Peralatan tempur mereka bersinar dalam cahaya obor yang berkedip-kedip, siap menghadapi bahaya yang semakin mendekat.

"Mungkin ini adalah pertempuran terakhir kita," ucap Raja Ferro sambil memandang pedangnya dengan tatapan serius.

"Apa yang kau bicarakan, Raja? Bukankah setiap pertempuran selalu memiliki kemungkinan itu?" sahut seorang pria berbadan besar yang membawa dua kapak di punggungnya.

Raja tertawa, "Benar sekali. Tapi kali ini berbeda. Aku baru saja memiliki anak. Aku tidak ingin meninggalkannya tanpa seorang ayah."

"Tapi, anakmu adalah seorang utusan dewa. Sebagai ayahnya, aku tahu kau tidak ingin mengecewakannya," balas pria bertubuh besar itu.

"Tentu saja," Raja mengangguk. "Namun, aku tidak akan memintanya bertarung dengan monster legendaris ini."

"Apakah itu keputusan yang bijak, Raja?" sela penyihir dengan topi lebar dan tongkat sihir berujung bola emas. "Dengan kekuatannya, kita bisa mengalahkan monster ini lebih cepat."

"Tidak," jawab Raja Ferro tegas. "Walau dia adalah utusan dewa, dia tetap anakku. Tidak mungkin aku meminta anakku untuk mempertaruhkan nyawanya."

"Tapi dia mungkin satu-satunya harapan kita!" balas penyihir dengan nada yang mulai cemas, menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Tidak, dia bukan harapan kita, dia adalah harapan dunia ini" jawab Raja dengan suara yang tegas, mengakhiri perdebatan.

*** 

Raja Ferro dan timnya, yang terdiri dari seorang pria besar dengan kapak besar di punggungnya, seorang penyihir, dan seorang assassin bernama Shadow, bersiap untuk menghadapi serangan monster di hutan selatan. Tim ini adalah harapan terakhir kastel untuk bertahan.

Lebih dari puluhan prajurit bersenjata lengkap menyertai Raja Ferro dan timnya saat mereka mulai merangsek masuk ke dalam hutan yang gelap dan penuh bahaya. Shadow, yang baru saja kembali dari penyelidikannya, melaporkan temuannya kepada Raja.

"Bagaimana keadaan di dalam hutan, Shadow?" tanya Raja Ferro dengan nada tegas namun penuh kekhawatiran.

Shadow, wajahnya penuh kecemasan, menjawab, "Buruk sekali. Aku melihat tiga ekor naga, masing-masing sekitar 30 meter panjangnya, sedang mengamuk di dalam hutan."

"Tiga ekor?" Raja Ferro tampak terkejut, rahangnya mengeras. "Aku tidak menyangka musuh kita punya kekuatan sebesar itu."

"Ini lebih dari sekadar kebetulan," lanjut Shadow, suaranya mulai dipenuhi ketegangan. "Aku yakin ada keterlibatan negeri tetangga. Yang paling mengerikan adalah keberadaan seorang ras iblis di sana, memimpin mereka. Dia tampak setingkat dengan salah satu Jenderal Iblis."

Mata Raja Ferro menyipit, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Jenderal Iblis? Tidak mungkin. Ras iblis sudah menandatangani perjanjian damai dengan kita. Tapi kenapa sekarang mereka menyerang?"

Shadow menggeleng, raut wajahnya suram. "Mungkin mereka bekerja sama dengan negara tetangga. Tujuan mereka sepertinya jelas—meratakan kastel ini."

Raja Ferro terdiam sejenak, merenung. Keputusan besar tergantung di ujung lidahnya. "Aku tidak akan membiarkan mereka menghancurkan wilayah kita dengan mudah," ucapnya akhirnya, penuh tekad.

Shadow menatap Raja dengan khawatir. "Tapi, Raja, kita tidak akan bisa menang. Lebih baik kita mengungsikan warga sebelum semuanya terlambat."

Raja Ferro memandang ke kejauhan, lalu menggeleng pelan. "Tidak ada gunanya, Shadow. Jika kita melakukannya, warga akan kehilangan kepercayaan mereka pada kita. Ini adalah wilayah terakhir yang masih menjunjung tinggi bendera Kerajaan Ferro. Kita tidak punya tempat lain untuk lari. Kita harus bertahan, apapun yang terjadi."

Shadow hanya bisa diam, memahami beratnya tanggung jawab yang kini dipikul Raja Ferro. Dia tahu bahwa pertempuran ini mungkin akan menjadi akhir, tapi dia tetap berdiri di sisi Raja, siap menghadapi apa pun yang akan datang.

*** 

Di atas menara kastel, Louis memandang jauh ke arah hutan gelap di selatan. Tiba-tiba, sebuah sosok bercahaya muncul di sampingnya, seorang malaikat dengan wajah cemas.

"Ada seorang ras iblis sedang mendekati tempat ini. Apa yang harus kita lakukan?" tanya malaikat itu, suaranya penuh kekhawatiran.

Louis tidak segera menjawab, matanya tetap fokus ke kejauhan. "Setelah menghilang beberapa hari, kamu muncul lagi. Apa kamu hanya muncul saat membutuhkan aku saja?" keluhnya dengan nada dingin.

Malaikat itu, sedikit bingung oleh tanggapan Louis, mendesak lebih lanjut, "Bagaimana? Apa saya harus melenyapkan iblis itu?"

Louis mendengus pelan, sedikit tersenyum. "Membunuhnya? Jangan bercanda. Bahkan sebelum kamu muncul ke sini, dia tidak akan berani memasuki kastel ini."

Malaikat itu memiringkan kepalanya, penasaran. "Apa maksud anda?"

Louis akhirnya memalingkan wajahnya dari hutan dan menatap malaikat itu. "Kami para setengah dewa memiliki kekuatan yang terkait dengan nama kami. Misalnya, aku bisa membuat pelindung yang tak dapat ditembus oleh ras iblis atau monster, dan pelindung ini bisa bertahan hingga dua tahun. Tapi karena aku sendiri tidak tahu nama asliku, kekuatanku terbatas."

Malaikat itu menatap Louis dengan ketidakpastian. "Apapun yang kami ciptakan di dunia setengah dewa tidak bisa dihancurkan, kecuali durasinya habis. Tapi aku tak tahu apakah aturan itu berlaku di sini."

"Tapi bagaimana jika pelindung yang anda buat itu bisa dihancurkan, dan kastel ini hancur bersamanya?" tanya malaikat itu dengan nada khawatir.

Louis tertawa ringan, suara tawa yang tenang tapi penuh rasa percaya diri. "Hahaha, itu mungkin saja. Tapi jika kamu begitu khawatir, pergilah lihat sendiri bagaimana para manusia itu melawan iblis itu."

Malaikat itu ragu sejenak, lalu bertanya lagi, "Apa anda tidak akan pergi?"

Louis mengalihkan pandangannya kembali ke hutan, matanya menyipit seakan mencoba melihat sesuatu yang lebih dalam di balik pepohonan. "Aku mungkin akan menyusul. Tapi hanya mungkin. Jika ada hal yang mendesak, dan kamu harus menampakkan diri, ambillah wujudku."

Malaikat itu mengangguk patuh. "Baik, saya izin pergi," katanya, sebelum tiba-tiba menghilang seperti hembusan angin, meninggalkan Louis sendirian di atas menara, masih memandang ke arah hutan yang kini mulai gelap.

*** 

"Kenapa tiba-tiba aku merasa hawanya begitu berat?" tanya Jenderal Iblis, Yura, salah satu bawahan Raja Iblis yang ditugaskan untuk meratakan Kerajaan Ferro. Dia memimpin tiga ekor naga legenda berumur lebih dari dua ratus tahun, mengarahkan mereka untuk membakar hutan dengan api hitam pekat.

"Apa ini? Hawa haus darah yang kuat sekali!" gumam Yura gelisah, merasakan sesuatu yang mendekat. Ketiga naganya, yang awalnya melangkah penuh percaya diri, kini terhenti dan mundur perlahan, ketakutan akan sesuatu yang berada di depan mereka.

Di balik pepohonan lebat yang belum tersentuh api, Raja Ferro dan timnya muncul, menghadang tiga naga besar itu.

"Benar-benar besar, bagaimana kita akan menjatuhkan naga ini?" tanya Gram, pria bertubuh besar yang membawa kapak, bersiap untuk menyerang. Meskipun dia telah pensiun dari kehidupan petualang, panggilan dari Raja Ferro, teman lamanya, membuatnya kembali mengangkat senjata demi kampung halamannya.

Sementara Raja Ferro dan timnya berdiskusi mengenai strategi, Yura tak bisa menerima bahwa para naga bisa ketakutan terhadap manusia.

"Tidak, aku tidak percaya ini! Naga takut akan manusia? Tidak mungkin, tapi hawa ini... Mengapa begitu mengganggu?" Yura menyeka keringat dingin yang mulai membasahi dahinya. "Bukan mereka yang menyebabkan para naga ini ketakutan, tapi apa?"

Ketegangan memuncak ketika Gram, tanpa peringatan, melancarkan serangan dengan kapaknya, meninggalkan goresan pada salah satu naga.

"Manusia tak tahu diri!" teriak Yura marah. "Para naga, hembuskan api neraka pada mereka!"

Ketiga naga itu mulai mengumpulkan energi, mengeluarkan semburan api hitam yang begitu pekat, membuat tim Raja Ferro kewalahan. Namun, Kyle, sang penyihir, segera mengangkat tongkatnya, melindungi mereka dari api neraka itu. Meski begitu, panasnya api dan tekanan luar biasa membuat Gram terpental jauh, menabrak pohon di belakangnya.

"Tidak mungkin, hanya dengan satu serangan..." ucap Raja Ferro, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.

Saat semburan api berakhir, Raja Ferro mengeluarkan pedang hitam yang tampak muncul dari dimensi lain, pedang turun-temurun yang hanya dia yang tahu rahasianya.

PLAK! Tebasannya ditangkis oleh ekor naga, tapi kekuatan Raja Ferro berhasil membuat naga itu tumbang. "Sihir pengorbanan, ambil nyawaku ini dan berikan aku kekuatan!" ucapnya, tubuhnya bersinar dengan energi yang tak terkendali.

Luka-luka yang diterima Raja Ferro mulai sembuh dengan cepat, membuatnya setara dengan kekuatan naga yang dihadapinya. Namun, dia tahu bahwa waktunya terbatas.

"Raja Ferro..." gumam Kyle, mengingat masa lalu mereka bersama. Dia tahu betapa mengerikan sihir pengorbanan ini—kekuatan luar biasa dengan harga yang sangat mahal.

"Jika kita tidak bisa menang, maka mereka juga tidak bisa menang!" tegas Kyle, memutuskan untuk menggunakan sihir pengorbanan. "Sihir pengorbanan... Ambil nyawaku ini dan berikan aku kekuatan!"

Mantra rumit diucapkan dengan cepat, dan lingkaran sihir besar terbentuk di langit dan tanah. Sebuah pedang besar turun dari lingkaran hitam di atas, menembus kepala Jenderal Yura. Setelah serangan itu, Kyle jatuh pingsan, kehabisan tenaga.