Tidak ada pembahasan lanjutan antara mama Arum dan Masha terkait obrolan di rumah makan tadi. Masha terlihat biasa saja. Ini bukan kali pertama juga. Jadi tak perlu menanggapinya terlalu berlebihan.
"Menurutmu Saka bagaimana sha? " Tanya mama Arum saat keduanya sedang makan malam.
"Maksudnya ma? " Tanya Masha.
"Masak kamu gak paham sih, orangnya bagaimana? Kamu tertarik gak? "
" Biasa aja sih ma, gak terlalu gimana juga" Jawab Masha jujur.
"Masak gak ada rasa tertarik sih sha? Menurut mama Saka oke lho sha"
"Oke sih, tapi ya gimana kalau perasaanku biasa saja, masak iya dipaksa ma" Jawab Masha santai.
"Coba buka hati sha, siapa tahu Saka jodoh kamu" Pinta mama Arum terdengar memohon.
"Mama kenapa sih? Kok jadi maksa gini" Tanya Masha akhirnya, penasaran. Biasanya gak kayak gini mamanya itu.
Mama Arum menghela napas dalam.
"Mama merasa bersalah sama kamu sha, mama tahu kamu seperti ini karena mama, tapi mama mohon nak, tidak semua yang kamu pikirkan itu benar, kalau kamu ketemu orang yang tepat kamu pasti tidak akan mengalami seperti apa yang mama rasakan" Ucap mama Arum.
Masha menghentikan kegiatannya. Menatap sang mama yang terlihat bersedih. Masha menggenggam tangan sang mama. Memberi kekuatan agar sang mama tidak lagi bersedih.
"Masha oke kok ma, jangan merasa bersalah begitu, meski sekarang Masha masih seperti ini tapi Masha baik-baik saja. Mama jangan khawatir" Ucap Masha mencoba menenangkan sang mama.
"Jelas mama khawatir sha, trauma kamu sampai saat ini belum sembuh karena mama, mama minta maaf tapi mama mohon jangan menutup pintu hatimu sha, tidak semua laki-laki seperti papamu, kamu lihat kedua kakakmu sha, mereka juga bisa bahagia dengan pasangannya masing-masing. Mama juga pengen lihat kamu bahagia seperti mereka. Usia kamu bentar lagi mau tiga puluh nak, mama akan sangat merasa bersalah kalau kamu harus sendiri terus seumur hidupmu, mama mohon sha" Ucap mama Arum membuat mata Masha panas. Tak kuat rasanya Masha melihat sang mama memohon seperti ini.
*
*
*
Masha mengambil nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Setelah obrolan yang sentimentil tadi Masha memutuskan masuk kamar. Tidak mau meneruskan lagi. Masha tak akan sanggup melihat sang mama sampai menangis lagi karena dirinya.
Yah seperti kata Reta dan mama Arum, Masha ini memeliki trauma terhadap yang namanya pasangan, laki-laki atau mungkin sebuah pernikahan. Dulu saat usianya masih sembilan tahun Masha kecil harus menghadapi dan menyaksikan prahara rumah tangga kedua orang tuanya. Keluarga yang dulunya harmonis dan saling menyayangi tiba-tiba berubah menjadi keluarga yang saling memaki dan mengumpat. Pertengkaran, tangisan dan teriakan menjadi makanan Masha setiap hari kala itu.
Semua bermula saat sang papa mendapat pekerjaan di luar kota. Saat itu bisnis sang papa memang berkembang sangat pesat. Dimana saat di sana sang papa tergoda dengan seorang wanita muda yang membuat papa ingin menjadikannya istri kedua. Tentu saja ide itu ditolak mama Arum. Mama tidak mau dimadu, terlebih saat itu mereka sudah memiliki tiga orang anak.
Papa Ali tetap dengan keputusannya. Papa Ali sebenarnya hanya meminta mama Arum memberi ijin karena pernikahan itu hanya sebatas siri saja, tapi mama Arum tetap menolak. Pertengkaran tak bisa dihindari. Meski papa ingin menikah lagi tapi papa juga masih memikirkan anak-anaknya yang lain. Karena itu hanya ingin menikah siri saja. Tapi mama Arum tetap menolak. Dan papa tetap meneruskan niatannya.
Hingga terjadilah perpisahan keduanya. Papa Ali sampai memohon sama mama Arum untuk tidak mengajukan gugatannya tapi semua sudah terlambat. Papa juga tetap menikahi perempuan itu. Papa mengatakan tidak bisa meninggalkan perempuan itu. Dan semua itu disaksikan oleh Masha. Hampir setiap hari Masha melihat sang mama mengamuk, menangis dan berteriak sejak sang papa memutuskan menikah lagi. Kejadian itu berlangsung cukup lama. Hingga akhirnya Masha dan kakak-kakaknya dititipkan sementara di rumah sang nenek.
Tapi satu hal yang tidak Masha ketahui bahwa hancurnya rumah tangga kedua orang tuanya bukan karena ulah sang papa semata. Ada peran besar sang mama yang sebenarnya mengawali kehancuran ini. Tapi selama ini mama Arum belum berani mengakuinya dihadapan sang putri bungsu. Usia Masha saat masih terlalu muda jadi belum terlalu paham. Yang dia tahu papanya yang salah.
Semenjak itulah Masha sangat menjaga agar tidak terlibat hubungan dengan lawan jenis. Masha tidak mau seperti mama Arum, paska berpisah dengan papa, mama harus mengkonsumsi obat-obatan hanya agar bisa tidur dengan nyenyak. Memori itu membekas kuat di otak Masha. Membuatnya enggan berhubungan dengan lawan jenis.
Masha ini cantik dan sangat menawan. Tidak sedikit yang berusaha menyatakan cintanya pada Masha. Tapi semua tidak pernah mendapatkan celah sedikitpun dari Masha. Hingga usianya dua puluh sembilan Masha tidak pernah berhubungan dekat dengan laki-laki. Hampir semua temannya perempuan. Tapi tak sedikit laki-laki yang masih berusaha mendapatkan Masha. Tapi tak sekalipun Masha menanggapinya.
*
*
*
"Kamu hari ini pulang jam berapa sha? " Tanya mama Arum saat keduanya sarapan.
"Mungkin sore ma, aku mau ke geneng ma, nengok teman yang baru lahiran"
"Mama hari ini mau ke tempat kakakmu, masmu, ada acara tahlilan di sana, kamu mau nyusul tau di rumah nanti? "
"Dirumah sajalah ma, Masha berani kok"
"Oke deh, makanan mama siapkan di kulkas ya, nanti tinggal dipanaskan"
"Oke"
*
*
*
"Wah cantik banget ini anakmu Lit, persis bapaknya tapi versi cewek" Ucap Reta sambil mamangku seorang bayi mungil, putri rekan sejawatnya.
"Iya, plek bapaknya kan? Aku gak kebagian sama sekali, cuma kulitnya aja yang sama kayak aku" Ucap Lita manyun.
"Gak papa sih dari pada mirip tetangga, kan bisa bahaya, ya gak sha? " Canda Reta dan diangguki oleh Masha yang sejak tadi hanya diam menatap bayi mungil itu.
Sejak tadi pandangan Masha memang tak beranjak dari bayi yang masih dibedong itu. Matanya menatap takjub ketika bayi mungil itu menggerakkan mulutnya dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Lucu sekali.
Masha merasa perasaannya begitu bahagia melihat setiap gerakan dari bayi cantik itu. Tapi tak berani menggendong. Cukup melihat saja.
"Mau gendong sha? " Tawar Reta. Masha menggeleng.
"Gak ah, takut aku, nanti aja kalau sudah agak besaran. Takut" Ucap Masha jujur.
"Gak bakal apa-apa kok sha, coba aja dulu. Siapa tahu setelah ini kamu ada rencana untuk segera menikah dan memiliki seorang anak" Ucap Lita yang juga sama-sama tahu permasalahan hidup sahabatnya ini. Bahkan keduanya sangat prihatin dengan Masha. Si cantik yang harus terbelenggu dengan masa lalu.
Hampir dua jam ketiga sahabat ini saling berbagi cerita, tapi lebih banyak Reta dan Lita yang bercerita. Sementara Masha sebagai pendengar setia sambil terus mengamati setiap pergerakan si kecil. Ada rasa yang memenuhi hatinya setiap melihat bayi yang baru lahir. Masha tidak bisa menjelaskan itu apa. Tapi yang pasti Masha sangat senang berdekatan dengan makhluk tanpa dosa itu.
Waktu menunjukkan pukul setengah empat sore saat Masha dan Reta pamit pulang.
"Sha kamu duluan aja ya, aku di jemput mas Hanan, bentar lagi datang kok" Ucap Reta saat keduanya berada di halaman rumah Lita. Hanan adalah suami Reta.
"Oke deh, aku langsung aja ya" pamit Masha dan menggeber motor matic nya dengan kecepatan sedang. Ingat keselamatan adalah nomor satu.
Perjalanan baru seperempat jalan saat Masha merasakan ada sesuatu yang aneh pada motor maticnya. Rodanya oleng dan Masha yakin kalau ban sepedanya bocor. Masha segera turun dan menuntun motornya.
Setelah kurang lebih sepuluh menit menuntun akhirnya Masha menemukan bengkel motor. Untung masih buka.
"Kenapa mbak? " Tanya montir bengkel itu ramah.
"Bocor mas, tolong tambal ya" Ucap Masha pada montir itu dan diangguki sang montir yang berbaju hitam itu.
Bengkel yang di singgahi Masha ternyata bengkel yang lumayan cukup besar dan lengkap. Selain bengkel di area itu juga terdapat pom mini, car wash, mushola dan warung makan. Ada juga penjual makanan sejuta umat, pentol.
"Mas aku tunggu di sana ya" ucap Masha sambil menunjuk warung makan yang berada di samping mushola. Tak lupa Masha juga membeli pentol untuk mengisi perutnya dan teh jumbo.
Masha menikmati makanannya sambil melihat lalu lalang kendaraan di jalan. Hingga sebuah suara yang Masha kenal mengalihkan pandangannya. Memastikan apa tebakannya benar atau tidak.
"Mbak Rin kopi satu"
Masha yang penasaran dengan pemilik suara itu segera membalikkan badannya untuk melihat sang pemilik suara. Dan saat kedua mata itu bertemu keduanya hanya terdiam untuk beberapa saat. Binggung harus bagaimana.
"Loh Masha? " Akhirnya si pemilik suara itu yang memulai.
"Mas Saka" Balas Masha mencoba ramah.
Saka pun menghampiri Masha dan duduk di depannya.
"Sedang apa? "
"Motorku bocor mas, tadi habis dari rumah teman, jenguk baby" Jelas Masha dan diangguki Saka.
"Sudah dipegang motornya?"
"Sudah mas itu " tunjuk Masha pada seorang montir yang sedang mengerjakan motornya.
"Kopinya mas " mbak Rin pemilik warung menginterupsi obrolan Saka dan Masha.
"Iya, makasih mbak" Jawab Saka sopan. Saka pun segera menyeruput kopi panasnya.
"Mbak ban motornya gak bisa di tambal harus ganti, gimana? "Ucap montir yang mengerjakan motor Masha datang menghampiri.
"Ya udah ganti aja mas" Ucap Masha.
"Oke deh" Balas si montir lalu pergi meninggalkan keduanya.
"Mas ngapain di sini? " Tanya Masha.
Saka meletakkan cangkir kopinya " Kerja, ini tempat kerjaku" Jawab Saka. Tapi jawaban itu tak membuat Masha percaya. Penampilan Saka bersih dan rapi untuk ukuran seorang montir. Tapi Masha tak mau mendebat. Hanya ber oh saja.
Obrolan ringan mengalir antara keduanya hingga sebuah panggilan telepon masuk ke HP Masha. Dari mbak Nayla, mbak pertamanya.
"Apa mbak?"
"Kamu dimana? " Tanya Nayla dengan intonasi suara yang terdengar cemas.
"Di bengkel, motorku bocor, kenapa? "
"Cepet pulang, mama di bawa ke rumah sakit. Gak tau kenapa tiba-tiba saja pingsan" Jelas Nayla. Sontak saja Masha langsung disergap kecemasan dan tubuhnya lemas. Seperti dihantam bongkahan batu. Padahal tadi pagi sang mama tidak papa. Kenapa bisa pingsan, ada apa ini? Batin Masha kalut.
Tanpa sadar air mata Masha lolos dan membuat Saka terhenyak.
"Ada apa? " Saka terlihat cemas.
"Mama masuk rumah sakit mas, katanya pingsan tadi" jawabnya dengan air mata berderai. Bingung, itulah yang dirasakan Masha saat ini.
"Oke stop jangan nangis, ayo aku antar ke rumah sakit" Ucap Saka sambil mengulurkan tangannya. Masha pun mendongak menatap Saka dan menerima uluran tangan itu. Tangan laki-laki pertama yang Masha pegang dengan sadar selain keluarganya.
*
*
*