Pemuda itu memalingkan wajahnya, membiarkan sinar matahari pagi menerpa wajahnya melalui jendela berlapis kaca. Sementara itu, Chelsea berjalan melewati barisan bangku sekolah yang tersusun rapi di dalam kelas.
Gadis itu hanya bisa menundukkan kepala di depan papan tulis. Saat ini, ia berdiri di samping Akina, wali kelas baru yang mengajar sastra bahasa Indonesia.
Akina terdiam, tanpa mengeluarkan suara. Satu lengannya ditekuk dengan tangan yang memegang korek api. Lelaki itu menyalakan sebatang rokok yang terselip di bibirnya, sementara mata cokelat Chelsea melirik ke arah pemuda tersebut.
Kepulan asap putih keluar dari bibir Akina saat ia berkata, "Apa yang sedang kau lihat? Katakan kepada seluruh siswa apa yang sedang kau pikirkan tadi."
Chelsea tersentak. Dia ingin menentang perintah Guru, meskipun ia sadar bahwa kata-katanya mungkin akan membuat Akina marah.
"Tapi sensei, mengapa saya harus mengungkapkannya?" tanya Chelsea dengan suara lirih.
Akina menoleh sambil meniupkan kepulan asap putih dari mulutnya, membiarkan Chelsea menghirup asap samar yang melayang di udara.
"Lakukan apa yang aku minta dan jangan melawan!" desis Akina dengan tegas.
Chelsea, merasa takut dengan ekspresi marah Akina, hanya bisa menundukkan kepala. Rasa sedih melanda hatinya, menciptakan kegelisahan yang mendalam di dalam dirinya. Sesekali, dia menghela nafas panjang, sambil kedua tangannya tetap terkepal di sisi pahanya.
"Aku menyadari bahwa terus mengingat masa lalu hanya akan membuang-buang waktu, tanpa bisa mengubah apa yang telah terjadi. Namun, aku juga sadar bahwa lelaki itu adalah orang yang selalu ada untuk melengkapi kekurangan dalam hidupku," ujar Chelsea dengan penuh perasaan.
Akina melangkah dengan mantap di lantai klasik ruang kelas. Pemuda itu mendekati jendela berlapis kaca, membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu rambutnya. Setelah itu, Akina menoleh sambil meletakkan kedua tangannya di kusen jendela.
"Silakan lanjutkan. Aku ingin memahami apa yang sedang kau pikirkan tadi," ucap Akina dengan penuh perhatian.
Chelsea mengangguk perlahan setelah mengumpulkan keberanian untuk berbicara lagi. "Alasan saya melamun adalah karena teringat akan masa lalu yang pahit, kehidupan yang seharusnya tidak saya alami. Orang lain bisa tersenyum bahagia, menjalani kehidupan remaja yang normal. Namun, saya hanya seorang yatim piatu yang tidak pernah merasakan kebahagiaan yang seharusnya."
Akina sedikit menundukkan kepala, melihat jarum jam di pergelangan tangan kirinya. Sementara itu, Chelsea masih tertunduk, dipenuhi oleh kegelisahan yang tak teratasi.
"Silakan lanjutkan ceritamu dan jangan kembali ke tempat duduk sebelum saya meminta," ucap Akina dengan tegas.
Chelsea mengangguk perlahan. "Baik, Sensei."
"Dalam sebuah kisah, seorang Kakak telah berjanji untuk melindungi adiknya. Namun karena penyakit yang dideritanya, sekarang yang tersisa hanyalah sebuah nama dalam kenangan yang tak pernah pudar. Dan alasan mengapa saya terkejut saat melihat Akina-sensei memasuki podium sekolah adalah karena wajahnya begitu mirip dengan Kakak Kyosuke yang telah lama tiada," lanjutnya.
"Baiklah, kamu bisa melanjutkannya nanti," kata Akina sambil meraih ke arah bangku. "Sekarang, kembalilah dan duduklah."
Saat Chelsea hendak melangkah, Akina dengan cepat meraih pergelangan tangannya. Chelsea menoleh pada pemuda yang berdiri di belakangnya.
"Sensei..." Suara lirih Chelsea hampir tak terdengar oleh siswa lainnya.
"Katakan padaku, apa penyakit yang diderita oleh Kakakmu?" tanya Akina, matanya menatap Chelsea dengan tajam.
Chelsea termenung sejenak. Matanya memperhatikan jemari Akina yang masih menggenggam erat pergelangannya.
"Kakak Kyosuke meninggal karena penyakit jantung yang dideritanya," jawab Chelsea dengan suara pelan.
Akina kemudian melepaskan genggaman tangannya, membiarkan Chelsea pergi kembali ke tempat duduknya. Sementara itu, dia terdiam di depan seluruh siswa yang menatapnya dengan penuh perhatian.
Sebentuk ingatan lama kian terbesit dalam benaknya, membuat Akina mengenang kembali masa silam yang tak kunjung sirna dari pandangan mata.
.::Flashback::.
Wilayah utara desa Kyotama terdiri dari semenanjung berbukit yang membentang ke samudra Atlantica. Salah satu daerah ini memiliki pantai yang indah dengan pasir putih, dikelilingi oleh perbukitan yang luas.
"Suatu hari nanti, kau akan menyadari bahwa kenangan indah yang kita bagikan bersama adalah hadiah terbaik tanpa bentuk," kata Megumi sambil memandang ke arah pantai dengan pasir putih yang mempesona dari atas bukit. "Teman saya pernah berkata bahwa keluarga adalah harta yang tak ternilai. Dan saya merasa kau juga seperti keluarga bagiku."
"Mengapa kau berpikir begitu, padahal aku bukan bagian dari keluargamu?"
"Kemurahan hatimu membuatku teringat pada seseorang. Dia adalah seorang lelaki yang selalu mendampingi adik perempuannya dengan penuh kasih dan dedikasi. Terkadang, saya merasa iri padanya karena dia selalu menyayangi dan melindungi adiknya dengan sepenuh hati," ujar Megumi sambil menghela nafas panjang. Gadis itu menundukkan kepala sejenak sebelum melihat ke arah pepohonan cemara dan sepasang burung yang berkicau di atas rantingnya. "Lelaki itu bernama Kyosuke Nakamura, temanku semasa SMA. Dia adalah pria yang baik."
"Lalu, apa hubungannya dengan diriku?"
"Tidak ada hubungannya," kata Megumi sambil menoleh, tersenyum manis pada pemuda yang berdiri di sampingnya. "Kau mungkin pendiam, tetapi hatimu penuh kasih. Bagiku, kau tidak berbeda jauh dengan Kyosuke."
Akina tersenyum spontan, sambil satu tangan bertumpu di belakang kepalanya, menggaruk rambutnya dengan lembut. "Astaga, kau selalu punya cara yang unik. Aku jadi malu."
"Aku hanya mengatakan apa yang kurasakan, dan berharap suatu hari kau akan mengerti betapa pentingnya kepedulian," ujar Megumi dengan tulus.
"Iya, Akina-san?" jawab Megumi sambil membalas ucapan Akina.
"Apa yang membuatku istimewa bagimu?" tanya Akina dengan rasa penasaran yang mendalam.
"Karena kau selalu peka terhadapku, mengisi setiap kekurangan dalam hidupku. Itulah mengapa hatiku tertaut padamu."
Binar mata Akina menghiasi senyuman indah yang melintasi bibirnya. Sambil perlahan, telapak tangan kanannya menyentuh lembut pipi Megumi yang berdiri di depannya. Pemuda itu terus memandang wajah cantik Megumi dengan penuh kasih.
"Megumi, kau adalah cinta pertamaku. Aku berharap dengan segenap hatiku agar kau selalu ada di setiap langkahku, mengisi kekosongan dalam hidupku, dan menjalin ikatan cinta hingga akhir hayatku. Aku sangat mencintaimu, Megumi," ucap Akina penuh dengan ketulusan.
Megumi dengan lembut menyentuh pergelangan tangan Akina, saling bertatap mata saat senja mulai turun.
"Kau akan selalu berada di dalam hatiku, Akina. Tetaplah setia menerima diriku apa adanya," ucap Megumi dengan penuh keyakinan.
.::Flashback::.
"Sensei? Apa kau sedang melamun?" Suara Chelsea tiba-tiba membuyarkan lamunan Akina. Pemuda itu memandang sekeliling ruang kelas, termasuk pada gadis remaja yang masih berdiri di hadapannya.
"Eh, aku... maaf, tidak. Maksudku..." Akina terbata-bata, seolah kebingungan untuk menjelaskan situasinya kepada siswanya.
"Sensei, sepertinya kau sedang mengingat sesuatu..." Chelsea menunjukkan rasa keingintahuannya.
Tanpa menjawab, Akina memilih untuk mengulurkan lengan kirinya ke arah deretan bangku di ruang kelas.
"Silakan kembali ke tempat dudukmu dan mari kita mulai pelajaran," ucapnya dengan tegas.
Saat Chelsea melangkah melewati barisan bangku sekolah, Kazumi, salah satu siswi, bangkit dari tempat duduknya.
"Akina-sensei, saya dengan ini mewakili seluruh murid memohon maaf atas kegaduhan yang terjadi di ruang kelas tadi," ucap Kazumi sambil membungkukkan tubuhnya. "Hormat saya, saya adalah Kazumi Himawa, Ketua kelas 2B."
Akina juga sedikit membungkukkan tubuhnya, tersenyum membalas salam hormat dari siswanya. "Terima kasih atas pengertiannya."
"Baiklah, anak-anak. Untuk memulai dengan baik, dalam menyambut kedatangan wali kelas baru, mari kita mulai pagi ini dengan ringkasan materi sastra bahasa Indonesia. Sekarang... buka buku kalian pada halaman 52," lanjutnya.
Saat jarum jam berputar di setiap ruang kelas, para siswa sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh wali kelas. Lonceng berbunyi, menandakan waktu untuk pulang telah tiba.
Di bawah rindangnya pohon cemara, seorang lelaki dalam jas hitam tengah termenung. Chelsea berusaha mendekati pemuda tersebut.
Akina, tanpa sadar akan kehadiran Chelsea, hanya bisa diam sambil merenungkan kepedihan yang menghantui hatinya. Selembar foto menunjukkan dekapan mesra antara dirinya dan Megumi, tersenyum manja di perbukitan Kyotama.
Akina menghela nafas panjang, matanya redup seiring ingatan lama yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Jarinya mengelus lembut gambar yang terpampang di depannya, seolah ingin kembali ke masa yang telah berlalu.
"Aku tak pernah menyangka bahwa kau akan pergi begitu cepat, Megumi. Mengapa harus ada pertemuan jika akhirnya hanya untuk menghadapi perpisahan yang menyakitkan," gumam Akina lirih, tanpa disadari oleh Chelsea yang berdiri di belakangnya.
"Anoo... Sensei...." ucap Chelsea sambil mengusap perutnya dengan lembut.
Akina terkejut. Dengan cepat, ia menyelipkan selembar foto bersama kekasihnya ke dalam saku kemejanya. Dahinya berkerut saat ia menatap Chelsea yang tiba-tiba mengagetkannya.
"Tidak sopan mengejutkan orang dari belakang. Ada apa kau mencariku, hah?!" geram Akina, suaranya meninggi karena emosinya hampir tak terkendali.
Chelsea tersentak, matanya sedikit berkaca-kaca saat hendak berbicara. "Anoo... saya ingin berbicara dengan Akina-sensei...."
Akina mengelus dadanya, lalu mempersilahkan Chelsea untuk duduk di sampingnya. Namun, suasana hening. Tak ada kata yang terucap dari bibir gadis tersebut. Akhirnya, pemuda itu bersandar pada kursi taman tempatnya berada.
"Ayo, katakan. Apa yang ingin kau sampaikan padaku?" tanya Akina dengan suara datar.
Chelsea hanya bisa menundukkan kepala tanpa berani menatap wajah tampan Akina. Jemarinya sedikit gemetar di atas pahanya.
"Apakah Sensei mengenal Kyosuke Nakamura?" tanya Chelsea.
Akina menoleh. "Kenapa kau bertanya tentang itu?"
"Anoo..." Chelsea sempat bertatap mata dengan Akina sebelum kembali menundukkan kepala. "Kakak Kyosuke mengatakan bahwa Anda adalah teman satu jurusan saat menjadi mahasiswa di Mizukage Shinwa Academy."
"Usahakan saat bicara, tataplah wajah orangnya, jangan menundukkan kepala seperti tersangka yang diinterogasi oleh polisi," tambah Akina dengan suara datar, menciptakan suasana canggung di antara mereka.
Chelsea hanya bisa mengangguk pelan setelah menelan ludah. Rasa takut mulai menghampirinya, merasa bahwa Akina adalah sosok yang menakutkan yang bisa menghukumnya kapan saja.
Jemari kecil Chelsea meraih selembar foto yang tersimpan di saku seragamnya, lalu ia memberikannya pada Akina yang duduk di sebelahnya.
Akina mengerutkan kening saat melihat foto tersebut, memperhatikan dirinya, Kyosuke, dan Megumi berpose di depan gedung sekolah.
"Ya, ini aku, Kyosuke, dan Megumi," kata Akina sambil menatap Chelsea. "Dari mana kau mendapat foto ini?"
"Dari lemari Kakak Kyosuke," ucap Chelsea sambil menyodorkan selembar kertas putih yang terlipat rapi kepada Akina. "Ini adalah surat yang pernah beliau titipkan padaku. Katanya, aku harus memberikan surat ini pada Sensei."