Kepada Yth, Yoshihiro Akina.
Setelah membaca isi surat ini, saya berharap Anda dapat memahami bahwa saya telah menaruh harapan besar pada Anda.
Yoshihiro Akina, dengan ini saya meminta agar Anda dapat mengabulkan permintaan saya untuk yang terakhir kalinya. Saya mohon agar Anda bersedia menggantikan peran saya sebagai seorang Kakak untuk Chelsea Matsuda.
Saya tahu bahwa semua ini akan terasa berat bagi Anda. Namun saya percaya bahwa Anda mampu membantu saya dalam melindungi seseorang yang sangat berharga dalam hidup saya.
Akina-san, Anda pernah mengatakan bahwa langit tanpa mega tidak akan pernah sempurna, sama halnya dengan diri Anda tanpa Megumi yang tidak akan pernah bahagia. Namun kini ia telah tiada, terkubur menjadi satu dengan kenangan indah yang pernah Anda dan dia lalui bersama.
Akina-san, dalam pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Namun sebagai manusia, saya tidak dapat mengubah takdir yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, saya ingin Anda menjaga Chelsea hingga ia lulus sekolah nanti.
Terima kasih.
Salam hangat, Kyosuke Nakamura.
*****
Akina terdiam tanpa suara, menatap hampa selembaran kertas putih yang masih melekat pada tangannya. Semilir angin berhembus kencang dari balik hamparan udara, menyibak poni yang menutupi bagian sisi dahinya.
Langit biru berselimut awan putih di siang hari, memberikan keteduhan alami dari kilau panas bola api mentari.
"Tidak pernah terlintas dalam benakku bahwa Kyosuke yang kau maksud adalah sahabatku," ujar Akina sambil menyandarkan punggung pada pembatas kursi yang terbuat dari bahan besi. Pandangannya terpaku ke keindahan langit biru yang terselimuti awan putih. "Bahkan aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya semenjak kami lulus SMA."
Berada di kursi taman yang sama, seorang gadis cantik dengan rambut hitam terkulai hanya dapat menundukkan kepala. Matanya menatap tangan yang ditopang di atas pahanya. Seragam putih dengan corak biru di kerahnya, dan dasi kupu merah yang mendominasi lehernya.
Meskipun ada larangan merokok di lingkungan sekolah, Akina terlihat menjepit sebatang rokok di sela bibirnya. Ia menyalakan korek yang ditutupi dengan tangan kirinya. Sambil terus menghisap rokok, ia menghembuskan asap putih yang mulai bertebaran di udara. Pemuda itu merasa kegelisahan yang mulai menghantuinya, tidak yakin apakah ia dapat menikmati rokok tersebut atau tidak.
Dengan mata hanzelnya, Akina mengamati sosok gadis yang masih duduk di sebelahnya. Hingga akhirnya, dengan keberanian yang tersisa, pemuda itu memutuskan untuk berbicara.
"Matsuda, apa pekerjaan orang tua mu?"
Gadis itu menoleh, kemudian menatap kembali sepasang tangan yang masih berpangku di atas pahanya. "Mereka adalah petani, Sensei. Namun, kini mereka telah tiada..."
"Maksudmu... mereka bekerja di luar kota?"
Gadis itu terdiam tanpa suara, meskipun pertanyaan Akina terdengar jelas mengusik indra pendengarannya. Gadis itu hanya dapat menundukkan kepala sambil menggigit bibir bagian bawah, mengingat kembali masa lalu yang tak kunjung lepas dari pandangan matanya.
"Ayah dan Ibu telah lama tiada sejak insiden kecelakaan yang menimpa mereka," Tetesan air mata jatuh membasahi pahanya, serta kedua telapak tangan yang masih berpangku di atasnya. "Sejak saat itu, Kakak Kyosuke berupaya untuk melepaskan statusnya sebagai pelajar demi mencari nafkah guna menghidupi adiknya."
"Matsuda, aku mengerti perasaanmu. Dalam pertemuan, pasti akan ada perpisahan. Namun, hadiah terindah tanpa bentuk adalah kenangan indah yang takkan pernah pudar sepanjang masa," ujar pemuda itu sambil meraih lengan gadis tersebut hingga bersentuhan dengan bahunya. Telapak tangannya lembut menyentuh bahu Chelsea dan mengelusnya. "Kau harus kuat menghadapi pahitnya kehidupan di dunia."
Gadis itu menoleh, air mata mengalir membanjiri paras ayunya. "Mengapa Tuhan memberikan cobaan yang begitu berat padaku, Sensei... mengapa...."
"Karena Tuhan memiliki rencana terbaik untuk hamba-Nya," kata Akina sambil jemarinya menyentuh lembut kulit pipi gadis itu. "Matsuda, di luar sana masih banyak orang yang mengalami penderitaan yang lebih besar. Dan aku adalah salah satunya."
"Meskipun kita tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari, jangan pernah berhenti mencari keindahan dalam hidup ini, karena aku akan selalu ada di sampingmu, Chelsea," lanjutnya.
"Sensei..." Cahaya redup di matanya mencerminkan kebahagiaan, menunjukkan perasaan yang dalam, meski Chelsea tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata.
"Dalam surat itu disebutkan bahwa Kyosuke telah menitipkanmu padaku. Aku akan menggantikan perannya sebagai seorang Kakak yang selalu ada untuk menjaga adiknya, membangun keluarga untuk masa depan yang cerah," ucap pemuda itu sambil mengusap sisa air mata yang menghiasi pipi Chelsea dengan lembut.
"Aku berjanji akan selalu menjagamu sepanjang hidupku," lanjut Akina. Chelsea masih terisak, meratapi kesedihan yang menghimpit hatinya. Pemuda di depannya segera meraih punggung gadis itu untuk memberikan pelukan yang hangat.
"Aku kehilangan segalanya dan merasa kehilangan arah," ujar Chelsea sambil mengeratkan giginya, kepala masih bersandar pada dada Akina. "Ayah dan Ibu telah tiada, yang tersisa hanya Kakak Kyosuke. Mengapa Tuhan merenggutnya dariku, Sensei. Hatiku terluka, Sensei... sangat sakit...."
Tatapan sayu Akina mencerminkan kepiluan yang terasa, sementara kedua matanya mulai berkaca-kaca, seiring dengan tangisan gadis yang menggetarkan hatinya. Hampir meneteskan air mata, Akina memilih untuk mengalihkan pandangannya ke langit biru yang terselimuti awan.
"Rasa sakit itu hanya ada dalam pikiranmu, Chelsea. Selama kau memandang semua yang telah terjadi sebagai sebatas mimpi, maka kau tidak akan terus merasakannya," kata Akina sambil mengelus punggung gadis di depannya dengan lembut. "Selama aku di sini, kau tidak akan merasa sendiri lagi, Chelsea. Kau tidak akan merasakan kesedihan yang menusuk hati, karena aku akan melindungimu selamanya. Aku akan menyayangimu dengan tulus, meski kau bukan adikku."
"Butiran air mata tak terbendung tumpah dan membasahi pipinya, saat suara Akina menggema di telinganya. Gadis cantik dan polos itu tak mampu berkata apa, hanya bisa bersandar pada sosok lelaki yang memeluknya dengan penuh kasih sayang.
"Sensei... hiks! Huu... hiks!" Chelsea mengeratkan gigi, sementara air matanya tak henti menetes membasahi pipinya.
"Sudah... chup," kata pemuda itu sambil mengelus punggung gadis tersebut. "Sudahlah... sudah, jangan menangis lagi, sayang. Kakak akan selalu di sini untuk menjagamu, karena kau adalah tanggung jawabku."
Chelsea mengangguk pelan pada dada Akina, membiarkan dekapannya meresap ke seluruh tubuhnya, sementara ia masih terpaku dalam kesedihannya saat itu. Kelopak matanya perlahan mulai terpejam, dan cahaya di matanya semakin redup.
Pelukan hangat Akina seolah membiusnya, membuat Chelsea semakin mengantuk hingga akhirnya tertidur dalam dekapannya. Meski demikian, Akina hanya tersenyum sambil mengelus punggung gadis itu dengan lembut.
Pemuda itu terdiam dalam lamunannya, membiarkan kisah lama yang tak pernah lekang dari ingatannya.
Di sebuah ruang kelas di lantai dua gedung sekolah, seorang wanita muda memperhatikannya. Wanita itu bernama Arumi Hamasaki, seorang guru yang mengajar sejarah dan biologi. Beberapa helai rambutnya tersibak oleh angin, dan sinar matahari menyilaukan wajahnya saat ia bersandar di tepi jendela.
Arumi masih mengenakan jas putih dengan tangan terlipat di depan dadanya. Pandangannya yang sebelumnya tertuju pada keramaian di halaman sekolah, kini terfokus pada sepasang individu yang berbagi kehangatan di bawah pohon cemara.
"Apa yang sebenarnya mereka lakukan di halaman sekolah... mengapa Akina-sensei menyandarkan kepala Chelsea pada dadanya, sementara ia terlihat tengah merenung," gumam Arumi pelan, mengamati perlahan gerakan tangan Akina yang mengelus punggung siswanya. Pemuda itu, sementara itu, menatap langit yang indah yang terselimuti awan.
"Yoshihiro Akina pernah mengalami trauma karena kehilangan seseorang yang sangat dicintainya. Namun, Chelsea bukanlah keluarga Akina-sensei. Bahkan, aku yang telah lama mengenal pria itu, belum pernah merasakan kehangatan pelukan seperti itu," lanjutnya.