Cahaya mentari berhasil menembus kerindangan pohon cemara, menampilkan kilau terangnya yang mampu menerpa wajah. Sementara sosok gadis tersebut perlahan membuka sepasang mata, menyadari dirinya telah tertidur pulas dalam dekapan hangat Akina.
Mendapati adanya dekapan hangat yang masih melekat pada tubuhnya, membuat Chelsea berinisiatif untuk mendongak. Akina pun perlahan menundukkan kepala hingga pandangan mereka saling bertemu pada jarak dekat.
Sorot mata Chelsea menggambarkan kerinduannya pada sosok pemuda yang telah lama pergi meninggalkannya. Tanpa sadar, gadis itu meraba permukaan kulit pipi Akina, mengira bahwa pemuda tersebut adalah Kyosuke Nakamura.
"Kakak..." Gadis itu mengucapkan dengan getaran lembut pada bibirnya, sambil menampilkan ekspresi mata yang penuh kerinduan pada keluarganya. Pemuda itu memperhatikan dengan seksama, merasakan bahwa kepergian Kyosuke telah meninggalkan luka batin yang mendalam bagi adiknya. Dengan lembut, pemuda tersebut mengguncangkan bahu Chelsea.
"Matsuda, sadarlah! Aku bukanlah kakakmu, tapi wali kelasmu."
Chelsea terperanjat setelah mendengar suara Akina yang berhasil membuyarkan lamunannya. "Sensei?"
Pemuda itu bangkit dari kursi tempatnya duduk dengan keraguan. Sementara Chelsea, dengan tatapan hampa, hanya bisa tertunduk lesu, tangan masih terpangku di atas pahanya.
Akina menatap jam di pergelangan tangan, lengan kirinya terbalut kain hitam.
"Waktu bel sekolah akan segera tiba. Jangan terlalu larut dalam lamunan di kelas," ucap Akina, matanya beralih pada Chelsea yang masih termenung di kursinya. "Oh ya, sore nanti aku akan mengantarmu pulang. Pastikan barang-barangmu sudah siap, dan mulai sekarang, kau akan tinggal bersamaku."
"Tidak mau..." desah Chelsea. Gadis itu menundukkan kepala, matanya terpaku pada kepalan tangan yang terletak di atas pahanya. "Kau bukan Kakak Kyosuke, aku tak ingin pergi bersamamu, Akina-sensei."
Kepala Akina reflek menoleh ke arah sumber suara. Aura dingin melingkupinya secara tiba-tiba kala ia menampilkan sedikit kerutan di bagian dahi.
Kepala Akina dengan cepat berbalik ke arah suara yang tiba-tiba muncul. Aura dingin menyelimutinya saat ia menunjukkan kerutan kecil di dahinya.
"Jika Kyosuke tidak menitipkanmu padaku melalui surat itu, mungkin aku tak akan pernah peduli denganmu!" Pemuda itu tiba-tiba mengayunkan lengan kirinya ke udara, memancarkan amarah yang membara di dalam hatinya. "Kau seharusnya bersyukur masih ada yang peduli denganmu! Jangan bertingkah seperti binatang tanpa akal!!"
Chelsea hanya bisa menundukkan kepala sambil menyilangkan tangan di depan dadanya. Tetes-tetes air mata jatuh membasahi pahanya.
"Mengapa kau tak bisa memahami rinduku yang tak pernah padam pada Kakak setiap saat. Mengapa kau kejam padaku, saat aku sendirilah yang harus bertahan demi hidupku," ucapnya sambil menutupi wajah dengan jemarinya yang basah oleh air mata. "Jika Kyosuke masih ada, aku ingin menangis di pelukannya. Namun sekarang, aku tak punya tempat untuk meluapkan kesedihan ini..."
Akina menghela nafas panjang, matanya berkedip. "Chelsea, aku minta maaf."
Pemuda itu mencoba mengulurkan tangannya ke udara untuk menyentuh pundak gadis di depannya. Namun, sentuhan itu langsung ditolak oleh Chelsea yang masih dipenuhi amarah, disertai isak tangis yang menghiasi wajahnya.
"Jangan sentuh aku!" teriak gadis itu keras pada Akina, menarik perhatian beberapa siswa yang melintas di sekitarnya.
"Chelsea, aku harap kau bisa memahami," ucap Akina dengan pandangan yang penuh intensitas saat menatap gadis di hadapannya. "Aku tahu betapa besar cintamu padanya. Aku mengerti bahwa bagimu, Kyosuke adalah segalanya. Namun, sekuat apapun ikatan yang kalian miliki... orang yang tidak ditakdirkan untuk bersamamu akan pergi pada waktunya...."
Sebuah ingatan lama muncul dalam pikirannya, memaksa Akina untuk mengulang kisah lama yang mampu membuat air mata menetes di hadapan siswanya.
.::Flashback::.
Sinar mentari menyinari kamar dengan lembut melalui jendela berlapis kaca, menerangi seorang gadis dengan rambut hitam yang lemah terbaring di ranjangnya. Matanya menjelajah ke segala arah, mencerminkan cahaya matahari saat ia menatap langit-langit kamar.
Seorang pria dengan jas hitam melihat dengan sedih kecantikan Megumi yang lemah di ranjangnya. Pria itu adalah Yoshihiro Akina.
Megumi menoleh pada Akina, tersenyum hangat saat keduanya bertatap mata. "Apakah Akina yang dulu akan melupakan aku, dan berpikir bahwa kita tidak akan bertemu lagi?"
Akina terkejut. Ekspresi matanya redup sejenak. "Megumi, mengapa kau berpikir begitu padaku?"
"Tidak apa-apa," Senyum Megumi penuh kesedihan, matanya menatap penuh rasa pada pemuda di hadapannya. "Aku merasa bahwa kau akan menemukan seseorang yang lebih berharga."
Pemuda itu bertanya ragu, "Mengapa kau berkata seperti itu?"
Megumi perlahan mengangkat lengan ke udara, menyentuh pipi Akina dengan lembut. "Karena semuanya telah berakhir. Dan kau harus menerimanya dengan ikhlas, Akina."
Akina menatap hampa, air mata mengalir di pipinya. "Mengapa kau selalu berpikir bahwa semuanya baik-baik saja... kau mencoba untuk menyembunyikan segalanya, sementara kau harus menahan penderitaan penyakit yang mengancam nyawamu...."
"Akina-san, seorang lelaki seharusnya tidak menangis. Mengapa kau melakukannya?" tanya Megumi.
"Karena aku sangat mencintaimu. Itulah mengapa aku takut kehilanganmu," bibir Akina bergetar, air mata terus mengalir membasahi wajah Megumi. "Kau adalah cinta pertamaku, orang yang begitu berharga bagiku. Kau selalu memahami segala kekuranganku."
"Aku menghargai ketulusan hatimu. Namun, jika takdir memisahkan kita, aku harap kau bisa menerimanya dengan lapang dada," ujar Megumi.
Akina menggeleng perlahan. "Aku tidak ingin terpisah dari Megumi... Aku tidak ingin kehilanganmu. Aku sangat mencintaimu...."
Megumi tersenyum hangat pada Akina, matanya terpejam. "Aku juga mencintaimu, Akina."
Tiba-tiba, tangan Megumi melemas dan jatuh ke kasur. Akina terkejut saat menyadari bahwa kekasihnya telah menghembuskan nafas terakhirnya.
"Megumi... Megumi!" seru Akina terkejut. Ia mengguncang bahu Megumi. "Megumi, bangun! Tolong buka matamu. Megumi...."
*****
"Sensei..." Suara itu seketika membuyarkan lamunan Akina.
Akina menghela nafas. Binar matanya dipenuhi dengan genangan air mata yang memudarkan pandangannya.
"Inilah bagian dari sejarah hidup yang tak pernah lekang dari kenangan," ucap Akina sambil menghapus sisa air mata dengan punggung tangannya. "Meskipun hatiku pilu, aku harus tetap tegar menghadapinya."
"Bukankah Sensei pernah mengatakan bahwa setiap pertemuan akan diakhiri dengan perpisahan?" tanya Chelsea.
Akina kembali menghela nafas. "Bukan pertemuan yang aku sesali, Chelsea. Tapi perpisahan yang meninggalkan luka. Bagiku, Megumi adalah orang pertama yang mengajari banyak hal dalam hidupku. Dan dia juga orang terakhir yang meninggalkan luka dalam lubuk hatiku," ungkap Akina.
Gadis itu melangkah mendekati Akina yang tegak berdiri di hadapannya. Saat keduanya bertatap mata, terpancarlah aura kesedihan yang mengisi lubuk hati mereka. Tanpa kata, gadis itu merangkul erat tubuh Akina dan bersandar pada dadanya.
Air mata mereka mengalir, melambangkan kepergian seseorang yang amat berharga dalam hidup mereka. Pemuda itu tak sanggup menahan kesedihan yang melanda dadanya. Bersamaan dengan Chelsea yang juga menumpahkan kesedihannya.
"Sekarang aku mengerti, mengapa Kakak Kyosuke meminta aku untuk menemui Akina-sensei. Beliau yakin bahwa Sensei adalah sosok yang setia dan tulus untuk menyayangi orang yang dicintainya."
Pemuda itu tersentuh. Air mata mengalir di pipinya saat ia menopangkan dagu pada kepala gadis itu.
"Kyosuke dan Megumi telah pergi... yang tersisa hanyalah kenangan indah di antara kita."
"Kakak tidak akan sendirian lagi, karena aku akan selalu ada di sini," ujar Chelsea sambil mengangkat wajahnya, membiarkan Akina melihat ekspresi wajahnya.
"Kau memanggilku apa?" lirih Akina.
"Kakak Akina..." lirih Chelsea.
Akina meraih punggung gadis itu dan berkata, "Iya, sayang... mulai sekarang kau adalah adikku. Lupakan masa lalumu, ya? Jangan menangis lagi, sayang. Kakak akan selalu menjagamu."
Suara itu menusuk hati, membawa Chelsea ke arah hidup baru yang belum pernah ia alami sebelumnya.
Gadis itu menahan isak tangisnya, air mata mengalir di pipinya. Sementara Akina, dengan tenangnya, mengelus rambut Chelsea.
Langkah kaki seorang wanita muda terdengar mendekat. Akina menoleh dan melihat wanita itu tersenyum padanya.
"Arumi-sensei," sapa Akina terkejut.
"Aku harap kau bisa menjaganya, Sensei," ucap wanita itu.
"Tentu," jawab Akina sambil mengangguk setuju.