Lembayung senja melukis warna jingga di langit, menciptakan pemandangan yang mempesona di atas permukaan udara yang tenang.
Sepasang gadis remaja melangkah dengan langkah ringan melewati gerbang sekolah, senyum indah terpancar di wajah mereka. Sinar senja menyinari mereka dan puluhan siswa lain yang sibuk mengayuh sepeda di depan mereka.
Kazumi terhenti sejenak saat ia merapikan rambutnya yang dikuncir ekor kuda. Angin sore menyibak poni di dahinya, memberikan sentuhan segar yang menyegarkan.
"Chelsea, aku mendengar rumor bahwa tadi siang kau menangis di pelukan Akina-sensei. Apakah benar?" tanya Kazumi dengan tatapan penuh kepedulian, sambil menggenggam erat tali tas hitam di pundaknya.
Chelsea mengangguk pelan, menatap Kazumi dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan keheningan.
"Sudah kuduga. Kalian berdua pasti memiliki hubungan yang istimewa. Benarkah?" tanya Kazumi dengan rasa ingin tahu yang kental.
"Ehm... he'em," Chelsea mengangguk, mencoba menjawab dengan hati-hati.
"Kamu pasti memiliki cerita yang menarik. Aku penasaran," ujar Kazumi dengan senyuman misterius.
Chelsea terkejut dan spontan melambaikan tangannya di depan dada. "Anoo, aku tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta kepada Akina-sensei."
"Ah, masa..." Kazumi menunjukkan rasa penasaran yang mendalam.
Chelsea berhenti sejenak ketika suara itu mengusik kedua telinganya. Matanya teralihkan pada cakrawala yang mempesona, membiarkan keindahan senja meresap ke dalam dirinya. Cahaya mentari turun perlahan, mewarnai pegunungan Mizuka dan bangunan-bangunan di kejauhan.
"Bagi saya, Akina-sensei adalah sosok yang sangat berarti. Seperti jantung yang mengalirkan darah, seperti matahari yang memberikan harapan. Dia telah membawa cahaya dalam setiap langkah kami menuju impian," ujar Chelsea dengan suara lembut, matanya yang redup mencerminkan luka-luka yang tersembunyi dalam hatinya.
"Chelsea, kau..." Kazumi terdiam, tangannya menyentuh lembut pundak Chelsea.
Tatapan sayu Chelsea masih terpaku pada lembayung senja yang memainkan warna di langit. Sambil meraih tali hitam tasnya di depan dada, ia berkata dengan suara penuh emosi, "Saat aku terjatuh, tak seorang pun peduli... Tak seorang pun menolongku. Namun, uluran tangan Akina-sensei membawa cahaya baru dalam hidupku. Dia adalah sandaran yang selama ini aku cari."
"Chelsea, aku hanya berharap Akina-sensei memahamimu sepenuhnya. Maaf..." ucap Kazumi, menyesal atas kata-katanya.
Chelsea mengangguk, lalu tersenyum hangat. "Terima kasih, Kazumi."
"Tidak apa-apa. Aku memang terlalu cerewet," ujar Kazumi sambil tersenyum.
Sementara itu, mobil sedan hitam Mercedes-Benz melaju perlahan di jalan yang sepi. Asap tipis keluar dari jendela, sementara tangannya yang memegang kemudi mendekatkan sebatang rokok ke bibirnya.
Pemuda tampan di balik kemudi, Yoshihiro Akina, menikmati rokoknya sambil menatap lurus ke depan. Matanya yang tajam mencerminkan fokus dan tekad yang kuat.
Mobil melintas di antara pepohonan rimbun di sisi jalan, menciptakan suasana yang tenang dan damai.
Akina, dengan pikiran yang kacau, mencoba mencari cara untuk membujuk Kakaknya, Haruka, tentang Chelsea. Dia mengetuk-ngetuk kemudi pelan, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk menyampaikan maksudnya.
Di rumah mereka yang mewah, Akina memasuki ruang tamu di perumahan elite tersebut. Haruka, wanita muda dengan longdress merah, menyambutnya dengan senyum ramah. Akina duduk di sofa, matanya tertuju pada vas bunga yang indah di meja.
"Kakak, jika ada orang baru di rumah kita, apakah kau dapat menerimanya?" tanya Akina, mencoba memulai percakapan.
"Siapa yang kau maksud?" tanya Haruka dengan rasa ingin tahu yang tulus.
Akina terdiam sejenak, berusaha mengungkapkan perasaannya dengan hati-hati. "Chelsea Matsuda, seorang siswi yang kehilangan keluarganya. Aku ingin membantunya dan menjadikannya bagian dari keluarga kita."
Haruka menanggapi dengan bijak, "Akina-san, aku mengerti niat baikmu. Namun, kita harus memahami lebih dalam tentang dirinya sebelum membuat keputusan."
Akina bangkit, tangan terkepal di paha. "Kakak, aku ingin Chelsea merasa seperti memiliki keluarga. Aku ingin kita membantunya."
Namun, Haruka tetap tegar, "Kita harus berhati-hati dalam mengambil keputusan."
Akina mencoba meyakinkan Kakaknya, "Kakak, aku ingin Chelsea merasa diterima dan dicintai. Aku percaya kita dapat memberinya tempat yang layak."
Namun, Haruka tetap bersikukuh, membuat Akina merasa frustrasi. Dengan perasaan campur aduk, Akina meninggalkan ruangan dengan hati yang berat, meninggalkan Haruka yang masih tegar dengan keputusannya.
"Akina," suara Haruka memanggil nama adiknya dengan getar emosi di dalamnya. Akina menoleh dengan wajah yang penuh kemarahan, serta mengacungkan telunjuk tajamnya kepada Haruka. "Aku akan membawa Chelsea, apapun yang terjadi."
"Akina-san! Aku ini Kakakmu, keluargamu!!" geram Haruka dengan suara gemetar.
"Persetan dengan ucapanmu, aku tidak peduli!" Akina mengibaskan satu lengannya ke hamparan udara dengan penuh kemarahan yang meluap.
Haruka melangkah mendekati adiknya, hingga suatu tamparan keras mendarat pada pipi Akina.
*PLAACK!
"Kenapa kau lebih memilih gadis itu daripada Kakak, Akina?" desak Haruka dengan suara penuh kesedihan.
"Karena kau egois! Karena aku membencimu, Haruka!!" Akina meluapkan emosinya dengan kata-kata yang menusuk hati.
Haruka tersentak setelah mendengar ucapan yang tajam dari Akina. Wanita muda itu tak mampu lagi untuk berkata-kata, hanya butiran airmata yang terus menetes membasahi pipinya.
Akina menghela nafas dalam-dalam, bibirnya sedikit terbuka, dan suaranya tercekat di tenggorokannya. Meski pemuda itu telah menyesali semua perkataannya, semua yang telah terjadi tak akan dapat diulang kembali.
Tentu, berikut ini adalah adegan yang diperbarui dengan detail yang lebih mendalam:
"Kakak Haruka, aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu, tapi—" Belum sempat Akina melanjutkan ucapannya, Haruka tiba-tiba berteriak dengan penuh emosi, mengusir adiknya dengan tegas, "Pergi!!"
Akina tersentak oleh reaksi keras Kakaknya. Dengan hati yang berat, pemuda itu berbalik arah dan beranjak pergi meninggalkan ruang tamu yang sebelumnya dipenuhi ketegangan.
Di perjalanan pulang, Akina menepuk kemudi mobilnya dengan keras, mencerminkan kemarahannya yang meluap. Setiap pukulan kecil pada kemudi menjadi pelampiasan dari kekecewaan dan frustrasi yang dirasakannya. Rambutnya tersisir ke belakang oleh angin yang masuk melalui jendela mobil, sementara pikirannya dipenuhi oleh ingatan akan pertemuan yang penuh konflik dengan Kakaknya.
Dalam keheningan mobil yang hanya diisi oleh suara mesin dan langkah-langkah keputusasaan, Akina merenungkan setiap kata dan tindakan yang telah terjadi, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang rumit dan penuh emosi. Dalam kegelapan malam yang menyelimuti perjalanan pulangnya, pemuda itu merenungkan tentang hubungan yang kini terasa retak dan penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.