Dentingan waktu mulai melintas, membuat pararel, diam tanpa bicara, melihat luka yang tak kunjung sembuh.
Mobil bis melintas melewati diriku, aku termenung tanpa mengkhayal, nafas nan panjang, kaki ku selonjorkan.
Aku lihat dari arah kejauhan debu kering berterbangan, sampah yang sembarang orang buang mulai menepi di pinggir jalan.
Pohon berganti pagar rumah, selokan yang tersumbat, ruko-ruko berjejeran, atau pun grobak kosong para pedagang.
siang nampak panas, rasa sakit dikulit yang merasakan panas berlebih, aku beranjak dari halte itu, berjalan tak menentu tanpa tujuan, bel berbunyi dari seberang sana, itu pernah menjadi tempat ku menentut ilmu, berseragam putih abu-abu, mendapatkan cinta yang membuatku bahagia, kala itu dunia tak ada isinya di mata ku, selain dia yang menenuhi setiap ruang dunia ini, wajah putih bersih tanpa riasan, bibir munggil nan lembut berwarana merah jambu, wajah itu munggil sama seperti tinggi badannya, 157cm dia hanya sebatas bahu ku, aku selalu saja mengusilinya, mengolok-oloknya, dia yang tak dapat meraih hanya bisa melompat-lompat untuk mendapatkannya, aku tertawa bahagia di atas penderitaannya itu.
Kalau saja bukan karenanya, aku hanyalah manusia penuh kejenuhan.
sekali lagi aku tarik nafas dalam sekali, suara orang memanggilku berganti dengan suara angin, Saat kamu terjatuh aku secepatnya membantumu untuk berdiri, lalu aku mengkhawatirkanmu, memapahmu sampai ke kelinik, luka tak seberapa itu membuatku cemas sekali.
Sekali lagi, bayangan orang mulai menghilang disetiap kedipan dimata ku, namun aku masih saja bahagia dengan hadirinya dirimu di disiku, menemani malam tanpa bintang, berpadu kasih disana.
Sekali lagi langkah mereka terhapus oleh air hujan, kita membuat kenangan disini, kota pesisir, tempat aku menemukanmu, menarikmu menjadi seutuhnya wanita ku, mebelai mu, perempuan ku.
Sekali lagi, harumnya parfum mulai menghilang dihembuskan angin pagi, aku masih saja mencium lembut bibirmu, selembut dirimu, aku akan berakhir membahagiakanmu, aku belai dirimu, sembari berbisik kata yang ingin ku keluarkan didalam hati.
Dan sekali lagi, mata itu berbinar memandang diriku, yang tengah jatuh cinta kepadanya, aku menariknya ke sisiku, memeluk dengan lembut, kerena kamu lembut maka aku perlakukan dengan kelembutan juga, aku suka dirimu.
Bisakah warna-warna disana kembali lagi kepadaku?
Bisakah, harumnya wewangian itu kembali kepada ku?
Bisakah, Gerak gerik itu kulihat lagi?
Bisakah dirimu tersenyum lagi disini bersama ku?
Menemani aku sampai akhir, sampai aku menua, menghembuskan nafas kita bersama, sambil kita berpengangan tangan.
Violet, bunga yang indah yang aku dapatkan dari SMA, Aku ambil dirinya, aku taruh dia di vas bunga dengan tanah terbaik yang aku dapatkan, aku rawat dirinya, aku selalu bahagia melihatnya mulai tumbuh subur, bunga itu mulai mekar, dia mulai menampakkan diri di hadapanku.
Aku taruh dirinya di bawah sinar matahari, aku siram setiap pagi dan petang.
Dari dirinya munculah tunas baru, ada dua anakan yang muncul, aku memberi nama violet dua dan violet tiga, sama cantiknya seperti ibunya.
Kebahagian ku bertambah, aku merawat tiga violet dirumah ini, aku berikan yang terbaik untuk mereka, sampai pada akhirnya satu diantara tiga mulai layu, aku sempat berupaya memulihkannya, namun tampaknya tak bisa, apa yang ku lakukan tak bisa berbuat banyak, sekarang tinggal dua violet yang masih kecil bersamaku, dua violet saja...