"Hah ..."
Bel istirahat sekolah baru saja berbunyi. Membuat para penghuni sekolah girang bergembira. Apalagi kelas Lucas, dia baru saja mengalami pelajaran neraka. Ulangan matematika dadakan. Wajah lesu satu kelas berganti wajah riang menyambut waktu yang mereka tunggu-tunggu. Jam istirahat.
"Lucas."
Lucas menoleh ke samping asal suara. Itu Alya, dengan jaket hoodie biru bertelinga kucing yang dibuka resletingnya setengah. Menambah kesan manis gadis manis satu ini. Apalagi ditambah senyuman manisnya itu. Membuat Lucas tertegun.
Dia baru ingat Alya sekelas dengannya. Selama tiga tahun sekolah menengah atas, dia tidak pernah membuka mulut dikelas pada siapapun. Kecuali untuk menjawab pertanyaan atau meminta sesuatu. Sisanya, Lucas selalu menyendiri tanpa peduli dengan siapapun di sekolah. Terlebih karena ada rumor tak mengenakan pada Lucas. Karena itu tidak ada yang mau dekat-dekat dengannya.
"Oh, gadis kucing oren itu. Ada apa?" Lucas berusaha menimpali senormal mungkin. Dia benar-benar jarang berkomunikasi. Sibuk bermain gadget dan menulis.
"Kamu lupa namaku?" tanya Alya sembari menggembungkan pipi. Lucas tersenyum canggung.
"Eee ... Kayla?"
Alya menggeleng. Wajahnya semakin cemberut.
"Eee ... Velya?"
Alya sekali menggeleng. Bukan itu! Demikian matanya berkata.
"Aduh ... Sheila?"
Kali ini Alya menepuk dahi pelan. Padahal baru lewat tujuh belas jam dari terakhir mereka saling mengenalkan diri. Lelaki satu ini sudah lupa saja.
"A-L-Y-A. Alya. Namaku Alya, Lucas Khun. Bagaimana kamu bisa lupa?" Alya bertanya kecewa. Walaupun dia hanya berniat bercanda. Namun, lihat. Hal itu mampu membuat lelaki pemalu di depannya merasa bersalah.
"Maaf, aku tidak pandai mengingat nama orang." Lucas tampak sangat bersalah. Benar-benar merasa bersalah. Alya jadi merasa tak enak melihatnya.
"Eh, ya. Bukan begitu. Kupikir tadi hanya bercanda." Alya menatap wajah pemuda remaja di depannya. Oh tidak! Mata Lucas berkaca-kaca. Membuat Alya bertambah merasa bersalah.
"Kau menangis Lucas?"
Dijawab anggukan kecil olehnya. Alya menggigit bibir. Walau merasa heran, hati yang dimiliki pemuda satu ini berbeda dari yang lain. Terlalu lembut.
"Aku tidak bermaksud menyakiti perasaan mu. Maaf ..."
Lucas menggeleng.
"Aku tidak apa-apa. Aku tidak sakit hati karena ucapanmu."
Melebar mata Alya. Eh, lalu mengapa dia menangis?
"Eh, lalu mengapa kamu menangis?" Alya merasa dongkol. Dia malah membeberkan pertanyaan dalam hatinya.
"Ada debu masuk ke mataku barusan. Karena itu mataku berkaca-kaca." Alya menghela nafas, lemas sekaligus lega mendengarnya. Dia kira pemuda satu itu menangis olehnya. Jikalau benar begitu, entah apa yang harus dia lakukan untuk membujuk Lucas memaafkannya nanti.
"Kamu membuatku salah paham Lucas." Alya mengusap dada. Bersyukur.
Lucas melirik gadis itu. Kenapa dia bisa salah paham? Apa karena mata kelilipan?
"Aku ingin mengajakmu ke kantin Lucas. Mau kah kamu pergi bersamaku?" Alya mulai fokus pada tujuan utamanya. Sedari awal, dia menyapa Lucas untuk menemaninya ke kantin.
Mata Lucas bertatapan dengan pupil coklat gadis manis itu.
Tidak bisakah dia pergi ke kantin sendiri? Demikian matanya berkata. Mata lawan bicaranya menangkap maksud kata itu.
Alya menggeleng. Aku tidak bisa makan di kantin sendirian. Demikian mata Alya berkata. Mata Lucas pun bertanya kembali.
Kalau begitu ajaklah teman perempuan lain atau laki-laki lain. Begitu mata Lucas berkata. Mata Alya mengerti perkataan matanya. Menggeleng.
Aku ingin bersamamu ke kantin. Begitu mata Alya membalas. Membuat Lucas berpikir sejenak. Menimbang-nimbang pilihan.
Kamu tidak pantas makan bersama gadis manis itu Lucas. Kau biasa saja dan dijauhi penghuni sekolah. Sedangkan gadis di depanmu adalah gadis cantik manis dan terkenal seantero sekolah. Murid mana yang tidak kenal gadis manis, cantik, baik, pintar satu ini? Sedangkan kau, biasa saja, pendiam, pemalu, tidak terkenal, dikucilkan. Sebaliknya dari gadis di depanmu. Pikirkan baik-baik Lucas! Demikian otaknya berpikir. Sedangkan hatinya menolak itu.
Setidaknya Lucas memiliki hati lembut, dan rumor-rumor buruk itu tidak benar! Lucas hanyalah korban dari pemfitnahan kedengkian seseorang. Dia tidak bersalah dan berhak untuk makan bersama gadis manis itu. Wajah Lucas juga lumayan tampan, terlebih tinggi dan postur badan yang tegap. Para gadis menyukai pria seperti itu bukan? Demikian hatinya membela sang 'pemilik tubuh'.
Satu menit Lucas melamun. Alya masih sabar menunggu jawaban Lucas.
Dua menit.
Tiga menit.
Empat menit.
Lima menit.
Baiklah, ini agak menjengkelkan. Sebegitu sulitnya kah untuk menjawab dengan anggukan atau gelengan? Atau jawaban 'iya' atau 'tidak'? Mengapa Lucas malah termenung lama sekali memikirkannya? Alya berdeham. Sekali. Mencoba menyadarkan Lucas yang tenggelam pada debat dalam dirinya.
"Ehem ..."
Lucas tidak menggubris. Baiklah, berdeham dua kali.
"Ehem ... Ehem ..."
Lucas masih tidak menggubris. Baiklah, berdeham tiga kali.
"Ehem ... Ehem ... Ehem ..."
Lucas masih melamun. Lihat tatapannya. Sekosong kertas putih. Senyum Alya kini merekah kesal.
Plak!
Lucas terkena tampar untuk menyadarkannya. Seketika seperti komputer baru menyala. Dia tersadar pada realita.
"Eh, ya, um, ya."
Alya berdeham sekali. "Ehem ... Jadi apakah kamu ingin ikut bersamaku ke kantin, Lucas?"
Lucas menatap pupil coklat Alya. Harus? Demikian katanya. Dijawab anggukan kecil dan kerjapan sekali. Ya, harus. Demikian mata Alya berkata.
Lucas menghela nafas. Dia tidak pernah pergi ke kantin dan tidak akan selama masa beberapa tahun ke belakang dia sekolah. Bukan karena tidak lapar atau hal lain. Tapi karena tidak ingin. Lebih efisien menunggu di kelas. Atau mengambil tidur siang di bangku. Dasar introvert!
Baiklah, Lucas berdiri. Alya kembali merekahkan senyuman manisnya. Yang dua detik kemudian kembali padam.
Lucas hanya memperbaiki posisi kursinya yang kurang nyaman. Lantas duduk, lalu menyilangkan tangan ke meja. Selanjutnya menenggelamkan kepala pada silangan lengannya. Kuda-kuda tidur.
"Kau bisa pergi ke kantin bersama temanmu Alya."
Rasanya tangan mungil Alya gatal ingin menjitak kepala pemuda remaja satu ini. Oke, sesuai ucapannya. Alya melenggang pergi keluar kelas dengan perasaan kecewa nan kesal. Capek-capek dia menunggu lima menit hanya untuk mendengar jawaban yang mengecewakan.
Jika bukan karena permainan itu. Ya, jika bukan karena permainan itu ...
***
Pukul tiga sore menjelang malam. Para murid-murid terbebas dari penjara bernama sekolah. Seketika berhamburan menuju kesibukan masing-masing. Saatnya pulang.
"Lucas."
Lucas menoleh ke belakang asal suara. Gadis manis itu lagi. Dia berjalan cepat menyusul Lucas. Berjalan bersama.
"Ada apa?" Lucas bertanya. Atau lebih tepatnya, mengapa kamu berjalan bersamaku?
Seakan mengerti tatapan itu, Alya balas menatap. Apa tidak boleh? Demikian matanya berkata. Dibalas isyarat gelengan oleh Lucas.
"Nanti seseorang akan salah sangka melihat kita berjalan bersama."
Mendengar itu Alya malah merapatkan dirinya pada Lucas. Membuat Lucas bersemu karenanya.
"Alya ... Apa yang kau lakukan? Orang lain akan salah paham melihat kita berdekatan." Alya melingkarkan tangannya pada tangan Lucas. Bergandengan manja.
Lucas berhenti berjalan. Serius. Dia tahu karena apa Alya tiba-tiba agresif mendekatinya.
"Alya ... Kamu ... Bermain permainan itu juga?"
Sorot mata Lucas sangat serius kali ini. Tidak ada sifat pemalu dan pendiam miliknya. Alya masih tersenyum, namun bukan tersenyum manis. Melainkan senyuman misterius.
***