"Apa ... Apa yang terjadi setelah itu?" Anak itu memegang kepalanya yang sakit. Dengus nafasnya tersengal. Seolah-olah baru saja selesai berlari ratusan meter di lapangan tanpa henti. Dia mencoba mengatur nafas agar tenang. Melihat ke sekeliling.
Anak itu melepas semua jarum infus yang tertusuk pada kulitnya. Perih memang, namun dia merasa tak nyaman benda itu mengalirkan banyak cairan ke dalam tubuhnya. Meringis. Karena dicabut paksa, anak itu mengalami pendarahan akibat salah melepas jarum. Tapi tidak apa-apa. Anak itu tidak peduli rasa perih itu. Dia lebih penasaran apa tempat ini dan bagaimana bisa dia ada di sana.
Anak itu melihat baju yang tergeletak di atas meja logam beroda. Ada kertas nama disitu. 'Lucas Khun'. Itulah namanya. Dia memakai baju berwarna senada itu. Adalah baju pasien rumah sakit, biru berstrip putih ke bawah. Di bawah baju, tergeletak sebuah pistol. Senjata api satu tangan itu lengkap dengan isi peluru yang full. Lucas mengambilnya.
Getaran keras masih tidak kunjung diam. Lampu remang berwarna kuning berkedip-kedip. Cucut tikus mengisi keheningan ruangan itu. Lucas berjalan ke arah pintu. Membukanya pelan ...
Pintu besi itu terbuka ... Di balik pintu, lorong dipenuhi oleh pemandangan tak mengenakan. Mayat-mayat bertebaran. Darah merah mengering mewarnai sekitar lantai dan tembok. Belum lagi bau amis nan busuk yang tercium menyengat hidung. Siapapun yang menghirup aromanya pasti akan merasa mual. Begitu pula dengan Lucas. Dia muntah. Tak kuasa menghirup aroma busuk. Entah sudah berapa lama mayat-mayat itu membusuk. Menjijikkan.
Beberapa dari mayat itu adalah dokter atau tentara yang mati tertembak. Ada tulisan yang tak dikenal Lucas di armor mayat-mayat tentara. Tulisan negeri Tengah Timur. Nanti dikemudian hari Lucas baru mengetahui dimana dia berada saat ini.
Berjalan di lorong dingin tanpa alas kaki, dengan aroma busuk yang menyengat, juga getaran yang mengkhawatirkan atap lorong akan rubuh. Lucas berjalan cepat menuju ujung lorong. Pintu besi lainnya menunggu untuk dibuka.
Membuka pintu ...
Ruangan luas tersaji disana. Tiga pintu besi kanan kiri terkunci. Di depan, ada lift yang tampaknya masih berfungsi. Abaikan saja pemandangan tak mengenakan di bawah lantai sana. Lucas mencoba membuka pintu lift.
"Aah!" Mayat seorang dokter yang menempel di pintu lift terjatuh mengejutkan Lucas. Hampir saja mayat itu memeluk Lucas. Dia tidak ingin berbagi aroma yang sama dengan makhluk-makhluk mati itu. Segera beringsut masuk ke dalam lift. Memencet tombol angka paling besar.
Untungnya, lift itu masih berfungsi. Suara desing pintu tertutup rapat. Mesin lift naik perlahan. Ada penunjuk lantai diatas pintu lift. B10, lantai saat ini. Setelah lama mendesing, B9 dan seterusnya, hingga lift berhenti di B2. Pintu terbuka secara otomatis. Membuat Lucas terkejut. Bukankah tadi dia menekan tombol lantai 10 di atas sana? Mengapa berhenti disini?
Apakah masih ada orang?
Pintu lift perlahan terbuka lebar. Lucas menahan nafasnya, tegang. Menutup satu kantung mata, takutnya sesuatu mengagetkan akan datang ...
Kosong.
Dua kantung mata Lucas terbuka lebar. Yang benar saja? Apa lift ini rusak? Berhenti menakut-nakuti seperti itu. Lucas kembali memencet tombol lantai teratas. Pintu lift perlahan tertutup. Yang detik kemudian lift itu terbuka lagi. Masih di lantai yang sama.
Lucas agak jeri melihatnya. Sepertinya lift ini rusak. Sekali lagi dia coba memencet tombol lantai teratas. Nihil, pintu lift tertutup lalu terbuka kembali. Lucas melongok perlahan menatap ruangan luas di depan pintu lift. Memeriksa apakah ada makhluk yang jahil.
Ini horor. Walau sebenarnya Lucas merasa takut. Dia tak punya pilihan lain. Dia keluar dari lift. Berbeda dari lantai bawah sebelumnya. Tempat ini ... Sama sekali tidak ada mayat ataupun bercak darah.
Getaran besar masih terasa, namun cahaya lampu tidak mati-nyala. Konsisten pada penerangannya. Dan lampu itu tidak berwarna kuning. Tetapi merah. Menambah kesan mengerikan di mata Lucas.
Satu langkah Lucas keluar dari lift. Meneguk ludah. Nasib, nasib. Baru saja terbangun di entah berantah. Sekarang dia harus mengalami pengalaman horor pada hari pertamanya. Kepalanya menengok kanan-kiri, memastikan tidak ada satu pun sesuatu yang terlewat. Sembari di tangannya sebuah pistol tergenggam sedia.
Menghela nafas. Oke, sejauh ini aman. Tidak ada satu pun yang terlihat ganjil dan membahayakan. Lima langkah Lucas keluar lift. Mendadak suara mesin lift terdengar. Membuatnya spontan menoleh ke belakang.
"Hei!" Lucas berseru. Aduh, lihat. Lift itu naik ke atas sendiri. Pintu lift tertutup rapat. Resmi sudah Lucas harus menjelajahi lantai horor itu.
Baiklah, Lucas meneguhkan hati. Jika ada sesuatu yang membahayakan dia akan melawan.
Langkah kaki waspada berjalan di ruangan luas. Ada tiga pintu besi menuju arah masing-masing. Satu depan, satu kiri, satu kanan. Lucas memilih ke arah kanan terlebih dahulu. Membuka pintu ...
Lorong panjang tak bertepi nampak sejauh mata memandang. Tidak terlalu sempit dan luas lorong itu. Penerangan lampu merah membuat kesan mengerikan jika menatap lama-lama ke ujung lorong. Seakan ada bayangan yang berdiri di sana. Saat didekati, seketika bayangan itu menjauh hingga ujung lorong kembali. Lucas terus berjalan awas dengan pistolnya teracung ke depan. Jaga-jaga jika ada orang yang tiba-tiba berlari merangseknya.
Lima menit berjalan, akhirnya ada sebuah pintu ruangan di sebelah kanan. Lucas membuka pintu besi tersebut ... Mengecek, melongokkan kepala ...
Menghembuskan nafas. Ternyata hanya ruang WC. Lucas memutuskan masuk sejenak, membasuh wajah. Wajahnya kusut sekali oleh keringat dingin barusan. Tempat ini memang menegangkan.
Selesai membasuh muka. Lucas tidak sengaja menatap cermin. Menatap wajah seorang gadis berambut pendek sebahu berwarna hitam. Gadis itu tampak terkejut. Membuat Lucas mundur beberapa langkah. Mendengung. Dengungan di kepalanya membuka suatu ingatan yang lain ...
***
"Kau sudah bangun? Alya?"
Seorang gadis berseragam sekolah menengah atas itu, mulai membuka matanya. Seragamnya kotor oleh darah kering. Alya, terbangun. Dia reflek hendak bangkit duduk begitu melihat wajah asing di matanya. Yang usahanya itu berujung kesia-siaan. Tangan dan kaki Alya terikat erat di ranjang. Membuatnya tak bisa menggerakkan tubuh untuk bangkit duduk.
"Siapa kau!" Alya bertanya ketus pada lelaki yang berdiri di sampingnya. Setelah menoleh dua kali, di ruangan kamar itu, kamar miliknya, mereka hanya berdua. Lelaki asing itu dan dirinya. Tidak ada yang lain.
"Woah, woah. Rileks Nona. Aku disini sebagai penyelamat hidup mu." Lelaki itu tersenyum tipis.
"Penyelamat macam apa yang mengikat orang yang dia selamatkan di ranjang? Kau lebih mirip dengan penjahat mesum di banding seorang penyelamat hidup." Alya berkata dengan nada mengejek. Lelaki itu tertawa.
"Kau tidak takut? Aku bisa saja melakukan hal-hal yang tak kau inginkan saat ini." Tangan lelaki itu mencekal mulut Alya. Alya memberontak menggerakkan kepalanya, berusaha lepas dari cekalan.
"Lwepaskwan akwu!" Berusaha berseru. Lelaki itu tersenyum getir.
"Untuk apa aku melepaskanmu? Aku yakin, setelah aku melepaskanmu, kau pasti akan menerjang membunuhku. Benar begitu? Nona Alya." Lelaki itu mendekatkan wajahnya. Hanya untuk tersenyum mengejeknya. Alya dibuat tak berdaya olehnya. Lantas, lelaki itu melepas cekalannya. Kembali berdiri ke posisi semula.
"Apa ... Apa yang kau inginkan dariku?"
"Apa yang ku inginkan? Aku menginginkan dirimu ..."
***