Chereads / Company Hate in Love / Chapter 2 - Chapter 2

Chapter 2 - Chapter 2

Suara hak sepatu Isabela bergema di lantai marmer kantor yang licin, alisnya berkerut karena frustrasi saat ia menyapu pandangan ke seluruh bilik-bilik, mencari tanda-tanda keberadaan rekan kerjanya yang hilang. "Si Ethan kemana sih?" gerutunya pelan.

"Maaf, Neng Isabela, saya ndak tahu," kelakar Ava, sahabat setianya, menjawab dengan ekspresi prihatin. "Mejanya masih kosong, dan dia ndak balas pesan-ku dari tadi."

Isabela menghela napas frustrasi, mengusap rambutnya yang tersisir rapi. "Ndak bisa dipercaya. Proyek ini mau ambruk, tapi anak buaya itu ndak ada dimana-mana." Dia berbalik menghadap Ava, nada bicaranya tegas dan berwibawa. "Terusin coba hubungin dia. Gue minta file-nya ketemu sebelum akhir hari, atau kita semua bisa langsung cari kerjaan baru."

Ava mengangguk cepat, jarinya dengan lincah menari di atas keyboard saat mengetik pesan lain ke ponsel Ethan. Sementara itu, Isabela kembali memusatkan perhatiannya pada tumpukan kertas dan map di mejanya, rahangnya terkatup keras.

Saat jarum jam terus berdetik, frustrasi Isabela semakin memuncak. Dia mondar-mandir di sepanjang kantornya, mengumpat pelan, kesabarannya menipis sedikit demi sedikit. Tepat saat dia akan menyerah pada godaan untuk melempar cangkir kopinya ke dinding, tiba-tiba ponselnya berdering, nama Ethan berkedip di layar.

Isabela langsung mengangkatnya, "Kemana aja sih lu, Ethan?"

Ada jeda sejenak di ujung sana, lalu suara halus dan santai Ethan menjawab, "Halo juga, Neng Isabela. Gue lagi ngerjain beberapa hal."

Isabela mencengkeram gagang telepon makin erat, buku-buku jarinya memutih. "Ngerjain apa? Karena sejauh yang gue tahu, lu ngilang sementara kita berusaha banget nyelamatin proyek ini!"

Ethan berdeham, dan Isabela bisa membayangkan cengiran malunya. "Nah, itu yang mau gue bicarain sama lu. Gue butuh lu jelasin lagi konsep presentasinya."

Isabela berkedip, yakin dia salah dengar. "Lu minta apa?"

"Konsepnya," ulang Ethan. "Gue butuh lu jelasin detailnya lagi."

Isabela membuka mulut, lalu menutupnya lagi, otaknya berpikir cepat. "Serius nih? Ethan, kita hampir kehilangan klien ini, dan lo malah nelpon minta gue suapin lu lagi soal proyek ini?"

"Gue tahu, gue tahu," Ethan menjawab, nada suaranya jadi lebih serius. "Tolong, Isabela. Gue butuh ngerti ini sebelum kita bisa lanjut."

Isabela memijat pangkal hidungnya, merasakan migrain datang. "Oke deh. Tapi ini harus bagus, Ethan."

Menarik napas dalam-dalam, dia mulai menjelaskan secara rinci presentasi bergengsi yang harus mereka persiapkan. Dia gambarkan tempat acara mewah, desain panggung ekstravagan, daftar tamu yang diseleksi cermat - semuanya dirancang untuk memamerkan lini produk mewah terbaru klien mereka dengan cara paling menawan dan mengesankan.

Saat Isabela berbicara, dia bisa membayangkan mata Ethan menyipit penuh konsentrasi di ujung sana. "Lalu anggaran buat ini berapa?" dia menyela suatu saat.

Isabela meringis. "Gila. Empat digit, pasti."

Hening sejenak, lalu Ethan berbicara lagi, nada suaranya sedikit terdengar mendesak. "Oke, gue ngerti. Makasih, Isabela. Gue... gue bakal hubungin lu lagi."

Sebelum Isabela bisa merespons, sambungan terputus, membiarkannya menatap bingung ke gagang telepon. "Anjir, tuh anak kenapa sih?" gerutunya, membanting gagang telepon kembali ke tempatnya.

Bingung dengan tingkah aneh Ethan, Isabela kembali fokus mencari file yang hilang, otaknya dipenuhi berbagai kemungkinan. Apa Ethan cuma males-malesan seperti biasa? Atau ada sesuatu yang lebih buruk terjadi?

Sore bergulir, frustrasi Isabela makin menjadi-jadi. Dia mengobrak-abrik laci, menyisir lemari arsip bersama, bahkan sampai minta bantuan cleaning staff, tapi tetap tak menemukan apa-apa. File itu seakan lenyap ditelan bumi.

Isabela terkulai lemas di kursinya, kepala tertunduk. Ini bencana total. Kalau dia tak bisa nemuin file itu, selamat tinggal kariernya - dan tim kerjanya juga.

Tepat saat dia hampir menyerah dan berteriak frustasi, ponselnya berdering lagi, nama Ethan tertera di layar. Menarik napas dalam-dalam, dia angkat telepon.

"Apaan lagi, Ethan?"

"Isabela, gue minta lu ketemu gue. Sekarang."

Urgensi di suara Ethan membuat Isabela terkejut, dan dia tanpa ragu menjawab. "Di mana?"

"Gudang tua di Jalan Ahmad Dani. Penting nih."

Sebelum Isabela bisa bertanya lebih lanjut, sambungan terputus lagi, membuat dia melongo menatap ponselnya. Jalan Ahmad Dani? Apa yang sebetulnya terjadi di sana?

Menyambar mantel dan tasnya, Isabela terburu-buru meninggalkan kantor, otaknya dipenuhi seribu kemungkinan. Saat menyusuri jalanan kota yang ramai, jarinya gelisah mengetuk-ngetuk kemudi, jantungnya berdebar campur aduk antara was-was dan penasaran.

Akhirnya, dia sampai di gudang reyot itu, dinding retak dan jendela-jendela ditutup papan membuatnya terlihat seram dan ditinggalkan. Menarik napas dalam, Isabela melangkah keluar dari mobilnya, langkah sepatunya yang berhak tinggi bergema di trotoar retak.

Pintu berdecit saat dia dorong, dan Isabela melangkah ke dalam ruangan gelap dan luas, udara pengap oleh debu dan kelapukan. "Ethan?" serunya, suaranya bergaung di ruangan kosong.

"Di sini."

Isabela berbalik dan menemukan Ethan muncul dari bayang-bayang, ekspresinya tak terbaca. "Oke, Ethan, ada apa nih?" desaknya, tangannya bersedekap. "Ini harus penting banget, karena gue udah—"

Perkataannya terputus saat Ethan melangkah maju, tangannya terangkat dalam gestur menenangkan. "Isabela, dengerin gue. Gue tahu file-nya ada di mana."

Mata Isabela membelalak, jantungnya berdebar kencang. "Apa? Gimana bisa? Dimana?"

Ethan menarik napas dalam-dalam, tatapannya gelisah. "Gue... gue yang ngambil."

Isabela menatapnya dengan mulut ternganga. "Apa? Ethan, apa-apaan sih—"

"Biar gue jelasin," sela Ethan, suaranya rendah dan mendesak. "Awalnya gue ndak sengaja ngambil. Cuma... gue butuh ngerti proyek ini lebih baik, ngerasain gimana gitu lho?"

Isabela menggeleng, ketidakpercayaannya makin membesar. "Jadi lu seenaknya... nyuri file-nya gitu?"

"Bukan, bukan gitu," Ethan bersikeras, mengacak rambutnya frustrasi. "Cuma... gue butuh waktu buat paham semuanya. Rencananya mau gue balikin, sumpah. Tapi terus—"

"Terus apa, Ethan?" sembur Isabela, kesabarannya menipis. "Apa yang terjadi?"

Ekspresi Ethan menggelap, dia menengok ke belakang, seolah mengira ada seseorang yang mengawasi mereka dari bayang-bayang. "Kayaknya ada orang lain yang ngambil," katanya pelan.

Isabela merasa bulu romanya berdiri. "Maksudnya 'orang lain'?"

"Gue ndak tahu," aku Ethan, alisnya berkerut cemas. "Yang gue tahu, sewaktu gue mau balikin file-nya, udah ilang. Lenyap."

Isabela memandang Ethan, otaknya mencerna pengakuan bahwa Ethan yang ngambil file-nya. "Jadi maksud lu, bukan cuma lu yang nyuri file-nya duluan, sekarang file-nya juga ilang total?"

Ethan mengangguk, wajahnya malu. "Gue tahu, gue tahu, kedengerannya parah banget. Tapi sumpah, gue ndak bermaksud buat gini."

Isabela memijit pangkal hidungnya, merasakan migrain datang. "Ethan, lu ngerti kan masalah kita sekarang sebesar apa? Proyek ini satu-satunya kesempatan buat nyelamatin pekerjaan kita, tapi file-nya ilang. Dan lu bilang ini semua karena lu pengen ngambil file-nya buat entah alasan apa?"

Ethan mengangkat tangan menenangkan. "Dengerin, gue tahu gue salah, oke? Tapi kayaknya ada orang lain yang terlibat. Orang yang mau sabotase kita."

Isabela tertawa tanpa humor. "Sabotase? Ethan, ini bukan film mata-mata, ini soal karier kita. Dan lu sendiri yang ngancurin semuanya."

"Gue tahu, gue tahu," kata Ethan, suaranya terdengar putus asa. "Tapi Isabela, lu harus percaya sama gue. Kayaknya ada yang lebih dari ini yang belum kita tahu."

Isabela menatapnya, alisnya berkerut. "Oke, anggap gue percaya. Menurut lu, apa yang sebenarnya terjadi?"

Ethan menarik napas dalam. "Nah, pertama, gue ngerasa file-nya kayaknya udah dirusak. Ada sedikit-sedikit yang ndak cocok gitu. Terus, waktu gue mau balikin, file-nya udah ilang gitu aja."

Isabela menggeleng tak percaya. "Dan lu ndak pernah bilang sama sekali? Ethan, kita bisa selidiki ini, coba cari tahu apa yang terjadi. Tapi malah lu simpan sendiri dan biarkan semuanya kacau."

Ethan membuka mulut untuk balas, tapi Isabela mengangkat tangan, menghentikannya. "Ah, ndak usah. Yang gue mau tahu, file-nya sekarang di mana?"

Ekspresi Ethan menggelap. "Kalo itu, gue juga ndak tahu. Gue udah cari kemana-mana, tapi ilang gitu aja."

Isabela mengerang frustrasi. "Ndak bisa dipercaya. Jadi bukan cuma lu ngancurin proyek kita, tapi kita juga ndak tahu file-nya ada di mana dan siapa yang ngambil."

Dia mondar-mandir di gudang itu, otaknya bekerja cepat. "Oke, gini aja. Kita harus cari tahu siapa yang mungkin mau sabotase proyek ini, dan harus cepet. Presentasinya tinggal dua hari lagi, Ethan. Dua hari. Kalo file-nya ndak ketemu, selesai kita."

Ethan mengangguk, wajahnya tegang. "Gue tahu, Isabela. Gue tahu. Dan gue minta maaf, beneran. Tapi kita harus nemuin file-nya, apapun caranya."

Isabela balas menatapnya, tatapannya tajam dan penuh tekad. "Oke, ayo kerjain. Karena kalo ndak, selamat tinggal karier kita."

Mereka saling pandang, beban situasi yang mereka hadapi terasa berat. Isabela bisa merasakan ketegangan membangun, tekanan deadline seolah menggelayut bagai awan gelap. Tapi ada sesuatu lain di sana juga, yang tak bisa dia definisikan.

Saat mereka berdiri dalam diam, tatapan mereka terkunci, Isabela tak bisa menahan getaran aneh dalam dirinya. Seolah intensitas saat ini telah mengikis lapisan permusuhan dan ketidakpercayaan yang selalu ada di antara mereka, menyisakan sesuatu yang rapuh dan rentan.

Tapi dia tak punya waktu untuk itu sekarang. Ada pekerjaan yang harus mereka lakukan, krisis yang harus dihadapi. Menarik napas dalam, Isabela menegakkan bahu dan menghadap Ethan, tatapannya tak goyah.

"Oke, Ethan. Ayo kita lakuin ini."