Jalanan kota yang hiruk-pikuk di luar kantor pencakar langit yang mewah itu hanya jadi kabur saat Isabela dan Ethan bungkuk di atas layar laptop yang bersinar, ketukan jari di keyboard dan terkadang umpatan tertahan memecah keheningan tegang.
Isabela mendongak, alisnya berkerut dalam konsentrasi saat mengamati slide rumit yang susah payah mereka rancang. "Oke, Ethan, ayo kita coba lagi sekali. Kita harus pastiin setiap detil sempurna."
Ethan bersandar di kursinya, seringai percaya diri tersungging di bibirnya. "Tenang, Isabela. Kita beres. Presentasi kita bakal bikin mereka klepek-klepek."
Isabela melempar tatapan sinis padanya. "Ini bukan pesta kampus, Ethan. Ini taruhan karier kita. Kita ndak boleh ada kesalahan."
Ethan mengangkat tangan, gestur menenangkan. "Hei, gue tahu taruhannya tinggi. Tapi lu harus percaya sama gue, oke? Semua udah gue rancang."
Isabela mengerutkan bibir, matanya menyipit curiga. "Itu yang gue khawatirkan. 'Ide-ide brilian' lu itu yang bikin kita terjebak situasi seperti ini."
Ethan terkekeh, tatapannya tak lepas dari Isabela. "Ah, ayolah, Isabela. Mana jiwa petualangan lu? Sedikit berani ambil risiko ndak akan menyakiti."
Isabela merasakan debaran di dadanya melihat intensitas tatapan Ethan, dan dia cepat-cepat mengalihkan pandangan, gugup. "Ini bukan permainan, Ethan. Ini masa depan kita yang dipertaruhkan."
Ethan mendekat, suaranya rendah dan serius. "Gue tahu, Isabela. Percayalah, gue tahu. Tapi gue juga tahu kita bisa lakuin ini. Bareng-bareng."
Isabela ragu, jarinya mengetuk-ngetuk gelisah di atas meja. Dia tak bisa menyangkal bagaimana keyakinan Ethan perlahan menggoyahkan pertahanannya, atau bagaimana jantungnya seakan berhenti berdetak saat mata mereka bertemu.
"Oke, Ethan," ujarnya akhirnya, suaranya hampir berbisik. "Ayo lakuin ini."
Wajah Ethan berseri-seri, dan dia menjulurkan tangan, menyelimuti tangan Isabela dengan miliknya. "Gitu dong, cewek gue."
Isabela merasakan sengatan listrik saat Ethan menyentuhnya, dan dia segera menarik tangannya, berdeham. "Ayo, kita lanjut kerja. Presentasinya satu jam lagi."
Mereka berdua sibuk bekerja, jari mereka menari di keyboard saat menyempurnakan slide, menyelaraskan setiap detail. Isabela terkejut dengan sentuhan mahir Ethan, kemampuannya memadukan benang-benang rumit presentasi dengan gaya alamiah yang hanya bisa ia kagumi.
Saat menit berlalu, ketegangan di ruangan seolah berdesir dengan energi yang nyata, dan Isabela mendapati dirinya mencuri pandang ke arah Ethan, terpesona dengan alis berkerut dalam konsentrasi, senyum berpikir di bibirnya.
"Lu ngeliat sesuatu yang bagus, Isabela?" gumam Ethan tiba-tiba, matanya bertemu tatapan Isabela dengan kilatan jahil.
Isabela merasakan pipinya memanas, dan dia cepat-cepat mengalihkan pandangan, memarahi dirinya sendiri atas kehilangan kendali sesaat. "Jangan terlalu percaya diri, Ethan. Gue cuma... mastiin lu ndak main-main."
Ethan terkekeh, jarinya menyentuh tangan Isabela saat meraih mouse. "Mana mungkin, partner. Kita sahabat, inget?"
Isabela merasakan gemetar di sepanjang tulang belakangnya saat Ethan menyentuhnya, dan dia diam-diam mengutuk diri atas reaksi tak terkendali itu. Dia tak mengerti kenapa kehadiran Ethan begitu berpengaruh padanya, padahal kemarin dia siap-siap mencekiknya.
Saat sentuhan akhir presentasi selesai, Isabela bersandar, menarik napas dalam-dalam. "Oke, Ethan. Kayaknya kita udah siap."
Ethan menyeringai, matanya berbinar semangat. "Kan gue bilang kita bisa."
Isabela memutar bola mata, tapi tak bisa menyembunyikan nada bangga dalam suaranya. "Iya, iya, jangan sombong dulu. Kita masih harus nyampein presentasinya."
Ethan menjulurkan tangan, menggenggam tangan Isabela. "Kita pasti bisa, Isabela. Kita bareng, inget?"
Isabela merasakan debaran di dadanya, dan dia mengutuk diri atas reaksi tak terduga itu. "Ethan, gue—"
"Eh, pasangan baru nih!" suara tiba-tiba menyela mereka.
Isabela menoleh dan mendapati Ava, sahabat mereka, berdiri di ambang pintu dengan seringai jahil.
"Mobilnya udah siap di luar lho guys," ujar Ava, matanya berkilat geli. "Saatnya bikin klien terpukau."
Isabela merasakan wajahnya memerah, dan dia segera menarik tangannya dari genggaman Ethan, berdeham. "Ayo, berangkat."
Ethan melempar tatapannya pada pada Ava, tapi ada semangat dalam suaranya. "Oke, tim. Ayo jalan."
Saat mereka turun dan masuk ke dalam sedan hitam mewah, Isabela tak bisa menyembunyikan rasa gugup dan antisipasinya. Ini saatnya - saat menentukan. Jika mereka berhasil, mereka akan jadi pahlawan. Tapi jika gagal...
Ethan sepertinya menangkap kegugupannya, dan dia menjulurkan tangan, meremas lembut tangan Isabela. "Tenang, Isabela. Kita pasti bisa."
Isabela mengangguk, tenggorokannya tiba-tiba kering. "Gue tahu, Ethan. Gue cuma... gue merasa kayak mau masuk kandang singa."
Ethan terkekeh, matanya berkilat jahil. "Justru itu seru, kan?"
Isabela memutar bola mata, tapi tak bisa menyembunyikan senyum tipis di bibirnya. "Lu emang ndak mungkin berubah, ya?"
Ethan menyeringai, tangannya masih menggenggam tangan Isabela. "Iya, tapi lu suka 'kan?"
Isabela merasakan debaran di dadanya, dan dia segera menarik tangannya, pipinya merona. "Jangan ngaco, Ethan."
Ethan tertawa, tapi ada nada tulus dalam suaranya. "Hei, Isabela, gue cuma pengen lu tahu... gue senang lu ada di sini sama gue. Gue ndak bisa lakuin ini tanpa lu."
Detak jantung Isabela seakan berhenti, dan dia merasa tak sanggup berkata-kata, pikirannya dipenuhi ribuan gagasan. Ethan selalu menjadi playboy ulung, rekan kerja menyebalkan tapi mempesona yang terlihat hidup tanpa beban. Tapi di sini, dia melihat secercah sesuatu yang lain - kerentanan, apresiasi tulus yang belum pernah Isabela lihat darinya.
"Ethan, gue..." dia mulai, suaranya hampir berbisik.
Tapi sebelum dia bisa menyelesaikan pikirannya, mobil berhenti, dan suara Ava memecah ketegangan. "Kita udah sampai, teman-teman. Saatnya tunjukin kehebatan kalian."
Ethan meremat tangan Isabela untuk terakhir kali, matanya terkunci pada mata Isabela. "Siap, partner?"
Isabela menarik napas panjang, beban momen ini seakan menghimpit bahunya. "Sesiap yang bisa gue."
Mereka bertiga keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk megah berkaca-baja gedung acara, suara sibuk kota samar-samar tertinggal saat mereka memasuki lobi modern yang elegan.
Saat mendekati pintu ganda raksasa yang menuju ruang presentasi, Isabela merasakan adrenalin familiar. Inilah saatnya - saat mereka bersinar. Melirik Ethan, dia melihat determinasi kuat tercetak di wajahnya, dan dia tahu mereka dalam ini bersama, apa pun yang terjadi.
Pintu terbuka, dan mereka melangkah ke ruang luas itu, atmosfir penuh antisipasi. Barisan wajah antusias menoleh pada mereka, sorot lampu panggung menebarkan cahaya hangat di sekeliling kemewahan.
Isabela menarik napas, matanya menyapu kerumunan. "Saatnya unjuk gigi," gumamnya, hampir tak terdengar.
Ethan menjulurkan tangan, menyentuh tangan Isabela. "Ayo lakuin!"
Lampu panggung yang menyilaukan menyorot Isabela dan Ethan saat mereka melangkah ke depan ruangan luas itu, mata para klien dan investor tertuju pada mereka. Isabela merasakan gugup di perutnya, tapi langkah percaya diri Ethan di sisinya membantu meredam kegugupannya.
Saat mereka mencapai podium, Ethan berbalik pada Isabela, tatapannya intens. "Lu pasti bisa, partner," bisiknya, tangannya sekilas meremas tangan Isabela, memberi semangat.
Isabela mengangguk, menarik napas dalam untuk menenangkan diri. "Ayo lakuin," balasnya, suaranya lebih kuat dari yang dia rasakan.
Dengan anggukan, Ethan berbalik menghadap audiens, menebar senyum menawan khasnya. "Selamat pagi semuanya. Terima kasih sudah hadir di sini hari ini. Saya Ethan, dan ini rekan saya, Isabela. Kami bersemangat membagikan visi kami untuk masa depan dengan inovasi teknologi termuthakir."
Saat Ethan memulai presentasi mereka, Isabela memandanginya dengan campuran kagum dan kecemasan. Sosok angkuh dan bebas yang biasa dia kenal kini lenyap, digantikan profesional yang anggun dan fasih, mengendalikan perhatian ruangan dengan mudah.
Melirik slide mewah yang mereka rancang dengan teliti, Isabela merasakan kebanggaan membuncah. Visualnya memukau, data-datanya meyakinkan, dan penyampaian Ethan tak kurang dari luar biasa. Dia merasa hanyut dalam irama kata-katanya, kecemasan pribadinya perlahan lenyap.
Saat tiba gilirannya untuk memimpin, Isabela melangkah ke podium, jantungnya berdebar. Tapi saat memandang lautan wajah di depannya, dia merasakan kehadiran menenangkan Ethan di sisinya, dan kata-kata mengalir dengan mudah. Isabela menguraikan rincian proyek, keahliannya yang mendalam terpancar saat dia memikat audiens dengan wawasan strategis dan solusi inovatifnya. Keraguan yang menghantuinya berjam-jam lalu lenyap - di sini, dia merasa takkan terkalahkan.
Saat presentasi mencapai puncaknya, Ethan dan Isabela berkolaborasi sempurna, kata-kata dan gestur mereka seirama. Energi di ruangan terasa nyata, para klien condong ke depan, terpesona visi berani yang terungkap di hadapan mereka.
Cyberdyne, proyek yang mereka presentasikan, tampaknya merupakan sebuah terobosan teknologi canggih yang dapat membawa perubahan signifikan. Teknologi Cyberdyne diproyeksikan mampu mengintegrasikan artificial intelligence, robotika, dan sistem digital yang terhubung secara menyeluruh, menciptakan solusi inovatif untuk berbagai tantangan masa depan. Visi yang berani dan visioner ini tampaknya berhasil memikat dan meyakinkan para investor yang hadir.
Saat slide terakhir muncul, audiens bertepuk tangan riuh, wajah mereka bersinar semangat. Isabela merasakan kemenangan membuncah, matanya bertemu tatapan Ethan - dan dalam momen itu, dia melihat pantulan kegembiraan dirinya sendiri. Sebuah standing ovation bergema di ruangan, para investor tampak sangat tertarik dengan proyek Cyberdyne yang mereka presentasikan.
Saat para klien mengerubungi mereka, memberi ucapan selamat dan berjabat tangan antusias, Isabela merasa hampir kehabisan napas oleh intensitas pengalaman ini. Dia tak pernah merasa begitu hidup, begitu seirama dengan pekerjaannya dan partnernya.
Ethan menghampirinya, seringai khasnya terpampang. "Kan gue bilang kita bisa," bisiknya, suaranya rendah dan hangat.
Isabela memutar bola mata, tapi tak bisa menyembunyikan senyum di bibirnya. "Iya, iya, jangan sombong dulu, Casanova."
Ethan terkekeh, tangannya menyentuh tangan Isabela. "Hei, lu keren banget tadi, Isabela. Gue ndak bisa lakuin ini tanpa lu."
Isabela merasakan debaran di dadanya mendengar ucapannya, dan tiba-tiba dia kehabisan kata-kata. Gurauan dan sindiran jahil yang mendefinisikan hubungan mereka selama ini seakan lenyap, digantikan rasa kebersamaan dan respek baru.
Saat klien terakhir pergi, Ethan berbalik pada Isabela, ekspresinya tak biasa serius. "Isabela, gue... gue cuma mau bilang, gue seneng banget lu ada di sini sama gue. Semua ini emang udah kayak petualangan, tapi lu selalu ada di samping gue, dan gue—"
Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, suara Ava bergema di ruangan kosong itu. "Eh, pasangan baru! Mobilnya udah siap di luar. Saatnya pesta!"
Pipi Isabela memanas, dan dia cepat-cepat mengalihkan pandangan, berdeham. "Uh, iya, ayo kita pergi."
Ethan terkekeh, tangannya sekilas menyentuh tangan Isabela saat mereka berjalan menuju pintu keluar. "Setelah kamu, partner."
Saat mereka bertiga melangkah ke jalan kota yang sibuk, Isabela tak bisa menyembunyikan rasa gembira dan bangga. Mereka melakukannya - melawan segala rintangan, mereka berhasil menampilkan presentasi terbaik. Dan entah bagaimana, di tengah kekacauan itu, dia dan Ethan telah membina ikatan tak terduga, yang berpotensi mengubah kemitraan mereka dengan cara yang belum bisa dia bayangkan.