Bayangan-bayangan panjang yang menciptakan suasana temaram di ruangan itu, seolah-olah mencerminkan situasi yang dihadapi Isabela dan Ethan. Mereka bungkuk-bungkuk di atas tumpukan bahan presentasi yang terburu-buru disiapkan, sementara detak jam bergema di ruang luas itu, menghitung mundur waktu yang tersisa sebelum deadline.
Isabela menghela napas frustasi, mengacak rambutnya yang berantakan. Kekecewaan terpancar jelas dari raut wajahnya. "Sia-sia aja, Ethan. Kita udah geledah tempat ini dari ujung ke ujung, tapi file-nya tetap ndak ketemu," keluhnya, menunjukkan keputusasaan yang semakin menjadi.
Ethan bersandar di kursinya, alisnya berkerut dalam konsentrasi. Matanya menatap lurus, seolah sedang memikirkan suatu rencana. "Pasti ada yang luput dari perhatian kita," gumamnya pelan, jarinya mengetuk-ngetuk meja seakan mencoba menemukan solusi.
Isabela menatapnya nyalang, emosi yang bergejolak di dalam dirinya tampak jelas. "Apa lu ndak sadar? Waktunya udah mepet banget. Presentasinya besok, tapi kita ndak punya apa-apa buat ditunjukkin," ujarnya dengan nada suara yang tinggi, menunjukkan betapa terdesak dan paniknya situasi mereka.
Ethan menjulurkan tangannya, menenangkan Isabela dengan gerak tubuh yang tenang dan terkendali. "Kita pasti bisa dapetin, Isabela," katanya dengan suara yang stabil, mencoba meyakinkan rekannya. "Gue punya rencana."
Isabela mendengus, raut wajahnya masih skeptis. "Rencana? Jangan bercanda. Proyeknya udah ancur gini, dan lu masih bisa ngomong gitu?" tanyanya dengan nada suara yang menunjukkan ketidakpercayaan.
Ethan mengangkat tangan, berusaha menenangkan Isabela. "Dengerin dulu, oke? Kayaknya gue punya caranya," ujarnya dengan penuh keyakinan, berusaha meyakinkan Isabela untuk mendengarkan rencananya.
Isabela melipat tangan di dada, ekspresinya menunjukkan skeptisisme yang mendalam. "Bagus banget kalo gitu. Karena kalo ini gagal, bukan cuma karier gue, tapi karier lu juga yang taruhannya," katanya dengan nada suara yang tegas, memberi peringatan kepada Ethan.
Ethan condong ke depan, matanya berkilat penuh determinasi. "Gimana kalo kita tetep lanjut presentasinya?" tanyanya dengan suara yang mantap, seolah-olah memiliki sebuah rencana yang benar-benar matang.
Isabela melongo menatapnya, ekspresinya menunjukkan ketidakpercayaan yang luar biasa. "Lu gila? Kita ndak punya file-file penting itu! Kita bakal masuk ruangan tanpa bawa apa-apa," ujarnya dengan nada suara yang tinggi, menunjukkan betapa absurd ide Ethan di matanya.
Ethan mengangkat tangan, menghentikan Isabela. "Dengerin dulu, Isabela. Gue udah teliti file-file yang dicuri itu berminggu-minggu, jadi gue paham banget sama proyeknya. Dan lu ahlinya - pengetahuan dan keahlian lu bisa jadi kunci buat berhasil," jelasnya dengan sabar, mencoba meyakinkan Isabela untuk mendengarkan rencana yang ia pikirkan matang-matang.
Isabela menggeleng, matanya menyipit tak percaya. "Lu ndak serius, Ethan. Itu gila banget. Mana mungkin kita bisa kasih presentasi bagus tanpa bahan-bahannya," ujarnya dengan nada suara yang tegas, menolak mentah-mentah ide Ethan.
Ethan menjulurkan tangan, menggenggam tangan Isabela dengan lembut. "Isabela, dengerin gue. Gue tahu kedengerannya gila, tapi gue yakin kita bisa lakuin ini. Dengan otak lu dan pesona gue, kita ndak terkalahkan," katanya dengan suara yang meyakinkan, berusaha membuat Isabela percaya pada rencana yang ia pikirkan.
Isabela menarik tangannya menjauh, matanya berkilat marah. "Pesona? Serius lu, Ethan? Ini bukan pesta kampus, ini soal karier kita yang dipertaruhkan. Gue ndak mau taruh segalanya cuma di 'pesona' lu," ujarnya dengan nada suara yang menunjukkan kekesalan bercampur kekecewaan.
Ethan bersandar, ekspresinya tak terbaca. "Isabela, lu harus percaya sama gue. Gue udah pikirin ini matang-matang, dan gue beneran yakin kita bisa lakuin ini," katanya dengan nada suara yang tenang, berusaha meyakinkan Isabela.
Isabela membuka mulut untuk balas, tapi kata-katanya tercekat saat dia melihat keyakinan di mata Ethan. Dia terdiam, mengamati Ethan lekat-lekat, dan untuk pertama kalinya, dia melihat kilatan ketulusan di balik topeng playboy-nya.
"Lu beneran yakin kita bisa lakuin ini, ya?" bisiknya, suaranya terdengar setengah terkagum.
Ethan mengangguk, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Iya, Isabela. Dan gue mau lu ada di sana sama-sama gue. Ini harus jadi kerja sama tim - gue ndak bisa lakuin sendiri tanpa lu," ujarnya dengan nada suara yang lembut, mencoba membujuk Isabela untuk percaya pada rencana yang telah ia susun dengan matang.
Isabela merasakan debaran di dadanya, jantungnya berdegup kencang saat mendengar perkataan Ethan. Dia mengumpat dalam hati, merasa frustrasi karena reaksi spontannya yang di luar kendali. Dia lebih tahu dari siapapun untuk tidak begitu saja percaya pada kata-kata memikat Ethan, tapi ada sesuatu dalam keyakinannya yang perlahan-lahan mulai merobohkan pertahanannya.
"Ethan, gue..." Isabela memulai, suaranya terdengar ragu.
"Please, Isabela," sela Ethan, matanya memohon dengan tatapan yang tulus. "Gue butuh lu. Ini satu-satunya kesempatan kita - buat buktiin diri. Dan gue mau lu di sisi gue, sepanjang jalan."
Isabela merasakan beban kata-kata Ethan membebani pundaknya. Dia tahu risikonya, potensi kegagalannya, tapi di dalam hati, dia tak bisa menampik daya tarik dari berdiri di samping Ethan, menghadapi tantangan ini bersama-sama.
Dengan helaan pasrah, Isabela mengangguk. "Oke, Ethan. Gue ikut."
Wajah Ethan berubah cerah, ekspresinya memancarkan kegembiraan. Dia menjulurkan tangan, menggenggam tangan Isabela dengan lembut. "Makasih, Isabela. Gue janji, kita bakal ngebom ini."
Isabela merasakan gemetar di sepanjang tulang belakangnya saat Ethan menyentuhnya, dan dia segera menarik tangannya, berdeham untuk menyembunyikan kegugupannya. "Yuk, fokus aja dulu buat nyiapin presentasinya. Waktunya ndak banyak."
Ethan mengangguk, matanya berbinar penuh semangat. "Siap, partner."
Mereka berdua langsung sibuk, ide-ide mereka saling bersambut saat menyusun presentasi yang berani dan menarik. Isabela terkesan dengan pemikiran strategis Ethan, kemampuannya yang cepat memahami seluk-beluk proyek dan mengubahnya menjadi narasi yang kuat dan komprehensif.
Saat sinar fajar pertama mulai menembus jendela kotor, Isabela bersandar, senyum puas tersungging di wajahnya. "Gue ndak nyangka, Ethan. Kayaknya kita bisa lakuin ini."
Ethan nyengir, matanya berkilat penuh kemenangan. "Kan gue bilang, kita ndak terkalahkan."
Isabela memutar bola mata, tapi tak bisa menyembunyikan nada kagum dalam suaranya. "Jangan songong dulu, Casanova. Kita masih harus tampil presentasinya."
Ethan condong ke depan, tatapannya intens menatap Isabela. "Soal itu... ada satu syarat."
Isabela merasakan ketidaknyamanan menyusup ke dalam dirinya. "Syarat apa?"
"Gue mau lu ada di panggung sama-sama gue," ujar Ethan, suaranya serius dan penuh determinasi. "Ini harus jadi kerja sama, Isabela. Ndak ada lagi status sampingan."
Isabela membuka mulut untuk protes, tapi Ethan mengangkat tangan, menghentikannya. "Gue serius, Isabela. Kalo lu ndak ada di sana sama gue, semuanya bakal berantakan."
Isabela mengamati Ethan dengan seksama, alisnya berkerut berpikir. Di satu sisi, dia tak bisa menampik getaran di dadanya saat membayangkan berdiri sejajar dengan Ethan, membuktikan keraguan orang-orang salah. Tapi di sisi lain, dia tak bisa menepis perasaan ada sesuatu yang lebih di balik permintaan Ethan.
"Ethan, gue—"
"Please, Isabela," sela Ethan, matanya memohon dengan penuh harap. "Gue butuh lu di sana sama-sama gue. Cuma lu yang bisa lakuin ini."
Isabela masih ragu, beban keputusan itu terasa berat di pundaknya. Tapi saat dia menatap mata Ethan, dia melihat kerentanan di sana yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dan meski bertentangan dengan akal sehatnya, Isabela mengangguk menyetujui.
"Oke, Ethan. Gue ikut."
Wajah Ethan berubah cerah, senyum kemenangan terkembang di bibirnya. Dia menjulurkan tangan, menggenggam tangan Isabela dengan lembut. "Makasih, Isabela. Gue janji ndak akan mengecewakan lu."
Isabela merasakan gemetar di sepanjang tulang belakangnya saat Ethan menyentuhnya, dan dia segera menarik tangannya, berdeham untuk menyembunyikan kegugupannya. "Yuk, kita berangkat sekarang. Presentasinya satu jam lagi."
Ethan mengangguk, matanya berbinar penuh semangat. "Ayo kita buat dunia terkejut, partner."
Mereka berdua buru-buru keluar dari gudang, langkah mereka bergema di ruang luas itu. Saat melangkah keluar ke jalanan kota yang ramai, Isabela tak bisa menyembunyikan kegugupannya. Mereka akan mengambil risiko terbesar dalam karier mereka, dan taruhannya belum pernah setinggi ini.
Tapi saat dia melirik Ethan, wajahnya dipenuhi determinasi, Isabela tahu tak ada yang bisa mereka lakukan selain terus maju. Mereka saling terikat, untuk yang terbaik atau terburuk.
"Ayo kita lakuin," ujar Isabela, suaranya tegas dan bulat.
Ethan nyengir, tangannya menyentuh tangan Isabela saat mereka berjalan bersama. "Gitu dong, cewek gue."