Jalanan kota yang ramai di luar jendela ruang konferensi itu menjadi latar belakang suasana kasual, hampir intim, antara Isabela dan Ethan saat mereka bekerja berdampingan menyiapkan presentasi yang sangat penting itu. Cahaya lembut dari layar komputer menciptakan nuansa hangat keemasan di wajah mereka, menimbulkan kesan terisolasi dan fokus yang menyembunyikan hiruk-pikuk lansekap perkotaan di balik dinding.
Tak ada lagi kepanikan dan tergesa-gesa yang mewarnai kolaborasi mereka sebelumnya. Alih-alih, aura tenang dan fokus, bahkan mungkin sesuatu yang lebih, mengambang di antara mereka. Isabela terpesona dengan kemudahan dan efisiensi Ethan mengoperasikan perangkat lunak, jarinya menari di atas keyboard dengan elegan yang sama sekali tidak mencerminkan kepribadiannya yang biasanya ceria.
"Harus kuakui, Ethan, gue terkesan," ujar Isabela, sedikit nada kagum dalam suaranya, matanya mengikuti gerakan jari Ethan yang lincah di atas keyboard. "Gue ndak nyangka lu mahir banget urusan teknis gini."
Ethan mendongak, menyeringai jahil, seolah terhibur dengan rasa kagum Isabela. Binar antusias terpancar dari matanya yang bersinar jenaka. "Apa, lu pikir gue cuma tampang dan pesona aja?" Dia mengedipkan sebelah mata, membuat debaran familiar menyusup ke dalam dada Isabela.
"Jujur, iya, itu memang yang gue pikirkan," sahut Isabela, senyum tipis menyungging di bibirnya. Rona merah perlahan menjalar di pipinya, mengkhianati rasa kagum yang bergejolak dalam dirinya. "Tapi ternyata lu penuh kejutan."
Ethan terkekeh, matanya berkilat nakal. "Oh, Isabela, lu ndak tahu aja. Ini baru permulaan bakat-bakat tersembunyi gue." Suaranya terdengar menggoda, seolah menyimpan banyak misteri dan kemungkinan.
Isabela merasa pipinya semakin memanas mendengar implikasi itu, dan dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya kembali ke layar, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya. Jantungnya berdebar kencang, namun dia berusaha menenangkan diri. "Yah, gue jadi penasaran aja, bakat apa lagi yang bakal lu pamer."
Suasana bercanda itu beralih jadi keheningan nyaman, hanya terdengar ketukan jari di keyboard dan sesekali tegukan kopi. Isabela diam-diam memergoki dirinya mencuri pandang ke arah Ethan, mengamati alisnya yang berkerut dalam konsentrasi, senyum berpikir di bibirnya.
Ini sisi dirinya yang jarang Isabela lihat, dan hanya membuatnya semakin penasaran. Berdeham, dia memutuskan untuk mengajukan pertanyaan lebih pribadi. "Jadi, Ethan, apa yang bikin lu memutuskan ambil bidang kerja ini?" tanyanya, nada suaranya kasual namun tersirat rasa ingin tahu.
Ethan terdiam sejenak, matanya bertemu pandang dengan Isabela. Sorot matanya dipenuhi gairah dan determinasi. "Jujur? Ini selalu jadi ketertarikan gue - tantangan memecahkan masalah rumit, sensasi menciptakan sesuatu yang baru." Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah membuka jendela ke dalam jiwanya. "Dan, tentu saja, kesempatan buat pamer kepintaran gue."
Isabela tak bisa menahan tawa mendengar pengakuan terang-terangan itu. Senyumnya melebar, rasa hangat menjalar di dadanya. "Tentunya. Cuma lu yang bisa bikin kayak gini jadi booster ego pribadi."
Ethan tertawa, matanya menyipit dalam ekspresi geli. Keceriaan dan keantusiasan terpancar dari seluruh dirinya. "Gimana lagi, gue tipe orang kompetitif, dan kalo gue udah niat sesuatu, gue suka menang."
Isabela merasakan kehangatan familiar menjalar di dadanya melihat intensitas tatapan Ethan, dan dia cepat-cepat mengalihkan pandangan, kembali fokus pada pekerjaan di depannya. Detak jantungnya semakin kencang, namun dia berusaha menenangkan diri. "Yah, gue ndak bisa bantah itu. Lu beneran udah buktiin kemampuan lu hari ini."
Ethan bersandar di kursinya, ekspresinya puas. Rasa percaya diri terpancar dari setiap gerakannya. "Gue senang lu terkesan, Isabela. Dan harus gue akui, gue juga terkesan sama lu." Dia mengamati Isabela dengan tatapan penuh apresiasi. "Pengetahuan dan keahlian lu sangat berharga buat proyek ini."
Isabela merasa bangga, tapi dia ndak bisa menyingkirkan kegugupan yang menyertai pujian Ethan. Pipinya kembali merona, namun dia berusaha tetap tenang. "Gue cuma lakukan kerjaan gue, Ethan. Ndak terlalu istimewa."
Ethan menggeleng, tatapannya tak goyah. Keyakinan terpancar dari sorot matanya yang hangat. "Ndak, Isabela, lu jual diri sendiri terlalu murah." Dia tersenyum tulus. "Cara lu mengintegrasikan wawasan lu ke presentasi ini - beneran luar biasa."
Isabela merasakan kehangatan menjalar di pipinya, dan dia sulit mempertahankan kontak mata dengan Ethan. Jantungnya berdebar kencang, namun dia berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Yah, gue... makasih, Ethan. Itu sangat baik lu bilang begitu."
Suasana di antara mereka dipenuhi dengan energi yang lembut namun menggairahkan, seolah tersimpan banyak kemungkinan di baliknya. Isabela dan Ethan tenggelam dalam dunia pribadi mereka, terpisah dari hiruk-pikuk kota di luar.
Ethan menjulurkan tangan, jemarinya bergerak perlahan untuk menyentuh tangan Isabela. Tatapan matanya penuh determinasi, seolah berusaha menyampaikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. "Gue serius, Isabela. Lu keren, dan gue senang bisa kerja sama sama lu."
Isabela merasakan aliran listrik menjalar di sepanjang tulang belakangnya saat kulit mereka bersentuhan. Jantungnya berdebar kencang, seakan bisa mendengar suaranya bergema di ruangan. Tubuhnya menegang, namun ada perasaan hangat yang menyusup ke dalam dirinya. Dengan sedikit gemetar, dia segera menarik tangannya, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Sebaiknya kita kembali kerja. Presentasinya tinggal beberapa jam lagi, dan kita harus pastiin semuanya sempurna."
Ethan mengangguk, senyum tipis tersungging di bibirnya. Isabela dapat melihat kilau pemahaman di matanya, seolah dia dapat membaca pikiran dan perasaannya. Ada sesuatu yang tak terucapkan yang mengambang di antara mereka, membuat suasana semakin intim. "Oke. Pimpin jalan, partner."
Saat mereka kembali fokus pada pekerjaan, Isabela tak bisa menyingkirkan gejolak dalam dirinya. Cara Ethan memuji kemampuannya, cara sentuhannya membuatnya bergidik - semua itu begitu baru dan asing, namun entah kenapa terasa... tepat. Perasaan asing itu menggelitik hatinya, membuat dirinya semakin penasaran.
Diam-diam, Isabela melirik Ethan dari sudut matanya, mengamati saat dia mahir menyusun presentasi, alisnya berkerut dalam konsentrasi. Ada keanggunan dan kepercayaan diri dalam gerakannya yang menawan, membuatnya tampak berbeda dari sosok genit dan penuh pesona yang sering dia perlihatkan. Isabela tak bisa berhenti bertanya-tanya apakah ada lebih dari sekedar playboy di balik sosoknya, seolah tersembunyi di balik topeng yang dia kenakan.
Jalanan kota di luar jendela seolah berdetak dengan energi tanpa henti, mengingatkan mereka pada dunia penuh taruhan yang mereka geluti. Tapi di sini, di momen ini, Isabela merasa tenang dan fokus, seakan mereka telah menciptakan oasis pribadi di tengah hiruk-pikuk perkotaan. Seolah ada dimensi lain yang terbentang di antara mereka, jauh dari hiruk-pikuk dunia luar.
Mengamati Ethan, Isabela tak bisa berhenti terpana dengan kontras antara profesional percaya diri di hadapannya dan sosok genit dan pesona yang sering dia tampilkan. Ada kedalaman dan kompleksitas dalam dirinya yang tak pernah Isabela hargai sepenuhnya, dan hanya memicu rasa penasarannya semakin kuat. Isabela seolah melihat lapisan-lapisan baru yang menunggu untuk diungkap dari sosok di hadapannya.
Menit demi menit berlalu, ketegangan meningkat seiring presentasi yang ditunggu-tunggu semakin dekat. Tapi di tengah beban tugas di tangan mereka, Isabela tak bisa menyembunyikan perasaan semangat dan kemungkinan yang telah bersemi dalam dirinya. Seolah ada sesuatu yang menanti, sesuatu yang belum terungkap.
Mungkin, di momen kolaborasi berisiko tinggi ini, sesuatu yang baru dan tak terduga mulai tumbuh di antara mereka - suatu koneksi yang melewati batas hubungan profesional dan membisikkan kemungkinan akan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang hangat dan menjanjikan, yang membuat Isabela tak sabar untuk menjelajahi lebih jauh.