Chereads / EVERMORE / Chapter 4 - Part 3

Chapter 4 - Part 3

Kalimantan, 2027

Araya POV

Di mana aku? Apa yang terjadi? Aku tidak bisa mengingat apa pun. Sama sekali. Apakah diriku telah melintasi batas antara mimpi dan kenyataan? Apakah aku baru terbangun dari mimpi buruk? Di mana aku?

Terdengar deru air tidak jauh dari sini. Sungai? Air terjun? Angin dingin menusuk kulitku. Aku mencoba melipat tanganku, tapi ternyata tidak bisa. Dalam keadaan telentang. Aku bertanya-tanya kenapa aku tidak tahu di mana aku berada dan apa yang aku lakukan di tempat dingin membeku ini. Yang lebih buruk lagi, aku tidak bisa mengingat namaku sendiri.

***

Dunia aneh di sekelilingku kemudian berubah. Pudar sudah kesadaranku. Aku tidak lagi bertanya-tanya siapa diriku, apa yang telah terjadi kepadaku, atau di mana aku berada. Yang tersisa hanyalah sensasi mengerikan bahwa pikiranku terpisah dari tubuh ini. Bagian-bagian tubuhku tidak menyatu lagi dengan jiwaku. Aku melayang di malam hari seperti hantu. Aku menubruk pohon beberapa kali tanpa merasakannya. Aku juga tersandung dan jatuh dan bahkan tangan kananku tidak sakit. Aku tertatih, menembus dunia yang hanya berisi hutan dan kegelapan lebih jauh lagi.

Terkadang aku diam mematung, menajamkan pendengaran untuk menangkap bunyi-bunyi yang bisa memberiku pentunjuk. Lalu aku terhuyung kembali, angin dingin kini semakin dingin. Aku mengatupkan kedua tanganku dan bernapas melalui sela-sela jari-jari. Ternyata percuma saja, aku tidak merasa lebih hangat, namun tetap saja aku lakukan. Lalu aku terus berjalan, melangkahkan satu kaki di depan kaki sebelahnya, sampai badai di dalam kepalaku bergemuruh sehingga membuatku jatuh terguling.

Aku tak sanggup meneruskan. Aku merangkak dengan tangan dan lutut menuju pohon besar terdekat. Aku menyandarkan diri ke batangnya, mendekap kaki dan berusaha keras membuat diriku sekecil mungkin.

***

-Author POV-

Tiba-tiba Bima melihat seorang wanita berjalan terhuyung-huyung ke tengah jalan.

Jantungnya nyaris berhenti. Ia menginjak pedal rem mobilnya keras-keras dan ban-ban mobilnya pun berdecit dan kehilangan daya Tarik. Wanita itu sudah dekat, sangat dekat, ia tidak akan bisa menghindari tabrakan itu. Bima menyipitkan mata dan mengertakkan giginya, menunggu tabrakan maut itu.

Pada detik-detik terakhir, ia membanting kemudi dan mobil pun membelok tajam ke kanan, berputar nyaris 360 derajat. Ia mencuri pandang melalui kaca spion. Wanita itu masih di sana, secara ajaib masih berdiri. Luput dari kecelakaan!

Seluruh tubuh Bima gemetar dan terasa tetesan keringat mengucur di keningnya.

Oh Tuhan, dirinya hampir menabrak orang!

Hampir membunuhnya.

Dengan gemetar, hyunbin memutar mobilnya. Wanita itu berdiri di tengah-tengah jalan seperti patung berkulit manusia, tampak tidak bergerak sedikit pun, seakan tak sadarkan diri. Bima menebak usia wanita itu pertengahan tiga puluhan, mungkin akhir dua puluh lebih sedikit. Dan dia cantik, meskipun penampilannya tidak karuan.

Bima membuka pintu mobil dan keluar. "Kau tidak apa-apa, Nona?"

Wanita itu menatap ke kejauhan. Matanya kosong, seperti buta. Buta dan bisu.

"Tadi hampir saja," Bima terengah.

Wanita itu tidak berkata apa-apa, ia bahkan seperti tidak mendengar atau melihat Bima.

Ada apa dengan wanita ini, pikir Bima. Ia mengamatinya, wanita itu seperti habis berguling-guling di lumpur. Ada noda-noda gelap seperti tanah di wajahnya. Atau mungkinkah itu bekas darah? Bajunya kusut dan sobek, sama seperti jaketnya. Tampak seperti habis berkelahi dengan orang, jadi tidak mungkin dia buta. Mungkin orang itu masih mengejarnya. Bima memandang sekelilingnya, tapi tidak melihat siapa pun. Ia mendekati wanita tsb.

"Kau tidak apa-apa?"

Masih tidak ada jawaban.

"Kau ini kenapa?" tanya Bima dengan nada ramah. "Jangan khawatir, aku tidak akan melukaimu."

Ada mobil lain muncul. Mobil itu terpaksa banting setir untuk menghindari tabrakan dengan mobil Bima. Sopirnya mengklakson keras-keras lalu menghilang di belokan berikutnya.

"Asalmu dari mana?" tanya Bima padanya.

Wanita itu tetap diam. Bima mulai merasa tidak nyaman. Apa sebaiknya ia kembali masuk ke mobil dan meninggalkannya di sini? Tidak, tentu saja tidak boleh begitu. Ia tidak boleh meninggalkannya sampai ia yakin wanita itu kembali dengan selamat ke rumahnya, di mana pun itu. Mungkin ia kebanyakan mengkonsumsi obat. Banyak berita aneh-aneh zaman sekarang ini. Tapi wanita itu seperti tidak mengerti bahasa yang diucapkan Bima karena ia terus saja menatap kosong ke depan.

Bima kenal semua orang di daerah sini. Wanita itu bukan dari sini, ia menyimpulkan. Angin dingin menusuk wajahnya. Ia gemetar bukan semata-mata karena dingin, namun karena hampir saja membunuh wanita muda yang malang ini. Ada mobil yang mendekat lagi. mobil itu melambat dan hyunbin berharap mobil itu mau berhenti, terutama karena pengemudinya melongok keluar jendela. Tapi kemudian ia menjauh dan tidak lama kemudian menghilang dari pandangan.

"Kau tinggal di mana?" tanya Bima.

Seperti sebelumnya, tidak ada jawaban, tapi dari caranya mengerutkan alis tampaknya ia tengah berpikir. Ia menatap mata hyunbin, jadi ternyata ia mendengarnya.

"Tidak tahu," katanya, dengan suara halus dan lemah.

"Ayo," ajak Bima. "Biar kuantar ke tempat tujuanmu."

Sang wanita menggigit bibirnya dan alisnya bertaut. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya lagi. Tiba-tiba lututnya menekuk dan Bima cepat-cepat menghampiri dan menyangganya. Pada saat itulah Bima memutuskan untuk membawanya pulang.

"Aku tinggal di dekat sini. Mari kubantu. Tidak apa-apa, kan?" kau tidak takut padaku, kan?"

Ia menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.

"Ayo," kata Bima sambil membantunya berdiri.

Wanita itu menoleh, matanya menatap laki-laki bertubuh tinggi berusia empat puluhan itu. Bima bisa menangkap keraguan di matanya. Kemudian ia menggenggam erat pergelangan tangan kiri hyunbin, seolah berserah diri pada sikap baik. Ia sedingin es! Siapa pun dia, ia kedinginan sekali. kesadaran itu memicu Bima untuk bertindak.

Dengan hati-hati Bima menuntunnya ke mobil. Sambil berjalan, gigi-giginya terus bergemeretakan dan Bima terpaksa merangkul pinggang wanita itu agar ia tidak jatuh.

"Pelan-pelan saja, tidak perlu terburu-buru," Bima menenangkan. "Aku memegangimu."

Bima membuka pintu mobil di sisi penumpang dan membantu wanita itu masuk ke mobil. Kemudian ia mengitari kap mobil dan menyelinap duduk di depan kemudi. Setidaknya di dalam mobil hangat, lalu ia menaikkan suhu pemanas.

Dilihatnya wanita itu memandang ke depan lagi. Apa karena obat-obatan? Ketakutan? Apa dia habis dipukuli? Kalau benar, oleh siapa? Pacarnya? Suaminya? Apakah ia kabur?

Mungkin itu semua akan terjawab sesampai mereka di rumah.

***

Saat mereka sampai, lima belas menit setelah kecelakaan yang nyaris terjadi, wanita muda itu tidak bergerak keluar mobil. Sambil menggelengkan kepala. Bima mengitari mobilnya dan membukakan pintu untuknya.

"Ayo?"

Wanita itu berhasil keluar mobil sendiri, tapi Bima harus membantunya berjalan ke pintu depan. Ia tengah bertanya-tanya bagaimana caranya memegangi wanita itu sekaligus memasukkan kunci ke lubang pintu, tepat di saat istrinya, Devi, membuka pintu lebar-lebar.

"Siapa ini?!" tanya istrinya. Nada suaranya tinggi dan berkuasa

"Ini… sebenarnya aku tidak tahu ini siapa."

Devi mengangkat alisnya. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengambil kendali. Tangannya memegangi pinggang wanita muda itu dan menuntunnya masuk ke ruang tengah yang nyaman berjendela lebar, yang menampakkan pemandangan sungai mengalir di antara pohon-pohon tua yang kokoh.

Bima mengikkuti mereka. "Dia tadi di tengah-tengah jalan. Aku hampir menabraknya…" ia mulai menjelaskan.

Devi menoleh dan melemparkan pandangan yang sudah sering dilihat Bima sepanjang pernikahan mereka. "Apa yang kau perbuat? Sudah kubilang, kau harus memperhatikan jalan!"

"Bukan, bukan, bukan," kilah sang suami berapi-api. "Aku tidak salah. Dia yang berjalan di tengah-tengah jalan."

Devi tidak menggubris suaminya.

"Mari, duduklah," kata Yejin pada wanita muda itu, membantunya duduk di sofa hijau dekat perapian. Jam hias cokelat keemasan di dinding berdentang dua belas kali. Angin dingin membeku bertiup dari luar.

Bima menggosok-gosok tangannya supaya hangat. Wanita itu pasti kedinginan sekali, pikir Bima. Bibirnya biru dan sedikit gemetar. Matanya berkaca-kaca dan tatapannya kosong. Ia sepertinya tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Bima menyimpan banyak pertanyaan untuknya, tapi sekarang Devi lah yang berkuasa.

"Coba kuperiksa dulu," kata Devi, kemudian ia memperhatikan wanita itu lekat-lekat, lalu menggeleng-geleng penuh kekhawatiran. "Oh ya ampun, kasihan sekali dirimu!"

Bima duduk di seberang Devi dan wanita muda itu, lalu menjelaskan lebih rinci tentang kejadian di jalan raya.

"Ya, terserah," sahut Devi. "Tubuhnya harus dihangatkan dulu. Mau secangkir teh?"

Wanita muda itu menatap Devi dengan pandangan memohon. "Ya, terima kasih."

Untuk kedua kalinya Bima mendengar suara halusnya, sayup-sayup.

"Aku masak air dulu kalau begitu," Devi berdiri dan berjalan ke dapur.

Bima tetap di tempat. Ia sedang mempertimbangkan bagaimana memulai pertanyaannya, saat Devi memanggilnya dari dapur, "Ambilkan selimut di kamar tamu."

"Baik," Bima balas berteriak.

Diambilnya selimut wol dari kamar tamu dan ia kembali ke ruang tengah. Wanita mudaitu menyelimuti tubuhnya hingga ke dagu dengan rasa syukur. Ia begitu kedinginan sampai terdengar gigi-giginya bergemelutuk.

Bima menahan diri untuk tidak bertanya sampai Devi kembali membawa tiga gelas teh. Wanita muda itu menerimanya dengan lega, lalu menyesap minuman panas mengepul itu sambil memejamkan mata.

"Kau lapar?" tanya Devi. "Mau makan sesuatu?"

Wanita itu menggeleng.

Bima meletakkan gelasnya di meja. "Kalau begitu," katanya, "sudah waktunya memperkenalkan diri. Aku Bima Subana. Dan ini istriku, Devi Subana, dan kau?"

Sang wanita mengangkat tangannya ke kepala dan gelas tehnya hampir jatuh dari tangannya.

"Ada apa?" tanya Devi, was was. Ia beranjak untuk memeriksa kepala wanita itu. "Mari. Turunkan tanganmu dan biarkan aku memeriksanya."

Wanita muda itu tidak bergerak. Wajahnya berkerut kesakitan. Perlahan, Devi menepis tangan wanita itu.

"Bagaimana sampai bisa begini?" tanyanya pada si wanita muda.

"Kenapa?" tanya Bima, beranjak dari kursinya.

"Ada benjolan di sini," jawab Devi. "Perlu dibersihkan. akan kuambilkan air panas dan desinfektan." rautnya berubah serius. "mungkin kita harus memanggil Surya untuk memeriksamu. Dia dokter di wilayah ini. Aku khawatir dengan luka itu. Apa gerangan yang terjadi padamu?"

Sang wanita itu tidak menjawab. Ia menelengkan kepala dan sejenak Bima yakin ia sedang larut dengan pikirannya. Kemudian terdengar tangis pelan.

"Aku tidak tahu siapa aku," isaknya, suaranya lebih keras. "aku tidak tahu apa-apa lagi."

To Be Continued