Jakarta, 2027
Author POV
Ketika Juwita masuk, Angga sedang menikmati lagu-lagu pop ringan dari piringan hitam. Ia tidak mengetahui kedatangan Juwita karena ia duduk membelakangi pintu. Angga duduk menyandar dan kelihatan mendengarkan lagu ringan itu dengan asyik.
Lama Juwita memandang Angga yang sedang menikmati lagu yang melantunkan nada-nada sendu. Juwita memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Ruang depan apartemen ini masih terawat baik. Semuanya masih seperti dulu, ketika masih ada Jelita. Juwita mendehem. Angga tidak juga mendengarkan dehemannya. Juwita batuk. Ketika itulah baru Angga berpaling.
Ia segera bangkit dari kursi dan menghampiri Juwita.
"Sendirian?" tanyanya.
"Ya." sahut Juwita singkat.
"Mahen ke mana?"
"Temanya datang dan menginap di rumah. Pagi ini ia membawa temannya itu jalan-jalan."
Angga membiarkan Juwita masuk ke ruang dalam.
"Bibi ke mana, Ka?"
"Ada di belakang."
"Asyik juga Kakak dengan lagu tadi, sampai aku datang Kakak juga tidak tahu?"
Angga tertawa.
"Sekali-kali mendengar lagu pop ternyata enak juga. Selaam ini kan aku hanya mendengar lagu-lagu klasik."
"Piringan hitam itu Kakak beli?" tanya Juwita.
"Ya. Kenapa?"
Juwita tidak menjawab pertanyaan Angga. Ia tersenyum.
"Hi, jangan meledek. Orang sepertiku juga tidak ada salahnya mendengar lagu pop?"
Kali ini Juwita tertawa.
"Bukan meledek ka, cuma geli. Dari mana kakak dapat ide untuk membeli piringan hitam lagu-lagu pop?"
"Entahlah. Tiba-tiba saja aku mau membeli lagu-lagu pop ketika lewat di depan sebuah toko penjual piringan hitam. Dan ternyata banyak lagu-lagu bagus yang aku beli. Satu diantaranya yang tadi aku dengar ketika kamu datang."
Juwita tidak tahu bagaimana harus mulai menyampaikan maksud kedatangannya. Karena itu dimulainya daja dengan cara yang paling mudah.
"Apa dengan mendengar lagu-lagu pop terus-menerus sepanjang hari, Kakak tidak merasa bising?"
Juwita kembali berdiam diri. Angga mulai merasakan ada sesuatu yang ingin dikatakan Juwita. Karena ia mendahului.
"Ada yang ingin kamu katakan Juwita?"
Juwita tertegun. Ia tidak dapat bersembunyi lebih lama lagi. Dan baginya ini lebih baik karena tidak harus berputar ke sana ke mari.
"Semua ini Kakak lakukan seorang diri, kan?" tanyanya.
"Ya. Seperti selama ini."
Juwita masih belum menemukan cara yang tepat. Kakak iparnya ternyata lebih berpengalaman dalam membaca seusatu.
"Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan?" tanya Angga.
Juwita menatap mata Angga lama
"Ka, Aku ingin kakak mempunyai teman yang bisa terus-menerus mendampingi kakak seorang diri dan kapan saja. Aku tidak ingin melihat kakak seorang diri seperti ini lagi. Bukan hanya kakak yang tersiksa, tetapi juga aku dan Mahen. Aku ingin melihat kakak didampingi seseorang yang bisa kuanggap sebagai kakakku."
Mendengar kata-kata yang dilontarkan bagai peluru itu, Angga tertegun. Tetapi tidak lama. Setelah itu ia tertawa.
"Juwita. Ini idemu atau idenya Mahen?"
"Ini keinginanku, bukan keinginan orang lain," Juwita menjawab singkat.
Angga diam. Kemudian meneguk lagi teh manisnya. Lalu ia menyandarkan diri ke kursi. Semua ini diperhatikan Juwita dengan tenang.
"Setelah dua tahun. Ya, setelah dua tahun aku tidak pernah memikirkan hal itu, tiba-tiba kamu datang dengan keinginan yang tak terduga-duga itu."
Juwita mencoba untuk lebih meyakinkan ayahnya karena wajah yang merenung di depannya telah membersitkan seberkas harapan.
"Kakak belum tua untuk memulai hidup baru. Kaka telah menunaikan tugas kakak selama ini dengan baik. Bahkan boleh dikatakan berlebihan."
Angga mendengarkan kata-kata itu dengan tenang. Seorang pengganti Jelita yang akan memutuskan rantai penyekap segala keinginan biologis seorang Angga. Seorang pengganti Jelita yang akan mengusir segala sepi yang senantiasa mengintai. Betapa mulianya keinginan itu.
Angga bangkit dari kursinya. Ia melangkahkan kaki menuju pintu depan. Lama ia berdiri di sana memandang jatuh keluar.
"Berikan kesempatan kepadaku untuk berpikir," kata Angga membelakangi Juwita.
***
Araya POV
Aku menyeka air mata, terdengar deru angin di luar dan aku merasakan badai mengamuk di dalam kepala. Di mana aku sebelumnya? Kedua orang ini tampak seperti hantu bagiku, rumah ini hanyalah latar belakang dalam mimpi. Aku berjuang untuk tetap terjaga.
"Aku…" bisikku, berharap dengan berusaha mengucapkan namaku keras-keras, aku akan bisa mengingatnya. Tapi tidak ada yang kuingat. Seolah aku berada di loteng, mencari-cari barang berharga di antara serakan.
Aku asing bagi diriku sendiri. Pikiran itu jauh lebih menyakitkan dibandingkan benjolan di kepala, yang hanya sekedar goresan disbanding lubang dalam ingatanku.
Bagaimana aku bisa berada di hutan itu? Apa yang terjadi padaku?
Sesuatu yang buruk.
Pikiran itu terus-menerus timbul seperti gema dari sumur dalam yang penuh dengan rahasia dan tidak henti-hentinya mendengung di dalam diriku.
"Di mana aku?" tanyaku ragu-ragu.
"Kalimantan," jawab Bima. "Desa Loksado."
Mataku membelalak. "Aku di Kalimantan?"
"Ya," sahut Bima terkejut. "Kau tidak tahu?"
Jangan hilang lagi. Bertahanlah.
"Biar kurawat luka wanita malang ini dulu." Sela Devi, ia sudah kembali dari dapur membawa air panas dan lap, lalu duduk di sampingku.
"Ya," kataku pada Bima, tidak mendengar perkataan Devi. "Tapi sisanya masih misteri. Yang aku tahu aku berjalan dari hutan, di atas bukit."
Devi sedang membersihkan benjolan itu dengan lap basah.
"Teruskan," kata Bima, tanpa menghiraukan tatapan galak istrinya.
Aku mengangkat bahu. "Tadi malam aku di sana."
Bima mengerutkan kening dan menggaruk-garuk tengkuknya. "Apa maksudmu?"
"Seperti yang kubilang tadi. Ada sungai, aku dengar suara air. Lalu aku mulai berjalan, mendaki…"
Aku mengingat beberapa Langkah awal di dunia yang serasa asing sarta penuh ketakutan dan kejahatan. Aku menggeleng-geleng kepala seolah hendak mengusir roh jahat.
"Jangan bergerak!" perintah Devi.
"Tapi…" ujar Bima terbata. "Apa yang kaulakukan di sana?"
"Itu dia yang aku tidak tahu. Dan aku masih tidak tahu namaku sendiri."
Bima memandangku dengan cermat.
Aku berusaha keras untuk focus. "Aku… rasanya aku tidak sendiri di sana, sepertinya ada sesuatu yang mengincarku, dari atas. Datang dari langit…"
Perasaan itu kuat dan tidak mau pergi, meskipun tidak masuk akal. Sambil mendesah, aku menggeleng lagi. "Omonganku meracau, ya?"
Bima tidak mengiyakan ataupun menyangkal pernyataan itu.
Pikiran yang sama kembali lagi, pikiran yang tidak bisa aku tekan. "Ada kejadian buruk di sana," kataku setengah berbisik. "Sesuatu yang buruk."
"Tapi apa?" tanya Bima, terdengar nada putus asa dalam suaranya.
"Pokoknya aku tidak tahu," jawabku, sementara air mataku mengalir. Tetapanku menerawang. Apa pun itu, masih tersembunyi dari pandangan dan pikiranku, terbenam dalam ingatan yang hilang.
To Be Continued