Bali
Angga POV
Aku memasukkan tangan ke dalam guci. Aku meraup segenggam abu terakhir. Sisa abu itu terasa lembap di tanganku. Pasti karena basah oleh beberapa tetes air mataku yang jatuh ke guci. Aku mengeluarkan tangan, memandang sejumput abu di telepak tanganku. Dengan perlahan, tangan aku ulurkan melewati railing stainless steel tempatku bersandar. Yacht yang aku sewa itu bergerak lembut di atas ombak seolah sedang mencoba menenangkan diriku.
Aku terus memandang sejumput abu di atas telapak tanganku. Jika saja abu itu tidak lembap, pasti sudah habis terbang tertiup angin laut. Tapi sejumput abu itu masih melekat pada telapakku seolah tidak ingin pergi ke mana-mana. Jika aku membalikkan tangan, abu itu akan terjatuh ke laut seperti semua titik abu lainnya yang telah meninggalkan guci. Tapi aku tidak bisa melakukan itu. Sejumput abu lembap itu adalah yang terakhir dari Jelita. Jelita-ku yang adalah belahan hatiku. Jelita-ku yang lincah seperti burung indah yang mengepakkan sayapnya ke sana kemari. Jelita-ku yang selalu membuatku tertawa dengan celetukan-celetukan lucu. Jelita-ku yang telah membuat hidupku begitu berwarna walau terkadang menjadi lebih kacau dengan semua hal spontan seperti perjalanan tiba-tiba tanpa persiapan. Jika aku membuang abu itu, aku tidak akan punya apa-apa lagi. Aku tahu, aku tidak boleh terus terpaku pada masa lalu. Dan aku juga sudah berusaha misalnya dengan cara menyimpan semua foto Jelita di dalam kotak di ruang penyimpanan. Aku juga berusaha untuk tidak memikirkan wanita itu setiap saat. Tapi selalu lebih mudah mengucapkan sesuatu daripada melakukannya. Baru dua tahun setelah Jelita meninggal aku dapat membuat diriku membawa guci berisi abu kremasi itu ke tempat penyewaan Yacht untuk pergi menaburkannya. Ini adalah usaha terakhirku agar bisa move on, untuk bisa melanjutkan hidup. Dan aku sudah hampir selesai. Hanya tinggal sejumput terakhir ini.
Aku menutup mata, mengepalkan tangan dan membalikannya. Sekarang aku tinggal membuka kepalan tangan saja dan abu lembap itu akan jatuh ke laut. Aku mengembuskan napas. Aku tidak dapat melakukannya. Tidak dapat. Dan mungkin sampai kapan pun aku tidak akan pernah bisa melakukannya. Aku menarik tangan dan memasukkan sejumput abu terakhir itu kembali ke dalam guci dan menutupnya. Tak lama kemudian Kapten Daniel keluar dari ruang kemudinya.
"Sudah selesai?" tanyanya.
Aku mengangguk. Kapten Daniel memandangku sejenak dan memandang guci yang aku pegang.
Sesampainya di pantai, aku berterima kasih kepada Kapten Daniel. Aku sudah membereskan pembayaran sebelum berangkat tadi. Aku berjalan ke arah mobil. Sejenak aku menoleh untuk melihat sekali lagi ke arah laut. Haruskan aku meminta Kapten Daniel untuk mengantarku sekali lagi ke tengah laut untuk menyelesaikan apa yang tadi sudah aku mulai?
Tidak. Aku tidak mampu. Tidak hari ini. Aku masuk ke mobil dan meletakkan guci itu di kursi samping kemudi. Memang tidak ada yang menyuruhku pergi ke laut untuk menebar abu Jelita pada hari ini. Aku sendiri yang ingin melakukannya. Tadinya aku pikir memang sudah waktunya dan aku akan mampu. Dua tahun sudah berlalu. Tapi aku salah. Cintaku pada Jelita terlalu dalam untuk bisa dipudarkan oleh waktu. Luka yang timbul ketika ingat bahwa Jelita telah pergi selamanya menganga terlalu besar untuk pernah bisa ditutup lagi, selebar lautan yang tidak bisa dibangun jembatan di atasnya. Aku sendiri heran bagaimana aku masih bisa hidup dengan luka yang begitu besar pada jiwanya. Aku menyalakan mesin mobil. Matahari di hari Minggu sore itu sudah mulai menurun. Cahayanya yang masuk melalui kaca mobil menyilaukan. Aku mengambil kacamatan hitam dan mengenakannya. Aku berkendara dalam diam. Aku tahu aku sudah terjebak. Aku terantai. Aku tidak akan pernah bisa mencintai wanita lain lagi. Hatiku sudah terkurung seperti sejumput abu terakhir yang tertutup di dalam guci ini.
***
Jelita POV
Aku mencium aroma sedap dari dapur. Saat kami duduk di meja makan, aku baru tahu bahwa Tante Devi menyiapkan menu makanan lengkap; daging, sayuran, dan kentang. Setelah mulai memakannya, aku baru sadar bahwa diriku lapar sekali.
"Sudah kuduga kau pasti lapar," kata Tante Devi sambil tersenyum puas.
Setelah membantu bersih-bersih sebentar, akhirnya aku merasa lebih baik dan lebih hangat.
"Ada yang kautemukan di pakaianmu?" tanya Om Bima saat kamimembersihkan meja.
"Hanya cincin," jawabku.
"Cincin?"
"Ya. Kutaruh di mana ya tadi?"
"Aku letakkan di wastafel kamar mandi," jawab Tante Devi, "Aku hanya ingin bilang bahwa kau boleh tinggal di sini selama yang kauinginkan. Kami senang kau menginap di sini bersama kami," tambahnya.
"Terima kasih... Kalian berdua baik sekali."
"Tidak apa-apa," sahut Tante Devi. Ia kembali ke ruang cuci untuk memindahkan pakaianku ke mesin pengering.
"Dia memang begitu," kata Om Bima. "Pada anak-anak kami pun begitu."
"Dan aku setuju dengan apa yang dikatakan istriku tadi, tentunya. Kau boleh tinggal di sini selama yang kau mau."
"Terima kasih," katanya. "Tapi aku harus segera pergi dari sini, aku harus kembali ke Bali"
Dan aku ingin tahu di mana barang-barangku. Tidak bisa kubayangkan datang ke Kalimantan tanpa barang bawaan, hanya pakaian yang sekarang ada di mesin pengering. Aku mengendarai mobil, bukan?
Ingatan lain pun kembali.
Aku mengendarai mobil Toyota putih. Di mana mobil itu? Dan mana barang-barangku yang lain?