Chereads / EVERMORE / Chapter 6 - Part 5

Chapter 6 - Part 5

Jakarta

Angga POV

Aku sengaja tidak tidur. Aku mengerahkan konsentrasi untuk menulis sebuah surat penting. Aku sadar surat itu tidak akan dikirimkan ke mana-mana. Tetapi setidak-tidaknya dengan surat yang akan kutuliskan itu dapat meluapkan apa yang telah menggunung di dalam dadaku. Dengan mendengarkan musik ringan yang volumenya dikecilkan pada pick-up, aku mulai menulis surat itu di dalam ruang tamu.

"Jelita, sayangku. Aku sebenarnya tidak tahu, pikiran siapa yang disampaikan Juwita kepadaku. Mungkin gagasannya sendiri. Mungkin idenya Mahen. Mungkin juga pemikiran mereka berdua. Yang jelas aku terkejut dengan saran yang diajukan Juwita. Adikmu menyarankan kepadaku agar aku mencari penggantimu. Pengganti yang akan mendampingiku seperti kamu dulu mendampingiku, tempatku mencurahkan segala suka-duka dan tempatku mereguk sisa hidup yang masih akan kujalani. Memang aneh kedengaran. Tapi begitulah. Mereka tidak dapat disalahkan. Mahen dan Juwita sebenarnya lebih banyak didorong oleh rasa kasihan. Rasa yang timbul karena melihatku seorang diri di apartemen kita.

Rasa kasihan itu kurasa terutama timbul dari Mahen. Ia seorang lelaki. Ia tahu apa artinya seorang diri bagi seorang lelaki. Ia menganggapku sebagai orang yang haus di tengah padang pasir. Ia lalu ingin menolongku dengan menunjuki jalan bagaimana keluar dari padang pasir yang kejam itu. Ia tidak salah Jelita. Ia terlalu polos dan jujur.

Aku sebenarnya tidak berhak bicara atas nama siapapun, kecuali atas nama diriku. Dua tahun dalam kepura-puraan sempurna. Perfeksionis. Barangkali itulah kata yang tepat. Akibatnya Mahen dan Juwita menganggapku sebagai orang yang harus ditolong serta diselamatkan dari bencana. Kalau aku menganggap diriku seroang perfeksionis, mereka malahan menganggap sebaliknya. Dengan hidup menyendiri bagi mereka aku tidak sempurna. Aku telah melanggar kodratku sebagai manusia yang harus hidup berpasangan. Bagi mereka telah cukup bagiku untuk menyendiri. Setelah itu aku harus kembali seperti manusia-manusia lain. Beristri kembali. 

Mereka tidak salah Jelita. Mereka tidak salah. Akulah yang selalu bersembunyi di balik tabir sehingga mereka tidak mengetahui bahwa aku sedang mengenakan topengku di sana. Tapi apakah itu akan dianggap munafik terhadap orang-orang yang terdekat denganku sekarang ini?

Aku harus menceritakan semua ini sejujurnya kepadamu Jelita. Tidak ada orang lain tempatku bercerita. Kalau ini kuceritakan kepada siapa saja, tentu mereka menganggap perbuatanku itu adalah wajar. Penyesalan dan dosan tak harus menjadi beban.

Tapi karena aku merasakan adanya penyesalan dan dosa itulah makanya aku menceritakan semuanya itu kepadamu. Aku ingin keluar dari dosa dan penyesalan itu."

Aku meletakkan surat itu di atas meja. Kemudian aku berdiri dan mengambil surat itu kembali.

Aku berjalan beberapa langkah menuju kamar tidur. Kemudian teringat akan sesuatu, aku kembali lagi menghampiri meja tempatnya tadi menulis. Aku mematikan lampu ruang tamu dan kemudian berjalan dalam gelap menuju kamar tidur.

Aku membaringkan tubuh di atas tempat tidur dengan surat yang masih terpegang di tangan. Langit-langit kamar tidur menjadi sasaran matanya. Setelah beberapa lama aku mengalihkan pandangan dan menatap surat di tangan kembali. Aku menimang-nimang surat itu dan kemudian menyelipkan ke bawah bantal. Setelah itu aku mematikan lampu tidur.

Dengan dada lapang akhirnya aku tertidur mendengkur.

***

Kalimantan

Araya POV

"Kau mau membersihkan badanmu dulu?" Devi bertanya padaku setelah selesai membersihkan benjolan di kepalaku.

Aku mengangguk.

"Kalau begitu, mari," ajak Devi sambil beranjak. Aku mengikutinya, tapi segera setelah aku berdiri, aku kehilangan kesimbangan dan bisa saja jatuh kalau saja Devi tidak memegangiku. "Berpegangan padaku," katanya, sambil merangkul pinggangku.

"Terima kasih, aku bisa sendiri," aku berusaha bangkit.

"Ayo, kubantu ke kamar mandi," kata Devi.

Devi menuntunku ke ruangan kecil berkeramik putih, dilengkapi bak berendam dan pancuran air yang ditutup tirai abu-abu. Di dinding bagian atas terdapat sebuah jendela kecil yang terbuka lebar.

Devi meninggalkanku sendiri dan kemudian kembali membawa handuk yang kemudian ditaruhnya di tepi bak cuci tangan.

"Bisa sendiri? Di baki dekat cermin ada sabun dan semua yang kau butuhkan."

"Terima kasih."

Devi tampak memikirkan sesuatu. "Kuambilkan jubah mandi dulu," katanya. "Nanti kalau sudah siap, kau pakai jubah mandinya, akan kumasukkan baju kotormu ke mesin cuci."

Devi pergi sebelum aku sempat merespon. Tapi ia segera kembali membawa jubah handuk dan T-shirt putih. "Hanya ini yang bisa kutemukan. Ini milik putra kami, tapi sepertinya cukup untukmu."

"Terima kasih," kataku. "Tunggu.." aku mengangkat alis dan memasukkan tangan ke saku jins. Devi memandangku penuh tanya.

"Ada sesuatu di sini. Tadi malam aku merabanya. Coba lihat apa itu…"

Seperti yang aku duga, dua buah kunci. Yang kecil dan berwarna perak. Satunya lagi lebih besar dan berwarna tembaga, dan ada tulisan nomor 6 di situ. Aku membalikkan kunci itu, mengamatinya seolah benda di tanganku itu adalah perhiasan.

"Aku tidak tahu ini kunci apa."

"Yang itu kelihatannya seperti kunci hotel," kata Devi, menunjuk yang berwarna tembaga.

"Bisa jadi."

Aku menaruh kunci-kunci itu di atas handuk dan meraba saku jaket. Tidak ada apa-apa di dalamnya. Tidak ada kartu identitas kartu kredit ataupun dompet.

Aku menggeleng.

"Tidak ada ponsel?" tanya Devi.

"Tidak," jawabku sedih.

Apa aku tidak punya ponsel, aku bertanya-tanya atau ponselku juga hilang? Mungkin hilang. Ada nama siapa saja di daftar kontak teleponku? Siapa yang bisa aku telepon kalau saja ponsel itu ada padaku? Siapa yang mengkhawatirkan diriku? Pasti ada orang yang ingin tahu keberadaanku.

"Apa ada yang mengkhawatirkan aku sekarang?" ucapku keras-keras.

"Tentu saja," Devi menenangkanku. "Kita cari tahu itu nanti saja. Sekarang, mandilah atau kalau mau berendam, silahkan. Nanti kita bicara lagi kalau kau sudah kembalik ke bawah."

"Baiklah," kataku.

Devi menutup pintu, aku pun sendirian lagi. Aku mengamati diriku di cermin, berharap ada petunjuk. Rambut hitam sebahu kusut dan wajah yang dikotori tanah, lumut, rumput dan darah kering. Tubuhku yang lentur terlihat tidak karuan. Rasanya sakit jika disentuh dan nyeri bukan main. Tidak ada yang kelihatan patah atau retak, meskipun tangan kananku mungkin cedera, tampaknya hanya keseleo.

Tangan kiriku dengan lemah mencopot jaket dan melipatnya di ujung bak berendam. Lalu kubuka kancing jins dan memerosotkan ke bawah. Aku melepas blus dan bh. Terakhir, aku membuka kaus kaki dan celana dalam hitamku.

Saat melihat tubuh telanjangku di cermin, aku merasa asing pada diriku sendiri? Siapa kau? Tuntutku pada pantulan itu.

Aku berbalik menghadap keran, masuk ke bilik mandi dan membiarkan air menghujaniku, menyenangkan dan panas. Aku merasakan ledakan sesaat pada benjolan di kepalaku, namun rasa sakit segera mereda. Aku menengadah.

Tiba-tiba aku melihat sebuah panggung pertunjukkan didepan mataku.

Seorang artis cantik bermata coklat dan berambut pendek bergelombang sedang menyanyikan lagu Natal mengikuti iringan musik dari grand piano yang megah sambil sesekali melirik berbagai lukisan khas Natal dari cat minyak yang dipajang di sisi kanan dan kiri panggung.

begitu wanita itu sedang bernyanyi, dirinya sepertinya terlempar ke dunia lain dan kekacauan dalam pikirannya mereda. Setiap kali ia menyanyi, ia seperti berubah menjadi orang lain, menjalani kehidupan yang berbeda, memandang hidup dengan cara yang berbeda. Ia seakan menjadi siapa pun yang diinginkannya.

Hatinya terasa lebih ringan di tengah ramainya penonton yang sedang menikmati dengan khidmat senandung lagu Natal yang dia bawakan.

Ketiga lagu itu berakhir, para penonton bertepuk tangan dan bersiul. Wanita tersenyum lebar dan memberi hormat dengan anggun.

"Mari beri tepuk tangan yang meriah untuk Araya Revelia Tritila" suara keras seketika mendengung-dengung dalam kepalaku.

Aku membelalakan mata.

Itu dia namaku!

Araya.

Jantungku berdentum-dentum.

Sementara air mengucuri kulit tubuhku, ingatan-ingatan lainnya berlintassan di dalam benakku.

Lalu muncullah ingat itu. Nama lengkapnu adalah Araya Revelia Tritila. Dan aku adalah seorang penyanyi terkenal dari keluarga konglomerat di Bali.

Aku mematikan air. Jantungku berdegub kencang. Aku sudah mendapatkan kembali identitasku! Untuk sementara tidak masalah kalau aku tidak tahu penyebab aku kehilangan ingatan. Paling tidak, setidaknya aku sudah mendapatkan kembali Sebagian ingatanku. Aku tahu siapa diriku.

Aku mengeringkan tubuh dengan handuk, memakai handuk yang ditinggalkan Devi untukku, lalu memakai jubah mandi, mengikatnya di pinggang. Aku tinggalkan pakaian kotorku yang baunya sungguh mengerikan.

Kemudian aku turun untuk bergabung dengan Devi dan Bima.

To Be Continued