Chereads / Ksatria Rusak / Chapter 2 - Chapter 1: Aku Bukan Titik Awal

Chapter 2 - Chapter 1: Aku Bukan Titik Awal

Chapter 1: Aku Bukan Titik Awal

Biasanya, sinaran hangat pagi hari akan masuk ke celah-celah jendela dan pintu, tetapi tidak untuk rumah tua ini, ruangannya benar-benar tertutup rapat, bahkan diintip dari luar saja tidak terlihat sedikitpun penerangan di dalamnya.

Pintu depannya terbuat dari pohon pinus yang tampak sudah sangat rapuh, walaupun penampilannya begitu, tetapi daya tahannya cukup kuat, bisa terbukti dari seorang pria muda yang tak henti menggedor-gedor pintu itu

"Halo! Ada orang?!" seru si pria muda seraya mengintip di sela-sela lubang pintu.

Sesaat pria muda itu mengamati teras rumah tua yang tampak tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana, bahkan dia mengoleskan jari kepada kursi di dekat pintu yang penuh dengan debu, mempertegas jika tempat ini tidak ada makhluk yang mengurus, tetapi pria muda itu tidak menyerah, dia kembali menggedor-gedor pintu itu, sehingga membuat tetangga di samping rumah penasaran.

"Sepertinya pemilik rumah sudah mati," kata si pria tua yang sedang duduk menikmati anggur dan rokoknya.

"Berarti ada mayat di dalamnya," sahut si pria muda.

Secara tiba-tiba si pria tua bangkit dari kursi, lalu mengambil sebuah senapang di dinding teras rumah. Kemudian, dia berjalan ke tepian teras sembari mengokang senapang itu, dan menembakkannya. Membuat makhluk yang melompat-lompat diantara pepohonan depan rumah seketika tumbang.

"Sepertinya," jawab si pria tua.

Si pria muda hanya mengangguk, seraya berkata, "Informasi yang sangat membantu Pak! Terima kasih!"

Namun, si pria tua mempertegas perkataannya. "Aku sudah tidak melihat orang itu sekitar dua bulan lebih, jadi baguslah kalau ada yang mau mengurus mayatnya."

Kemudian pria tua itu berjalan ke depan teras dan mengambil hasil buruannya, lalu ia kembali masuk ke dalam rumah. Sedangkan si pria muda lanjut menggedor-gedor pintu rumah yang ada di hadapannya. Sampai terdengar bunyi mendecit dari balik pintu itu, dan tak lama terdengar suara berat seorang pria di dalam sana.

"Hei kau… pergilah dari sini!"

Walaupun sudah diusir oleh si penghuni rumah, pria muda itu tidak menyerah. Malahan dia berani membusungkan dada, dan memasang wajah yang penuh percaya diri.

Pria muda itu berkata, "Letnan, aku harap kau berkenan memberikanku waktu sebentar untuk kita bisa bicara. Ini penting."

"Ah! Berisik!" gumam si penghuni.

Namun, sesaat di sana terdengar bunyi pintu yang terbuka—terbuka begitu perlahan diiringi bunyi deritan halus gesekan pintu, membuat sinaran hangat pagi hari mulai merambat masuk merasuki ruang kegelapan, dan perlahan terlihatlah wujudnya di balik bayangan.

Pintu terus saja terbuka sampai tampak suatu sosok yang membuat mata menjadi penasaran, dan perlahan-lahan rasa penasaran itu terpenuhi ketika terlihat tatapan putus asa dari dua bola mata berwarna coklat-hitam.

Wajahnya pucat pasi berdiri di tengah kegelapan, melihat orang ini… seakan-akan ingin memastikan adanya kehidupan. Menakutkan? Tidak, karena sebenarnya ini adalah sosok yang sangat memprihatinkan—dengan seni luka bakar di badan.

Inilah Adam Maula, datang dari balik pintu dengan lihai memunculkan tangan yang cukup baik untuk memegang, lalu menarik kerah baju si pria muda.

Adam dengan tegas berkata, "Mengganggu saja. Apa mau mu?"

Si pria muda dengan cepat mengais saku jaket yang dia kenakan, lalu mengambil sebuah benda yang segera diperlihatkan kepada Adam.

"Ini tag Kapten Leo," kata si pria muda, "Istrinya memberikannya kepadaku, harusnya ini cukup untuk meyakinkanmu."

Tak butuh waktu lama untuk Adam berpikir, dia tanpa ragu membuka pintu selebar-lebarnya, dan menarik tubuh si pria muda sampai masuk ke ruang tamu. Hanya saja, bukannya merasa senang, pria muda itu malah terkejut saat melihat keadaan ruang tamu yang penuh dengan sampah busuk dan bau yang tidak menyenangkan.

Pria muda itu berkata, "Wow, seperti ada bau orang mati di sini. Mungkin, aku akan kembali lagi nanti."

Namun, malang sekali untuk pria muda itu, ia telambat, karena pintu sudah ditutup begitu rapat. Sudah tidak ada jalan lagi untuknya kembali.

Mereka secara bersaman duduk pada empuknya kursi sofa dengan suasana yang benar-benar tenang, dan mereka berdua tak henti saling menatap—mencoba mengenali satu sama lain.

Suasananya sempat hening sesaat, tetapi keheningannya pecah ketika Adam bertanya, "Kau siapa?"

Si pria muda menjawab, "Oh! Maaf! Aku lupa. Perkenalkan… namaku Damian."

"Damian?" tanya Adam, "Apa Linda yang menyuruhmu datang?"

"Linda?" sahut pria muda bernama Damian itu dengan wajah bingung sesaat. "Istri almarhum Kapten Leo?" Lalu dia menggelengkan kepala. "Bu-bukan," jawabnya.

"Lalu?"

"Aku datang atas keinginanku sendiri."

"Terus… apa yang kau inginkan dariku?"

"Baiklah, aku… kesini hanya ingin memberitahukanmu sesuatu."

Mereka berdua mengobrol cukup lama, namun di tengah-tengah obrolan itu terlihat ada perdebatan sengit di antara mereka hingga berakhir dengan Adam yang menunjukkan ekspresi wajah masamnya, saat Damian berkata, " Adam… percaya atau tidak percaya ini adalah nyata, dan akan terjadi. Aku ingin kau bersiap karena kau akan bertransmigrasi ke dunia lain. Percayalah padaku, aku bisa membantu–"

Adam secara tiba-tiba memukul meja di hadapan, membuat Damian tidak bisa menyelesaikan ucapannya.

Lalu Adam berkata, "Kau gila atau apa Nak? Hentikan fantasimu dan pulanglah."

Tanpa memberikan tekanan, Damian segera bangkit dan berjalan menuju pintu depan, tetapi sebelum dia pergi, Damian berkata, "Baiklah, aku pergi. Setidaknya jaga kesehatanmu. Ya… minimal mandi."

Adam tidak menghiraukan perkataan Damian, dan hanya membalas Damian dengan memalingkan wajah tanpa berkata apa-apa. Damian hanya bisa tersenyum kecil menatap Adam, lalu segera pergi dari sana.

Lalu, langit pagi menjadi siang, siang menjadi senja, senja menjelang silam, dan tak lama memunculkan warna malam. Ini harusnya adalah waktu untuk beristirahat, tetapi tidak untuk Adam, padahal dia sudah berbaring sangat lama di kasurnya.

Pikiran Adam sangat tidak tenang karena tak henti memikirkan perkataan Damian, membuat hati Adam menjadi begitu gelisah, sampai-sampai tak mampu lagi menahan untuk beranjak dari kasur menuju sebuah lemari kecil di samping.

Setelah itu Adam mengambil sebuah botol kecil yang terbuat dari kaca dari lemari itu, lalu dia mengguncangnya. Namun, tampaknya benda itu sudah kosong. Membuat Adam sontak menghela nafas panjang seakan dia sangat kecewa.

'Hah… Habis lagi,' ucap batin Adam.

Adam mulai bersiap keluar rumah dengan tujuan untuk membeli obat. Hanya berpakaian Jaket hoodie, dan celana jogger dari brand lokal kesukaannya, berpadu dengan sepatu sneaker yang terlihat sangat terawat, membuat kepercayaan diri Adam meningkat.

'Mandi hanya untuk orang lemah,' ucap batinnya.

Sampai sekitar satu jam berlalu, akhirnya Adam kembali ke rumah tuanya, tetapi Adam tampak sedikit murung saat ia duduk di sofa.

"Sial!" gumam Adam seraya melempar tanpa arah kunci motor yang dia pegang.

Kemudian Adam meregangkan kepala seraya merenung saat ia menatap langit-langit rumahnya.

'Harus resep dokter! Harus resep dokter! Ngentot! Apalah Cuk! Padahal aku lagi butuh. Mana apotek satunya jauh lagi, bensin sekarat, tabungan hampir habis, pengangguran pula. Tailah. Sudah sebelas tahun berlalu sejak aku diberhentikan dari militer karena alasan kesehatan mental. Kesehatan mental tai kucing! Aku sudah makan asam-garam dari aku kecil! Kenapa tidak bilang saja kalau kalian ingin menyalahkanku atas kematian semua anggota PKPT, termasuk kematian Kapten Leo. Aku bisa melihatnya dari mata kalian saat menatapku. Apa salahku? Aku hanya ingin menyelamatkan anak itu. Sial! Gini banget hidupku. Tapi… jika seandainya dibunuh saja anak itu kami tidak perlu berdebat, mungkin saja Kapten Leo dan yang lain masih selamat. Apa-apaan dah! Ngentot! Yang berlalu biarlah berlalu. Hanya saja, apa kabar anak itu sekarang yah? Bodoh amatlah.'

Adam sesaat dilanda oleh kekecewaan masa lalu, membuat Adam sempat lengah akan buramnya pengelihatan karena penyesalan yang begitu mendalam. Namun, tak disangka-sangka saat Adam menoleh ke arah meja di hadapan, tampak setitik kilauan cahaya—hanya saja bukanlah cahaya harapan.

Di atas meja, terlihat benda kecil yang tampak tidak asing bagi Adam. Pil biru terang yang sepertinya menggiurkan bagi orang yang membutuhkan. Senyum Adam seketika melebar sembari mengambil pil itu, dan tanpa pikir panjang ia mengambil air di dapur lalu menelan pilnya.

Kemudian Adam rehat beberapa menit di sofa sembari memejamkan mata, dan tak lama reaksi pil bekerja, tetapi Adam merasa ada yang aneh pada tubuhnya. Adam sontak membuka mata kembali, dan menjadi heran saat melihat kemunculan sebuah gerakan abnormal di hadapannya.

Berawal dari titik hitam yang mulai muncul, lalu perlahan titik itu spontan membesar, dan menelan seisi ruangan hingga menutupi pandangan Adam. Dan sekitaran sudah menjadi gelap sepenuhnya, bahkan Adam tidak bisa melihat tangan sendiri yang didekatkan ke wajah.

'Apa yang terjadi?! Aku tidak melihat apa-apa! Halu? Ini tidak seperti biasanya,' ucap batin Adam.

Adam segera bangkit, lalu berjalan pelan sembari menggapai benda-benda sekitar hingga Adam merasakan telapak tangan sendiri merasakan permukaan dinding. Penasaran dengan apa yang sedang terjadi, Adam mengusap kedua bola matanya dengan tangan.

'Apa aku buta?!' tanyanya, 'Ini tidak mungkin! Ini pasti pengaruh obat!'

Fenomena aneh ini membuat Adam menjadi sangat panik, tetapi ia tetap kekeh jika ini hanyalah pengaruh obat, tetapi jika ini adalah halusinasi, maka ini terasa mengerikan karena Adam merasa dirinya terus terjaga dalam keadaan sadar sepenuhnya.

Adam merasa tubuhnya mulai mati rasa, tak bisa berteriak, bahkan tidak bisa bernafas, tetapi hal itu membuat Adam merasa sangat aneh, karena Adam merasa baik-baik saja. Namun, ada perasaan aneh lain dari pergerakan tubuh Adam yang merasa dipindahkan dengan sangat cepat.

Adam tidak akan pernah tahu, kapan hal ini akan berakhir karena mungkin saja…

'Tunggu dulu! A-apa aku sudah mati?'