Fajar menyingsing jernih dan dingin, dengan kesegaran yang mengisyaratkan sejuknya udara di wilayah itu. Jika kamu berdiri menghadap matahari, maka kamu akan melihat hamparan sungai yang bersih, sedikit lebih jauh maka kamu akan melihat indahnya pemukiman yang tertata rapi, dan tambah sedikit lagi kamu akan melihat sebuah gunung-gunung batu yang menjulang tinggi.
Di jalan itu terlihat Adam dan Joy yang sedang melakukan perjalanan dengan suasana yang tampaknya sedikit canggung, mungkin karena mereka belum saling mendalami satu sama lain. Adam terlihat tenang, sedangkan Joy agak tidak karuan, mungkin karena Joy tidak terbiasa berjalan dengan seorang pria, terlebih Joy adalah seorang pelayan suci yang bekerja di sebuah kuil.
'Kenapa dia hanya diam? Padahal… dia kan laki-laki, seharusnya dia yang membuka pembicaraan, bukannya aku terus! Apa memang semua laki-laki seperti ini! Menyebalkan!' ucap batin Joy.
Melihat Joy yang tampak mulai terlihat aneh membuat Adam bertanya, "Ada apa?"
"Ti-tidak apa! Tidak apa!" sahut Joy dengan senyuman terpaksa.
"Baiklah," kata Adam "Ngomong-ngomong… di desa sepi, hanya ada beberapa lansia. Memang orang-orang pada kemana?"
"Semua pria bekerja," sahut Joy seraya menunjuk ke arah pegunungan di samping, "Mereka pergi ke pegunungan untuk menambang." Kemudian Joy menunjuk lagi ke arah pemukiman kota yang tepat berada di depan pegunungan, dan lanjut berkata, "Sedangkan para wanita pergi ke kota untuk menjual dan membeli kebutuhan."
"Begitukah? Memang pegunungan itu memiliki tambang apa?" tanya Adam.
"Kristal mana, " jawab Joy.
Mendengar jawaban itu, sorotan mata Adam sontak menyipit menatap Joy, lalu Adam berkata, "Kristal mana? Apa itu?"
"Gimana ya…," sahut Joy, "Pokoknya kristal itu menyimpan sejumlah mana di dalamnya. Masa kamu tidak tahu sih. Aneh banget."
"Memang untuk apa?" tanya Adam lagi
"Macam-macamlah! Untuk alat-alat sihir!" jawab Joy sedikit heran, "Kamu beneran tidak tahu? Tunggu… kamu hidup di mana sampai-sampai tidak tahu hal itu? Padahal itu sangat umum."
Perkataan Joy benar-benar tidak bisa terserap dengan mudah, sehingga membuat Adam sesaat berpikir, 'Untuk alat-alat sihir? Apakah ini yang dibilang oleh Ratih tentang konsep dunia yang berbeda dari dunia yang kukenal? Monster-monster yang kutemui, sihir, dan sepertinya ada banyak lagi.'
Penasaran, Adam lantas bertanya lagi kepada Joy, "Bisakah kamu menjelaskan lebih detail?"
"Aku tidak bisa," kata Joy sembari menggaruk-garuk pipi dengan telunjuk jarinya, lalu dia lanjut berkata, "Aku tidak pandai menjelaskan, jadi akan lebih baik kalau kamu langsung bertanya saja dengan pakarnya."
"Kemana aku harus menuju?" tanya Adam.
"Cukup ke kota terdekat saja, Kota Veronica," jawab Joy.
Setelah cukup jauh berjalan, Adam berhenti melangkah ketika melihat hutan tropis yang tampak alamnya tidak pernah tersentuh oleh manusia. Nampak pohon-pohon berbatang coklat gelap tumbuh dengan sesuka hatinya, sedangkan akar-akarnya tumbuh membludak dan berlumut, menandakan pohon-pohon itu sudah sangat tua.
'Ada yang aneh dari hutan ini, dan terasa jiwaku ditarik olehnya,' ucap batin Adam seraya berjalan mendekat ke arah hutan.
Joy sontak berbalik menatap Adam, dan Joy berkata, "Itu zona Hutan Kematian. Warga desa melarang siapapun yang pergi ke sana, kata mereka berbahaya."
Adam lantas bertanya, "Memang kenapa?"
Joy menjawab, "Jauh di dalam sana, katanya ada monster jahat. Monster itu akan memangsa siapapun yang masuk ke dalam hutan."
"Terdengar seperti mitos," sahut Adam meremehkan.
Joy mendekati Adam, lalu bercerita, "Begitu juga yang di bilang salah satu orang dari desa sebelum menghilang, dulunya dia seorang prajurit bayaran. Jadi waktu itu dia mabuk bersama teman-temannya, berjalan pulang melewati jalan yang persis kita lewati saat ini. Lalu salah satu temannya bercerita tentang bahayanya hutan tersebut, tapi prajurit bayaran itu malah menantang dan masuk ke dalam hutan sendirian. Alhasil, dia tidak pernah pulang sampai sekarang."
Namun, Adam tidak menghiraukan sama sekali cerita dari Joy. Tanpa takut Adam terus saja berjalan sampai berada di mulut hutan. Joy yang melihat itu sontak menghentakkan kakinya pada tanah, dan Joy berkata lagi, "Hei, dengar tidak?! Kita tidak diperbolehkan lewat hutan ini karena kita akan memutarinya," sambung Joy seraya memutar jarinya, "Nah! Nanti ada zona hutan yang menurut orang-orang desa aman. Zona yang dipakai untuk keluar-masuk desa."
Tampaknya Adam tidak bisa dihentikan hanya dengan kata-kata, Joy pun segera datang dan menarik tangan Adam untuk kembali ke jalur yang sudah ditentukan.
Adam hanya bisa mengalah. "Ya. Ya. Baiklah," kata Adam, "Hanya saja, aku mengenal pohon-pohon itu," tambahnya.
"Benarkah? Pohon apa itu?" tanya Joy.
"Pohon Ulin," jawab Adam.
"Hem… aku tidak pernah tahu nama-nama jenis pohon," kata Joy sedikit penasaran, "Tapi yang pasti itu bukan hutan tujuan kita."
"Terserahlah," kata Adam, "Hanya saja… berapa lama kau akan memegang tanganku?"
Mendengar itu Joy dengan spontan membuang tangan Adam dengan wajah yang mulai dia sembunyikan.
"Ma-maaf! Aku lupa!" katanya seraya berjalan lebih dulu dari Adam.
Adam yang merasa heran dengan gadis yang satu ini membuat pikirannya berkata, 'Apa yang terjadi kepadanya? Gadis yang aneh.'
Mereka berdua akhirnya sampai di depan hutan yang menurut Joy aman, dan masuk ke dalamnya, dan terungkaplah keindahan eksotis dari hutan ini yang memiliki organisme hidup tanpa campur tangan makhluk berakal. Pohon kecil, pohon besar, tanaman liar, dan tumbuhan parasit hidup berdampingan tanpa adanya permasalahan sosial. Burung-burung bertebangan kesana-kemari untuk pergi mencari makan, dan kembali lagi ke dalam sarang sembari berkicau merdu seakan memberitahukan kalau mereka hidup dengan tenang.
Ini memang pertama kali bagi Adam menyentuh hutan ini, tetapi dejavu membuat memorinya kembali, memori saat dia pertama kali dikirim ke hutan Borneo Tengah, dengan misi penangkapan tiga teroris yang bermarkas di hutan.
Setelah berkeliling cukup jauh di dalam hutan, Adam dan Joy memutuskan kembali ke desa.
Dan di tengah jalan, Joy bertanya kepada Adam, "Jadi bagaimana? Kamu akan ambil pekerjaannya?"
"Ya. Aku akan mengambilnya," jawab Adam.
"Nanti… apa yang akan kamu butuhkan?" tanya Joy lagi.
"Semua jenis alat yang bisa kupakai," sahut Adam, "Memang orang-orang desa punya alatnya?"
"Kurasa ada," kata Joy, "Lihat saja nanti."
Akhirnya mereka sampai di desa. Joy langsung saja membawa Adam ke gudang penyimpanan untuk mengambil alat-alat yang Adam butuhkan. Namun, Adam merasa tidak yakin meminjam barang-barang milik desa, karena dirinya hanyalah orang asing di tempat itu.
"Apakah tidak apa-apa meminjam semua alat ini?" tanya Adam tampak ragu.
"Jangan dipikirkan. Semua akan aman jika kita mengembalikannya, dan aku juga sudah bilang kepada tetua desa. Jadi aman."
'Gadis ini terlalu polos sih,' ucap batin Adam.
Setelah mendapatkan alat yang dibutuhkan, Adam dan Joy memutuskan untuk kembali ke hutan sebelumnya, dan setelah mencapai tengah hutan Adam dengan segera mencari pohon yang cocok untuk ditebang, yaitu pohon-pohon pinus.
Adam memulai dengan mencari pohon yang terlihat paling mudah untuk ditebang. Kemudian Adam menyapu permukaan tanah dengan kaki, lalu merapikan tanah pijakan di dekat pohon agar si penebang pohon aman saat melakukan pekerjaan.
Setelah itu Adam mulai bergerak dengan kapak di tangan, baru lanjut membuat posisi memutar dengan kapak yang diangkat ke belakang, lalu dia layangkan ke batang pinus sampai terdengar bunyi dentuman, dan Adam ulangi lagi gerakan itu berulang kali hingga menciptakan dentuman yang sama, namun seirama.
Keahlian Adam sebagai penebang kayu sangat luar biasa, penampilannya begitu elegan, sungguh terlihat seperti pemilik tangan yang terampil, sampai-sampai membuat pinus kokoh itu terkikis sedikit demi sedikit.
Di sisi lain Joy sedang duduk di bawah pohon yang tak jauh dari Adam, dia tampak menikmati pertunjukkan itu, sampai-sampai pikirannya menunggu alunan kapak menyentuh kulit pinus.
Kilauan baja dari kapak memantulkan cahaya matahari, sehingga menyilaukan mata saat kapak diangkat tinggi. Namun, vitalitas tak mampu lagi bertahan, bahkan helaan nafas juga sudah terdengar sangat berat, baju begitu basah oleh keringat, dan tangan juga sudah terasa lemas sekaligus perih, membuat segenap kekuatan yang terkumpul untuk serangan terakhir dibatalkan. Kapak pun jatuh ke tanah bersamaan dengan Adam yang tersungkur karena lelah.
"Hah! Aku menyerah!" kata Adam dengan nafas yang tersengal.
"He…!" teriak Joy tampak terkejut, "Belum saja semenit!"
Adam juga sama terkejutnya dengan keadaan fisik yang benar-benar berbeda. Dia benar-benar merasa lemah hingga terduduk bungkam di atas tanah.
'Sial! Aku harus memulai hidup sehat, dan melatih fisik ini kembali,' ucap batin Adam seraya menatap langit biru yang luas.