Gumpalan awan gelap benar-benar menutupi tempat ini, membuat mereka yang seharusnya menikmati hangatnya mentari, malah merasakan dinginnya hujan di pagi hari. Saat itu mereka tidak tahu apa-apa, dan hanya bermalas-malasan di tempat tidur mereka dengan selimut kasar yang ditenun oleh para wanita. Hujan mendung membuat pikiran mereka menjadi tenang, sampai-sampai anak yang sebelumnya terbangun oleh tetesan air hujan kembali memejamkan mata. Berangsur-angsur tetesan hujan semakin deras, membuat suara dari luar tidak lagi terdengar, hingga tidak ada yang bisa mengganggu tidur mereka lagi hari ini, kecuali sebilah pedang yang menembus dada mereka.
Adam berdiri di tengah kekacauan dengan pemandangan yang sangat mengerikan, di mana darah dan daging seorang gadis tercecer di tempat Adam berpijak. Cairan merah itu perlahan terbawa oleh derasnya air hujan, hingga mengisi celah-celah lubang tanah dan menjadikannya kubangan lumpur berwarna merah. Dikelilingi oleh makhluk-makhluk berwajah garang yang tampaknya adalah monster dengan latar sebuah desa yang habis terbakar, membuat Adam hanya bisa terdiam, padahal dia memiliki pengetahuan lebih dari seribu kata, mungkin hal itu tejadi karena akalnya saat ini benar-benar tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kemudian salah satu dari sekumpulan monster itu mendatangi Adam, hingga jarak mereka begitu dekat sampai wajah bertemu wajah. Bahkan, saking dekatnya mereka, Adam dapat merasakan dekuran nafas hangat dari mahkluk itu yang tak sengaja meniup permukaan wajah.
Dan secara mengejutkan, monster itu berteriak, "Orang ini milikku!" ucapnya seraya melayangkan cakar hitam yang tampak mengkilap tajam.
Namun, serangan itu tiba-tiba berhenti ketika si monster merasakan ada yang aneh dengan orang yang berada di hadapannya, yang tampak tidak menunjukan rasa ketakutan sama sekali. Tidak mau dipermalukan, si monster kembali mengancam dengan berkata, "Kuberikan kesempatan untuk lari dari sini dalam kurun waktu sepuluh detik, kalau tidak mampu, aku akan langsung membunuhmu. Aku akan hitung dari… sekarang! Satu! Dua! Ti—"
Hanya saja Adam tidak melakukan apa-apa, membuat monster itu menjadi heran sembari menggaruk-garuk kepala. Tidak kehabisan cara, monster itu mulai meletakkan cakar besarnya ke leher Adam seraya berkata, "Padahal kau akan terpotong. Kenapa tidak lari saja?"
Adam lantas menjawab, "Biasanya saat sedang bermimpi itu tidak bisa berlari dengan cepat."
Mendengar pernyataan dari Adam yang terdengar konyol, si monster sontak tertawa terbahak-bahak. "Mimpi katanya! Ha! Ha! Ha! Ayo coba cubit pipimu biar kau tahu!" kata si monster.
Seperti anak kecil yang dipermainkan oleh orang dewasa, Adam dengan polosnya mematuhi perkataan dari si monster dengan mencubit keras pipi kanannya, dan akhirnya sedikit dari rasa sakit itu membuat Adam tersadar.
'Sakit? Jangan bilang aku tidak sedang bermimpi! Semua ini nyata?! Apa-apaan ini?!' ucap batin Adam.
Melihat ekspresi Adam yang tampak terkejut, monster itu sontak menunjukkan wajah yang tidak biasa, dan berkata, "Oi! Oi! Jangan bilang kau takut sekarang?!"
Monster itu bertanya tentang ketakutan yang Adam miliki, jelas itu adalah pertanyaan yang tidak pantas sama sekali. Adam terdidik disiplin oleh ayahnya yang juga mantan seorang veteran, berteman dengan orang-orang yang rela membuang masa mudanya hanya untuk mempertaruhkan nyawa demi negara, tetapi apakah hal itu membuat Adam menjadi orang yang tidak kenal rasa takut? Tidak! Rasa takut akan tetap terus ada, namun Adam lebih dulu berdamai dengannya.
"Jika seandainya kau yang berada di dalam posisiku? Apakah kau akan takut?" tanya Adam kepada monster itu.
Namun, entah kenapa? Si monster tiba-tiba mundur satu langkah dengan ekspresi yang tampak ketakutan, saat melihat pancaran aura hitam mengelilingi Adam yang terasa seperti mengancam hidupnya. Sehingga membuat pikiran si monster mulai bernostalgia dengan trauma masa lalu ketika dia bertemu dengan makhluk yang jauh lebih kuat darinya.
Tidak ingin berdiam diri, si monster dengan cepat melompat ke arah Adam, seraya melayangkan cakarnya.
Lalu monster itu berkata, "Aura harum yang sangat mematikan! Bagaimana kau bisa–"
Namun, secara mengejutkan tubuh monster itu malah terbelah menjadi dua yang tampaknya dilakukan oleh satu-satunya monster paling besar di antara mereka.
"Kita harus sisakan satu yang hidup untuk melakukan sesuatu," kata monster yang paling besar itu.
Lalu tanpa sadar, suasana perang sudah terhenti, bahkan suara histeris tidak terdengar lagi, dan semua monster berbulu itu pun beramai-ramai berkumpul mengitari satu tempat yang tampaknya adalah tempat terkuat, yaitu kursi singgasana Sang Raja.
Kemudian monster yang berukuran lebih besar mendekat pada sosok yang derajatnya lebih tinggi, lalu dia berlutut di hadapan rajanya bersamaan dengan monster-monster lainnya.
Monster besar itu berkata, "Tuanku, Gondo, kami sudah tidak menemukan yang hidup lagi, semuanya sudah dibantai kecuali orang ini," ucapnya sembari menunjuk ke arah Adam.
Raja itu bernama Gondo, raja dari salah satu ras dari kegelapan yang terkenal sangat kejam, tetapi saat ini Gondo tampaknya hanya diam menatap Adam dengan tatapan yang sangat malas, sepertinya Gondo tak tertarik sama sekali untuk menyapa orang lemah. Kemudian Gondo mengubah posisi duduk seraya menancapkan pedang besar di sisi kanan, lalu Gondo bangkit, dan berjalan pelan dengan jubah hitam usangnya. Jubah itu menutup semua bagian tubuhnya kecuali tangan. Setelah itu Gondo tiba-tiba berhenti melangkah, dan menunjuk ke arah tubuh pria yang sedang terbaring di atas tanah.
"Pria itu masih bernafas," ujar Gondo.
Membuat salah satu monster yang dekat segera menyeret tubuh pria sekarat itu, dia sempat melawan dengan berteriak dan meronta-ronta, tetapi saat satu monster lagi datang mendekatkan pedang pada leher si pria, dia seketika terdiam dengan mata yang penuh keputusaasan.
"Kumohon ampuni aku," katanya seraya merintih kesakitan.
Namun, tanpa menahan diri monster itu mengangkat pedangnya dengan kedua tangan, lalu dengan cepat melayangkan pedang itu, seraya berseru, "Untuk penguasa kegelapan!"
Kepala pria itu spontan terlepas dari lehernya, lalu memantul di atas tanah dan menggelinding ke arah monster lain. Dan kejamnya, kepala pria itu mereka tendang-tendang selayaknya sedang bermain sepak bola.
Kemudian Raja Gondo mendekat kepada Adam, dia berkata, "Pergilah dari sini. Entah kau mau pergi kemana saja, terserah kau, tapi hanya cukup dengan berjalan, maka aku akan menjamin keselamatanmu. Tapi ingat syaratnya, jika kau berpaling atau lari, aku akan segera membunuhmu."
"Benarkah?" tanya Adam dengan ragu, "Kalian pasti akan membunuhku saat aku lengah nanti."
"Kami sekumpulan petarung," jawab Raja Gondo, "bukan sekumpulan penipu."
Mendengar pembicaraan itu, semua monster di sana seketika tertawa, bahkan salah satu dari mereka berkata, "Yah! Padahal aku ingin melihatnya terpotong!"
Terus ada lagi yang mencerca.
"Eksekusi saja langsung!"
"Potong saja kayak babi!"
"Biarkan aku memakan dagingnya!"
Seruan para monster itu membuat tanah sekitar menjadi bergetar, membuat telinga berdenging sampai tak bisa berfungsi dengan benar. Adam berjalan di sisi mereka yang perlahan membukakan jalan, namun tak henti Adam dicerca habis-habisan.
'Berisik sekali,' ucap batin Adam yang mulai merasa tidak nyaman.
Sejauh mata memandang, Adam sudah tampak berjalan cukup jauh dari mereka, tetapi di saat Adam sudah hampir masuk ke dalam hutan, Raja Gondo bergerak melakukan sesuatu tanpa sepengetahuan Adam.
Raja Gondo berkata, "Dengan otoritas-ku mengendalikan ketakutan suatu makhluk. Semua yang mengetahui keberadaanku. Akan tunduk di bawah kekuatanku yang mutlak. Rasa takut."
Raja Gondo kemudian mengangkat salah satu tangannya, seraya mengeluarkan setitik Mana gelap dari ujung jari telunjuk, lalu dia arahkan langsung kepada Adam.
"Siapapun entitas yang terkena kutukanku, bahkan dewa-dewi sekalipun akan tunduk," tambahnya.
Setitik Mana gelap itu pun ditembakkan, dan dengan cepat melesat seperti kecepatan peluru hingga mendarat mantap di punggung Adam. Awalnya Adam tidak merasakan apa-apa, tetapi tiba-tiba nafasnya mulai terengah lelah, dan perlahan otot lehernya mulai terasa berat.
'Apa ini? Kenapa aku tiba-tiba merasa ada yang aneh?' ucap batin Adam yang mulai terasa tidak karuan.
Pikiran Adam mulai ketakutan dengan hati yang mulai khawatir dengan ancaman-ancaman dari monster yang mencercanya barusan, dan perasaan dingin perlahan muncul dari bawah kaki menuju ke tubuh atas, membuat bulu kuduk sontak bangkit menjadi tegang, dan Adam merasa seakan Raja Gondo terus saja mengawasi dari kejauhan.
'Padahal aku sangat yakin jika jarakku dengan mereka sudah sangat jauh! Tapi apa ini?! Kenapa seakan mereka terasa sangat dekat denganku! Aku kenapa?! Apa yang dilakukan mereka di belakang sana?! Aku tidak tahu?! Ke-kenapa aku semakin takut?! Aku takut untuk berpaling! Aku takut untuk berlari! Aku takut untuk diam! Bahkan aku takut untuk kehilangan kesadaran! Aku harus terus berjalan karena… aku takut untuk berhenti!'
Adam memutuskan untuk terus berjalan dari pagi sampai malam dengan dihantui oleh bayang-bayang rasa takut yang tidak kunjung usai. Namun, setengah sadar Adam tiba-tiba mendengar suatu bisikan di dalam telinganya, seperti suara seruan dari seorang gadis yang terdengar meredam.
"Halo! Kamu sudah sadar?!" katanya.
Rasa takut Adam perlahan memudar, bisa terlihat dari tatapan mata Adam yang bermula kosong perlahan terisi oleh kehidupan, tetapi Adam merasa sudah sangat lelah dan tak sanggup lagi menahan bebannya, membuat dirinya berakhir jatuh pingsan.
Sampai beberapa jam berlalu, Adam mulai tersadar dari pingsannya, bisa terlihat dari kelopak mata yang bergerak-gerak, dan terbuka. Akan tetapi, alangkah terkejut Adam ketika mengetahui hari yang dia lihat sudah gelap malam.
"Gelap… aku di mana?!" gumam Adam seraya bangkit dari tidurnya.
Namun, secara tiba-tiba wajah Raja Gondo terbayang di dalam pikiran Adam, membuat Adam dengan cepat memalingkan pandangan ke arah belakang, dan tanpa sadar Adam berteriak begitu lantang.
"Aaa…! Tidak! Monster!" serunya ketakutan.
Hanya saja… yang tampak hanyalah sosok seorang gadis muda yang sedang menyapa, "Hei! Kamu baik-baik saja?"
Dia seorang gadis cantik berambut pirang dengan mata berwarna biru kehitaman, wujudnya begitu indah—seperti laut tenang dan mentari terang. Warna bibirnya cantik seperti jambu air merah muda yang menutup empuk ketika dia berbicara. Wajahnya mungil, namun terlihat sedikit kesal, disebabkan oleh Adam yang menghiraukan dia karena sedang berbicara.
"Kamu sedang apa tengah malam di hutan ini? Kamu dengar tidak? Monster apa yang kamu maksud? Dih! Kenapa mengabaikanku begitu sih?! Hei?! Halo?! Dengar tidak?!" tanya gadis itu bertubi-tubi kepada Adam.
Sesaat Adam tidak merespon gadis itu, karena serpihan jiwanya baru terkumpul di dalam raga, membuat Adam kebingungan ingin menjawab apa, padahal mulutnya sedari tadi sudah terbuka. Dan yang mampu Adam katakan hanyalah…
"Tidak ada. Aku pergi."
Mendengarnya, si gadis tampak menjadi kesal. Tanpa banyak omong dia langsung menepuk punggung Adam cukup keras, sampai membuat bunyi yang terdengar renyah di dalam telinga.
Gadis itu seraya berkata, "Sadarlah! Aku baru saja membantumu! Setidaknya—"
Namun, tiba-tiba gadis itu berhenti berbicara saat melihat Adam yang tampak tidak bisa mengontrol tubuh dengan baik akibat dari pukulannya. Hanya saja Adam berusaha untuk seimbang, dan berhasil, tetapi saat Adam menghirup nafas panjang Adam berakhir jatuh pingsan.
Adam terbangun di keesokan hari, di rumah kecil yang terlihat biasa saja. Kemudian Adam bangkit dari kasur yang terbilang cukup pas dengan tubuhnya, lalu Adam melihat sekitar ruangan dan sadar jika tempat yang dia singgahi bukan hanya sebuah kamar, tetapi sekaligus dapur dan meja makan.
Setelah itu gadis tadi malam itu datang menyapa dari pintu depan menuju ke arah dapur.
Gadis itu berkata, "Sudah merasa baikan? Kalau sudah. Segera ganti pakaianmu karena tampaknya sudah rusak," pinta gadis itu seraya menunjuk pakaian berwarna cokelat di sudut kasur yang sedang Adam tempati.
Adam lantas menatap pakaiannya yang terlihat lusuh. "Pakaianku…?" gumamnya, "Seingatku, aku menggunakan jaket hoodie."
Adam tampak kebingungan mengetahui jaket kesayangannya hilang entah kemana, tetapi si gadis mencoba memberi jalan keluar dengan berkata, "Tak perlu ragu. Pakaian itu gratis aku ambil dari Kuil."
Kemudian Adam bangkit dari kasur itu, dan berjalan pelan ke arah jendela.
Adam bertanya, "Hei… ini di mana?"
Gadis itu tampak tidak suka, hanya saja bukan karena pertanyaan Adam, tetapi karena gestur dan perlakuan Adam yang tidak sopan.
"Ngomong-ngomong, aku punya nama," kata gadis itu, "Dan pastinya bukan 'Hei'."
Sesaat Adam hanya bengong menatap si gadis dengan tatapan yang mampu membuat gadis itu tersipu malu.
Gadis itu sontak memalingkan wajahnya seraya berkata, "Namaku Joy Abby, panggil saja Joy."
Lalu Adam bertanya lagi, "Joy, ini di mana?"
Joy menjawab, "Ini rumahku."
"Bukan," sahut Adam, lalu Adam mempertegas, "Maksudku tempat ini di mana?"
"Oh! Ini Desa Sari," jawab Joy.
"Desa sari?" tanya Adam penasaran.
"Ya, ini termasuk wilayah Kerajaan Meera."
'Kerajaan Meera?' pikir Adam, 'Tidak pernah aku mendengar sebuah kerajaan bernama Meera, jadi saat ini aku benar-benar berada di dunia lain?'
Adam yang sesaat terdiam untuk berpikir, lanjut bertanya, "Apa kamu tahu istilah kata Midgeb?"
Joy menjadi tampak panik dengan pertanyaan itu, dia berkata, "Pertanyaan macam apa itu? Ta-tapi tentu saja aku tahu! Aku bukan gadis bodoh ya!"
"Sialan! Ini benar!" gumam Adam tampak terkejut dengan kenyataan.
Panci yang berada di atas tungku api mulai membuat bunyi, Joy dengan segera mengambil sendok kayu di dekat panci itu, lalu mengaduk beras yang sudah berubah menjadi bubur harum yang kaya akan rempah-rempah.
"Tampaknya kamu bukan asli orang Meera," kata Joy, "Kamu dari mana?"
"Dari bumi," jawab Adam.
"Bumi? Aku baru pertama kali mendengarnya. Apakah itu nama kerajaan?" tanya Joy lagi.
"Kurasa terlalu panjang ceritanya, jika kujelaskan," jawab Adam seraya berjalan ke arah pintu depan.
"Baiklah! Hei! Tu-tunggu kamu mau pergi kemana?" tanya Joy, "Aku sudah buatkan sarapan untukmu."
"Tak usah repot-repot denganku," sahut Adam, lalu setelah dekat dengan pintu, Adam melambaikan tangan kepada Joy dengan gaya kerennya. "Aku pergi, nanti jika aku punya uang untuk mengganti pakaian ini. Aku akan segera menggantinya."
Namun, sebelum langkahnya menyentuh dunia luar, secara tiba-tiba terdengar bunyi perut keroncongan yang luar biasa, dengan rasa lapar yang tak pernah terbayangkan. Rasa lapar itu benar-benar memaksa Adam untuk kembali ke dalam ruangan, dan duduk di meja makan.
Joy sontak tertawa kecil melihat tingkah laku pria yang satu ini, dan dengan senyuman Joy membawa satu piring makan yang Joy letakkan di hadapan Adam. Adam tidak memperdulikan apa-apa lagi, yang dilakukan hanyalah langsung menyantap makanan dengan lahapnya.
"Rasanya lumayan," kata Adam yang tampak sudah kehilangan urat malunya.
Mendengar Adam berkata seperti itu membuat Joy menjadi sangat senang, lalu Joy menarik salah satu meja makan, dan mulai membuka pembicaraan.
"Aku bisa membantumu, tapi beritahu dulu aku namamu," kata Joy.
"Namaku?" kata Adam seraya menelan lembutnya bubur buatan rumahan. "Adam Maula, panggil saja Adam."
"Adam! Salam kenal!" ucap Joy dengan senyuman.