Bunga selamat. Dan seharusnya tidak mengejutkan jika pada akhirnya dia masih hidup. Keberuntungan akan selalu berada pada pihaknya, bahkan jika dia berhadapan dengan monster paling berbahaya di dunia ini. Bagaimana dia masih bisa hidup? Sesungguhnya itu mudah saja.
Tombak itu sudah satu senti di depan mata ketika tiba-tiba lelaki Sima itu berhenti. Dia kesal. "Bangsat!" katanya. Lalu dengan tombak dia hancurkan kaca jendela. Dia melompat ke jejeran kursi lalu kabur dari sana.
Bunga tidak tahu kelanjutannya; apakah dia bisa bebas atau malah sudah mati saat kabur.
Ada kelompok pasukan Jagal Sima lainnya tiba di gerbong itu, menjelaskan kenapa tiba-tiba dia menghentikan pertarungan sepihak ini. Setelah itu? Dia diselamatkan. Begitu saja.
"Maaf ya Ibu enggak bisa datang jenguk kamu."
"Enggak apa-apa, Bu–."
"JELAS INI APA-APA, BUNGA!" Bunga menjauhkan ponsel lipatnya karena suara ibu terlalu berisik. "Kamu enggak mikir apa?" Dia mulai menangis. "Kamu lagi banting tulang cari kerjaan, tiba-tiba ... tahu-tahu jadi korban monster itu ... Ibu enggak kuat pas lihat keadaan kamu di berita."
Bunga diam.
"Gimana keadaan kamu sekarang? Terus kuping ...?"
Hujan turun. Merengkuh dengan derasnya pada ruang kamar inap yang hening. Hanya ada Bunga sendiri. Keadaannya secara fisik sudah jauh lebih baik. Semua biaya perawatan ditanggung oleh Program Keselamatan dari Ancaman Sima, sebuah program asuransi kesehatan pemerintah khusus korban Sima.
Namun, operasi rekonstruksi ulang daun telinga Bunga yang telah terputus sepenuhnya tidak ditanggung asuransi. Pamannya membiayai operasi itu. Dan dengan kemajuan teknologi, operasi yang Bunga sedikit tahu bahwa prosedurnya mereplika bagaimana Sima melakukan regenerasi tubuh yang terputus, berhasil dilakukan tanpa kecacatan sedikit pun.
Kepala Bunga sekarang hanya sedikit pusing. Hening membuatnya terjerembap pada lautan pikiran yang tidak keruan, sambil menjawab semua serbuan pertanyaan dari ibu nan jauh di sana. Dia menjelaskan dengan ala kadarnya; bagaimana dia bisa selamat, sampai dibawa ke rumah sakit.
"Udah dulu ya, Bu. Nanti kalau ada kabar, Bunga telepon lagi," kata Bunga.
"Tunggu, Bunga–."
Bunga menutup ponsel lipat. Otomatis menghentikan pembicaraan. Setelah tidak tahu ingin apa, siaran TV menjadi pusat hiburannya.
Hanya saja, ke mana pun dia berpindah, seluruh kanal di TV menceritakan pembantaian kemarin. Beribu liputan di lokasi, rumah sakit, dan tangis dari para keluarga. Selain itu, bagaimana topik keamanan publik dari Sima ramai di bahas pada kancah politik menjelang pilpres tahun 2034 ini.
Dan dirinya ada beberapa kali terlibat dalam berita-berita itu.
Dia yang sudah kenyang dengan makan siang dari masakan rumah sakit, tidak berniat menambah porsi makan berita yang masih menggoreng pembantaian, jadi dia matikan TV, membiarkan derasnya hujan semakin menenggelamkan dirinya pada pikiran ruwet yang hanya membuatnya pening.
Kedua tangan bergerak untuk menutup telinga.
Suara jeritan akan ketakutan. Ledakan pembantai massal. Pembunuhan atas seorang Ibu, malaikat yang ingin melindungi hidup seorang anak. Kepalanya dihancurkan bagai celengan. Kepalanya dibelah bagai isi kelapa.
Lalu tubuh yang bergidik. Kapak yang menghancurkan batas, oleh Sima berjanggut putih. Kembali pada apa yang menjadi tujuan. Balasan dari mereka yang menjadi harapan kemanusiaan.
0.01% monster yang hidup dari serangan mereka yang membunuh 99,99%. Dan sisanya, adalah keberuntungan. Semuanya berputar dalam pikiran, bagaikan siang dan malam yang hidup dalam sirkulasi kehidupan.
Jika saja dia mau, Bunga akan bertanya pada ibunya kenapa dia beruntung bisa selamat dari pembantaian itu. Atau, bertanya kenapa dia selalu beruntung di hidupnya. Namun, tidak dilakukan.
Jauh sebelum dia merantau ke Depok untuk kuliah S1 Komunikasi di Universitas Indonesia dan pergi ke Jakarta untuk mencari pekerjaan, Bunga selalu melontarkan pertanyaan yang sama.
Meski tidak lebih mengerikan dari pembantaian hari itu, dia selalu selamat dari ancaman Sima. Hanya saja, Ibu selalu bilang kalau Bunga itu anak baik dan dia harus selalu mensyukuri hal tersebut. Tentu saja jawaban itu tidak menyudahi pertanyaan. Toh Bunga tidak merasa dirinya orang yang baik; dia pernah mabuk-mabukan saat masih kuliah.
Semua keruwetan ini hanya berujung pada panasnya kepala Bunga. Dia menggelengkan kepala, memandangi kaca. Dia bosan, maka keluar dari kamar. Menyusuri lorong, yang seolah semu.
Mencari sesuatu yang sekiranya tidak pernah dicari, terseret pada tempat perkumpulan bencana. Satu dua wartawan datang menghampirinya. Kontol!. Dia menolak semua pasang muka untuk mewawancarainya. Dia pun pergi ke teras luar yang lenggang. Duduk di bangku.
Hujan memberi Bunga nafas yang lekat dari ironi akan aroma kematian. Lalu menggubah pandangan, menjadi hamparan mayat tanpa kepala hingga ujung bola mata dapat bergerak, menyisakan ruang yang kala itu menjadi persembahan bagi kepalanya juga pun.
Bertujuan dijadikan bukti untuk entitas-entitas bernama Sima agar mereka dapat memanen sesuatu yang lebih berharga daripada kepala dengan pemikiran maupun romannya, menghasilkan kehampaan di dada manusia.
Mereka adalah para pencabut nyawa, secara harfiah membunuh untuk mengambil jantung, suatu simbolisme akan kehidupan, yang secara paksa pernah direnggut ketika Bunga bergidik akan darah, daging, dan tulang dalam ruangan sempit bernama toilet kereta LRT. Juga dari kamar inap sebelum dia memutuskan menutup kebenaran.
Kentut. Padahal Bunga pergi berteduh dekat taman rumah sakit yang kecil untuk menikmati hujan membasahi tempat ini, tetapi ujung-ujungnya justru memikirkan kembali tentang pembantaian di kereta LRT. Keberuntungan punya masanya tersendiri untuk dijilati.
Tetes-tetes air hujan yang kotor akan warna kemunduran peradaban jauh terasa lebih nikmat sekarang. "Biarkan filosofi kehidupan ditendang jauh-jauh! Beraki! Kencingi sekalian!" kata oposisi; para penikmat hujan.
Lagi pun, ada hal yang jauh lebih krusial untuk dipikirkan dari pada kecebong-kecebong itu.
Dia harus datang dalam wawancara kerja setelah sembuh dari sini. Ada suatu bentuk kehidupan yang jauh lebih penting untuk dipikirkan. Karena itulah dia bisa beruntung dari segala hal paling tidak masuk akal ini. Dan pun, zaman akan melupakan kematian manusia, sehingga kita akan kembali pada siklus siang dan malam.
1 minggu berselang sejak perenungan di bawah hujan itu. Ditambah masa-masa penanganan mental, Bunga keluar dari rumah sakit. Tiada senyum tersungging pada langkah-langkahnya. Tiada sukacita dan kemenangan pada hati wanita itu. Lain halnya ibu dan pamannya yang menunggu dengan mobil hitam.
Sekian puluh tepuk tangan mengisi suara. Sebuah buket bunga pun mewarnai iringan-iringan. Namun, semua serasa layu dengan kehadiran Bunga yang tidak bergairah. Ibu dan paman tidak menyembunyikan keheranan. Karenanya Bunga memaksakan untuk tersenyum. Mungkin tidak ada salahnya juga.
Pesta makan-makan steak mahal dilaksanakan. Sesuatu yang tidak begitu penting bagi Bunga, tetapi tidak bagi mereka yang menyambut kedatangannya. Meski pada akhirnya daging-daging ratusan hingga jutaan ribu rupiah itu menggoda Bunga dalam kenikmatan, sehingga dia bisa merasakan sedikit kebahagiaan bersama orang-orang yang menjadi tempat asalnya.
Dan wawancara kerja pun berhasil dilaksanakan. Tidak ada serial pembantaian lagi yang harus dia alami. Maupun trauma kelanjutan dari Sima yang menyelundup di balik dinding-dinding rumah, maupun hidung manusia yang bernapas.
Hanya dari selingan-selingan berita, tetapi itu tidak mengganggu Bunga sama sekali. Dia bisa menjawab semua pertanyaan HRD. Tentang pengetahuan akan posisi marketing associate yang dia coba lamar, gaji, kesetiaan pada perusahaan, dan lain-lain. 1 atau 2 momen dia menjadi gugup saat itu, tetapi itu tidak begitu mengganggu.
Hasilnya, di akhir wawancara Bunga langsung dinyatakan diterima. Senyum sumringah yang dipancarkan bukan suatu kebohongan atau dibuat-buat. Meski dia terkadang membenci keberuntungan yang dirasa seperti kutukan dibandingkan berkah, ada kalanya dia merasa masih membutuhkan keberuntungan itu.
HRD mengatakan kompetensinyalah yang membuatnya bisa lolos masuk ke sini. Dan meski kejadian pembantaian kemarin tidak menjadi suatu barang yang dipertanyakan, orang itu memuji keberanian Bunga, mengatakan juga bagaimana kerasnya mental wanita itu meski sudah mengalami trauma.
Ya, HRD itu tidak salah.
Namun, Bunga juga tidak salah akan keberuntungan itu.