Chapter 7 - 7. Rencana

Monas, hari Sabtu.

 

Bunga menuruni tangga menuju museum bawah tanah yang ramai. Terlalu banyak pasang muka yang bersemangat pada segala konten dalam museum itu, mengurungkan sekian waktu untuk dia dapat memesan tiket masuk. Entah lah, dia sendiri tidak paham apa yang membuat Monas sebegitu menariknya, selain urusan pentingnya hari ini.

 

Dan gerbang detektor Sima yang digunakan pada pintu masuk museum—di pintu masuk Monas juga ada. Setelah membayar Rp10.000 untuk tiket masuk, dia jadi penasaran bagaimana Revan akan melewati gerbang itu serta para Pemburu Sima yang berjaga dengan alat-alat canggih mereka.

 

Lalu di dalam museum, yang ramai. Anak-anak TK melakukan study tour. Seorang ayah menjelaskan sejarah negara dari miniatur-miniatur diorama pada anaknya. Sebuah kelompok remaja melakukan pengambilan video pada salah satu miniatur diorama, merekam sepasang kekasih yang berduaan di sana. Dan Bunga, menunggu di salah satu vending machine di sana.

 

Ada 4 vending machine di sini. Revan tidak menjelaskan vending machine mana yang harus dia tunggu. Jadi Bunga memilih sembarang.

 

Dia juga membawa sebungkus plastik penuh bakwan. Cukup banyak sampai ada beberapa yang bisa dia makan selagi menunggu.

 

Sudah beberapa menit sejak kedatangannya di sini. Revan tidak kunjung tiba.

 

Melihat ke sekitar. Menelisik pada mereka yang sedang mencari. Lalu kantuk menyerang. Sebuah luapan kantuk yang besar, pecah dari segala lelah akan proses menunggu, interogasi, sampai penantian akan hari esok. Matanya terjaga semalaman. Sehingga memesan kopi dari vending machine untuk lanjut menonton perputaran waktu di antara langkah orang-orang. Perputaran kata, berseliweran dalam pikiran.

 

"Apa ini yang sebenarnya lu mau? Kalau memang rencana Revan benaran kejadian?"

 

Rajutan kata-kata itu, bersama kantuk besar yang meliputi, menciptakan entitas bernama Vika yang berdiri di sampingnya. Mereka berdua sama-sama memandangi vending machine.

 

Bunga tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Vika.

 

"Dia gak akan datang." Vika membeli sesuatu dari vending machine.

 

Bunga tidak membalas. Melihat wanita di sampingnya mengeluarkan satu kaleng kola yang baru dipesan.

 

"Dia gak akan datang." Vika membuka penutup kaleng kola.

 

"Kenapa?"

 

Vika menenggak kola dari kaleng. Menghembuskan napas setelahnya. "Perasaan aja."

 

"Kenapa?"

 

"Pikirin aja sendiri."

 

Bunga menoleh pada Vika.

 

"Kenapa harus nunggu untuk dibunuh Sima? Di antara banyak opsi untuk bunuh diri."

 

Bunga menggaruk-garuk kepala. "Entah, mungkin biar punya alasan valid buat keluar dari kerja dan kutukan keberuntungan itu."

 

Vika tertawa. "What a pathetic life being."

 

Sosoknya pun menghilang.

 

Sekarang digantikan tungkai Bunga yang lelah. Akhirnya memutuskan duduk pada lantai. Dekat kawanan orang tua yang sedang makan siang.

 

Setengah jam merangkak di belakang.

 

Lalu satu jam menghilang begitu saja dari penglihatan.

 

Sampai dua jam melangkah di depannya.

 

Revan benar-benar tidak datang.

 

Bunga menghela napas. Bukan sebuah bentuk kelegaan. Justru akan jadi merepotkan karena setelah ini harus menghadapi Penyelidik Sima yang mengawasinya dari kejauhan sejak kedatangan dia di sini.

 

*****

 

Bunga akhirnya tetap memanggil otoritas Pemberantasan Sima—badan asosiasi resmi  negara yang menaungi Pemburu Sima dan Jagal Sima—memberitahu mereka rencana gila Revan di Monas. Permintaannya ditolak. Menyiapkan satu kompi Jagal Sima untuk bersiaga pada dugaan percobaan pembantaian yang akan dilakukan suatu komplotan Sima, yang ternyata sudah diberangus, adalah suatu kemustahilan. Atau setidaknya itulah yang dikatakan petugas P3S—Pusat Pelayanan Pemberantasan Sima.

 

"Geng Poros sudah binasa dan tidak mungkin melakukan operasi sebesar itu," kata petugas P3S.

 

Geng Poros adalah nama komplotan Revan. Pemusnahan mereka sudah dimulai sejak tragedi LRT dan butuh waktu agak lama sampai bisa musnah sepenuhnya. Bunga merasa bodoh tidak tahu hal itu. Padahal sudah diberitakan di mana-mana.

 

Kala itu sore hari Jumat pada kantor Pemberantasan Sima tingkat distrik di daerah Gambir. Bunga menyesal telah membuang jam pulang kantornya yang ciamik. Meski di sisi lain merasa lega karena setidaknya tahu tidak akan ada tragedi besar lainnya.

 

"Tapi kami bisa mempertimbangkan untuk pengawasan."

 

Bunga terdiam.

 

Petugas itu menjelaskan bahwa sekarang sedang dilakukan investigasi besar-besaran atas sisa anggota komplotan tersebut. Revan adalah salah satu buronan penting mereka. Meski laporan Bunga cacat bukti, mereka bisa mempertimbangkan hal itu karena secara posisi dia adalah korban Revan, seorang Sima dengan kemampuan menciptakan tombak tulang dari telapak tangannya, saat tragedi LRT yang lalu. Selain itu, minimnya petunjuk, bukti, maupun saksi lain pada investigasi ini membuat mereka mau mempertimbangkan laporan Bunga, sebagai satu-satunya petunjuk yang tersedia.

 

Setelah berbagai proses yang cepat dan melelahkan, laporan Bunga diterima.

 

*****

 

Sucipto, nama penyelidik itu. Sesuai namanya, tugas dia sebagai Penyelidik Sima adalah menginvestigasi sampai melacak keberadaan Sima. Bunga menemuinya pertama saat kemarin malam ketika petugas P3S menindaklanjuti laporannya, memanggil penyelidik yang bertugas untuk pencarian Revan. Dan sekarang dia keheranan ketika menemui wajah maskulin pria itu yang tidak kecewa pada hasil pengawasan. Lekuk-lekuk wajah tegas itu hanya diam saja, tidak terkejut.

 

"Maaf, dia enggak datang."

 

"Tidak apa-apa. Justru syukur kamu tidak kenapa-napa. Lagi pula, masih banyak cara untuk menangkap Sima tersebut."

 

Seorang Pemburu Sima menghampiri mereka. Dia melaporkan tidak ada tanda-tanda kedatangan Revan di segala penjuru Monas. Lalu dikonfirmasi bahwa keadaan sepenuhnya aman. "Nanti akan kami laporkan jika Revan muncul di sekitar," kata Pemburu Sima itu.

 

Para Pemburu Sima itu kembali menjaga museum, sebagaimana tugasnya, sementara pengawasan Bunga resmi berakhir. Semuanya pun selesai. Bunga dan Sucipto berniat meninggalkan museum.

 

"Maaf, semuanya jadi sia-sia," kata Bunga.

 

"Tidak, kok. Saya sepenuhnya masih percaya pada kamu. Saya mengerti kecemasan yang kamu rasakan. Sebelumnya terima kasih telah bekerja sama dengan saya."

 

"Sama-sama ….

 

"Tapi, menurut Bapak, kenapa dia enggak datang, ya?"

 

Sucipto berhenti melangkah. Melipat kedua lengan di depan dada. "Sebenarnya tidak mengejutkan sih kalau kamu pengin tahu."

 

Bunga terdiam. Berusaha menyimak.

 

"Pertama, ini jebakan yang terlalu jelas untuk dia. Entah dia punya motivasi apa untuk menyusun jebakan … buat dia sendiri. Kedua, keamanan di sini cukup tinggi untuk bisa ditembus seorang Sima. Tiap fasilitas publik seperti ini pasti ada beberapa Pemburu Sima yang berjaga. Belum lagi harus melewati gerbang detektor. Bukan bermaksud berharap. Tapi jujur saya penasaran kalau dia berhasil lolos, sama seperti dulu, saat tragedi LRT. Sima dengan level dia mungkin saja bisa melewati fasilitas ini, tapi kemudian pertanyaannya adalah: Untuk apa?"

 

Mereka sampai di pintu luar museum. Terik matahari jam 12 siang langsung saja membakar kepala.

 

"Apa yang bakal kamu lakuin setelah ini?"

 

Bunga menerawang pada taman di luar sana. "Pulang dan tidur."

 

Seperti itu, mereka berpisah beberapa saat setelahnya.

 

Eksistensi Sucipto pun seakan langsung menghilang. Membuat Bunga seolah sendirian menyusuri taman Monas sampai gerbang luar. Menyeberangi penyebrangan pelikan.

 

Dekat jalur bus apung, menunggu jembatan penyebrangan—terhubung dengan halte air—yang awalnya mengerucut, otomatis melebar ketika semua bus apung yang memadati halte berlayar.

 

Lalu menunggu di halte, sendiri tanpa penjagaan. Apa boleh buat. Kesepakatan untuk mengawasi dia di museum telah berkesudahan. Setidaknya tidak ada seorang manusia atau Sima yang berniat melakukan sesuatu yang tidak-tidak padanya. Jadi dia hanya duduk santai pada bangku. Lalu seorang kakek di sebelahnya mengajaknya berbicara.

 

"Saya masih enggak percaya kita hidup di kemajuan ini."

 

Bunga tidak tahu bagaimana harus membalasnya.

 

"10 tahun lalu … tidak, 20 tahun lalu. Saya enggak mengira bus apung akan jadi mode transportasi utama, serta solusi banjir Jakarta," dia tertawa kecil, "lucu, kan?"

 

Bunga mengiyakan.

 

"Tapi, di antara kemajuan itu, manusia telah semakin menjauh dari kehidupan tersebut. Mereka berjalan pada peradaban yang telah mati," lanjut kakek itu. Dia memalingkan wajah pada sebuah bus apung yang baru saja berlabuh di halte. Dia berdiri, bersiap menaikinya. Bunga hanya menatapnya.

 

"Dan kamu tahu? Saya sendiri sudah lama tidak mendapati rasa dari kematian itu."

 

Bunga baru berdiri. Mereka menaiki bus yang sama. Dia menuntun kakek itu sampai duduk di kursi prioritas, sementara dia duduk di dekatnya.

 

Dalam hening yang meraba-raba, Bunga mengonstruksi ulang kata-kata kakek tadi dalam pikirannya. "Peradaban yang telah mati, ya," gumam dia. Mungkin dia tidak berniat sampai pada tahap mendekonstruksi realitas, tetapi kemudian semua itu cukup menggelitiknya sebagai sebuah pepatah bijak.

 

Kakek itu tidak memantik percakapan lagi. Sehingga musik pun Bunga gunakan untuk menemani sisa perjalanan. Tidak sepenuhnya tenggelam dalam lirik karena dia melihat-lihat semua bentuk di sekitarnya. Bocah menonton video musik anak-anak dari jarak yang sangat dekat, tanpa toleransi akan radiasi cahaya layar. Seorang pria tersenyum simpul karena suatu hal di ponselnya. Dan sekelompok remaja asyik berkelakar.

 

Inikah peradaban yang telah mati itu?

 

Kemudian, kakek itu mencatat sesuatu di secarik kertas. Bagian ini sama halnya dengan sebelumnya. Namun, menjadi menarik setelah dia menyerahkannya ke Bunga.

 

"Saya tidak tahu apa percaya pada kebangkitan akan membalikkan cucu-cucu saya. Tapi Revan adalah satu-satunya yang bisa dipercaya."

 

Bunga memilih untuk tidak buru-buru bereaksi dan lebih memilih memperhatikan isi catatan si kakek:

 

              Sudahi segala sedu sedan sampai ratapan

              Kebangkitan akan tiba dari ledakan kelakar

              Di setiap pesta akan kemenangan hidup

              Dan sebuah era Poros akan tiba sekali lagi

 

"Entah apa yang membuat Revan meminta semuanya disampaikan dalam puisi—paham estetika saja tidak," kakek itu menggerutu.

 

Bunga menelan ludah. Genggamannya pada catatan si kakek makin mengeras sampai kertasnya jadi lecek. Kaki kanannya juga tidak henti-hentinya mengentak-entakkan lantai bus.

 

"Tapi jujur, lebih mengherankan lagi karena puisi perdana ini harus disampaikan pada kamu ... tolong, beritahu kakek tua ini apa spesialnya nona di mata Revan?" Kakek itu menatap Bunga tenang. Seolah semua situasi ini sudah diaturnya sedemikian rupa.

 

"Saya ...." Bunga menggelengkan kepala dengan gelisah melingkupi setiap napas yang keluar dari hidung.

 

Kenapa jadi begini?!

 

"Iya?" Kakek itu makin penasaran.

 

Namun, sesuatu membuat Bunga untuk mencoba lebih tenang. Seolah berusaha menguasai dirinya sendiri atas situasi tidak terduga ini. Tidak sepenuhnya bisa yakin, memang. Dan dalam absennya sebagian keyakinan itu, dia menghembuskan napas, berkata: "Saya mau mati.

 

"Di tangan dia." Bunga menutup rapat mukanya dengan telapak tangan. Perasaannya campur aduk setelah mengatakannya.

 

Kakek itu hanya mengangguk puas dengan jawaban Bunga.

 

"Apa ada hal penting lainnya?" Bunga bertanya.

 

Kakek itu menggeleng. "Tidak. Nanti kamu bisa lihat sendiri."

 

"Begitu, ya." Bunga berpikir sejenak. Tidak lama kemudian mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Maaf ya, Kek."

 

Kakek itu seketika jadi waspada memperhatikan gerakan mendadak Bunga—dia sadar bisa jadi itu suatu penanda sinyal peringatan. Dia mengambil ancang-ancang untuk bersigap pada apa pun yang terjadi, sebelum menyadari Sucipto dengan sergap muncul lalu menggunakan sebuah perangkat pembius Sima pada jantung kakek. Namun, si kakek bereaksi cepat dengan menendang keras-keras Sucipto sampai dia terpental jauh-jauh, menabrak beberapa orang sampai menghancurkan kedua pintu kaca ketika dia mendarat di sana. Menciptakan sekian banyak tumpahan darah dari mulut serta kaburnya kesadaran di ujung kedua mata.

 

Beruntung kakek itu berhasil pingsan.

 

Meski begitu khalayak bus menjadi panik, segera menjauh dari tengah-tengah bus, tempat eksekusi itu terjadi, termasuk Bunga yang berjalan mundur ke bagian belakang. Sopir bus apung juga melakukan rem mendadak. Semua ketegangan dalam diam ini pun semakin menusuk ke punggung saja. Lebih parah lagi, sebelum Sucipto bisa bangkit dan menyatakan keadaan sudah lebih aman, tubuh kakek itu bercahaya! Kulit dari setiap bagian tubuhnya mengelupas, mengeluarkan rona cahaya memerah. Mata. Telinga. Semua helai rambut berguguran. Kemudian tubuhnya membesar seperti balon. Membesar, menunggu untuk meledak.

 

Dari kebingungan dan ketakutan ini, seorang lelaki muncul dari belakang Bunga. Dengan cekatan dia mengangkut tubuh merah kakek yang tiada detik mengembang, tanpa basa-basi lewat lubang besar pada pecahan pintu kaca dia melemparinya ke luar pada sungai. Tidak selesai begitu saja, dia juga memberi instruksi pada sopir bus apung untuk melanjutkan perjalanan. Semua berjalan sesuai yang diperkirakan.

 

Termasuk setelah beberapa saat menjauh dari titik lelaki itu menjatuhkan tubuh si kakek, sebuah ledakan terjadi. Dentumannya melambungkan berkubik-kubik air ke udara. Mengacaukan arus tenang menjadi ombak yang mengacak-acak seisi bus apung. Juga melebarkan sayap airnya hingga menghujani siapa saja yang ada di sana termasuk pengendara di jalanan utama.

 

Ledakannya tidak sedahsyat yang dikira Bunga, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk mengoyak keadaan menjadi suatu bencana buruk.

 

Lebih lagi, dalam kekacauan ini, Bunga kini harus mempertanyakan bagaimana seorang Erik bisa berperan sebagai dia yang menyelamatkan keadaan. Dari suatu eksistensi yang bahkan Bunga tidak pernah sadari.

 

Sekarang, lelaki itu tengah menelepon petugas Pemberantasan Sima. Dalam panggilan telepon itu, matanya bertemu dengan mata Bunga.

 

Ada sekian banyak pertanyaan untuk dijawab.