(ini setengah bagian dari chapter 2 yg saya potong biar ga kepanjangan. Skip chapter ini kalau emang udah baca)
Saat masih dirawat di rumah sakit, Bunga sering melihat mimpi buruk akan kematian orang-orang di kereta.
Mimpi itu dimulai dari dirinya yang berdiri di tengah-tengah gerbong. Lalu mayat dari para korban yang berjejer-jejer pada bangku dan lantai, berbondong-bondong menaiki tubuh Bunga dan melakukan hal cabul ke tubuhnya. Setelah itu menggigit kuat setiap inci kulit, merobeknya seperti roti sobek.
Darah mengalir bagai sungai dari setiap daging yang mereka lumat. Mereka kelaparan akan seisi tubuh dan harga diri Bunga demi bisa mengincar jantungnya. Yang ketika didapatkan, semua kepala langsung tertuju pada wanita itu, hingga habis tak bersisa. Lalu seperti apa yang orang tua ceritakan tentang siksa neraka, tubuh Bunga beregenerasi lagi.
Dan siklus makan-memakan itu berulang.
Dalam semua siklus itu, orang-orang berteriak keras, "KENAPA KEBERUNTUNGANMU HARUS MENGORBANKAN BANYAK ORANG?!"
"KAMU LEBIH PANTAS JADI CEWEK YANG DIPERAS OM-OM DI LRT SETIAP HARINYA KETIMBANG SELAMAT DARI PEMBANTAIAN!!!"
Lalu ketika dia menoleh ke belakang. Seorang ibu mencoba melindungi anaknya. Sementara Sima tidak berwajah menendang dan menghantam kepalanya dengan kapak bertubi-tubi. Melihat Bunga, ibu itu mencoba meminta pertolongan. Namun, tubuh Bunga yang ditahan beribu mayat tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan ibu itu keburu mati, dikuliti hidup-hidup, bersamaan dengan anak yang tidak jauh berada di sana.
Dia akan terbangun dari tidur dan teriak histeris setelahnya. Dokter pun datang, memeriksa keadaan.
Sejak keluar dari rumah sakit, sudah hampir tidak pernah dia bermimpi buruk separah itu. Semua karena penanganan psikologis. Dari dia yang mulai mencoba menerima keadaan dan menyesuaikan dengan kehidupan kerja kantoran sebagai marketing associate. Serta lingkungan kantor sehat yang mau bersahabat dengan keadaannya.
Kebetulan saja, malam ini, dia mengalami mimpi itu lagi.
Dia terbangun dan teriak histeris. Segera ke kamar mandi untuk cuci muka, lalu minum air dan duduk untuk beberapa waktu, menenangkan diri.
Ini masih jam 3 pagi.
Bunga tidak berniat tidur lagi karena takut. Jadi, dia keluar.
Tetangganya menyapa ketika dia melangkah dari ambang pintu. Seorang pria, satu dasawarsa lebih tua. Dia hanya pakai kaus oblong putih dengan celana hijau pendek. Rambutnya dirias berwarna cokelat. Ada sebatang rokok bertengger di antara jari telunjuk dan jari tengah.
Hanya ada dirinya di sini, di antara pintu-pintu kontrakan yang masih terlelap—mungkin sebenarnya bangun, tetapi tidur lagi atau memang tidak keluar. Termasuk juga istri pria itu, yang dia duga memutuskan tidur lagi. Sementara pria itu kebetulan sedang bergadang.
Mereka duduk-duduk pada teras depan kamar yang berada di lantai 2. Sama-sama memandangi taman hijau luas di seberang, yang sepi di antara cahaya-cahaya lampu taman dan pepohonan. Merasa tidak enak, Bunga minta maaf. Pria itu tidak terlalu memikirkan hal tadi. Galih namanya.
"Pas masih seumuran mbak, setiap hari saya harus kebangun karena jeritan saudara saya yang kehilangan istrinya karena kejadian seperti yang mbak alami. Waktu berlalu, dia akhirnya bisa menerima keadaan, dan pindah ke luar negeri buat peruntungan yang lebih baik. Saya sendiri sih juga sadar akan sesuatu dari pengalaman bersama saudara saya."
Dia diam sejenak.
"Bahwa pada akhirnya kematian hanya akan menjadi angka."
Galih tersenyum lebar sehabis mengatakan itu, lalu tertawa. Merasa keren dengan kalimat monumental itu. Bunga ikut tertawa. Lalu dia menawarkan sebatang rokok. Bunga menolaknya. Dia memang tidak merokok. Lalu disimpan lagi rokoknya.
"Tapi saya bukan bermaksud sembrono dengan kematian." Pria itu meletakkan bungkus rokok ke kantung celana. "Karena bisa aja perkataan saya dikonotasikan negatif. Dan orang enggak salah, saya dulu memang gitu. Kosong memang rasanya.
"Tapi yah, sejak saya nikah dengan Vika, saya enggak ngerasa sendiri. Manusia memang akan mati, tapi pada akhirnya saya sadar bahwa akan ada di sekitar kita yang peduli, entah itu pada dia yang mati, atau pada orang yang ditinggalkan, kayak saya."
Obrolan jam 3 tadi membuat suasana hati Bunga jadi bagus. Dan dari situ, dia bisa kembali tidur sampai harus bangun kembali di jam 6 pagi untuk siap-siap bekerja. Walaupun kemudian kepalanya jadi agak sakit karena jam tidur yang terpotong.
Setidaknya, dia cukup senang karena beruntung mendapatkan tetangga yang baik hati. Apalagi, ketika kemudian istri dari Galih adalah teman sekantornya. Di mana hal ini membuat Bunga tidak perlu lagi berdesak-desakan di LRT lagi karena setiap harinya mendapatkan tumpangan motor.
Bunga mungkin hanya cemburu melihat mereka selalu ciuman sebelum berangkat kerja. Vika dan Bunga pergi bekerja, sementara Galih bekerja sebagai freelance.
Dua wanita itu pun menyapu jalanan pagi yang lenggang. Keluar dari area perumahan dengan taman hijaunya yang luas. Motor listrik yang gagah dan mobil listrik yang mewah menghidupi jalanan.
Mereka bergerak pada jalan primer layang raksasa yang membentang di atas sungai buatan panjang, di mana rel layang LRT ada di sebelahnya, terpisah. Lalu turun ke kiri pada percabangan jalan kolektor. Di mana ada dua jalan beda arah dengan sungai buatan di tengahnya yang bersih.
Banyak bus listrik apung mengantar penumpang dari halte air ke halte air lainnya, sementara orang-orang terorganisir pada jembatan penyeberangan yang melintang di atas sungai dan trotoar-trotoar.
Tidak lama setelah melihat sungai dari dekat, sampailah di kantor.
Berpisah pada divisinya masing-masing di mana Vika sendiri berada di divisi keuangan sebagai akuntan. Lalu Bunga, yang memulai hari di kantor dengan tugas administratif harian; membalas-balas email, mengurus media sosial. Kemudian, berbagai macam laporan dan tugas-tugas dari senior.
Sampai waktu istirahat menyatukan kembali dirinya dan Vika di warung makan dekat kantor. Mereka mengobrol akan banyak hal. Bunga menyukai ketulusan Vika yang mentraktirnya. Dan sifat terus terang Vika di mana dia melontarkan pertanyaan seperti: "Gimana rasanya punya orang dalem?"
Sudah jadi rahasia umum bahwa paman Bunga bekerja sebagai petinggi di perusahaan.
Barulah Vika yang pertama menyinggung soal itu. Bunga tahu itu dan tidak mempermasalahkannya. Karena nepotisme yang bisa dibilang salah satu bentuk keberuntungannya, memang patut ditertawakan. Jadi, dengan lagak sombong, dia berkata seperti ini: "Ya jelas enak, dong!"
Lalu mereka tertawa bersama-sama. Namun, dalam hal ini Bunga merasa tidak ingin jadi orang brengsek. Jadi dia juga jelaskan bahwa pada awalnya dia tidak berniat melamar ke sini karena menghindari dugaan semacam itu.
"Tapi terbatas banget. Kebetulan benar-benar susah lowongannya. Dan kalau ada, requirement-nya enggak ngotak! Kayak, penampilan menarik, pengalaman 2 tahun, atau harus bisa ini, bisa itu, dan lain-lain. Kalau pun ada yang masuk akal, saingannya gila semua!" lanjut dia, "paman sih jujur enggak terlalu terlibat abis itu. Gua kerjain tugas dari atasan, ya kerjain aja. Kalau salah, ya salah aja, gitu."
Vika hanya mengangguk.
Inilah contoh lain dari keberuntungan yang memang Bunga inginkan untuk terjadi di hidupnya. Vika adalah teman yang tidak mungkin Bunga benci karena kata-katanya. Bahkan sejak Bunga menempati kontrakan dan menjadi tetangganya, dia tidak pernah menyembunyikan sifatnya itu, sehingga Bunga tidak perlu berpura-pura atau terlibat pada kondisi canggung pada orang itu.
Menyadari hal itu, Bunga merasa bersyukur.
Namun, semua itu sirna pada malamnya.
Keredupan cahaya memenuhi kesunyian atap gedung parkiran yang lapang, di tambah pada kemuraman kesadaran akan konstruksi tersebut. Pada ujung kemuraman itu, seperti jalan panjang kecil, seperti pintu di ujung mimpi, Bunga melihatnya.
Bagaimana nyawa Vika sirna oleh Sima yang haus akan jantung.