Pancuran air shower melingkupi tubuh telanjang Bunga yang diam di hadapan dinding kamar mandi. Rupa wajahnya seakan hilang dalam setiap aliran bersamaan emosi yang menguburkan sudut pandangnya menjadi kabur. Semua tentang ketakutan, penyesalan, rasa bersalah, dan kemarahan, direnungkan dalam tradisi mandi pagi sebelum pergi ke kantor. Tradisi yang Bunga dambakan untuk setidaknya ketenangan akan air yang membasahi rambut ini bisa mendinginkan kepala.
Namun, pikiran Bunga adalah jalan buntu Meksiko. Sebuah pikiran yang tidak dapat menjawab kematian. Pikiran pagi menjadi carut-marut karena apa yang kembali padanya hanyalah suara-suara jeritan seorang ibu yang kepalanya dihancurkan kapak, dan mayat Vika yang diperkosa di hadapan. Setiap air yang membasahi ini, berubah menjadi darah. Dan Bunga selalu melihat kematian mereka pada tiap embusan napas. Semuanya terus diulang.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dia hanya bisa melihat.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa.
Keberuntungannya mengungkung dia di balik sebuah pintu kaca yang tebal.
Dia tidak bisa membukanya. Bahkan setelah dia dorong paksa untuk dibuka. Giginya menggerutu setiap dia menubrukkan badan kuat-kuat ke pintu, dengan amarah yang memanaskan raut muka bercampur keputusasaan.
"BANGSAT!"
Bunga menghantam pukulannya keras-keras ke pintu itu. Menghantam keras pada dinding kamar mandi. Membabi-buta menghantamnya.
Terus-menerus.
Tiap pukulan disertai ledakan amarah yang tak terbendung.
Amarah terus menggerakkannya, membisukan dari rasa nyeri memar pada kulit yang membiru, membuatnya bertanya akan pertanyaan yang sama tentang keberuntungan dan kematian.
"TAI!" Bunga menghantarkan pukulan terakhir yang jauh lebih dahsyat ke dinding, sambil mengumpat dan berteriak sangat menggelegar—sebelumnya mencoba menahan tidak berteriak karena akan membuat tetangga heboh.
Semua amarahnya telah tumpah.
Lalu menangis. Menangis tersedu-sedu. Napasnya tersengal-sengal. Mencoba duduk di lantai. Bersandar pada dinding. Menyaksikan shower-nya menenggelamkan dirinya dalam hujan air, di antara temaram cahaya pagi yang masuk lewat kaca muram kamar mandi, yang cukup indah sebenarnya—Bunga menangis dalam keindahan.
Tangisan itu tidak lama berhenti. Dia merengkuh lutut melihat tangan kanannya tremor hebat. Tidak bohong jika memar di tangannya sangat menyakitkan. Mungkin patah tulang di situ, tetapi Bunga tidak peduli.
Bunga harus pergi bekerja.
Melangkah ke luar pintu, tidak ada yang bertanya soal teriakan tadi. Bunga bersyukur.
Dia sempat memandangi kekosongan kamar Vika di sebelah yang pintunya senantiasa ditutup rapat-rapat sejak kejadian Galih yang bunuh diri dengan overdosis obat-obatan. Menggelengkan kepala, lalu melangkah pergi.
*****
Sudah berminggu-minggu sejak Bunga bekerja di perusahaan pipa air itu, tetapi tidak banyak yang benar-benar berteman padanya selain dia yang telah mati; Vika. Sekarang dia dihadapi pada kondisi di mana dia tidak punya teman. Bukannya tidak ada yang mau berteman dengannya, pun justru setelah penganugerahan pegawai terbaik oleh paman, dia sering dikerubungi orang-orang yang menganggapnya hebat. Namun, itu tidak menyelesaikan kondisi tersebut.
Bunga ingin seseorang yang bisa membuatnya bercerita tentang kekecewaan pada kehidupan. Bunga ingin seorang jujur dan tulus seperti Vika yang bisa membuatnya bercerita bahwa dia bukan orang yang sempurna.
Bunga percaya pesona dia sebagai karyawan teladan membuatnya tidak bisa menjadi diri sendiri. Pesonanya membuat orang bungkam pada kenyataan bahwa dia menggunakan jalan nepotisme untuk bisa diterima kerja. Pesonanya membuat dia tidak bisa mengutarakan opini bahwa dirinya setuju pada niat Vika dan bahwa sebagai korban dia sama sekali tidak membenci Vika.
Pada akhirnya mereka yang dekat hanya dianggap sebagai rekan kerja.
Itulah yang menjadi premis bagi Bunga untuk tidak pernah memulai hari kerja dengan semangat, bahkan hari ini. Di mana orang-orang di divisinya berpesta bersama, merayakan kesuksesan dari marketing campaign pipa air rancangan mereka yang meledak di media sosial.
Seluruh pegawai divisi marketing berpesta makan di restoran Jepang pada jam pulang.
Gyoza goreng dan karage yang garing mengisi suara. Donburi menyuapi mereka yang lapar. Ramen miso dan shoyu memenuhi meja-meja. Udon tebal dililit sumpit. Pelayan robot dengan baki membawakan udon yang ditemani onsen egg pada Bunga. Dia mengambilnya. Menelisik rupa-rupa wajah yang berbincang ke sana ke mari. Menuangkan onsen egg dari wadah kecil berwarna merah ke udon. Lalu makan.
Selain menjaga persona, Bunga tetap ikut pesta karena atasannya membayar semua hidangan, jadinya gratis. Sehingga ketika lembutnya kuning telur setengah matang onsen egg menggodanya, dia tersenyum. Meski dia canggung untuk bersemuka dan berbincang dengan rekan kerja, setidaknya hidangan ini cukup memperbaiki mood-nya.
Termasuk pikiran kelam seperti pagi tadi. Meski masih ada sisa-sisa residu kesedihan.
Setidaknya dia bisa lebih tenang.
"Seenak itu ya, onsen egg."
Bunga agak tersentak. Itu komentar dari pria di samping kirinya. Namanya Erik. Bola matanya memandangi onsen egg Bunga lewat kacamata bulat yang dia pakai sebagai aksesoris itu.
Bunga mengiyakan dengan ragu. Tidak berpikir banyak. Kembali makan.
"Kamu kelihatan enggak ada semangat hari ini. Jadi apakah seenak itu udon dan onsen egg sampai mood-nya balik lagi?"
"Iya … emang kenapa?"
"Enggak, aku gak tahu bakal seenak itu; bukan penikmat telur setengah matang."
Ada jeda di sini.
"Tangan kamu udah baikan?" tanya Erik sambil melihat tangan Bunga yang agak gemetaran mengangkat sumpit.
Bunga menyeruput udon sebelum menjawab, "Lumayan. Masih sedikit tremor."
"Habis berantem?"
Bunga berhenti dan melihat Erik sejenak. "Enggak salah."
"Sama?"
Bunga berpikir. Tidak mungkin menjawab bahwa dia berantem dengan dinding. Jadi dia berkata, "Ada, sama orang."
"Kenapa?"
"Bikin kesel."
"Parah banget, ya? Sampai memar begitu."
Bunga mengiyakan.
Dia merasa percakapan setelah ini tidak begitu penting untuk ditulis di sini. Bukan karena Erik adalah orang yang tidak penting—dia bukan anti-sosial yang mudah melupakan seseorang. Hanya saja, Erik terlalu baik untuk dirinya yang hanya tahu tentang kematian di hidupnya. Bunga pun jujur merasa sedikit bersalah ketika menolak tawaran Erik yang bersedia mengantarnya pulang dengan motor.
"Sorry."
"Kenapa emangnya?"
"Enggak apa-apa. Emang suka naik LRT aja."
"Kecewa berat, tapi enggak apa-apa."
Erik tiba-tiba menyodorkan sesuatu.
Sebatang cokelat.
"Terima, ya."
Bunga menerimanya. Tidak menduganya. "Makasih," ucapannya agak canggung.
Lalu, dia pulang naik LRT.
Bunga sendiri tidak bohong mengatakan dia suka naik LRT. Dia selalu suka pengalaman terhanyut mendengarkan lagu Creep karya Radiohead lewat earphone sembari melihat gedung-gedung perkotaan yang seakan bergerak pergi dari bingkai kaca jendela. Atau seperti hari ini, duduk di bangku makan cokelat di antara keramaian yang datang dan pergi, merenung bersama lirik lagu Heaven Know I'm Miserable Now karya The Smith.
Lalu tiba di stasiun tujuan. Keluar ke peron. Menuruni tangga. Memperhatikan setiap toko makanan di sepanjang lorong. Bunga membeli es krim roti.
Makan es krim sembari berjalan, memperhatikan setiap papan iklan yang terpampang. Suatu papan iklan cokelat batang menarik perhatiannya. Dia berhenti.
Itu adalah sebuah papan iklan promo cokelat batang khusus hari raya Valentine hari ini.
"Oh. Pantas aja."
Hari Valentine, di mana di sini—tidak seperti di Jepang atau negara lainnya—lelaki memberi cokelat pada dia yang disayang.
*****
Esok hari adalah hari yang sama saja untuk Bunga sebenarnya. Namun, kali ini ada suatu hal tak biasa yang dia lakukan saat beranjak pergi ke kantor paginya.
Dia masuk ke kamar Vika—dia buka dengan kunci kamarnya karena tipenya sama.
Kamar Vika sangat sepi sejak dia pulang dari rumah sakit. Garis-garis polisi yang pernah melintang mengisi sudah dicabut. Sampai sekarang pun belum ada yang menempatinya kembali. Bunga sendiri biasanya hanya akan cuek dan melewatinya setiap dia berangkat atau pulang kerja.
Memiliki tetangga yang pernah mencoba membunuhnya, dia juga pernah diminta untuk pindah, tetapi ditolak. Kontrakan tempat Bunga tinggal adalah satu-satunya tempat termurah yang bisa dia tinggali. Persoalan Sima juga bukan barang baru. Toh peradaban manusia telah berjalan bersama mereka.
Setelah lama mengasingkannya jauh-jauh dari pikiran, Bunga memutuskan menelisik kembali bentuk-bentuk yang dia anggap menakutkan itu.
Duduk bersandar pada dinding di antara tempat tidur—yang telah diganti karena sebelumnya Galih bunuh diri di sana—dan jendela depan, dilingkupi ketakutan mendalam, Bunga bertanya beberapa hal dalam hatinya.
"Apa yang harus gua lakuin setelah ini?"
"Gimana gua bisa menjawab semua ketakutan ini?"
Bunga mengecek jam tangannya. Masih ada beberapa menit sampai dia harus kembali pergi kantor sebelum terlambat.
Semuanya tenang di kamar Vika, ketika tiba-tiba ada yang berkata, "Ya ndak tahu, kok tanya saya?"
Bunga langsung menoleh pada asal suara ketika mendapati Vika ternyata duduk di sebelahnya! Dia sontak berdiri. Memandangi sosok itu lekat-lekat. Tidak percaya.
Bunga menahan keras teriakannya supaya tidak dikira gila.
Bunga tahu ini tidak nyata, tetapi Vika benar-benar ada di sana!
Dan hal yang dikatakan Vika selanjutnya adalah, "Sana kerja! Jangan depresi mulu!"
"Atau gua bunuh lagi, lho!"
Bunga tahu Vika pasti akan mengatakan itu. Dia pun tertawa kecil.
Bunga sudah gila!
Kegilaan Bunga pun tidak menghentikan dirinya untuk menjadi bagian dari masyarakat pekerja yang harus bergerak pergi ke kantor tiap paginya.
Semuanya masih menjadi rutinitas yang sama bagi Bunga. Mengerjakan tugas administratif maupun tugas harian lain. Senior memberikan tugas. Terlibat dalam meeting. Terlibat dalam proyek baru.
Dilibatkan.
Melibatkan.
Tugas dan tugas.
Tidak ada lembur. Dia pulang jam 4 sore.
Erik masih menawarkan tumpangan pada Bunga saat pulang. Ditolak Bunga.
Mereka ada di depan gedung kantor.
"Sebegitu sukanya sama LRT, kah?" Dia tertawa kecil. "Ya udah, hati-hati."
Bunga diam sejenak saat Erik bersiap berjalan ke tempat parkiran.
"Makasih banyak cokelat kemarin."
Erik berhenti. Agaknya terkejut. Dia memandangi Bunga. "Sama … sama."
Bunga berpikir sebelum lanjut berbicara.
"Aku enggak tahu maksud kamu apa. Tapi kayaknya kamu terlalu baik buat aku." Bunga menggigit bibir.
"Sorry kalau sok tahu." Dia memalingkan wajah pada Erik.
Erik mendesah kecewa. Menengadah pada langit sore yang agak muram. "Ditolak ya … ungkapin perasaan aja belum padahal."
Wajah Bunga menjadi memerah. Tunggu! Ada sesuatu yang salah di sini!
"Bukan itu maksud aku, Erik."
Pria itu menggerakkan sedikit matanya pada si lawan bicara.
"Aku … cuman lagi pengin sendiri aja, begitu. Aku enggak tahu kalau kamu … lagian, kenapa aku?"
"Karena aku melihat keindahan," Erik menjawabnya tanpa ragu. "Dan keindahan itu sedang tersiksa dalam suatu kesedihan.
"Aku enggak tega melihatnya."
Bunga diam seribu bahasa. Seolah sarafnya berhenti bekerja atas reaksi luar biasa yang tubuhnya terima itu.
"Aku … enggak tahu gimana bilangnya. Tapi, makasih … senang dengarnya, jujur." Degup jantungnya jadi tidak beraturan.
"With your pleasure."
Setelah yakin, Bunga beranjak pergi. Sementara Erik ke tempat parkiran pada motornya. Pada perjalanan ke stasiun, Bunga melihat pria itu mengarungi jalanan dengan bebasnya.
Wajah Bunga masih memerah dari percakapan mereka.
Bentuk kebahagiaan itu rupanya masih bertahan pada gerbong-gerbong yang membawa Bunga pergi.
Sampai tiba-tiba seseorang menawari Bunga sebungkus permen.