SEKARANG AKU JADI penasaran siapa namanya? rasa penasaran memang terus bertambah semenjak berurusan dengan si bocah, Lucas. Menurut ku dia memang orang paling santai yang pernah ku temui. Biasanya keluarga pasien akan heboh sendiri dengan anak atau saudaranya yang terkena musibah, misalnya kecelakaan. Tapi ini? yang benar saja, nyawa bagi dirinya ini seperti apa? mainan?.
"Kau.. aku belum tahu namamu.." kali ini aku memang sangat berani bertanya langsung.
"Ah ya ampun, aku tidak menyangka sekali disaat seperti ini. Dokter sangat penasaran dengan nama ku.. " dia menyeringai.
Apa-apaan sikap nya ini?
Dia memalingkan wajah nya ke depan. Bibir nya terbuka untuk bicara lagi, "Alveus.. namaku" desis nya pelan, kalau aku tidak memasang telinga dengan benar, aku tak akan mendengar nya.
"Dan kau? apa kau lebih senang dipanggil dokter saja atau bu dokter?" ledek nya di depan ku.
"Namaku, Musa. Panggil aku dokter saat aku sedang bekerja.."
"Musa? sepertinya namamu tak asing bagiku. Apa kau seorang agamais?" tanya nya polos seakan pertanyaan itu wajar ditanyakan.
"Namamu pasti diambil dari Alkitab, apa aku benar? Musa itu seorang nabi, kan.." jelas nya, aku tak menyangka orang seperti dia tahu tentang Alkitab. Sempat kuu pikir atheis. Aku memasang muka geram. Jadi aku diam saja, tanpa menjawab nya. Sebenarnya aku tak menyangkal bahwa ibuku memang mengambil namaku dari Alkitab, yaitu Musa yang membelah laut.
"Musa..Musa..Musa" dia mengulang namaku sebanyak tiga kali. Apa maksudnya iru?
"Kurasa aku menyukai namamu. Musa yang sebenarnya mungkin mirip dengan mu.. Ahaha!" dia tertawa kecil. Sungguh, itu tidak terlihat seperti pujian untuk ku.
Tawanya sarkas sekali.
Tanpa ku sadari saat aku menoleh ke samping. Aku menyadari bahwa wajah nya hanya berjarak seinci saja dari wajahku. Entah kenapa, dia tiba-tiba mendekat ke arah ku. Tangan nya ia lingkarkan di sekitar pundak ku. Bibirnya terbuka, ingin mengatakan sesuatu, Dia menggeser kepala nya ke arah leher ku, "kalau aku mengajak mu kencan, apa kau akan menerimanya?" nafas nya sangat terasa menerpa leherku.
Hah? dia bilang apa, kencan? apa dia benar-benar gila?
Maksudku, Rama saja cukup untuk ku, bahkan lebih dari cukup. Kenapa dia mendadak tanpa angin atau hujan bertanya hal yang tidak masuk akal?!
"Tidak-"
"Mengapa tidak? apa kau punya kekasih, putuskan saja dia dan pergi bersamaku, dokter.. "
Dia memang gila, diluar gila!
Daguku diangkat agar memandang nya langsung, matanya itu, kenapa aku selalu tak sanggup jika bermain mata dengan pria misterius yang satu ini. Dia lalu menunjukan senyuman nya yang aneh lagi, "Heh, ternyata benar.."
"Jadi bagaimana menurut mu..?" sambung nya, masih menunggu menjawab.
Sebenarnya apa yang ada di otak nya itu sehingga dia bisa berpikir kalau aku akan menerima begitu saja? dia pikir aku bodoh atau apa.
"Kenapa aku harus? lagipula kau orang asing bagiku. Jadi sebaiknya mulai sekarang, jaga bicara mu!" dia mundur dan menjauh dariku, lalu tertawa.
"Ya ampun, kata-kata tajam sekali. Aku jadi sedikit tersinggung.. " dia menunduk menunjukkan ekspresi pura-pura sedih nya.
Tak tahan jika terus meneruskan percakapan gila ini. Aku berdiri dan menghadap nya yang sedang duduk, kepalanya bahkan masih menunduk. Raut wajah nya itu sungguh penuh kepalsuan.
"Apa kau selalu berbicara tidak masuk akal seperti jni?!" tanpa sadar aku sedikit meninggikan nada bicara ku. Dia terkejut dan mendongak.
"Kau tidak suka?"
"Tentu saja. Kau aneh, tau?!" jari-jariku menunjuk nya kesal.
Dia berdiri di depan ku, mencondongkan wajah nya lagi sehingga wajah kami tak terhalang jarak. Sangat dekat, sampai aku lupa sejenak cara bernafas.
"Itu lebih baik, daripada kau menyebutku kejam. Ah ya, kau tahu apa? .. " dia berhenti sebentar. Ia menaruh tangan nya lagi dibawah daguku.
"Alveus adalah nama asli ku, dan hanya kau yang tahu.. "
"Jadi.. " dia menaruh jari kelingking nya di bibir ku, dan melanjutkan kalimat nya, "kau harus berhati-hati untuk tidak menyebut namaku di depan umum... "
Dia melangkah mundur sambil terus menatap ku yang masih diam di tempat berusaha mencerna gagasan nya. Seringaian tipis terukir di sudut bibirnya. Tubuhnya membelakangi ku dan ingin beranjak pergi.
Dia menoleh lagi..menjulurkan lidah nya kepada ku seperti anak kecil. Masih sempat-sempatnya dia mengejek ku dari jauh. Alveus berbalik lagi, kemudian berjalan pergi dan semakin menghilang di tengah jalan.
Apa maksud nya nama asli?
aku benar-benar tak mengerti.
kenapa dia terus memaksa ku untuk berpikir hal yang tidak masuk akal seperti ini?!
Aku memasukkan tangan ku ke dalam saku jas, melangkah pergi dari taman dan melanjutkan pekerjaan ku. Aku terus berjalan seraya memikirkan perkataan pria misterius itu, menyusuri koridor rumah sakit.
Dalam hati aku berdoa supaya tidak lagi bertemu dengan nya lagi, atau orang sejenisnya. Alveus pasti akan sering kemari karena menjenguk adiknya yang masih di rawat. Aku harus menghindar darinya mulai sekarang.
"Musa.. " suara Meera memanggilku dari belakang.
"Ada apa?" aku berhenti.
"Kau darimana saja? kau tahu bocah remaja yang bernama Lucas? dia mencari mu sedari tadi"
Bocah itu lagi? tumben. Apa dia merindukan ku?
"Dimana dia sekarang?"
Meera menunjuk ke kamar tempat Alice dirawat. Mungkin, dia sedang bersama suster yang membantu ku di awal tadi.
"Cepatlah pergi atau dia akan mengacau disini.. " ujar Meera becanda padaku. Aku mengacungkan jempol ku padanya.
"Dokter, kau darimana saja?! lama sekali. Habis dari toilet atau keliling dunia, hah?"
Bocah ini, mulut nya ingin ku plester saja menggunakan lakban.
"Kau mau apa sekarang?" jujur saja aku tak mau banyak mengoceh dengan bocah gila ini, sama gilanya dengan Alveus. Tak heran sih, mereka kan saudara jadi sifatnya gak beda jauh. Bocah itu melipat tangan nya di dada, aku tahu dia bakal protes lagi. Bagaimana pun aku tak mau berdebat lagi, sekarang.
"Dokter, dimana kakak ku?" pertanyaan konyol macam apakah ini?! ya mana gue tahu.
"Kenapa kau bertanya padaku?"
"Karena aku melihat nya bersama dengan mu di taman" jawab nya sangat jujur sekali sampai membuat ku terdiam.
Aku tersenyum palsu melihat nya. Ingin berkata untuk membela diri, tapi aku sendiri kehabisan gagasan. Semua kalimat dan kata mutiara ingin ku keluarkan, tapi entah kenapa tercegat di tenggorokan ku.
Bersambung~