Sore ini Najwa Detektif menjenguk calon mertuanya, tujuan utamanya tentu adalah Ghazi. Sudah dua hari tidak bertemu Ghazi. Najwa Detektif tidak ingin sampai tiga hari tidak bertemu, ia tidak mau gilanya kambuh lagi seperti sebelumnya karena kehilangan Ghazi.
Setelah pamit pada ayah dan ibunya, Najwa Detektif pun meninggalkan rumah dan mengemudi menuju rumah Siska. Najwa Detektif sudah lama mengabari Siska dan Ratna untuk mengajak mereka ke sebuah jembatan yang indah di atas sungai. Banyak orang sunset di atas jembatan tersebut sambil menunggu matahari terbenam.
Ratna menunggu di rumah Siska, sesuai dengan perintah Najwa Detektif agar ia tidak susah menjemput keduanya. Walaupun Ratna masih sedikit kesal pada Siska, ia hanya menurut apa kata Najwa Detektif, sebab Najwa Detektif sudah ia anggap seperti sahabatnya yang paling baik, bahkan sempat ia ingin menjadikan Najwa Detektif sebagai kakak angkatnya, tapi Najwa Detektif tidak mau.
"Lebih enak berteman daripada saudaraan, nanti malah sering cakar-cakaran. Mulutmu mulut bebek entok, mulutku mulut bebek angsa. Dua-dua mulut bebek, ya kwek-kweklah." Ratna geram mendengar alasan Najwa Detektif, walaupun begitu ia tidak sakit hati. Ia sendiri menyadari bahwa mulut bebek memang cocok jadi julukannya.
Sampai di rumah Siska, Najwa Detektif tidak turun dari mobil. Ia hanya menekan kelakson lalu kedua sahabatnya pun keluar dan bergegas masuk ke dalam mobil. Melihat ibu Siska ikut mengantar Siska dan Ratna sampai depan pintu, akhirnya Najwa Detektif memutuskan turun dari mobil. Ia merasa tidak enak kalau tidak turun sementara ibu Siska melihatnya. Najwa Detektif mendekat dan mencium tangan ibu Siska.
"Kami pamit dulu, Ibuk. Nanti setelah magrib paling lambat kami balik."
"Baik. Hati-hati ya Nak!?"
"Ya, Buk. Assalamua'alaikum…"
"Wa'alaikum salam…"
Ratna duduk di depan, ia tidak mau duduk dengan Siska. Najwa Detektif pun segera membawa mobilnya menuju rumah Ghazi. Sampai di rumah Ghazi, ibu Ghazi sedang bersih-bersih di halaman depan. Setelah ia memarkirkan mobilnya, Najwa Detektif pun segera turun dan menyalami serta memeluk calon mertuanya. Sedangkan Ratna dan Siska hanya salam cium saja.
"Ayo masuk, Nak."
Ratna dan Siska masuk ke dalam, sedangkan Najwa Detektif melihat ke sekeliling di luar rumah, matanya tidak menemukan Ghazi. Sampai di dalam, belum sempat minum, jangankan minum, duduk saja ia belum tapi ia sudah ingin bertanya.
"Ghazi ke mana, Buk?" tanyanya pada calon mertuanya.
"Astaga, Najwa! Duduk lah dulu, minum dulu, istirahatlah dulu." Siska yang menjawab.
"Ghazi sedang di masjid. Kalian sudah shalat ashar belum?" Ibu Ghazi balik bertanya.
"Belum." Jawab Ratna dan Siska barengan.
"Najwa?" tanya calon mertuanya memastikan.
"Sedang tidak shalat, Buk." jawabnya kalem.
Ratna dan Siska segera berwuduk. Ibu Ghazi memberikan mukenanya ke Siska. Najwa Detektif menyuruh Ratna mengambil mukena miliknya di dalam mobil. Kebiasaan Najwa Detektif selalu membawa mukena di dalam mobilnya kemana pun ia berpergian.
"Kamu yang jadi imam, Siska." Ratna mempersilakan Siska.
"Kamu aja, Ratna."
"Kamu aja."
"Ratna aja."
"Kamu aja." Najwa Detektif yang sedang duduk, segera bangkit, ia tidak tahan melihat tingkah dua orang sahabatnya yang kekanak-kanakan.
"Siska agak maju, Ratna di sebelah kanan dan agak sedikit ke belakang." Najwa Detektif menggeser-geser Siska dan Ratna untuk mengambil posisi Siska sebagai imam dan Ratna jadi makmum.
"Jangan bikin malu di rumah mertuaku!" tegas Najwa Detektif. Mendengar kata rumah mertuaku, Ratna dan Siska tak mampu menahan tawa, lalu shalat ashar pun diimami oleh Siska di rumah Ghazi. Ibu Ghazi sesekali lewat dan ia melihat Siska yang jadi imam, ia senang sekali melihatnya. Sementara Najwa Detektif, matanya tak henti-henti melihat ke arah depan, tak sabar menunggu Ghazi pulang dari masjid.
Tujuh menit berlalu, Ghazi pun pulang dari masjid dengan memakai peci warna hitam, sajadah kecil di bahu sebelah kanan, memakai sarung dan baju kemeja warna biru dongker. Ibunya yang sedang di depan memberitahukan padanya bahwa Najwa Detektif sedang di dalam. Ghazi tidak mau masuk, ia menunggu mereka semuanya keluar ke teras depan dan duduk di depan. Najwa Detektif, Ratna dan Siska pun keluar dan duduk di samping ibunya Ghazi.
"Loh kenapa pada keluar?" Ibu Ghazi heran ketika melihat mereka semuanya keluar.
"Karena, Ibuk di luar." jawab Siska memasang senyum.
"Loh, ayo masuk." Ibu Ghazi bangkit dan mengajak semuanya masuk.
"Udah di luar saja, Ma." sahut Ghazi.
"Ya sudah, Ibu ke dapur dulu ya. Mau masak yang enak."
"Nggak perlu repot-repot, Buk. Kita cuma sebentar kok, mau pinjam Ghazi, Buk." Najwa Detektif menyampaikan maksudya.
"Ya Ibuk izinkan, tapi jangan lama-lama."
"Ya, Buk." sahut Najwa Detektif, Ratna, dan Siska serentak. Ghazi pun segera mengganti pakaian. Tidak sampai dua menit, Ghazi keluar dari dalam dan siap berangkat. Najwa Detektif, Ratna dan Siska mohon izin.
Semuanya mencium tangan ibu Ghazi. Ketika giliran Siska, Siska agak lama mencium tangan ibu Ghazi, entah apa maksud dan tujuannya, hanya ialah yang tahu pastinya. Tadi, sebelum Ghazi pulang dari masjid, Najawa Detektif sempat mengajak Ratna menghadap ibu Ghazi untuk membicarakan masalah serius yang sedang dialami Ratna, yaitu sakit pangkal rahim. Ibu Ghazi siap mengobati dan ia menganjurkan Ratna agar datang padanya seminggu tiga kali. Ratna menyanggupi.
Selesai mengucap salam, mereka pun masuk ke dalam mobil. Ghazi duduk di sebelah kanan sebagai supir. Ratna tetap tidak mau duduk dengan Siska, ia milih duduk di depan di samping Ghazi. Karena Ratna sudah masuk duluan, dengan berat hati Najwa Detektif duduk di belakang. Padahal ia ingin sekali duduk di samping Ghazi, calon suaminya, masih calon, sedangkan dilamar saja belum. Kata calon juga dirinya saja yang mengatakan. Ghazi? Tidak sempat memikirkan kata-kata seperti itu.
"Maaf ya, Najwa?, Aku duduk di depan. Aku udah punya Retno, nggak akan kuambil lagi Ghazi."
"Aku juga tidak mau sama emak-emak." sahut Ghazi dengan bercanda.
"Ya gapapa, Ratna, asalkan jangan Siska aja yang di depan!" Najwa Detektif tidak keberatan. Siska hanya diam dan membaca buku.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah jembatan hanya ramai pada waktu sore saja. Mobil diparkirkan di atas jembatan. Semua turun lalu mereka menepi ke bibir jembatan. Mulai dari muda-mudi hingga tua sedang menikmati matahari yang akan terbenam.
Jembatannya tidaklah jembatan untuk dilalui kendaraan umum yang lalu lalang, tapi jembatan ini adalah khusus dibuat untuk memperindah tempat rekreasi. Tempatnya cukup menawan. Para pengunjung yang berdatangan tidak ada yang berani memeluk pasangan apalagi sampai ciuman, ada penjaga yang selalu mengawasi.
Selain mengawasi para pengunjung agar tidak ada yang berbuat merusak jembatan, seperti mencabut bautnya satu-persatu, selfie yang terlalu ke pinggir dan hal berbahaya lainnya, para penjaga tersebut juga mengawasi agar tidak ada yang berani berbuat maksiat.
Najwa Detektif ingin mengajak Ghazi bicara empat mata tentang pernikahan. Tapi selalu saja diikuti Ratna dan Siska.
"Nggak boleh berduaan, Najwa. Harus ada cctv atau saksi." Ratna mencampuri.
"Kalau berduaan sebelum halal, nanti sendirian ketika halal." Siska menambahi.
"Logika macam apa itu, Siska?" Najwa Detektif tak terima.
"Entahlah, tiba-tiba saja lewat di kepalaku!"
Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya Najwa Detektif pun mengalah dan mengungkapkan maksudnya kepada Retno, didengar oleh Ratna dan Siska.
"Kapan pastinya kita menikah, Bang?"
"Abang takut, Dek."
"Takut kenapa, Bang?"
"Abang takut setelah menikah nanti, Abang tidak bisa sayang dan cinta lagi padamu. Abang takut cinta Abang hilang dan terbunuh oleh pernikahan."
"Nggak benar itu, Bang!"
"Kenapa tidak benar?"
"Mau aku buktikan?"
"Silakan."
Kemudian Najwa Detektif pun mengajak sedikit berjalan ke arah sebuah penampakan yang jarang ditemukan di tempat lain. Ratna dan Siska segera mengikuti dari dekat, mereka tidak membiarkan sedikit pun celah untuk mereka berdua saja. Ratna dan Siska tidak menjauh dari Ghazi da Najwa Detektif walau hanya satu meter.
Mereka mulai melihat orang-orang bergandengan tangan dengan pasangannya, mereka semuanya membawa anak kecil, kecuali kakek-kakek dan nenek-nenek yang lanjut usia. Mereka melihat seorang nenek menggenggam erat tangan kakek. Sepasang kekasih yang lanjut usia itu tersenyum manis pada mereka dan tak lupa mengucap salam sambil lalu. Mereka tahu bahwa sepasang kekasih yang lanjut usia itu baru saja keliling untuk menyegarkan tubuh agar selalu sehat dan awet muda. Ghazi memandangi dari jauh, nenek itu memeluk erat tangan suaminya.
Sampai di tempat penjual minuman, sang kakek melepaskan syalnya dan mengalungkannya pada sang nenek. Kakek itu antrea dengan pembeli lainnya. Kakek membeli jus jeruk. Setelah mendapatkan minuman, kakek mengembangkan syalnya di pinggir jembatan dan menghadap ke arah matahari yang akan terbenam.
Ghazi, Najwa Detektif, Siska dan Ratna menatap erat-erat dengan bola mata mereka. Mereka melihat kakek menyuguhkan minumannya pada nenek dengan memakai pipet. Kira-kira umur mereka ialah enam puluh tahunan.
Rambut kakek itu sudah memutih, kumis dan rambut dagunya juga memutih, mungkin bulu hidungnya pun sudah memutih. Mereka saling menyuguhkan minuman. Jarak mereka dengan sepasang kekasih tua itu tidak lebih dari sepuluh meter saja. "Ayo sini-sini!" Nenek itu memanggil mereka, mengajak ikut nimbrung bersama.
"Makasih, Kek, Nek." sahut mereka serentak. Ratna dan Siska senyum-senyum melihat pasangan tua itu. Setelah pasangan lanjut usia itu selesai minum, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju pulang ke rumah, mentari hampir hilang. Najwa Detektif dan teman-teman memandangi dari jauh tangan kakek itu melingkari pundaknya nenek. Sesekali kakek itu mencubit manja hidung nenek. Mereka pun berlalu bersama senja.
Ghazi, Najwa Detektif, Siska dan Ratna masih berdiri di tempat dan mata mereka melihat ke sana kemari. Mereka belum pindah dan belum bergerak. Tak sampai lima menit, datang lagi sepasang kekasih tua. Kali ini kakek dan neneknya kira-kira berumur lima puluhan. Tentunya masih kuat. Sepasang kekasih tua itu berjalan di depan mereka.
Ratna melihat nenek itu kehausan, lalu kakek dan nenek pun singgah di tempat air minum yang gratisan. Maksudku gratisan ialah air minum yang terbuka dua puluh empat jam tanpa penjual, seperti tempat mesin air yang dibangun khusus pengunjung.
Airnya jernih karena ada mesin yang menyaringnya, air putih tentunya. Di tempat air minum itu tidak ada gelas. Ya benar tidak ada gelas sama sekali. Kalau diletakan gelas maupun cangkir plastik di sana, hanya bertahan dua hari saja. Setelah itu tidak kelihatan.
Bukan dicuri, tapi para pengunjung yang suka meminjam lupa mengembalikannya. Kakek itu tidak repot-repot mencari cangkir, segera ia menggabungkan kedua telapak tangannya hingga terbentuknya sebuah bendungan kecil. Kakek itu pun menampung air minum dan menyuguhkannya ke mulut istrinya hingga rasa dahaga istrinya tiada.
Sepasang kasih tua itu gantian melakukannya. Padahal bisa pakai tangan masing-masing, tapi kakek itu ingin rasa cinta dan kasih sayangnya pada istrinya tetap awet muda. Setelah minum, nenek itu tidak sanggup berdiri karena kelelahan setelah keliling dan kekenyangan. Sang kakek pun segera membentuk posisi kuda dan menggendong si nenek ke tempat mobil mereke parkir. Mereka pun berlalu bersama senja.
Hari semakin sore, sang mentari sudah tak tampak lagi. Ghazi, Najwa Detektif , Siska dan Ratna masih berdiri di tempat yang sama. Mereka menunggu pasangan tua berikutnya.
Tak lama, datang lagi sepasang kekasih yang lanjut usia. Kali ini pasangan paling tua dari pasangan sebelumnya. Kakek itu sudah bungkuk, si nenek masih tegak dan kuat. Mereka melihat nenek yang menjadi tongkat.
Nenek itu menggandeng suaminya yang bungkuk. Mereka juga baru saja keliling, menikmati sunset di atas jembatan dan sekitarnya. Mereka bukan hanya menjaga keawetan cinta dan kasih sayang, tapi juga menjaga keawetan jasmani, masih ingin menikmati keindahan di sore hari. Kakek memeluk manja tangan istrinya.
Sampai di tempat air minum yang dua puluh empat jam tadi, nenek itu mengisi botol minuman. Botol minuman itu telah kosong sebelumnya. Tak lama botol minuman itu penuh dan nenek menyuguhkannya ke mulut kakek. Lalu kemudian mereka pun berjalan ke arah penjual jus jeruk. Nenek ikut antrea di barisan. Tak lama mengantrea nenek itu mendapatkan jusnya.
Lalu memberikannya pada suaminya dengan penuh rasa cinta. "Dulu waktu aku masih muda, kamu sebagai suami bertanggung jawab menyayangiku. Sekarang ketika kamu lebih tua duluan, maka aku yang bertanggung jawab atasmu duhai suamiku tersayang." Begitu kira-kira yang dibisikkan nenek kepada kakek, Siska menebak sesukanya. Kakek itu tersenyum bahagia mendengar yang diucapkan istrinya.
Kakek itu pun mencium ubun-ubun istrinya yang memakai hijab hitam dan besar itu. "Bidadariku di dunia dan di surga." kali ini Ratna yang menebaknya. Nenek itu hanya menyunggingkan senyum manisnya, terlihat oleh Ghazi giginya sudah tidak lengkap lagi. Teteapi senyumnya masih manis, beneran, manis sekali!, relative manis menrut Gazhi sebagai laki-laki. Apalagi ketika nenek itu tertawa, aih, bukan main manisnya! Setelah meminum habis jusnya, nenek itu berubah lagi jadi tongkat untuk suaminya. Mereka pun berlalu bersama senja.
Dikarena hari sudah mau magrib, Najwa Detektif dan roombongan pun memutuskan untuk segera pulang.
Sebelum pulang Ghazi kembali berujar,
"Tapi Abang masih takut, Dik."
"Takut apalagi, Bang?"
"Abang takut nanti kalau sudah punya anak, Abang nggak cinta dan sayang lagi padamu."
"Kakek-kakek dan nenek-nenek yang kita lihat tadi kan masih saling mencintai dan menyayangi, Bang? Tentu mereka juga punya anak."
"Ya tapi kan mereka sudah nggak bersama anaknya? Anak mereka sudah pada besar semua, Dik."
"Nah itu artinya cinta dan kasih sayang bisa bertahan hingga tua dan hingga mati, Bang! Tergantung kitanya menjalaninya bagaimana nantinya, Bang!? Sekarang malah Aku yang takut, Bang!" Najwa Detektif mulai kesal pada Ghazi.
"Apa yang kamu takutkan dari, Abang Dik?"
"Aku takut kalau, Abang menunda-nunda terus, nanti malah rasa cintaku yang hilang!"
"Tapi…" Belum sempat Ghazi selesai bicara, Najwa Detektif segera masuk ke dalam mobil dan duduk sebagai supir. Ratna dan Siska sudah lama masuk duluan sejak tadi, lagi-lagi Ratna tidak mau duduk di depan. Siska sedang baca buku.
"Ada ongkos pulang kan?" tanya Najwa Detektif.
"Ada." jawab Ghazi tak semangat. Najwa Detektif pun segera memutar setir dan belok kanan, meninggalkan Ghazi karena ia keburu kesal. Najwa Detektif dan kedua sahabatnya berlalu bersama senja. Ghazi? Berjalan kaki sembari menikmati sisa senja.
***