Firman dan Marwa hendak pergi ke rumah Najwa Detektif, Tauke belum boleh ikut. Sebab panggilan putus tadi malam adalah tanda yang membingungkan. Apakah Najwa Detektif terlalu senang sehingga tak kuasa membiarkan telepon terus aktif? Atau karena kaget lantas marah dan tak mau dihubungi lagi?
Baru saja Firman dan Marwa sampai di lantai satu, ibu Marwa memberikan sepucuk surat kepada Marwa. Sudah jarang ada yang mengirimi surat di zaman yang serba modern dan canggih ini. Tapi pagi ini Marwa benar-benar mendapat kiriman surat dan surat itu ditujukan untuknya.
"Dear... Marwa, kalau memang serius Tauke mau melamarku. Lalu kenapa ditunda-tunda lagi? Kuharap bisa sesegera mungkin!
Sahabatmu, Najwa yang malang."
Marwa belum percaya surat itu dari Najwa Detektif. Ia telepon Najwa Detektif tapi tidak aktif. Firman bergegas naik ke lantai dua, ia ingin menyampaikan surat Najwa Detektif pada Tauke. Bukan main senangnya Tauke membaca isi surat Najwa Detektif.
"Bagaimana, Tauke? Kita datang untuk melamarnya hari ini?" Firman bertanya dengan memasang wajah gembiranya.
"Ya, Tauke hari ini saja. Lebih cepat lebih baik. Jangan ditunda-tunda, nanti ia berubah pikiran." Masukan cemerlang dari Botak.
"Botak, siapkan oleh-oleh yang banyak!"
"Siap, Tauke!"
Tauke mandi pagi. Sementara Botak harus belanja banyak macam ditemani oleh Firman dan Marwa. Toko buahan tidak terlalu jauh dari rumah Marwa, hanya lima belas menit saja dengan berjalan kaki. Tapi karena belanja banyak, Botak membawa mobil. Firman dan Marwa duduk di kursi belakang. Setelah dua kali diarahkan Firman, Botak berhenti dan memarkirkan mobil di tempat parkir lalu ia pun bergabung dengan Firman dan Marwa. Seperti biasa, banyak macam buahan yang dibeli untuk oleh-oleh. Semua buah persatu kilo kecuali buah langsat yang tiga kilo, kesukaan Najwa Detektif, Marwa yang tahu kesukaan Najwa Detektif ketika tiap kali ia menjenguk waktu Najwa Detektif sakit beberapa bulan yang lalu. Tiap kali pembantu Najwa Detektif belanja ke pasar, ia membawa buah langsat untuk Najwa Detektif.
"Bagaimana sudah cukup belum?" tanya Botak pada Marwa.
"Bukan cukup, tapi ini sudah kebanyakan!"
"Ini perintah Tauke. Kita hanya bisa menurut."
Setelah semuanya selesai, mereka pun bergegas ke kasir. Belum sampai di kasir, Marwa ngidam buah mangga. Terpaksa Firman kembali ke tempat buah mangga disusun. Kira-kira sudah sampai satu kilo gram, Firman menyerahkannya ke kasir. Total semuanya lima ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah, untuk oleh-oleh ke rumah Najwa Detektif. Sedangkan mangga satu kilo Marwa, dibayar oleh Firman sendiri. Botak membayarkannya dengan uang Tauke, tetapi Firman menggantinya. Sejak Marwa hamil, segela kemauan makanan Marwa, Firman berusaha memakai duitnya sendiri. Begitu mereka sampai di rumah, Tauke dan kedua orangtua Firman sudah duduk di ruang tamu di lantai satu. Semuanya siap berangkat ke rumah Najwa Detektif.
Tauke dan Botak satu mobil. Firman dan Marwa beserta kedua orangtua juga satu mobil, masing-masing bagasi mobil berisi ranjang buah-buahan.
Tak sampai setengah jam perjalanan, mereka sudah tiba di depan rumah Najwa Detektif. Mobil diparkirkan. Marwa memencet bel, pintu dibuka oleh ibu Najwa Detektif. Semuanya dipersilakan duduk di ruang tamu.
"Najwa mana, Tante?" tanya Marwa.
"Ada di dalam. Ayo kamu saja yang jemput. Bawa keluar." Marwa masuk ke kamar Najwa Detektif. Bukan main senangnya Marwa melihat sahabatnya Najwa Detektif yang sudah berhias, cantik dengan pakaian yang rapi dan masih baru.
Marwa dan Najwa Detektif keluar dari dalam kamar. Semua mata melihat ke arah mereka kecuali Tauke. Tauke masih menatap meja, belum ada keberaniannya menatap Najwa Detektif.
Najwa Detektfi duduk di samping ibunya, berdekatan dengan Marwa. Bapak Marwa sebagai juru bicara membuka keheningan. Bapak Marwa memulai dengan muqadimah, puji syukur pada Allah, bershalawat atas Rasulullah, lalu menyampaikan maksud kedatangan rombongannya. Setelah itu, Firman pun menceritakan biografi Tauke. Tauke orang kaya yang dermawan, saleh, shalat tak pernah tinggal dan sudah pernah menikah alias berstatus duda. Ketika Firman berkata duda, Tauke tak dapat lagi membuang pandangannya, ia hanya menunduk malu, semua mata melihat ke arahnya. Dan Ternyata Najwa Detektif telah mempresentasikan terlebih dahulu tentang Tauke pada kedua orang tuanya sejak ia dapat telepon dari Marwa. Kalau Najwa Detektif yang menjelaskan, sudah barang pasti kedua orang tuanya tersihir dan menerima, langsung setuju. Hal ini pun membuat semua hadirin sedikit takjub bahwa kedua orangtua Marwa tak banyak syarat, langsung saja menerima Tauke jadi suami putrinya Najwa Detektif. Itulah sebabnya panggilan langsung terputus tadi malam, sebab tengah malam itu juga Najwa Detektif membangunkan kedua orang tuanya dengan kabar bahagia. Sambil ngantuk-ngantuk ayah dan ibunya mendengar ceritanya tentang Tauke. Putri satu-satunya memang penuh kasih sayang, segala sesuatu jadi istimewa.
Di ujung pertemuan, Najwa Detektif pun berdiri dari tempat duduknya. Ia mengucap salam lalu ia pun mengatakan maksudnya.
"Aku mau pestanya seminggu lagi setelah hari ini." semua mata menatapnya. Tatapan Tauke paling tajam, akhirnya Tauke pun berdiri dan bersuara.
"Baiklah. Aku menyanggupi. Tapi pestanya di Markas Sawit Takkan Aku Ulangi Lagi."
Najwa Detektif setuju, kedua orang tuanya hanya bisa ngikut. Marwa dan Firman tampak bahagia. Ayah dan ibu mereka tersenyum manis. Botak? Sejak Najwa Detektif menerima lamaran Tauke tadi, air matanya berkaca-kaca, hingga jatuhlah air mata bahagianya. Apalagi pesta pernikahan Tauke di Markas Sawit Takkan Aku Ulangi Lagi, pastilah sangat meriah, Botak sudah menggambarkannya dalam benaknya.
Setelah makan siang, rombongan peminang pun pamit. Ayah, ibu dan Najwa Detektif ikut mengantar ke depan.
"Sampai ketemu seminggu lagi ya, Say?!" Marwa melambaikan tangan.
"Ya Say, makasih banyak ya, Say?!" Najwa Detektif mengecup telapak tangannya sendiri dan membalas lambaian pada Marwa. Semuanya telah masuk ke dalam mobil kecuali Tauke. Ia belum masuk karena rombongan belum ada yang mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum.." sapa Tauke.
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh.." jawab pemilik rumah serentak dan takjub pada Tauke. Ayah dan Ibu Najwa Detektif tampak senang sekali. Ternyata hasil presentasi anaknya tadi malam sudah terbukti bahwa Tauke memang orang baik.
"Tidak papa duda, Nak. Ibu mau dia jadi suamimu. Dia orang baik! Taat beragama!"
Sampai di rumah, ayah dan ibu Marwa, Firman dan Marwa berkemas. Mereka ikut dengan Tauke, tinggal di rumah Tauke. Tauke juga menyuruh Marwa mengabari Retno dan Ratna, Gunawan dan Meera juga Ghazi dan Siska. Semuanya ditelpon oleh Marwa.
"Kita semua ke rumah Tauke. Jadi tamu istimewa selama satu minggu untuk acara pernikahan Tauke seminggu lagi dengan shabat kita Najwa!" Semua yang ia telepon, Marwa mengatakan kata yang sama dan tak ada yang bertanya kecuali Ghazi. Ia belum yakin Najwa Detektif bisa berjodoh dengan Tauke. Firman dan Marwa membawa pakaian satu koper begitu pun kedua orang tunya. Hanya dua jam berkemas-kemas, setelah shalat ashar semuanya pergi menuju Markas Sawit Takkan Aku Ulangi Lagi. Sangkinkan bahagianya, kali ini Tauke yang jadi supir. Botak? Duduk manis di belakang. Tadi Ketika masih di rumah Marwa, Botak meminta buku tulis yang masih kosong dan satu pena baru pada Marwa dan Marwa memberikan buku tulisnya dan penanya yang belum ia pakai. Ada yang ingin Botak tulis untuk ia persembahkan di acara pernikahan bosnya. Perjalanan enam jam pun ditempuh dengan suasana hati yang bahagia, bahagianya calon pengantin.
"Pak Rektor sudah kamu kabari, Dek?"
"Oh ya, aku lupa, Bang."
"Kabari dong. Suruh datang juga. Sebagai tamu istimewa untuk satu minggu."
Marwa pun segera menelepon Pak Rektor dan menyampaikan hal yang sama. Nun jauh di sana, Pak Rektor amat senang sekali menerima undangan sebagai tamu istimewa. Apalagi ketika ia tahu bahwa calon istri Tauke adalah Najwa Detektif yang salah satu alumnus Awamalia.
Pak Rektor Awamaalia University pun berkemas. Kali ini Pak Rektor juga membawa sang istri, sebab ini adalah perjalan jauh dan untuk satu minggu. Tak sampai hati meninggalakn istri walau hanya satu minggu.
Ratna mengunci semua jendela. Tabung gas di dapur ia periksa, mesin air, dan lampu kamar mandi, semuanya ia periksa dan sudah ia matikan. Retno segera mengunci pintu lalu menarik koper dan meletakkannya di bagasi. Ratna turun lagi dari mobil dan meminta kunci pada suaminya.
"Apa lagi, Dek?"
"Al-Quran-ku ketinggalan, Sayang."
"Ada Al-Quran di dalam mobil."
"Aku tidak biasa mengahfal dengan memakai Al-Quran itu. Bentar aku ambil dulu ya, Sayangku?"
"Ya, Sayangku, Abang tunggu!"
Tak sampai dua menit Ratna keluar dari dalam dan mengunci pintu lalu masuk ke dalam mobil. Retno pun mulai memutat stir dan tancap gas.
Gunawan dan Meera sudah lumayan jauh meninggalkan rumah. Tadi Meera minta berhenti di tengah jalan, Meera ngidam sate kambing. Sepuluh tusuk ia habiskan sendirinya. Gunawan yang tidak ngidam, habis lima belas tusuk. Setelah selesai makan sate mereka pun melanjutkan perjalanan.
Ghazi dan Siska, masih berkemas-kemas. Agak berat Gahzi berangkat, tapi karena dipaksa Siska akhirnya ia berangkat juga. Ghazi tidak bisa bawa mobil, terpkasalah Siska yang mengemudi. Sudah belajar tapi Ghazi belum bisa juga. Jangankan mobil, motor saja pun Ghazi tak punya. Sampai saat ini ia menumpang mobil istrinya. Pakaian yang masuk koper pun kebanyakan pakaiannya Siska. Ghazi hanya punya dua kemeja, dua celana dan satu kain sarung. Siska tak bisa baca buku karena ia harus fokus menyetir.
Sudah lebih setengah perjalanan, Tauke merasa lelah mengemudi lalu minta gantian dengan Botak. Botak sendiri sudah selesai menuliskan sesuatu yang ingin ia tuliskan, Tauke tidak tahu akan hal itu. Mobil dihentikan dan Tauke turun dan duduk di kursi belakang. Tulisan yang Botak tulis tadi sudah ia sobek dan ia lipat lalu ia masukkan ke dalam kantong jasnya. Tauke menemukan buku tulis dan pena di samping ia duduk. Sangkingkan bahagianya ia bahwa tak lama lagi akan jadi pengantin, Tauke tidak bisa tidur. Rasa ngantuk tidak lagi menghampiri matanya. Tauke pun menuliskan surat undangan untuk Dokter Nadia. Tauke menuliskan dengan perasaannya. Siapa pun yang membaca dan mendengar surat yang ia tulis, lucu-lucu sedih dan Manek'i alias ngeselin mendengarnya bahkan mungkin bikin geram Dokter Nadia. Tidaklah lama Tauke menuliskan surat tersebut, hanya sepuluh menit saja.
Sesampainya di rumah, Tauke langsung memberikan tempat khusus untuk tamu istimewanya, kedua orangtua Firman dan Marwa dan juga Firman dan Marwa yaitu di rumah Tauke yang cukup besar yang memiliki banyak kamar, lebih sepuluh kamar. Kamar-kamar itu adalah jika ada teman bisnisnya yang datang dari jauh, maka mereka boleh menginap. Karena akan banyak tamu istimewa yang dari jauh berdatangan, terpaksa Botak pindah ke gedung sebelah, bergabung dengan teman-teman lainnya. Kamar ayah dan ibu Firman dan Marwa bersampingan dengan kamar Firman dan Marwa, yang menghadap ke kolam renang. Tauke membuat peraturan pada para anak buahnya, pada para pekerjanya bahwa tidak ada yang menggunakan kolam renang sampai nanti ia menikah dengan Najwa Detektif, khusus untuk tamu istimewa saja.
***
Hari pertama untuk satu minggu, semua tamu yang diundang Marwa sampai di pagi harinya. Perjalanan jauh cukup membuat mereka keletihan. Anak buah Tauke libur bekerja untuk satu minggu, semuanya jadi panitia pernikahan Tauke. Semuanya sibuk, tidak ada yang berani beristirahat sebelum pada waktunya. Semua penjual yang berdatangan dari berbagai desa untuk menjual sawit ke markas sawit Tauke, ditunda dulu karena pernikahan Tauke. Tumpukkan-tumpakkan Sawit yang sangat banyak dan menggunug itu ditututp dengan terpal.
Kamar Gunawan dan Meera berdampingan dengan kamar Firman dan Marwa. Kamar Retno dan Ratna bersebelahan dengan kamarnya Ghazi dan Siska. Kamar Pak Rektor dan istri berdekatan dengan kamar Tauke, yaitu kamar yang ditempati Botak dulunya. Dan dua kamar yang tidak berdekatan dengan kamar lainnya, agak tunggal di sisi sebelan utara, kamar khusus untuk calon mertua Tauke dan satunya lagi khusus untuk Tauke dan Najwa Detektif. Karena penghuni rumah makin banyak, Tauke menyuruh Botak mengumumkan peraturan baru bahwa para ibu-ibu tidak boleh mandi di kolam renang, hanya bapak-bapak saja. Yang ibu-ibu menggunakan kamar mandi. Kamar mandi untuk perempuan ada di pojok kiri, tiga kamar mandi saja. Dan kamar mandi untuk laki-laki ada di sisi sebelah kanan, yang juga tiga kamar mandi dan hanya dua kamar mandi untuk tamu, satunya lagi khusus untuk kamar mandi pengantin. Namun, karena calon pengantinnya belum ada ikatan halal, maka kamar mandi tersebut boleh digunakan oleh tamu laki-laki. Tinggal di rumah Tauke tak jauh bedanya tinggal di hotel. Apa saja yang mereka inginkan semuanya dipenuhi anak buah Tauke. Masing-masing kamar disediakan telepon khusus untuk menelpon ke dapur dan kantin. Makan bersama setiap waktu makan di atas karpet tebal yang berbulu lembut, sebab meja makan Tauke tidak cukup besar. Semuanya duduk di bawah, meja makan dimasukan ke dalam gudang. Setiap kali hendak makan, Tauke selalu menyuruh Firman memimpin baca doa makan. Walaupun rumah sendiri, Tauke tidaklah membuat dirinya berbeda dengan tamu. Ia bergabung dengan para tamu istimewanya, walaupun terhitung hanya dengan Firman saja ia kenal dan dekat, tapi wajah-wajah yang lain yang juga pernah ia lihat tidak jadi asing di matanya. Semuanya terasa akrab seakrab dirinya dengan Firman. Rasa sayang Tauke pada Firman lah yang membuat semuanya bisa bergabung dengan Tauke. Firman sudah ia anggap seperti anak kandungnya. Hari pertama untuk satu minggu ialah menata rapi dan membersihkan semuanya. Yang membersihkan? Para panitia tentunya. Tamu undangan? Membantu seadanya, khusus di dalam rumah saja dan hal lain yang perlu mereka bantu.
***
Hari kedua, Tauke menyuruh Botak untuk memberikan surat undangan pribadinya pada Dokter Nadia.
"Dengan senang hati, Tauke." sahutnya penuh semangat! Lalu ia pun bergegas menuju Kampung Kekucakeme. Di tengah jalan, Botak membuka surat undangan tersebut, ia baca isinya, bukan main senangnya Botak, dan setelah ia baca lalu Botak menulis surat undangan yang baru, yang isinya singkat dan padat.
"Dear, dinda, Dokter Nadia, sudi kiranya menghadiri pernikahan Kanda pada hari jumat nanti, sekarang masih hari minggu Dinda, datang ya dinda, Dokter Nadia?"
Kemudian ia lipat serapi lipatan tulisan yang ia tulis dua hari kemarin saat pulang dari rumah Marwa. Sampai di halaman rumah Dokter Nadia, Botak turun dari dalam mobil dan mendekat ke pintu. Mendengar suara bel berbunyi lebih tiga kali, Dokter Nadia turun dengan mengenakan kaus lengan panjang bewarna merah dan jilbab pink. Dokter Nadia tersenyum melihat Botak.
"Sendirian? Ayo masuk dulu."
"Tak usah, Dokter, saya cuma sebentar dan harus segera kembali. Ada yang harus saya kerjakan lagi."
"Owh begitu. Btw ada apa gerangan ini?"
"Ini surat dari Tauke, Dokter!"
Dokter Nadia menerima surat tersebut dengan penuh tanya: "surat apa lagi yang ditulis, Tauke???"
Setelah salam, Botak pamit meninggalkan Kampung KeKucaKeme. Sampai di kamarnya, Dokter Nadia segera membuka dan membaca surat tersebut, bukan main senangnya ia. Langsung saja Dokter Nadia menelepon Tauke untuk mengatakan bahwa ia akan datang. Tapi nomor Tauke tidak dapat dihubungi, tidak aktif. Tauke tak mau digangggu dan menerima panggilan dari siapa pun. Telepon dari para pembisnis lainnya diurus oleh Botak. Tauke hanya menerima panggilan dari Najwa Detektif. Sengaja ia beli handpohne baru dan kartu baru, Tauke sendiri yang pertama kali menelpon Najwa Detektif, untuk mengabari bahwa nomor barunya khusus untuk menelpon dan menerima panggilan dari Najwa Detektif, calon istri tercinta.
Sesampainya di rumah, Botak segera melapor bahwa surat Tauke sudah ia berikan pada Dokter Nadia.
"Bravo, Botak, bravo!"
"Syukron very much, Tauke!"
"Your welcome, Botak!" Botak menyimpan surat pribadi Tauke tadi di tempat ia menyimpan tulisaan yang ia tulis dua hari yang lalu. Terkadang senyum-senyum dan nyengir Botak mengingat sebagian isi surat undangan pribadi Tauke pada Dokter Nadia itu.
Lalu Botak pun menyebar undangan ke panti asuhan dan anak pesantren. Tim kasyidah dan shalawat akan dibwakan oleh anak pesantren yang santriwati, dan para anak-anak dari panti asuhan cukup untuk hadir saja. Lalu Botak pun mengundang ustadz yang khusus jadi khutbah nikah.
***
Dua hari sebelum hari-H, perhiasan dan perlengkapan. Botak sebagai ketua panitia pelaksana resepsi pernikahan Tauke, Botak mendatangkan lima kameraman. Satu kamera untuk dari depan panggung romansa, satu kamera sisi kanan dan satu kamera untuk sisi kiri, satu kamera dari belakang panggung dan satu kamera drone khusus dari ketinggian, menangkap seluruh lokasi markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi. Dua hari sebelum hari-H, semua perlengkapan sudah datang, kamera sudah siap shooting, gaun pengantin sudah disewa. Tadi begitu gaunnya datang, Tauke langsung mencobanya lagi, aih terlihat ganteng betul Tauke dengan corak warna dan motifnya itu. Katering nasi kotak sudah dipesan untuk seribu lima lima ratus porsi, walaupun tamu undangan tak sebanyak itu, maka nasi kotak yang tak habis akan dibawa pulang oleh anak pesantren dan anak-anak dari panti asuhan. Tenda sudah dipasang melebar dan memanjang, hampir menutup semua halaman rumah Tauke. Panggungnya tepat berdiri di depan rumah Tauke. Sound syistem sengaja disewa yang berkualitas, suarannya bisa bikin tuli kalau sampai ada panitia yang nekad menumpukan gendang telinganya ke speaker. Sound-sound system besar berdiri di dekat gerbang, di tengah penonton dan kiri kanan panggung.
Dekorasi ucapan selamat dari berbagai teman bisnis terpampang rapi di depan gerbang rumah. Barulah sebagian anak buahnya tahu nama Tauke, sebelumnya hanya Botak yang tahu nama asli Tauke. Firman pun tidak tahu apalagi teman-temannya. Padahal dulu waktu ia amnesia Tauke sudah pernah memperkenalkan dirinya. Ternyata nama Tauke sangatlah bagus, tapi ia lebih senang dipanggil Tauke sebab ia memang Tauke, Tauke besar sawit dan punya kebun sawit yang sangat luas, dia juga investor di berbagai bisnis lainnya. Semua penduduk setempat menjualkan sawitnya ke Tauke lalu Tauke menjualkannya secara kolektif yang sangat banyak ke Kampung Arab naik Kapal.
"Najwa dan Randa" Friman dan istrinya membaca tulisan ucapan selamat yang terpampang rapi di depan gerbang.
"Owh, nama Tauke aslinya Randa ya, Bang?"
"Abang pun baru tahu, Dek!"
Lalu Marwa dan Firman membaca tulisan yang lain, di sana tertulis nama lengkap Tauke : Randarmanto Pinim.
"Widih, bagus juganya nama Tauke, Bang. Tapi kenapa malah dipanggil, Tauke? Kenapa tidak Randa atau Arman?"
"Abang pun tak tahu kenapa?" jawab Firman sambil geleng-geleng.
Sedang asyik dan santainya Retno dan Ratna duduk berdua di atas kursi menatap panggung pengantin sahabatnya, Retno dan Ratna mengenang kembali waktu-waktu pesta pernikahannya setahun silam. Botak mendekat ke Retno dan Ratna.
"Assalamua'laikum.."
"Walaikumsalam..."
"Boleh saya duduk di sini?" Botak menunjuk kursi kosong dekat Retno.
"Boleh-boleh." Sahut Retno.
"Maaf nih, langsung saja. Karena saya juga mau buru-buru."
"Ada apa?" Retno tak sabar, penasran.
"Kalian berdua jadi MC ya?"
"Pembawa Acara pernikahn Tauke untuk lusa?"
"Iya benar."
Retno menatap Ratna, Ratna tampak kaget mendengarnya.
"Boleh-boleh. Dengan senang hati!" sahut Retno. Ratna membisu, tubuhnya gemetar, ia membayangkan betapa banyakanya orang yang hadir pada lusa nanti. Tapi suaminya sudah menyetujui, Ratna mengeluarkan Al-Quran dari dalam tas kecilnya, lalu ia pun mencoba menenangkan diri dengan membaca Al-Quran.
"Dik..," Retno menepuk pundak Ratna. Ratna menghentikan bacaannya, menutup Al-Quran.
"Ayo kita latihan. Teksnya sudah ada nih dari Botak." Ratna tak menyahut. Ia membayangkan betapa banyaknya tamu undangan yang akan hadir, belum pernah ia tampil di depan orang banyak, apalagi jadi pembawa acara besar? Tidak pernah sama sekali!
"Aku nggak bisa sayangku!"
"Aku ajari sayangku!"
"Emang gampang? Langsung bisa dalam dua hari?"
"Ya gampang kok, tinggal dibaca saja. Dua hari sudah cukup banyak waktunya sayangku. Sehari saja langsung bisa!"
"Serius, Sayangku?"
"Serius, Dindaku, Ratnaku, cantikku, manisku, belahan jiwa..."
"Stop, Sayangku! Ayo kita latihan sekarang!"
Ratna menarik tangan Retno ke kebun Sawit, keluar dari gerbang. Retno dan Ratna latihan jadi pembawa acara di balik pohon-pohon sawit hingga tak ada orang yang melihat mereka. Panitia alias para anakbuah Tauke, para pekerja Tauke, membuat kreatif baru. Mereka mengecet buah sawit yang masih muda-muda, mereka kumpulkan buah sawit sampai tiga karung yang cukup besar. Lalu mereka cat dengan warna-warni. Lalu mereka jemur. Setelah semua catnya benar-benar kering, mereka dekorasi jadi sebuah tulisan. Ada yang mereka tempel di triplek dengan bacaan: SELAMAT JADI PENGANTIN BARU TAUKE!
"TAUKE ORANG BAIK! TAKKAN KECEWA NAJWA MENDAPATKANNYA!"
"TAUKE DAN NAJWA PASANGAN PENGANTIN YANG SERASI!"
Semua tulisan, dibawahnya tertulis dengan kecil: panitia penyelenggara acara! Mereka tulis dengan spidol warna merah. Bukan main senangnya Tauke membaca tulisan dari buah sawit itu. Tentu itu adalah ulah anak buahnya. Baru kali ini ia melihat tulisan dari buah sawit yang berwarna-warni, unik dan indah sekali.
Botak juga mengundang tim tarian. Sebab nanti akan ada penampilan tari. Botak mengundang: Tari Saman dan Tari Bekhu Dihe. Mereka pun menyanggupi untuk datang pada hari-H.
"Datang satu hari sebelum hari-H saja. Supaya kalian bisa coba naik panggung." usul Botak.
"Nanti kami dapat makan nggak?" tanya salah seorang perempuan dari tim penari.
"Soal makan jangan khawatir, jangankan makan, tempat nginap pun tersedia untuk kalian!"
"Tapi tersedia khusus perempuan kan, Bang?"
"Ya pastilah. Adek-adek akan kami pisah dengan Tari Saman tentunya." sahut Botak tegas, kemudian ia pun pamit pulang.
Hari ini Botak benar-benar sibuk dan padat, lelah dan lesu. Untung saja ia ditemani oleh bawahannya dua orang, sehingga ia bisa gantian jadi supir. Botak dan panitia lainnya pulang ke markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi pada pukul dua belas malam. Botak mengempaskan badannya di atas kasur, lelah sungguh sangat lelah seharian penuh sibuk kesana-kemari demi kebahagiaan bos tercinta.
***
Satu hari sebelum hari-H. Tim penari Bekhu Dihe pun datang, semuanya perempuan, masih gadis-gadis, masih kuliah, cantik-cantik, imut-imut, asli putri daerah Kuta Cane. Mereka semuanya membawa ransel, membawa pakaian ganti baju tari khusus adat Alas kuta Cane. Makin terlihat cantik mereka mengenakan kostum tersebut, Botak tak berkedip menatap tim penari Bekhu Dihe itu. Mereka pun naik ke atas panggung, mereka ingin mencoba di atas panggung yang sudah siap pakai. Musik mp3 dilantunkan lewat sound syistem. Beberapa menit kemudian dating Tim Tari Saman, ganteng-ganteng. Mereka juga disambut baik oleh Botak dan gentian naik panggung setelah Tari Bekhu Dihe. "Nanti urutan penampilannya Tari Bekhu DIhe dulu, baru setelah itu Tari Sama, mengerti kan?"
"Mengerti, Bang!" sahtu semuanya kompak.
Meera dan Marwa, ketika mendengar suara musik tari Bekhu Dihe, Marwa dan Meera cepat-cepat keluar dari dalam rumah Tauke, berdiri, menonton dan memperhatikan, tidak asing di telinga mereka, gerakannya juga tidak asing di mata Marwa dan Meera. Marwa ingin membuat kejutan untuk suaminya Firman, begitu pun Meera.
Sedang sedap-sedapnya musik tarian Bekhu Dihe, Najwa Detektif dan kedua orang tuanya datang dengan satu mobil mahalnya. Setelah mobil diparkir, Najwa Detektif dan kedua orang tua disambut oleh teman-temannya, Siska yang pertama kali memeluknuya. Sudah tak tampak lagi muka sedih Najwa Detektif, sungguh ia hanya kesal pada Ghazi, bukan pada Siska.
"Selamat dating, Najwa." ucap Ghazi sambil tersenyum.
"Ya, Ghazi, makasih." sahut Najwa Detektif sekenanya. Meera, Marwa dan Ratna gantian memeluk calon pengantin baru.
"Bahagianya aku, Say, akhirnya Kau nikah juga ya, Say." Ratna berkata sejujurnya.
"Makasih, Sayangku." jawab Najwa Detektif tersenyum.
"Gimana, udah pernah teleponan dengan, Tauke?" Marwa menyelidiki.
"Belum pernah." sahut Najwa Detektif sedikit malu, padahal pernah sekali. Marwa makin kagum pada Tauke, Tauke sama sekali tak mengganggu dengan banyak panggilan telepon kalau belum halal.
Najwa Detektif disatukan satu kamar dengan ayah dan ibunya. Najwa Detektif juga sudah melihat kamar pengantinnya di samping kamar yang sekarang ia huni. Senang sekali ia melihat kerapian, keindahan dan suasananya yang menawan dan menggoda itu.
Setelah makan siang, tim penari Bekhu Dikhe pamit pulang. Mereka tidak jadi menginap karena mereka ingin mematangkan penampilannya lagi, ingin, ingin latihan lagi. Ketua tim menyanggupi bisa datang tepat waktu pada hari acara.
"Duitnya nanti ya di hari-H?" jelas Botak pada ketua tim.
"Iya, Bang. Ganteng sekali Bang Botak ni!" sahut salah seorang perempuan, bergurau.
"Makasih, Dinda!" ucap Botak bahagia. Semuanya tertawa mendengarnya. Meera dan Marwa ikut pulang dengan penari Bekhu Dihe. Marwa dan Meera sudah izin pada suami masing-masing, Firman dan Gunawan mengizinkan, alasan Marwa dan Meera ingin mengetahui lebih jauh tarian Bekhu Dihe, padahal mereka sebenarnya ingin tampil. Dulu waktu SMA mereka sempat ikut tarian tersebut. Sekarang tinggal mengasah ulang gerakannya. Mereka hanya membawa pakaian sekenanya.
Malam tiba, malam jumat. Suasana Markas Sawit tampak terang dengan lampu sekeliling, warna-warni bagian lampu di gerbang.
Satu malam ditinggal Marwa, Firman tak kuasa menahan rindu. Ingin ia membacakan puisi rindunya. Dia kirim lewat inbox ke nomor istrinya.
"Telepon lah, Bang, aku lagi malas baca!" balas Marwa, padahal tidak begitu panjang. Marwa bukan malas membaca tetapi ia ingin mendengar langsung dari suaminya. Segera Firman menelpon istrinya.
"Kau tahu, Dinda?"
"Tahu apa, Bang?"
"Aih, diamlah dulu, Dek! Jangan jawab dulu!"
"Yayaya."
"Kau tahu, Dinda?
Malam ini tampak terang bulan.
Angin sepoi-sepoi
Membuat mata Kanda ingin segera kupejam.
Namun tanpa dirimu di sisi, susah aku tertidur apalagi sampai mimpi?
Susah duhai, Dinda!
Kau tahu, Dinda?
Bulan semakin terang," seketika Marwa melihat ke luar jendela, menatap langit.
"Sedang ditutpi awan bulannya, Bang!"
"Aih, janganlah bicara dulu, Dek, dengarkan dulu puisi, Abang ni!"
"Yayaya."
"Kau tahu, Dinda? Abang sedang rindu!"
"Maaf, Bang, adek sudah ngantuk, mau tidur." Lalu ia matikan handphone miliknya, Marwa tak membalas rayuan lebay dari suaminya.
Pagi, setelah subuh, Tauke mengajak semuanya senam pagi, seperti biasanya. Pak Rektor yang sudah lama tidak ikut senam, hanya sanggup ikut lima kali gerakan saja, selebihnya ia duduk dan langsung disuguhkan teh hangat oleh anak buah Tauke. Tadi subuh ada lima orang anak buah Tauke yang tidak shalat jamaa'ah, salah satunya Botak. Ia tertidur pulas karena kelelahan, hingga tak sadar dan tak dengar suara adzan dikumdangkan oleh Gunawan. Kali ini Tauke tidak menghukum yang tidak shalat subuh berjamaah, ia maklumi karena lima orang tersebut paling lelah kemarin hari.
Hari ini hari juma't, hari-H. hari pengantin Tauke. Karena di markas sawit tidak ada masjid yang besar, Tauke merencanakan agar shalat jumat di kota. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat tiga puluh menit. Tauke memberi perintah pada Botak agar semuanya siap-siap. Sebab menuju kota satu jam perjalanan.
Semuanya siap-siap, Tauke dan tamu istimewa mandi di kolam renang. Botak dan anakbuah lainnya mandi di kamar mandi umum khusus pekerja.
Tepat jam sebelas, Tauke dan rombongan siap berangkat. Biasanya kalau hari biasa, junat-jumat sebelumnya, Tauke dan para pekerjanya hanya shalat di masjid terdekat saja. Namun karena ini adalah hari bersejarah baginya, ia mengajak semuanya shalat jumat di pusat kota. Masjid yang cukup besar, imannya hafal al-Quran dan suaranya merdu.
Tauke dan Botak satu Mobil. Firman, Pak Rektor dan mertuanya satu mobil, Gunawan, Ghazi dan Retno satu mobil. Satu fuso Anak buah Tauke Lainnya. Walaupun mobil fuso itu tidak penuh, mereka terlihat banyak.
Sampai di kota, azan pun dikumandangkan.
Firman dan tamu istimewa Tauke lainnya tak henti-henti melihat sekeliling di luar masjid. Mereka pandangi menaranya yang tinggi, halamannya yang luas, catnya yang masih baru dan tamannya yang bentuknya unik dan indah.
"Nanti ijab kabulnya di masjid ini, Tauke?" Firman ingin tahu.
"Bukan."
"Lalu di mana, Tauke?"
"Di masjid markas sawit saja."
"Kenapa tidak di sini saja, Tauke?"
"Karena ini adalah hari bersejarah dalam hidup saya, saya ingin ijab qabulnya di masjid yang saya bangun."
***
"Kullu nafsin dzaaiqatul maut; setiap yang berjiwa akan merasakan mati!
Semuanya kita akan kembali mengahadap Allah Swt. Tak ada yang kita bawa kecuali amal.
Kita semua akan mati. Jadi santapan cacing tanah. Harta dan jabatan, semuanya ditinggalkan. Pernahkah kau keluarkan hartamu untuk menolong agama? Pernahkah jabatanmu kau gunakan untuk menolong agama?
Bila tidak ada, maka semuanya sia-sia!
Bila punya harta yang banyak, bangunlah pesantren, bangun gedung sekolah yang punya kurikulum agama, bangun masjid. Karena itu semua adalah shadaqah jariah yang pahalanya akan terus mengalir. Bagaikan tetesan embun di padang tandus."
Kutipan singkat khutabah jumat di masjid kota. Bergetar Tauke mendengar khutbah Jumat kali ini. Penampilan sang khatib begitu tegas, hilang rasa ngantuk Tauke. Isi khutbah itu dicerna baik oleh Tauke, masuk ke ubun-ubunnya, tertanam erat di hatinya.
Sebelum keluar dari masjid, Tauke mendatangi sang khatib.
"Terima kasih banyak atas nasihatanya, Pak Ustadz. Sangat bermanfataat." katanya sambil menyalami Pak Ustadz dan memberikan berlembar-lembar uangnya sebagai rasa terima kasih. Tauke kalau memberi duit pada seseorang, tak tanggung-tanggung! Apalagi karena ia senang.
"Botak, nanti setelah acara pernikahan hari ini, kau kan ngantar anak panti asuhan dan anak prsantren, nah coba kau lihat sekeliling komplek mereka. Kalau masih ada tanah untuk bangunan, maka akan saya bangun pakai uang saya. Bila masjidnya belum ada, masih pakai mushalla, maka saya akan bangun masjid untuk panti asuhan dan juga pesantren. Jelas Botak?!"
"Jelas, Tauke. Akan saya laksanakan!"
"Bravo, Botak! Bravo!"
"Syukron very much, Tauke!"
"Your welcome, Botak!"
Setelah ijab qabul di masjid Markas Sawit Takkan Aku Ulangi lagi itu, resmilah Najwa dan Tauke jadi pasangan pengantin baru yang halal. Tak ada kata tidak lancar bagi Tauke untuk mengucapkan ijab qabul, sebab kali ini adalah kedua kalinya ia mengucapkannya di depan banyak orang. Begitu keluar dari masjid, Botak pun segera tanggap mengajak Tauke dan istri Tauke foto prewedding.
"Backgroundnya mana, Botak?"
"Sudah ada, Tauke. Usah dikhawatirkan, bagus kok!"
"Bravo, Botak! bravo!"
"Syukron very much, Tauke!"
Tauke, tamu istimewa, beberapa tamu undangan dan seluruh anak buah Tauke mengikuti dari belakang ke mana arah Botak membawa Tauke. Tak jauh dari masjid, Botak pun belok ke kebun sawit.
"Di sini, Botak?" Tauke memastikan dan sedikit heran pada Botak, sebab tak ada beckround, yang ada hanyalah batang-batang sawit yang tinggi dan berbuah lebat, tapi batang sawit itu sudah dibalut dan diberi hias oleh panitia, semuanya ide Botak.
"Ya di sini, Tauke."
Tauke hanya diam dan menurut. Ia serahkan semuanya pada Botak. Tentu Botak tak ingin mengecewakan bosnya, Tauke sangat percaya pada ide-ide Botak walaupun terkadang ganjil dan aneh namun luar biasa!
Botak menyuruh Tauke bergaya dengan Najwa Detektif di depan pohon sawit, Tauke memakai kemeja putih, jas hitam, celana hitam dan berdasi yang juga hitam. Najwa Detektif memakai gaun pengantin. Botak memberikan bunga mawar merah yang masih segar pada Tauke, lalu Tauke memberikannya kepada Najwa. Berkali-kali Botak mengajari cara memberikan bunga kepada Najwa Detektif, kelima kalinya barulah terlihat manis hingga membuat hadirin tepuk tangan. Dengan cepat kameraman mengambil gambar Najwa dan Tauke.
Aba-aba selanjutnya mulai sedikit menantang, dari Ratna. Ratna menyuruh Tauke memeluk Najwa Detektif, seketika Najwa Detektif terkejut dan mukanya memerah mendengar aba-aba dari Ratna. Tapi para penonton malah setuju dan ikutan dengan Ratna, semuanya menyuruh hal yang sama. Najwa Detektif tampak gemetaran, badannya keringatan. Tauke menatap Najwa Detektif dengan tatapan minta penuh diizinkan dipeluk sang pangeran, Najwa Detektif malah balik menatap minta segera dipeluk. Dengan segera kamera memotret moment saling pandang itu, sebuah tatapan yang jarang terjadi. Karena sudah difoto, Tauke tak jadi memeluk istrinya.
"Nanti saja di kamar, backgroundnya lebih menawan!" usul Tauke. Najwa Detektif tampak setuju.
Aba-aba selanjutnya dari Siska. Siska menyuruh kedua pasangan pengantin baru untuk bersandar di salah satu pohon sawit yang sudah dibalut dengan kain dan diberi hiasan, Tauke bersandar di sebelah kanan dan Najwa Detektif di sebelah kiri. Siska menyuruh Tauke dan Najwa Detektif saling pandangan, tapi hanya kepala Najwa Detektif saja saja yang bisa dilihat Tauke sementara badannya ditutupi pohon begitu pun Tauke. Aba-aba dari Siska menunjukkan sebuah pemandangan bagi pengantin baru itu seperti main kucing-kucingan. Siska menyuruh kedua pasangan pengantin tersenyum lalu dengan segera photograper pun mengambil gambar.
Setelah banyak macam aba-aba dan gaya foto di kebun sawit itu, semuanya kembali ke markas swait. Hidangan telah siap, tersedia di masing-masing kursi. Tamu undagan dan tamu istimewa semuanya dapat nasi kotak dan kue bolu yang dipotong berbentuk kubus yang juga dibagi dua potongan perorangnya. Bagi yang minta tambah, boleh nambah tapi ikut antrean panjang di depan dapur, mengambil lauk sendiri, tidak dihidangkan. Semuanya makan, kecuali Botak. Ia hanya menatap dengan tatapan penuh kebahagiaan, sebagai ketua panitia penyelenggara pernikahan bosnya yang berhasil dan berjalan lancar hingga sudah ke tahapan makan, Botak sangat senang sekali. Dan Botak tidak bisa makan, ia masih memikirkan kelanjutan acara.
Setelah semuanya selesai makan, walaupun beberapa dari anak pesantren yang masih mengunyah, kebanyakan tamu undangan sudah selesai dan mereka sedang memegang botol minuman plastik yang berisi air putih. Botak pun mendekat dan melapor ke Tauke.
"Tauke, kita lanjut ke acara selanjutnya atau setelah shalat ashar, Tauke?"
"Berapa menit lagi azan ashar?"
"Lima menit lagi, Tauke."
"Setelah shalat ashar saja Botak!"
"Baiklah, Tauke!"
Lima menit kemudian, Gunawan mengumandangkan azan di tengah lapangan dengan menggunakan microphone yang memakai batrai dan terhubung ke sound syistem yang besar. Suara Gunawan terdengar begitu nyaring dan merdu di seantero markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi. Yang masih ada wuduk segera mengambil posisi di shaf depan dan yang batal segera berwuduk. Iqamat pun dilantunkan oleh Gunawan. Tauke menyuruh Firman beridiri di depan sebagai imam. Photograper megabadikan shalat ahar itu dengan kamera mahalnya. Vedeographer menerbangkan drone. Juru kamera yang khusus vedeo sedari tadi tak henti merekam vedeonya.
Usai shalat ashar berjamaah, semuanya kembali ke tempat duduk. Semua sampah sudah dibersihkan oleh panitia yang tidak ikut shalat jama'ah. Kursi yang tadi kurang rapi posisi berdirinya kini tampak semula seperti sebelum tamu undangan datang.
Lima menit sebelum acara dimulai, semua mata melihat ke gerbang, ada tamu undangan yang datang terlambat. Ketika tamu yang terlambat itu turun dari dalam mobil, para tamu istimewa Tauke tak asing dengan keluarga yang terlambat itu.
"Kita sambut Pak Lurah dari Desa Lima Menit!" Suara pembawa acara dengan serentak.
"Siapa yang mengundang Pak Lurah?" tanya Siska pada Najwa Detektif.
"Siapa lagi kalau bukan, Ratna!"
Ratna minta izin pada Botak selaku ketua panitia agar acara pernikahan ini ada penampilan pantun, sehingga Ratna mengundang Pak Lurah Desa Lima Menit. Demi keindahan acara, Botak menyetujui walaupun ia tidaklah kenal dengan Pak Lurah dari Desa Lima Menit itu.
"Hadirin diharap tenang, karena acara akan segera kita mulai!" Suara Retno dan Ratna menggema, berwibawa dan membahana. teman-teman hampir tak percaya bahwa yang di depan itu adalah teman mereka yang biasa mereka anggap anak kecil, tapi rupa tak dapat dipungkiri, yang sedang tampil benar-benar Retno dan Ratna.
Setelah mukadimah, Retno dan Ratna membacakan rentetan acara dari awal sampai akhir.
"Baiklah, mari kita memasuki acara yang pertama. Pembacaan ayat suci al-Quran yang akan dibacakan oleh saudari kita Quratul Aini. Kepadanya waktu dan tempat kami haturkan!" Suara Ratna terdengar santun. Seorang santriwati kelas enam maju ke depan. Semuanya diam, mendengarkan lantunan suara merdu dari santriwati yang berparas cantik.
"Nanti anak kita juga kita masukan ke pesantren ya, Dek?" Firman tak sabar pingin segera punya anak.
"Ya, Bang, harus semuanya kita masukan pesantren!"
Retno dan Ratna menemui Pak Lurah yang siap siaga di belakang panggung. Suami istri yang jadi MC itu minta pantun pada Pak Lurah Desa Lima Menit. Dengan cepat Pak Lurah merangkai pantunnya, Retno dan Ratna segera mencatatnya.
Setelah pembacaan ayat suci Al-Quran sang pembawa acara membacakan acara selanjutnya.
"Sambutan-sambutan," Suara Retno dan Ratna serentak.
"Sambutan yang pertama akan disampaikan oleh ketua Panitia!"
Botak yang tengah berdiri di samping panggung, segera naik ke atas panggung untuk memberikan kata sambutannya.
"Yang saya hormati, Tauke, selaku bos kami," Tauke terlihat senyum dan bahagia mendengarnya. Melihat Tauke tersenyum, Botak tak tahan.
"Kasihlah tepuk tangannya buat saya dulu hai!?" katanya pada seluruh tamu undagan. Seketika semuanya tepuk tangan dan tertawa pada Botak. Jarang-jarang ada yang minta tepuk tangan untuk diri sendiri. Di belakang panggung sana, lagi-lagi Retno dan Ratna tak henti-henti mencatat pantun dari Pak Lurah Kampung Lima Menit Itu. Botak lanjut berpidato memberikan kata sambutannya.
"Tak ada yang dapat saya sampaikan selain turut berbahagia atas berjalannya acara ini dengan baik. Mohon maaf bila terdapat kekurangan, dan bila memang sesuai dengan yang kalian harapkan, berilah tepuk tangannya dulu hai!?" Semua tepuk tangan sembari gemuruh tawa.
"Demi kebahagiaan Tauke, apapun akan saya lakukan dengan baik dan segera!" Tamu undangan segera tepuk tangan tanpa diminta Botak.
"Bravo, Botak, Bravo!" kata Tauke sambil berdiri dari tempat duduknya dan memberikan dua jempol pada Botak.
"Syukron very much, Tauke!" sahut Botak dari atas panggung.
"Your welcome, Botak!"
Setelah mengucapkan salam lalu Botak pun turun. Pembawa acara pun kembali ke atas panggung. Kali ini pembawa acara memberikan kejutan meriah pada tamu undangan.
"Penampilan-penampilan!" suara Retno dan Ratna membahana.
"Sebelum kami panggilkan penampilan dari Tim Kasyidah, Tim Penari Bekhu Dihe dan Tari Saman, izinkan kami selaku pembawa acara mempersembahkan pantun buat kalian semua." semua hadirin tampak bahagia, belum dibacakan pantun pun sudah ada yang standing applouse untuk Retno dan Ratna. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya sendiri, Ghazi dan Siska.
Pantun sudah banyak mereka tulis dari Pak Lurah, hingga Retno dan Ratna pun merasa tak sia-sia mengundang Pak Lurah, terlihat senang sekali senyum kedua pembawa acara suami-istri yang belum punya keturunan itu.
"Berlayar tentulah ke tepian
Ke tepian bersama pangeran
Jangan tenggelamkan aku di tengah lautan
Sebab aku sudah bosan sendirian!" Tepuk tangan hadirin begitu meriah untuk Ratna.
"Balas! Balas! Balas!" Suara penonton memberi semangat pada Retno.
"Duhai adek berparas ayu
Janganlah khawatir pada pangeran
Akan kupinang jadi permaisuriku
Kanda pun tak sanggup terus seorangan!" Para hadirin makin heboh, tak ada yang ngemil, semuanya tepuk tangan dan tertawa, memperhatikan ke depan. Najwa Detektif dan Tauke senyum-senyum mendengarnya. Marwa dan Meera yang tidak kenal dengan Pak Lurah Desa Lima Menit dan tidak tahu pula dari mana pantun itu asalnya, Meera dan marwa snagat takjub pada Retno dan Ratna.
"Berjodoh tentulah doa dan harapan
Tak berjodoh pasti perih bukan buatan
Kalaulah tak mau merana dan makan harapan
Maka janganlah pacaran tapi halalkan!" Najwa Detektif langsung cemberut mendengar pantun yang dibacakan Ratna, itu adalah menyindir dirinya. Selama ini ia pacaran dengan Ghazi dan malah berjodoh dengan Tauke, tapi sejak ia dilamar Tauke seminggu yang lalu, entah angin halus dari mana yang ia hirup, Najwa Detektif sudah cinta dan kagum pada Tauke.
"Kuterima undangan pernikahan sahabatku
Kubawakan sebuah kado untuknya
Sudahilah tangis pendamlah pilu
Ikhlaskanlah mantan pada jodohnya!" Lagi-lagi Najwa Detektif kena sendiran oleh pantun Retno, ia terlihat makin cemberut dan geram pada kedua pembawa acara itu. Tauke? Makin semangat tepuk tangan! Sedang ramaianya tepuk tangan dan tawa, Meera dan Marwa permisi pada suami masing-masing. Gunawan dan Firman tidak menanyakan kemana dan mau apa? Karena sudah disihir oleh pantun pembawa acara.
"Lagi-lagi-lagi!" suara tamu undangan makin histeris. Tadi memanag sengaja Pak Lurah menanyakan kisah cinta Najwa dan Ghazi, dengan segera Ratna menceritakannya dengan singkat. Lalu dengan segera pula Pak Lurah menyususn pantunnya. Ghazi? Dari tadi ia menunduk, tak kuasa ia melihat ke depan, apalagi ke arah Najwa Detektif. Siska? Berkali-kali ia mengatakan: "tepuklah tangan, Bang! Berilah apresiasi untuk pembawa acara! Mereka hebat, Bang! Sungguh tak kusangka sehebat itu pantunnya!" Siska menyemangati suaminya, seakan ia lupa bahwa suaminya adalah mantan Najwa Detektif. Dan seakan ia tidak tahu isi pantun itu ditujukan untuk suaminya juga. Tapi Siska terlihat makin senang dan pecah pula tawanya mendengar pantun Retno.
Tak lama berpantun, pembawa acara memanggil penampilan selanjutnya dari tim kasyidah oleh santriwati.
"Aih, cantik betul adik itu!" Tak sengaja Ghazi kecoplosan, seketika Siska mencubit suaminya.
"Suaranya nggak cantik, Bang?" tanya Siska.
"Suara dan dan rupanya? Lebih cantik kamu, Sayangku!"
"Ah bosan aku mendengarnya!"
"Abang serius loh, Dekku!"
"Makasih, Abagku!" Siska kembali tersenyum.
Setelah penampilan Kasyidah, pembawa acara pun memanggil penampilan berikutnya.
"Saksikanlah, tari Bekhu Dihe!" semuanya tepuk tangan. Firman dan Gunawan agak heran dengan dua orang dari tim penari Bekhu Dihe itu. Higga berdiri Gunawan dan Firman untuk menyakinkan. Orang yang mereka lihat sudah tak asing lagi. Dari samping panggung Ratna melihat ke arah Firman dan Gunawan, mulut Ratna komat-komit tapi tak bersuara, seakan memberitahu bahwa yang di depan adalah Meera dan Marwa. Siska, Najwa Detektif, Ghazi, Tauke, kedua orang tua Marwa kaget-kaget kagum melihat marwa dan Meera bergabung bersama tim penari Bekhu Dihe.
"Dimana kah, Dinda belajar? Bukan main hebatnya tarianmu, Dek!" kata Firman pada Marwa memasang senyum setelah tampil.
"Aku nginap bersama mereka tadi malam itu, Bang. Aku dan Meera latihan, nggak sulit-sulit amat. Tinggal mengulanginya saja."
"Bolehlah ajari Abang, Dek?"
"Boleh, Bang. Nanti, Adek ajari!" sahut Marwa tersenyum.
Gunawan pun sedikit heran pada istrinya, geleng-gelang sambil tersenyum ia memandang Meera.
"Kamu sedang hamil, tapi jago juga nari ya, Dek." Gunawan sedikit kagum pada Meera.
"Kan belum besar kandunganku, Bang. Lagipula grakannya nggak ekstrim."
"Tapi jangan asik nari pula nanti di rumah!?"
"Ya cinta." timpal Meera tertawa kecil. Kemudian Tari Saman. Semuanya terhibur dengan gerakan-gerakan energik Tari Saman.
"Luar biasa!" komentar kagum Tauke. Setelah Tari Saman sang MC
sedang naik ke atas panggung pembawa acara, karena MC melihat ke belakang lalu semua mata memandang ke pintu gerbang. Sebuah mobil merah mengkilat datang, memasuki pintu gerbang markas sawit. Tauke tahu betul dengan mobil itu bahkan ia hapal nomor platnya. Ketika pemiliknya turun dari mobil merah ranum itu, Botak terlihat tersenyum akhirnya Dokter Nadia datang juga. Firman? Ingin segera sembunyi tapi ia tidak mau pergi di tengah acara. Firman pun menunduk.
"Bang, itu bukannya pacar Tauke ya, Bang? Orang yang dulu kita lihat rebahn di ruang tamu rumah Tauke. Ya kan, Bang?" Tanya Marwa. Firman diam, tak mampu ia menjawab pertanyaan istrinya. Sudah saatnya ia menjelaskan apa yang terjadi sehingga tidak semakin bahaya masalahnya, bisa-bisa Marwa akan marah padanya. Firman ingin jujur dan menceritakan semuanya dari awal. Firman pun menarik tangan istrinya untuk pindah ke kursi kosong yang di tengah, bergabung dengan tamu udangan, bersama santri putra. Agar Dokter Nadia tidak melihatnya. Botak segera menyambut Dokter Nadia, ia arahkan Dokter Nadia mengambil tempat duduk tepat di tempat duduknya Marwa tadi, karena kursinya itu kososng sehingga Botak memberikannya pada Dokter Nadia. Dokter Nadia menyerahkan kadonya pada Botak.
Kali ini Dokter Nadia memakai seragam serba putih, tapi bukan seragam kedokterannya. Hanya mobil dan bibirnya saja yang terlihat merah. Sepatunya? Hitam, tapi kaus kakinya putih.
Setelah beberpa penampilan, pembawa acara pun naik ke panggung.
"Penampilan terkahir, pembacaan puisi dari ketua panitia!" Belum sampai Botak di atas panggung, penonton sudah tepuk tangan meriah dan tertawa.
"Baiklah, kali ini akan saya bacakan puisi saya, yang saya tulis sendiri khusus untuk bos saya!" Para tamu ada yang standing applouse pada Botak.
"Perkenalkan, namaku Sadoa Ranjana. Biasanya dipanggil Botak, sebab saya memang tak punya rambut. Kalian tentulah sudah lihat kepala saya ini gundul," Botak menatap ke penonton, semuanya tampak senyum dan ragu-ragu tepuk tangan.
"Berilah tepuk tangannya dulu hai!?" Semuanya tertawa dan tepuk tangan. Tauke? Sedari tadi ia tak dapat menahan senyumnya. Tauke tak kuasa tertawa, lelucuan dari Botak sudah tak asing di telinganya. Kalau pun ia tertawa, maka ia tahan dulu dan akan memberikan tawa yang pecah di akhir leluconan Botak, begitulah Tauke.
"Baiklah saya akan membacakan puisi karangan saya sendiri, yang saya tulis dari jauh hari ketika saya mengetahui Bos kami akan segera menemukan permaisuri.
Judul puisi saya adalah: "pengantin"
Sudikah hadirin semua mendengarkan puisi yang saya tulis ini?"
"Sudi!" sahut hadirin serentak. Tauke belum percaya bahwa yang sedang berdiri, yang sedang bicara dan yang sedang memakai seragam lengkap berjas rapi itu adalah Botak. Tauke tak sabar ingin mendengarkan puisi karangan Botak.
"Pengantin"
Indahnya hari pengantin
Bersanding manis di panggung romansa
Tuan Putri dan Pangeran saling menyuapi hidangan pengantin
Terlihatlah senyum manis mengembang di pipi kedua-duanya.
Duhai ini hari pengantin
Tersenyumlah wahai yang di sana
Berbahagialah sampai tua
Semoga berkah dan saling setia
Membina rumah tangga dengan penuh cinta
Duhai ini hari pengantin
Bila ada hati yang terluka
Harap jangan dipendam lama
Karena hanya akan membuatmu semakin terluka dan tekanan batin
Hari pengantin ialah free lahir dan batin
Bila ada mantan kekasih
janganlah bersedih
Karena Allah Tak Pilih Kasih
Semuanya akan punya kekasih
Bersabarlah kau pasti jadi pengantin duhai yang sedang bersedih
Para hadirin
Pasangan pengantin
Berbahagialah di hari pengantin
Nikmati hidangan agar perut tak masuk angin
Hari pengantin jangan sampai malu apalagi malu-maluin.
Duhai para hadirin yang katsir
Mari bersulang agar terlihat seperti tajir
Habiskanlah hidangannya tak usah bidhamir
Sebelum acaranya berakhir
Mari bersama kita doakan untuk pasangan pengantin yang berhati suci bagaikan air
Barakallahu lakuma wabaraka alaikuma wajama'a bainakumaa fii khair..."
Semua hadirin tepuk tangan, banyak yang berdiri. Walaupun terdengar seperti bukan puisi tapi malah mirip susunan kalimat nasihat dari Botak untuk Tauke. Tauke sangat mengapresiasi Botak.
"Bravo, Botak! Bravo!" katanya dari tempat duduknya.
"Syukron very much, Tauke!"
"Your welcome, Botak!" Kemudian Botak pun kembali menyapa tamu undangan.
"Hadirin harap tenang, sebab saya masih punya bacaan baru. Mau dengarkah kalian semua?"
"Mau!" jawab semuanya dengan senang. Tamu undangan hanya tertawa, belum tepuk tangan. Menunggu aba-aba dari Botak, sebab perintah tepuk tangan dari Botak sudah terdengar lucu di telinga para tamu undangan.
"Berilah tepuk tangannya dulu hai!?" mulailah semuanya tepuk tangan dan tawa. Ada santri yang terpingkal-pingkal sambil memegangi perut. Belum pernah mereka dapati ada orang selucu dan segokil Botak.
"Baiklah, kali ini saya akan membacakan surat undangan pribadi Tauke kepada Dokter Nadia." Tauke menatap Botak tak berkedip, detak jantung Tauke makin kencang. Najwa Detektif penasaran, tak sabar ingin tahu isi surat suaminya untuk Dokter Nadia. Dokter Nadia? Biasa saja, sudah tak heran dengan keanehan Tauke. Ia sudah menduga pastilah Tauke yang menyuruh Botak. Padahal Tauke sendiri tak tahu ini akan terjadi. Ternyata suratnya tidak diberikan kepada Dokter Nadia.
Firman? Mencoba menjelaskan kepada istrinya bahwa Dokter Nadia adalah orang yang baik. Dialah yang merawat dirinya waktu berada di rumah sakit di Kampung Arab. Firman juga menjelaskan bahwa Tauke cinta mati pada Dokter Nadia dan Dokter Nadia malah cinta padanya.
"Itulah sebabnya Abang menghindar dari Dokter Nadia, Dek. Abang tidak tega menduakanmu sayangku!"
"Makasih, Bang. Aku makin sayang pada, Abang!" Marwa baru tahu semuanya. Kejujuran Firman membuatnya makin senang dan lega. Ternyata Dokter Nadia ingin merebut suaminya.
"Kasihlah dulu tepuk tangannya hai!?" kata Botak sekali lagi sebelum ia membacakan surat undangan pribadi Tauke. Tadi ketika ia menatap Tauke, Tauke tak berkedip menatapnya dan Botak mengira Tauke amat senang padanya. Botak pun mulai mebacakan surat tersebut.
"Surat undangan pribadi Tauke kepada Dokter Nadia yang ia tulis dengan tulisan tangannya sendiri. Tauke punya handphone, tapi ia tak mau menelepon dan mengirim pesan lewat whatsapp. Tauke memilih lewat surat, sebab kata Tauke di mukaddimah suratnya, kertas yang sudah dilipat serta diiringi sebuah perasaan cinta maupun duka, sukar dibuang, tak mudah dihapus, tak tega memasukkannya ke dalam tong sampah, tak kuat melemparkannya ke comberan, apalagi sampai hati membakarnya. Maka Tauke pun menulis surat undangan ini sebagus tulisan tangan yang ia bisa. Agar Dokter Nadia datang untuk menghandiri pernikahannya dengan Najwa. Tapi saya menggantinya dengan undangan baru, yang ini saya simpan untuk saya bacakan. Begitulah kronologinya," Botak menjelaskannya. Tamu undangan tepuk tangan dan makin tertawa, Tauke makin geram, Najwa Detektif juga tertawa dan penasaran. Retno dan Ratna tak sabar ingin tahu lanjutannya. Firman dan Marwa siap menyimak. Dokter Nadia? Duduk santai mendengarkan. Sudah biasa ia dirayu Tauke, ia menganggap Tauke adalah orang yang salah sambung.
"Berilah dulu tepuk tangannya hai!?" Penonton malah ketawa lalu tepuk tangan. Botak pun makin semangat membacakannya.
"Dear...
Dokter Nadia yang jauh di sana, di desa Kekucakeme. Tentu Dokter Nadia tak sabar ingin membuka dan membaca surat yang Kanda kirimkan ini. Tapi jangan dulu kiranya Dokter Nadia bersenang hati. Sebab suratku ini bukanlah berisi happy ending, suratku ini tak mengubah sedih jadi tawa, juga tak membuat tawa terus tertawa, tapi akan membuat Dinda melamun, mungkin juga sedih, atau bisa jadi sedih sambil cemberut, dan bahkan sedih, cemberut, sendu dan menangis, perasaan yang terkombinasikan menjadi satu lalu seketika terjadi secara bersamaan. Dinda tak percaya? Aih, Kanda pun tak tega. Tapi bacalah dulu.
Perlu Dinda tahu bahwa surat ini adalah sad ending dalam dunia asmara kita berdua.
Tentunya Dinda tahu bahwa cinta Kanda padamu bagaikan air yang mengalir dari hulu ke hilir, tak mungkin air tersebut belok kanan lalu mengalir lagi ke hulu.
Aku ibaratkan Dinda adalah bulan, yang selalu dipagari bintang, Kandalah bintang itu duhai Dindaku.
Namun perlu juga Dinda sadari bahwa cintamu pada Kanda tak ubahnya bagaikan embun di pagi hari, yang tak sanggup jika terkena matahari. Juga bagaikan daun keladi, ratusan bahkan ribuan kali terkena air, tak ada bekas sama sekali! Begitulah balasanmu pada Kanda. Tak ada makna!
Lambat laun, Kanda menyadari hal ini duhai dinda Dokter Nadia, tega nian dirimu membuat Kanda demikian.
Maka maaf seribu maaf, surat ini terpaksa Kanda kirim, agar dinda tak mengharapkan cinta Kanda lagi. Kanda sudah dapat jodoh dan akan segera menikah dengan pujaan hati Kanda. Sudi kiranya Dinda datang ke acara pernikahan Kanda yang akan digelar dalam minggu ini di hari Jumat nanti.
Datang ya, Dinda?
Aih, sudahilah tagismu, Dinda. Hapuslah air mata yang sedang mengalir, jangan biarkan air matamu mengering di pipi manismu itu. Kanda tahu air matamu sedang mengalir membasi dua belah pipimu yang cantik.
Kanda tahu Dinda menangis saat membaca surat Kanda ini. Tapi Dinda telah terlambat, hati Kanda sudah terpaut pada seorang bidadari alumnus Awamaalia University. Sudahlah menangis, Dinda. Aih, hilanglah senyum manismu gara-gara surat Kanda. Sudahlah, usahlah masukkan ke dalam hati. Janganlah sedih-sedih kali. Sebab Kanda saja sudah tak sakit hati, Kanda sudah menemukan orang yang tepat, ternyata orang yang selama ini Kanda tak tahu, tak kenal, Kanda tak kejar dan ia yang malah datang mengetuk hati Kanda. Dan orang yang Kanda kejar selama ini bagaikan buaya mengejar bebek berenang, tak dapat-dapat juga, padahal bebeknya sering menoleh ke belakang tanda ia mau dimangsa, tapi bebeknya malu-malu. Itulah dirimu, Dinda Dokter Nadia.
Sekali lagi,
Datang ya, Dinda Dokter Nadia?
Ayolah datang, tak baik tak datang jika sudah diundang!
Datang ya, Dinda?
Kanda juga tahu Dinda saat ini sedang menatap dengan sendu surat Kanda. Terbayang oleh Dinda peta masa lalu yang telah Kanda perjuangkan untukmu, tapi rute masalalunya tak membuahkan hasil, di ujung jalan Kanda duluan ke panggung romansa. Sedangkan Dinda Dokter Nadia? Aih, amat disayangkan, hanya menerima surat undangan Kanda dan akan membawakan bunga untuk Kanda di hari pernikahan Kanda.
Sekali lagi, datang ya Dinda?
Aih, tak baik tak datang jika sudah diundang!
Sekali lagi,
Datang ya Dinda?
Sekian dan,
Terimakasih...
Tertanda, Kanda Tauke yang baru sembuh dari patah hati karena sudah menemukan calon istri."
Para hadirin diam, sedih, walaupun banyak yang tak paham isi surut Tauke itu. Suasana hening. Tetapi, "Tepuklah tangan lah dulu hai!?" kata Botak. Yang tepuk tangan hanya anak-anak dari pesasntren.
Tapi akhirnya semua tertawa melihat Botak gembira. Dokter Nadia juga tertawa. Najwa Detektif hingga memerah pipinya karena tawa. Pembawa acara terpingkal-pingkal. Tauke? Menunduk malu. Tapi ia juga sedang tersenyum, paling tidak Dokter Nadia sudah tahu isi hatinya.
"Ternyata, Bang Tauke romantis, bisa juga bikin surat!" kata Najwa Detektif memuji suaminya. Tauke hanya senyum mendengar komentar istrinya.
Sebelum turun dari panggung, Botak masih sempat-sempatnya bilang: "berilah tepuk tangannya sekali lagi hai!?" Lalu ia pun turun dan duduk di kursinya.
Tauke dan Botak saling pandang, Botak tersenyum, Tauke pun tersenyum.
"Bravo, Botak! Bravo!"
"Syukron very much Tauke!"
"Your welcome, Botak!"
Kalaulah Najwa Detektif tidak tertawa, tentu Botak dapat tendangan pinalti dari Tauke, namun karena istrinya terlihat bahagia mendengarnya, Tauke tidak jadi marah. Tauke malah memberi dua jempol pada Botak.
Setelah semuanya diam, Dokter Nadia mendekat ke pembawa acara, minta izin untuk naik panggung. Ia ingin menyampaikan sesuatu.
"Terima kasih banyak pada Tauke atas surat undangannya walaupun suratnya tak sampai," semuanya tertawa mendengarnya.
"Terima kasih juga pada Botak yang telah bersedia membacakannya," semua mata melihat ke arah Botak, lagi-lagi tamu undangan tertawa.
"Berilah dulu tepuk tangannya hai!?" katanya dari jauh juga memakai microphone.
"Sebenarnya perasaan Tauke adalah perasaan yang keliru. Perlu diketahui semuanya, khususnya kak Najwa. Sebenarnya aku tidaklah cinta pada Tauke. Aku mncintai anaknya,"
Najwa Detektif pun penasaran,
"Abang Tauke sudah punya anak ya, Bang?"
"Belum, Dinda, dengarlah dulu lanjutannya."
"Aku mencintai anak Tauke yang bernama Firman. Dia adalah pasienku. Aku merawatnya di kampung Arab. Namun sampai hari ini aku tidak pernah lagi bertemu Firman setelah Tauke menjemput anaknya. Aku sangat mencintai Firman."
"Haaa?" Retno dan Ratna terheran mendengaranya. Guanwan dan Meera tak percaya. Najwa Detektif bertanya pada suaminya. Siska dan Ghazi baru mengetahuinya. Pak Rektor? Ingin tahu kelanjutannya. Kedua orangtua Marwa? Merasa gendang telinganya salah nangkap suara.
Setelah berkata demikian, Dokter Nadia pun turun dari panggung dan duduk kembali.
Firman masih bersembunyi. Tiba-tiba Marwa pun maju ke depan, minta izin pada pembawa acara. Retno dan Ratna mengizinkan, pembawa acara tak tega suami sahabatnya direbut Dokter Nadia, apalagi Ratna. Ingin Ratna mencakar Dokter Nadia.
"Asalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakutuh.." sahut hadirin dengan suara bukan suara orang nagantuk, semaunya masih segar.
"Perkenalkan, namaku Marwa,"
"Yah, sudah taulah namamu Marwa!" kata Retno dari belakang panggung, Ratna mencubit Retno agar diam saja.
"Akulah istri Firman," Dokter Nadia menatap tegang tak berkedip, tak percaya, tak menduga dan tak tahu bahwa Firman sudah punya istri.
"Aku sudah mendengar semunya dari suamiku. Aku hanya bisa berterima kasih pada Dokter Nadia karena telah menolong suamiku waktu itu. Sekali lagi terima kasih banyak!" Dengan mata berkaca-kaca Marwa mengatakannya. Walau bagaimana pun, ia merasa tersakiti mendengar ucapan Dokter Nadia. Marwa sangat mencintai suaminya, ia tidak ingin suaminya direbut Dokter Nadia. Begitu Marwa turun, Dokter Nadia segera memeluk Marwa. Dokter Nadia minta maaf bahwa ia tidak tahu Firman sudah berkeluarga. Marwa menangis dalam pelukan Dokter Nadia. Air matanya tak henti membanjiri pipinya yang cantik. Marwa mempertemukan Dokter Nadia dengan Firman. Dokter Nadia juga minta maaf pada Firman, Firman memaklumi dan berterima kasih pada Dokter Nadia.
Tidak sempat makan, Dokter Nadia pun segera pamit. Matanya sudah tak sabar ingin menangis. Ia pamit pada Tauke, pada semuanya, khususnya pada Firman.
Berkali-kali Botak melarang agar makan dulu barulah pulang, tapi Dokter Nadia tak mau. Ia ingin segera sampai di rumah dan menangis di dalam kamarnya. Dokter Nadia sangat mencintai Firman. Dari jauh semua mata melihat ke arah Dokter Nadia. Dokter Nadia. Dokter Nadia berusaha tersenyum semampunya. Menuju perjalan pulang, belum sempat sampai di rumah. Air mata Dokter Nadia membanjiri pipi cantiknya. Dokter Nadia ingin segera sampai, ia bawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, jalanan pun sepi, sangat cocok untuk kecepatan tinggi. Belum pernah Dokter Nadia membawa mobilnya secepat itu. Berkali-kali ia mengelap pipinya tapi terus saja dibahasi air matanya. Gara-gara mengelap air mata, Dokter Nadia tidak fokus pada jalannya, begitu ia melihat ke depan ia hampir menabrak mobil yang parkir di pinggir jalan. Secepat mungkin ia memutar stir ke kiri. Mobilnya keluar dari jalan aspal dan menabark batang pohon sawit yang cukup besar. Pemilik mobil yang parkir tadi segera lari ke mobil Dokter Nadia. Kaca depan hancur, kepala mobil rusak parah. Dokter Nadia tidak sempat ditolong.
"Innaa lillahi wa innaa ilaihi raajiuun.." ucap semua yang mendengar kabar Dokter Nadia meninggal.
Sore itu, Tauke, Firman dan semua tamu undangan istimewa Tauke turut berduka cita atas meninggalnya Dokter Nadia. Semuanya menangis, yang tak kenal dengan Dokter Nadia juga ikut menangis. Tauke? Tak kuasa menahan air mata. Firman? Menyesal membiarkan Dokter Nadia pulang terlebih dahulu. Seharusnya ia bisa membujuk dan menahannya. Marwa? Merasa bersalah terlalu buru-buru mengatakan bahwa ia istrinya Firman di depan Dokter Nadia. Botak? Kecewa pada dirinya sendiri kenapa ia sampai hati membacakan surat undangan pribadi Tauke. Ratna? Menyesal telah punya niat ingin mencakar Dokter Nadia.
***