Keberadaan Ghazi belum diketahui teman-temannya. Nun di Kampung Cemburu Dua Ghazi masih aktif bekerja dan mengajar.
Malam ini Ghazi merasakan rindu yang tak dapat ia pendam. Ia harus mencurahkan rasa rindunya pada Najwa Detektif yang sudah lama ia iming-imingkan jadi istrinya. Kalau bukan saja karena malam yang sunyi, kalau saja bukan karena pelanggan warung kopi tidak sesepi malam ini, dan kalau saja warung kopi tidak tutup karena libur malam ini.
Ghazi tidak pernah merasakan kecaman rindu sedahsyat malam ini. Ghazi menyadari bahwa rindu datang saat sunyi dan sepi. Ghazi ingin menyampaikan rasa rindunya pada Najwa Detektif, ia berharap sekali Najwa Detektif mengetahui bahwa ia sedang dilanda rindu, rindu menusuk hati.
Ia pun berinisiatif menitipkan puisi rindunya pada bulan, pada bintang, pada angin malam, pada kegelapan, dan bila perlu pada burung hantu yang ketahuan selingkuh tempo hari yang sampai saat ini belum boleh kembali ke sarang. Setelah menghitung uang tabungannya yang ia simpan di balik halaman-halaman buku yang ia baca.
Buku yang tebalnya dua ratus enam puluh enam halaman itu dipenuhi uang seharga dua puluh ribu dari awal hingga akhir. Dan di buku satunya lagi yang juga tak kalah tebal, setengah buku itu telah diisi dengan lembaran lima puluh ribu rupiah. Kalau uang itu dibelikan emas satu mayam, maka Ghazi seharusnya sudah bisa pulang dan menikah dengan Najwa Detektif. Tapi ia ingin memberikan yang lebih. Sedikit berbeda memang dengan orang lain pada umumnya.
Ghazi mengukur maharnya dengan rasa cintanya. Karena ia begitu mencintai Najwa Detektif, cinta yang besar dan luar biasa maka ia ingin mahar yang ia persembahkan juga harus memuaskan. Targetnya tiga bulan kedepan ia sudah memakaikan cincin di jari manis Najwa Detektif. Ghazi membuka jendela lalu mengoceh sesukanya:
"Wahai angin, kutahu kau datang dari selatan maka bawalah rinduku ke utara. Wahai bulan, kutahu kau sedang menatapku, maka tolonglah sampaikan rinduku.Wahai malam, kutahu kau sedang memelukku maka peluk lah rinduku dan peluklah kekasihku.Wahai bintang, kutahu jumlahmu lebih seribu maka aku butuh satu bintang saja untuk menyampaikan rinduku. Jatuhlah ke hati kekasihku.Wahai burung hantu yang suka selingkuh, aku tidak butuh kamu. Pergilah dan jangan pernah bawa rinduku pada kekasihku. Aku takut ia juga selingkuh sepertimu! Sungguh aku akan rapuh jika mengetahuinya sedang selingkuh!" Tidak mirip seperti puisi tentunya. Tapi Ghazi mengakui itu adalah kata yang lebih manis daripada puisi temannya Gunawan dan Firman. Retno pun menutup jendela.
***
Tauke. Setelah mengantar Firman tempo hari. Tauke dan rombongan mohon diri. Tauke menyampaikan rasa maaf yang tak terhingga atas kelakuan anak buahnya yang menggagalkan rencana bulan madu Firman. Segala kerugian sudah ia ganti. Ayah ibu, dan kedua mertua Firman juga mengucapakan banyak terima kasih karena telah menolong Firman.
Sudah seminggu Tauke di rumahnya dan anak buahnya bekerja dengan baik. Tumpukan buah sawit sudah banyak sekali di lokasi dan lima mobil fuso itu telah penuh dengan buah sawit. Dua hari kedepan buah sawit itu akan dijual ke luar daerah, yaitu ke Kampung Arab.
Sedang santainya Tauke duduk berlima bersama anak buahnya di pinggir kolam renang. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Tauke ingin sekali mengirim pesan via WhatsApp ke Dokter Nadia. Tapi Botak mencegah. Botak berkata pada Tauke bahwa Tauke adalah lelaki yang pengecut. Tidak berani ngomong lewat telepon.
Tauke pantang ditantang. Ia segera mengambil handphone miliknya tapi ketika baru saja ia ingin menelepon, handphone Tauke berbunyi. Panggilan masuk dari Dokter Nadia. Bukan main senangnya Tauke. Ia merasakan kontak batin dengan Dokter Nadia. Setelah menjawab salam Dokter Nadia, tanpa basa-basi terlebih dahulu, lidah Tauke lincah bergerak lalu keluarlah sebuah pertanyaan yang sangat sukar dijawab oleh Dokter Nadia bila harus menjawabnya pada waktu yang sama.
"Kapan kiranya Kanda boleh memakaikan cincin di jari manismu duhai, Dinda?"
Nun jauh di seberang sana, tepatnya di Kampung Kekucakeme. Dokter Nadia sangat kaget dan langsung menutup telepon. Ia berpikiran ia menelepon salah orang, padahal maksudnya memang menelepon Tauke untuk menanyakan kabar Firman. Mendengar Tauke berkata demikian, empat anak buahnya yang mendengarnya terpikal-pikal sambil memegangi perut.
Dokter Nadia, jantungnya berdetak tak menentu. Ia mencoba mencerna pertanyaan yang barusan ia dengar. Ia periksa kembali nomor yang ia pencet, benar nomor tersebut adalah nomor Tauke dan suara yang tadi ia dengar juga suara Tauke. Dokter Nadia pun tersenyum sipu. Di pikirannya adalah Tauke menyetujui dirinya menikah dengan Firman. Pasien kesayangannya yang belum ia beri izin untuk meninggalkannya.
***