Chereads / Kamukah Jodohku? / Chapter 31 - Bidadari Subuh Di Markas Sawit Tauke

Chapter 31 - Bidadari Subuh Di Markas Sawit Tauke

Tauke masih mengantuk. Ia bersandar di pintu dengan memegangi gagang pintu tapi ia tidak membukakan pintu. Tauke menunggu bel itu dipencet dari luar, mata Tauke masih terpejam sambil berdiri.

Tauke setengah percaya ada orang yang berani memencet bel di tengah malam begini. Sudah pasti itu bukanlah anak buahnya. Hanya hantu yang salah alamat dan tak tahu adat saja yang berani melakukannya. Bel kembali dipencet oleh Dokter Nadia. Sambil menutup mata Tauke membukakan pintu.

"Asalamu'alaikum.." Dokter Nadia menyapa dengan santun. Ketika Tauke mendengar suara Dokter Nadia yang mengucapkan salam padanya, lalu ia pun membukakan kedua matanya dan menatap tajam tak berkedip seakan kedua matanya ingin melompat ke luar lalu kedua biji matanya itu melayang di dekat wajahnya Dokter Nadia untuk memastikan bahwa yang sedang berdiri di depannya adalah Dokter Nadia.

"Wa'alaikumussalam warahmatulahi wabarakatuh.." Tauke menjawab dengan sangat fasih, sefasih yang ia bisa. Tauke sudak tidak mengantuk lagi. Tauke sudah segar kembali seperti sehabis mandi di pagi hari setelah menjawab salam Dokter Nadia.

Tauke mempersilakan Dokter Nadia masuk ke dalam rumah. Pintu depan sengaja tidak ia kunci supaya anak buahnya tidak berburuk sangka padanya. Pintu depan terbuka selebar-lebarnya. Ia panggil dua orang anak buahnya untuk berjaga di depan pintu sekaligus menjadi saksi bahwa dirinya dan Dokter Nadia tidak melakukan suatu perbuatan yang mendatangkan dosa kecil maupun dosa besar.

Botak sudah terlelap di kamar sebelah Tauke. Ingin Tauke membangunkan Botak tetapi ia sendiri ingin juga membuat tamunya terkesan padanya. Maka Tauke pun mulai pontang-panting di dapur. Setelah istrinya minggat, baru kali ini Tauke masuk ke ruang dapur dan pertama kali pula ia membuatkan kopi untuk orang lain.

Jangankan untuk orang lain, sejak ia punya anak buah, Tauke tidak pernah lagi membuatkan kopi untuk dirinya sendiri. Tapi malam ini yang bertamu adalah seorang bidadari cantik dari Kampung Kekucakeme. Yang bertamu malam ini adalah pujaan hati. Maka seharusnya hal-hal sepesial haruslah dilakukan untuk orang yang juga sepesial.

Tauke memasak air panas dengan pemanas air yang dicolokkan ke listrik. Tak lama airnya mendidih. Tauke menyendok satu sendok bubuk teh lalu ia mencari gula. Matanya melihat kesana-kemari toples yang isinya warna putih.

Akhirnya ia temukan toples yang bersampingan dengan toples bumbu-bumbu masak, seperti ketumbar, kunyit, jahe, cengkeh, kari, kayu manis dan bumbu lengkap lainnya. Tauke menyendok dua sendok yang berwarna putih itu. Lalu ia aduk dengan penuh perasaan.

Tauke memasukan perasaannya ke dalam segelas teh buatannya, berharap perasaanya itu diminum oleh Dokter Nadia dan Dokter Nadia segera peka bahwa yang menghidangkan teh untuknya adalah lelaki yang cinta mati padanya. Lima belas menit Tauke berada di dapur untuk membuat the saja, ya hanya mebuat teh. Sudah lebih dua tahun ia tidak membuat teh, jadi harap maklum bahwa lima belas menit adalah waktu yang sedikit bagi Tauke.

Tauke keluar dari dalam dapur dengan membawa segelas teh di atas mangkuk yang khusus tempat gelas teh. Karena sangkingkan lamanya, Dokter Nadia yang menunggu di ruang tamunya sudah tertidur. Dokter Nadia kelelahan, ia belum tidur seharian ini. Tauke bingung bagaimana caranya agar Dokter Nadia bangun dan meminum teh yang berisi perasaannya.

Tidak baik rasanya jika membangunkan Dokter Nadia dengan memanggil namanya apalagi mencubit pipinya yang cantik, imut dan menggemaskan itu. Tauke menemukan cara lain. Ia kembali ke kamarnya dan mengambil handphone miliknya lalu ia kembali ke ruang tamu dan berdiri di depan Dokter Nadia.

Tauke menelepon ke nomor Dokter Nadia yang sedang tertidur di depannya. Handphone Dokter Nadia berbunyi dengan nyaring, tapi tak juga mempan. Sampai tiga kali Tauke menelepon Dokter Nadia, tapi yang ditelepon tak bangun juga.

Ingin rasanya Tauke mengambil segelas air putih ke dapur lalu air putih itu ia masukan kembali perasaannya dan memercikkannya ke pipi Dokter Nadia, tapi ia tidak tega melihat jika nanti Dokter Nadia bangun dengan terkejut karena kena hujan setempat. Tauke sudah kehabisan cara untuk membangunkan Dokter Nadia, andai saja Dokter Nadia itu lelaki, andai saja Dokter Nadia itu adalah si Botak, maka Tauke sudah lama menyiramkan air satu ember. Dan andaikan saja Dokter Nadia sudah halal baginya, maka Tauke akan membangunkannya dengan kata, "Wake up my sweety!" Namun karena Dokter Nadia adalah cintanya yang bertepuk sebelah tangan dan belum halal baginya, Tauke tidak bisa berbuat yang lebih, hanya sebatas menelepon saja haknya.

Tauke menuju kamar Botak dan membuka lemari. Lemari besar itu berisi selimut tebal yang berbulu lembut. Tauke mengambil warna ungu yang masih dalam balutan plastik, belum pernah dipakai. Tauke membawa selimut itu ke dalam kamarnya lalu ia beri minyak wangian yang sedap dicium baunya. Tauke pun kembali ke ruang tamu dan menyelimuti Dokter Nadia.

Setelah ia selimuti, ia mengambil teh buatannya yang tadi ia hidangkan untuk Dokter Nadia. Tauke duduk di teras depan, ia pun meminum teh perasaannya. Begitu ia menyentuhkan lidahnya ke dalam air tehnya, gelas itu terjatuh dan pecah berkeping-keping. Tauke terkejut bukan buatan. Kedua anak buahnya menyaksikan dengan saksama, menajamkan padangan ke arah Tauke.

"Ada apa, Tauke?" Anak buahnya penasaran.

"Botak telah menyihir gula jadi garam!" sahut Tauke tanpa pikir panjang. Tauke bersyukur teh buatannya tidak diminum Dokter Nadia. Kalau saja Dokter Nadia meminumnya, bukan main malunya dirinya jika dikatakan lidah lembu. Ingin rasanya Tauke ke kamar Botak dan membangunkan botak dengan tendangan penalti. Namun ia perlu tabayun alias mencari kebenaran terlebih dahulu.

Tauke tidak ingin langsung menyalahkan Botak. Tauke bergegas ke dapur. Ia mengambil toples yang berisi seperti gula tadi. Ia rasakan dan rasanya memang rasa garam dan itu memang asli garam, bukan garam hasil sihir. Lalu ia mencari toples lain yang juga isinya warna putih yang ukurannya juga sama persis seperti ukuran toples garam.

Lima menit mencari-cari akhirnya Tauke menemukan toples yang berisi gula itu di dalam kulkas. Toples itu berdiri manis di rak kulkas nomor dua dari bawah. Tauke menemukannya karena ia sudah merasa haus, keringatnya bercucuran saat mencari-cari karena disertai dengan amarah yang meletup-letup.

Toples itu berbicara dengan tulisan kecil yang Botak tempelkan dengan isolasi ban: "Agar tidak dikerumuni keluarga semut!" begitu Botak menuliskan kalimat pendek itu. Karena Botak tau bahwa pasti ada orang yang mengatakannya gila menaruh gula di dalam kulkas. Toples itu memang sering dikerumuni semut karena Botak tidak menutupnya rapat, kadang ia biarkan terbuka begitu saja. Kalau lah Botak tidak menuliskan kata tersebut, sudah barang pasti ia kena tendangan penalti dari Tauke.

Tauke kembali berjaga dan berdiri di bibir pintu. Tauke tidak tega meniggalkan Dokter Nadia tertidur sendirian di atas sofa tanpa ada yang menjaganya. Kalau saja pintu itu boleh dikunci dari dalam, maka Tauke akan bergegas ke kamarnya lalu melanjutkan mimpinya. Tapi Tauke tak mampu melakukan hali itu. Ia memilih duduk di depan pintu di atas kursi dan ia pun tertidur memeluk bantal gulingnya.

Dua jam kemudian, azan subuh dikumandangkan oleh anak buah Tauke yang punya suara merdu dari masjid markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi. Firman langsung terbangun ketika azan itu dikumandangkan. Dokter Nadia masih pulas. Marwa masih dibalut selimut seperti kepompong. Firman keluar dari dalam kamar dan menuju kamar mandi.

Ketika ia melewati ruang tamu, ia kaget sekali ketika ia melihat yang berbaring di atas sofa itu adalah Dokter Nadia yang tidur mengenakan selimut berwarna ungu dan jilbab merah. Firman tidak jadi ke kamar mandi. Firman malah balik ke kamarnya dan membangunkan Marwa.

Setelah Marwa bangun. Tanpa cuci muka, Firman segera menyurh Marwa berkemas. Marwa tak banyak tanya lalu ia pun bergegas seperti bergegasnya Firman. Hanya lima menit, Firman dan Marwa sudah siap pergi meninggalkan rumah Tauke. Firman membangunkan Botak dan menyampaikan pesan pada Botak sekaligus pamit pada Tauke melalui Botak.

Botak yang masih mengantuk hanya bisa mengangguk mafhum ketika Firman menyampaikan kata maafnya bahwa ia tidak bisa pamit langsung ke Tauke. Firman keluar dari pintu depan dan berjalan tepat di samping Tauke tidur di atas kursi. Karena sudah jumpa dengan Tauke, Firman pun pamit.

"Tauke kami pamit!" ucap Firman dengan suara yang sedikit bergetar. Tauke hanya membalas dengan suara mengorok. Firman mengartikan bahwa suara ngorok itu adalah tanda setuju.

Firman dan Marwa bergegas menuju mobil dan mereka pun meninggalkan markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi.

Tak lama perjalanan, Firman dan Marwa tiba di rumah makan Dua Bambu. Firman dan Marwa shalat berjamaah di mushalla kecil yang ada di sebelah kanan milik rumah makan itu.

Anak buah Tauke yang jaga malam pun membangunkan teman-teman yang masih tertidur. Salah satu dari mereka menelepon Botak. Dari dalam kamarnya Botak menyahut.

"Ya, aku akan membangunkan Tauke di kamarnya!"

"Bukan di kamar Botak!"

"Lalu Tauke di mana?"

"Di teras depan!" Tanpa pikir panjang Botak pun keluar dari kamar. Botak juga kaget ketika ia melihat perempuan cantik terbaring di atas sofa yang dibalut dengan selimut berwarna ungu dan memakai jilbab warna merah. Botak kenal sekali orang itu. Perempuan cantik itulah yang telah menyiksa batin bosnya, Tauke.

Botak segera ke dapan dan membangunkan Tauke. Hanya dengan mencabut satu rambut Tauke, Tauke pun terbangun.

"Sudah waktunya shalat subuh, Tauke."

"Oke baiklah. Terima kasih, Botak."

"Sama-sama, Tauke, sudah kewajiban saya membangun, Tauke."

"Dokter Nadia sudah, Kau bangunkan?"

"Belum, Tauke."

"Bangunkan, suruh shalat subuh."

"Baik, Tauke. Dengan senang hati."

Mendengar kata senang hati dari Botak, Tauke pun melarang Botak.

"Jangan-jangan, biar aku saja yang membangunkannya. Kau pergi ke kamar-kamar, bangunkan yang masih di alam mimpi!"

"Baik, Tauke."

Botak keluar dan menuju ke gedung yang satunya untuk membangunkan teman yang lainnya.

Sementara Tauke segera masuk dan menuju kamar mandi untuk berwuduk. Selesai berwuduk, ia menuju ruang tamu. Dokte Nadia belum bangun juga. Tauke mengeluarkan handphone miliknya dan memutar suara ngajinya yang ia rekam sediri tempo hari. Ia tumpukan di telinga Dokter Nadia. Dengan cepat Dokter Nadia terbangun.

"Merdunya suara, Tauke, hampir semerdu suara Firman!" testimoni mengejek dari Dokter Nadia. Sebab suara Tauke tidaklah merdu, suaranya serak-serak basah karena sering meneriaki Botak yang kadang suka ngebut waktu mengemudi.

Tauke menyuruh Dokter Nadia segera berwuduk. Menunggu Dokter Nadia berwuduk, Tauke menuju kamar Firman. Tauke sangat kaget ketika tidak menemui Firman, pintu kamarnya terbuka lebar. Tauke menelepon penjaga gerbang.

"Adakah kalian sadar Firman telah melewati gerbang?"

"Sadar, Tauke."

"Adakah kalian memberi tahu saya?"

"Tidak, Tauke. Sebab dia tentunya sudah pamit pada, Tauke."

"Maukah kalian tahu?'

"Mau, Tauke."

"Firman tidaklah pamit!"

"Kami mohon maaf, Tauke."

"Baiklah. Tak mengapa."

Lalu Tauke menelepon Firman. Dari rumah makan Dua Bambu, Firman mengangkat telepon.

"Apakah Firman di samping ananda, Marwa?"

"Ya benar, Tauke."

"Sudi kiranya Firman menjauh." Firman pun menjauh.

"Firman, syukurlah kamu pergi sebelum Dokter Nadia bangun. Kalau tidak bisa runyam urusannya."

"Saya sudah pamit pada Tauke, tapi Tauke tak dengar."

"Tidak mengapa Firman. Itu tak kupermasalahkan. Aku malah berterima kasih padamu karena kau begitu mengerti dan langsung pergi."

"Sama-sama, Tauke."

Selesai menelepon, Firman ditanya Marwa.

"Dari siapa, Bang?"

"Tauke."

"Ada apa? Pasti kena marah karena pergi tanpa permisi!?"

"Tauke malah berterima kasih karena, Abang orangnya pengertian."

"Owh, terus yang tidur di ruang tamu tadi siapa, Bang?"

"Calon istrinya Tauke mungkin."

"Owh gitu, cantik juga dia Bang. Kenapa kita harus pergi sesubuh ini sih, Bang? Emang ada apa dengan perempuan itu?"

"Tidak apa-apa, Adek. Abang hanya tidak enak saja merepotkan Tauke karena lebih lama kita stay." Terang Firman. Marwa mengangguk mafhum.

Selesai berwuduk, Dokter Nadia kembali ke ruang tamu. Tauke memberikan mukena yang dulu pernah dipakai istrinya. Mukena itu cukup mahal dibelikan Tauke dua tahun lalu. Istri Tauke tidak membawanya pergi. Tauke menunggu di teras depan.

Dua menit kemudian Dokter Nadia keluar dan berdiri di samping Tauke sementara Tauke masih duduk. Dokter Nadia tampak anggun di mata Tauke, lebih anggun dari ketika Dokter Nadia mengenakan seragamnya. Tauke tak mampu memandangi Dokter Nadia lama-lama. Tauke melangkah pergi menuju masjid dan disusul oleh Doker Nadia, rapat di belakang Tauke.

Masjid sudah ramai dengan anak buah Tauke. Sampai di masjid, mata anak buah Tauke mengalihkan pandangan ke arah Dokter Nadia ketika Dokter Nadia mengucapakan salam pada saat masuk masjid. Mata yang paling lama menatap Dokter Nadia adalah anak buah Tauke yang masih jomblo. Sedangkan mata yang sudah punya istri sedikit takut menatap lama karena tidak mau ketahuan selingkuh di depan Tauke, akibatnya bisa patal.

Ketika Tauke sudah ada di shaf depan sebagai imam, semua mata mengarah ke depan. Tak berani lagi menoleh ke arah Dokter Nadia. Anak buah Tauke hanya percaya bahwa itu adalah sepupu Tauke, tidak mungkin calon istri apalagi pacar.

Rakaat pertama Tauke membaca surah al-Ikhlas dan rakaat kedua ia membaca surah an-Nas. Baru kali ini ada bidadari subuh yang ikut berjamaah di masjid markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi.

Selesai shalat subuh berjamaah, Tauke, Botak dan Dokter Nadia kembali ke rumah.

Satu jam setelah subuh, Tauke dan anak buahnya melakukan senam pagi. Dokter Nadia ingin ikut senam tapi dilarang Tauke. Sebelum senam, Tauke menyuruh anak buahnya yang piket masak menyediakan masakan yang paling enak. Yang piket masak menurut dan mengerti. Dari jendela itu Dokter Nadia menyaksikan senam pagi yang dipimpin oleh sebuah tv dan yang paling depan adalah Tauke. Dokter Nadia menyelidiki wajah anak buah Tauke satu persatu, namun tidak ada yang ia lihat mirip dengan Firman.

Selesai senam pagi, semuanya minum susu. Mereka mengambil susu yang ada dalam dua ember besar. Mereka boleh mengambil dua cangkir, tak boleh lebih. Setelah semuanya selesai minum, Tauke memerintahkan dua orang anak buahnya mengambil tikar plastik yang lebarnya satu setengah meter dan panjangnya sepuluh meter sebanyak empat tikar plastik.

Dua puluh orang menghidangkan makanan di atas plastik yang sudah terkembang di tengah lapangan. Jam masih pukul delapan lewat tiga puluh menit, mentari belum tinggi. Hidangan kali ini lebih istimewa. Biasanya hanya waktu tasyakuran saja Tauke menggelar hidangan besar-bessaran dan enak seperti pagi ini. Namun karena yang datang adalah pujaan hati, belum waktunya tasyakuran pun sudah digelar kembali oleh Tauke.

Tauke senang dan anak buahnya juga merasa senang. Sebagian dari mereka berharap agar Dokter Nadia lebih lama lagi di markas sawit dan bahkan sebagian lagi mengajurkan agar Dokter Nadia menikah dengan Tauke.

Semuanya sudah duduk di tengah lapangan. Tinggal menunggu Tauke, Botak dan Dokter Nadia keluar dari dalam rumah. Begitu Tauke muncul di depan pintu, semuanya berdiri lalu membentuk pagar betis memanjang mulai dari depan rumah hingga ke hidangan yang ada di tengah lapangan. Tauke berjalan di samping kiri Dokter Nadia dan Botak berjalan di belakang Tauke sebagai cctv kalau ada yang suka usil seperti kelamaan memandangi Dokter Nadia, maka Botak akan mencatat namanya dan akan dipanggil Tauke setelah acara makan-makan.

Sampai di ujung, Tauke mempersilakan Dokter Nadia duduk di depan hidangan yang paling istimewa. Sengaja didesain serrapi mungkin dan menawan dengan warna-warni tapi kebanyakan warna pink dan merah oleh anak buah yang jago masak.

Pisang warna ungu, piringnya warna pink, nasinya warna kuning, buah apel dan anggur warna merah seperti jilbab Dokter Nadia yang juga merah. Ikan mas yang besar telah digoreng di atas piring itu juga warnanya agak merah. Pagi ini pertama kalinya Dokter Nadia makan besar-besaran dan itu dengan Tauke di markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi, tapi Dokter Nadia malah ingin mengulanginya berkali-kali. Dokter Nadia sangat terkesan dengan semua kejutan yang Tauke berikan. Di tengah-tengah makan Dokter Nadia pun mulai bicara.

"Firman kemana Tauke? Kok tidak pernah kelihatan?" selidik Dokter Nadia. Tauke yang tadinya semangat dan makan dengan lahap, tiba-tiba ia terhenti menguyah. Sudah-susah payah ia berusaha untuk mengalihkan Dokter Nadia agar tidak menanyakan Firman, tapi itu terjadi juga. Karena Botak tak tega hati dan perasaan bosnya tersakiti, Botak pun menjawab sekenanya.

"Firman sudah pergi dengan istrinya!"

"Tidak-tidak, Firman sedang keluar. Mungkin besok atau lusa ia kembali." Tauke segera menyahut. Ia tidak ingin Dokter Nadia menangis. Lebih baik ia terluka dan menangis menahankan pedih dan mengeluarkan air mata daripada orang yang dicintainya terluka oleh orang lain karena kecewa.

Selesai makan-makan Dokter Nadia pamit pulang. Tauke tak punya hak melarang. Dari depan gerbang markas sawit, Tauke memandangi hingga mobil Dokter Nadia tak tampak oleh matanya.

***