Oh ya, Kawan. Aku belum memberitahumu nama markas sawit Tauke. Baiklah kalian akan segera tahu.
Nama Markas Sawit Tauke adalah, "Takkan Aku Ulangi Lagi" Kenapa Tauke menuliskan kata itu untuk nama markas sawitnya? Sebab tak lain dan tak bukan ialah karena ia masih trauma dengan kejadian yang dulu pernah menimpanya.
Tauke tidak mau lagi masa kehancuran batin dan keruntuhan hatinya dulu terulang kembali. Tauke sudah jera, sudah kapok. Tauke berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengulangi kesalahan yang dulu pernah ia lakukan pada istrinya sehingga kesalahannya waktu itu membuat istrinya minggat dari rumah.
Tauke ketahuan selingkuh. Sungguh Tauke sendiri tidak mau lagi selingkuh. Mendengar kata selingkuh saja pun tidak pernah lagi ia dengar. Sudah lama absen dari telinganya. Kalau saja anak buahnya berani mengatakan kata selingkuh padanya, maka tanpa ampun anak buahnya akan ia pecat.
Mulanya ia peringati sampai tiga kali saja, lebih dari tiga kali maka boleh angkat kaki. Sehingga Tauke sendiri menghimbau kepada anak buahnya yang ia sampaikan kepada Botak kemudian Botak menyampaikannya kepada bawahannya, "Orang yang bekerja dengan Tauke haruslah orang yang setia pada istri.
Bila ketahuan selingkuh, maka silakan kemasi barang dan angkat kaki!" Padahal Botak sendiri sedang selingkuh. Namun tidak pernah ketahuan oleh Tauke. Setiap kali ia membacakan himbauan itu di awal bulan, Botak merasa ia sedang mengintrogasi dirinya sendiri. Lama-lama ia memutuskan pacar gelapnya. Botak tidak ingin mengkhianati istrinya dan berpisah dari Tauke. Botak takut merasakan kehancuran hati seperti Tauke.
Bagi Botak sendiri adalah mudah mencari istri, tetapi kalau cinta sejati sampai pergi angkat kaki, obat apa yang hendak dicari? Botak tidak mau trauma seperti Tauke. Nama markas sawit yang Tauke buat ternyata tidak hanya sebatas perselingkuhan saja. Awalnya Tauke memang hanya bermaksud bahwa nama markas sawitnya adalah ditujukan kepada orang yang suka selingkuh. Tapi lama-lama para anak buahnya pun menjabarkannya.
Botak menuliskannya. Seperti ketika mereka sedang melakukan kesalahan, mereka cukup bilang kepada Tauke, "Takkan Aku Ulangi Lagi" seketika Tauke luluh dan menyuruh mereka kembali bekerja. Ketika anak buahnya ada yang absen shalat subuh berjamaah karena tidak bangun-bangun juga setelah tiga kali dibangunkan, mereka juga berkata, "Takkan Aku Ulangi Lagi". Karena mereka tahu Tauke luluh mendengar kata tersebut, anak buahnya yang terkadang suka malas-malasan suka ketagihan.
Mereka mencoba dua kali tidak shalat subuh berjamaah. Tanpa ampun Tauke menyuruh mereka mengqadha shalat subuh sekaligus dhuha di tengah lapangan dan membaca al-Quran di bawah terik matahari jam delapan pagi. Biasanya yang suka bikin masalah berulang kali di markas sawit Takkan Aku Ulangi Lagi ialah anak muda yang masih jomblo.
Tauke sudah setengah perjalanan. Ia hanya membawa oleh-oleh kecilan untuk Dokter Nadia. Tauke sudah tidak sabar lagi disambut oleh Dokter Nadia. Tauke membawa sekuntum bunga melati yang harum. Padahal ia disuruh datang oleh Dokter Nadia membawa pasiennya Firman. Begitulah, kalau sudah fokus pada orang yang dicintai, suka lupa urusan lain yang jauh lebih penting dan mendesak.
"Masih lamakah perjalanan kita, Botak?"
"Lima menit lagi, Tauke." Padahal dua puluh menit lagi.
"Kuharap kita segera sampai, Botak. Aku tidak mau memberikan bunga yang layu kepada calon istriku."
"Baiklah kalau begitu, Tauke." Botak pun tancap gas.
"Aku juga tidak mau ruhku tetap mencintai Dokter Nadia, sementara jasadku sudah masuk kubur!" Botak kembali pelan-pelan.
Dua puluh menit berlalu. Tauke sampai di Kampung Kekucakeme. Jam sudah menunjukkan pukul dua puluh tiga lewat dua puluh lima menit. Penghuni rumah sudah tidur lelap. Lampu yang ada di dalam rumah sudah dimatikan. Lampu kamar Dokter Nadia masih menyala. Dokter Nadia tidak bisa tidur. Sebab ia tahu malam ini Firman akan datang bersama Tauke.
Botak menekan kelakson. Dari jendela lantai dua Dokter Nadia mengeluarkan kepalanya dan melihat ke bawah. Melihat mobil Tauke yang datang, Dokter Nadia segera ke bawah dan berdiri di dekat pintu. Dokter Nadia menunggu bel dipencet. Dokter Nadia malu-malu.
Tauke dan Botak turun dari dalam mobil. Tauke menyembunyikan bunga melati di belakangnya. Mereka mendekat ke pintu dan mengetuk pintu. Botak tidak melihat tombol bel rumah Dokter Nadia yang sama putihnya dengan cat dinding. Dokter Nadia pun membukakan pintu dengan santun.
"Terimalah, Dinda!" Tauke mengulurkan bunga melati memasang senyum manisnya.
"Kenapa tidak Firman saja yang langsung memberikannya? Kenapa harus ayahnya?" tanya Dokter Nadia tersenyum sipu. Botak tidak tahan melihat Tauke disakiti. Botak pun segera menjawab.
"Firman sedang bersama istrinya!" Dengan cepat Tauke menyahut,
"Enggak kok. Botak ini salah ucap. Maksud anak buah saya adalah Firman akan segera menjadikanmu istrinya. Hehehe." Tauke tidak ingin melihat Dokter Nadia sakit hati dan menangis. Tauke tidak ingin Dokter Nadia tahu bahwa Firman sudah berjumpa dengan istrinya. Biarlah semua rasa sakit itu ia saja yang menanggungnya. Tauke lebih memilih disakiti Dokter Nadia daripada melihat Dokter Nadia tersakiti. Tidak mengapa Dokter Nadia selalu menanyakan Firman dan mencintai Firman, tetapi Tauke tidak pernah menyerah untuk selelau mencintai Dokter Nadia.
"Hanya bunga melati ini yang dapat diberikan Firman untuk dokter Nadia. Ia sendiri tidak bisa datang sebab ia tidak enak badan." Walaupun Tauke berbohong dan merasa rapuh, ia harus mengatakan kata tersebut.
"Ayo saya ikut ke rumah, Tauke. Saya ingin mengobati Firman."
"Tidak usah, Dokter. Dia hanya pusing saja, Dokter."
"Kalu begitu. Saya minta alamat, Tauke saja." Botak pun segera memberikan kartu nama Tauke. Di sana tertulis alamat lengkap Tauke yang patah hati tapi masih mencintai Dokter Nadia. Dokter Nadia tidak tahu bahwa ia sedang dicintai lelaki sejati yang sudah pernah trauma karena ditinggal istri.
Tauke pamit pulang. Dokter Nadia hanya bisa berkirim salam kepada Firman dan mengatakan pada Tauke bahwa ia merindukan Firman. Tauke masuk ke dalam mobil dan pergi pulang, meninggalkan Kampung Kekucakeme. Baru dua menit mobil itu berjalan. Tauke pun mulai bicara.
"Jangn sampai Botak. Jangan sampai Dokter Nadia tahu Firman sudah tidak bersama kita lagi. Kalau dia tahu maka dia akan patah hati. Kalau dia patah hati maka sudah tidak ada harapan kita lagi untuk mendekati Dokter Nadia. Itu artinya aku gagal mendapatkannya. Terlebih aku sendiri sih tidak mau melihatnya menangis. Tidak tega rasanya batinku ini Botak."
"Takkan Aku Ulangi Lagi, Tauke."
"Baguslah kalau begitu. Fokus pada jalan. Aku mau tidur dulu." Begitu Tauke sudah terlelap. Botak pun tancap gas. Perjalanan yang seharusnya tiga jam, kini hanya satu setengah jam saja. Sampai di halaman markas sawit Takkan AKu Ulangi Lagi, Tauke pun terbangun dan melihat jam di handphone miliknya.
"Kita naik mobil atau naik pesawat Botak?"
"Naik mobil, Tauke." Botak terlihat takut menjawabnya.
"Syukurlah kita sudah sampai." Lalu Tauke pun turun.
Dokter Nadia menaruh bunga melati itu di atas meja belajarnya yang ada di pojok kamar. Ia mengambil gulungan kertas yang terselip di dalam bunga,
"Takkan Aku Ulangi Lagi" Segera Dokter Nadia menelepon Tauke dan minta diberikan kepada Firman sebentar saja. Dokter Nadia ingin menanyakan tulisan tersebut. Dokter Nadia tidak mengerti maksud yang tersirat. Ia tidak merasa Firman ada salah padanya. Selama Firman dirawatnya, Firman baik-baik saja. Tidak pernah berbuat salah. Tapi kalimat yang tertulis di gulungan kertas itu malah seperti kata minta maaf dan menyesal.
"Maaf, Dokter. Firman sudah tidur. Mau tanya apa memang?"
"Takkan Aku Ulangi Lagi. Apa maksud Firman kira-kira, Tauke?" Dokter Nadia penasaran, ia tidak sabar menunggu jawaban dari Tauke. Pastilah Tauke tahu, pikirnya. Sebab Firman adalah anaknya, menurut Dokter Nadia.
"Maksud Firman adalah kalau sudah menikahi Dokter Nadia nanti, Firman tidak akan mengulangi pesta nikah lagi dengan orang lain. Begitu Dokter Nadia." Tauke menjelaskan maksud lain untuk menyenangkan hati Dokter Nadia. Padahal maksud itu adalah murni darinya. Nun jauh di sana, Dokter Nadia meloncat girang. Ia mengempaskan tubuhnya ke atas pulau kapuknya yang empuk. Karena sangkingkan bahagianya, Dokter Nadia tidak sadar bahwa yang berbicara dengannya adalah Tauke. Ia pun menjawab dari jauh dengan sangat senang.
"I love you, Firman!"
Tauke segera menutup telepon. Tauke termenung. Menarik napas panjang dan merebahkan badan di atas sofa. Matanya terpejam, hatinya terjaga dan badannya lemas seperti tak punya kerangka tulang.
***