Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita dan manis, pipinya padat berisi, chubby, kalau melihatnya sedang tersenyum akan meninggalkan dua kesan:imut dan menggemaskan.
Dia langsing dan cocok jadi pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki di kampus yang mulutnya tidak digembok menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman."
Dia sudah berumur delapan belas tahun. Siapa saja pertama kali melihatnya, maka akan mengucek mata tiga kali kemudian memuji, "Katrina Kaif sudah muallaf?!" Atau mulutmu akan terbuka tanpa sengaja, "Ternyata Karina Kapoor pandai juga memakai jilbab!" Atau begini, "Sepertinya namanya, Hummy, dia selebgram Turky!"
Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di Kampus Anta Wa Maaluka Li Abiika atau disingkat dengan Awamaalia. Dulu bukan Awamaalia nama kampus yang sistim kuliahnya dari pagi sampai zuhur itu.
Nama lamanya adalah Anta Maahirun atau disingkat jadi Amarun. Sudah ribuan alumni dan rata-rata alumninya bekerja di kantoran, dominannya mereka mempunyai pekerjaan yang menjamin hidup bahagia paling tidak tiga turunan seumur hidup. Namun, pengajaran, pendidikan selama empat tahun di kampus ternyata tidak cukup untuk membentuk karakter, akhlak, rendah hati dan sifat kedermawanan mahasiswa setelah diwisuda. Sehingga tidak sedikit alumni yang lupa pada dirinya, seperti kacang lupa pada kulitnya.
Mereka sombong antar sesama, guru bahkan lupa pada kedua orang tua. Ternyata pihak kampus menyadari akan hal ini, para dosen-dosen dan pembesar kampus tidak ingin alumnusnya seperti Malin Kundang. Pihak kampus tidak ingin alumnusnya hanya memiliki ilmu yang banyak, pintar dan lihai dalam segala bidang tapi jauh dari Allah.
Mereka sombong dengan yang mereka miliki, lupa bahwa semua itu adalah sebatas titipan dari Allah Subhaanahu Wataala, hanya sementara saja. Maka jadilah nama kampus itu diubah menjadi, "Anta Wa Maaluka Liabiika, kamu dan hartamu adalah milik bapakmu." Setelah nama kampus itu diubah, kini mahasiswa dan mahasiswinya terlihat seragam, sederhana dan rendah diri.
Kebanyakan mahasiswanya memilih naik sepeda dan berjalan kaki ke kampus. Nama mengubah segalanya meskipun tidak semudah itu kedengarannya. Ada beberapa mahasiswi yang masih diantar ke kampus, tetapi tidak diizinkan melewati gerbang kampus, hanya sampai di depan gerbang utama saja. Salah satu dari mahasiswi yang diantar supirnya itu adalah, Marwa.
Di dalam komplek kampus Awamaalia ini hanya ada lima bangunan. Jarak masing-masing gedung adalah seratus dua puluh lima meter. Gedung Maryam, tujuh lantai untuk perempuan. Gedung Ta'allam Walaa Tuksirul Kalaam, belajarlah dan jangan banyak ngoceh, tujuh lantai untuk laki-laki. Masjid Awamaalia, dua lantai untuk laki-laki dan perempuan, lantai pertama khusus laki-laki dan lantai kedua khusus perempuan.
Gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaami Ummahaat, surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu, tiga lantai untuk para dosen dan gedung serba guna. Dan juga gedung Ta'kul Tasyrab Walaa Tahrab, kamu makan, kamu minum dan jangan kabur, dua lantai, besar dan mewah. Lantai pertama untuk laki-laki dan lantai kedua untuk perempuan. Di tengah adalah lapangan hijau yang luas dan memukau.
Pembatas lapangan antara perempuan dan laki-laki adalah bunga mawar yang tumbuh rindang setinggi lutut. Sekarang semuanya sedang mengembangkan bunganya yang berwarna merah merekah, very-very beautiful, istilah terkeren dari negeri yang moyoritasnya tidak percaya bahwa surga jauh lebih indah dibandingkan dunia yang fana.
Tidak ada yang berani mendekati pembatas itu kecuali bagi mereka yang akan berwisuda nantinya. Disiplin kampus melarang keras akan hal itu. Pernah dulu seorang mahasiswi semester satu mencoba mendekatinya, niatnya hanyalah ingin memetik satu tangkai bunga mawar saja.
Ketika ia telah mematahkannya, seorang petugas kebersihan melihatnya dan ia dilaporkan kepada dosen. Esoknya anak itu tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di kampus Awamaalia. Bunga-bunga itu memang sungguh indah, tetapi karena disiplinnya yang tak dapat ditawar, ia tak ubahnya adalah bagaikan api yang membakar, memusnahkan.
Hari ini hujan lebat, mentari enggan tersenyum dan bersembunyi di balik awan. Pelajaran tambahan itu mengakibatkan seluruh mahasiswa semester satu pulang di sore hari.
Waktu magrib hanya empat puluh menit lagi. Seorang lelaki yang memakai jas kuliah berwarna hijau itu menunggu angkot di depan gerbang kampus, lebih tepatnya di Pos Pak Satpam. Hari ini ia tidak membawa sepedanya, dipinjam temannya belanja ke pasar untuk kebutuhan sehari-hari. Jarak dari tempat ia tinggal ke kampus setengah kilo meter.
Semuanya telah pergi, kampus sudah sepi. Pak Satpam pun telah menutup jendela Pos Satpamnya. Pos Satpam itu cukup besar, seperti rumah untuk ditempati tiga orang. Lelaki yang sisiran rambutnya miring ke kanan itu berdiri di samping kanan Pos Satpam dan menoleh ke jalan raya memasang kedua matanya untuk menangkap angkot yang lewat.
Namun sudah lima belas menit ia berdiri, angkot belum lewat juga. Tidak sengaja ia menoleh ke kiri, tepat di bibir dinding sebelah kiri Pos Satpam itu berdiri seorang mahasiswi. Hari hampir gelap dan kelelawar akan segera beraksi.
Mahasiswi itu juga bediri dan menundukkan kepalanya ke arah buku yang ia genggam. Lelaki itu kenal sekali dengan buku yang ia pegang. Buku itu adalah, 'MamuZain' karangan Dr. Ramadhan Al-Buthi, kisah cinta yang tumbuh di bumi dan berbuah di langit. Mamu adalah nama laki-laki dan Zain adalah nama perempuan. Mamu dan Zein bertemu pada pesta tahunan musim semi, di pinggiran sungai Dajlah.
Saat itu Mamu berdandan seperti perempuan dan Zein berdandan seperti laki-laki. Mereka melalukan penyamaran karena masyarakat Jazirah Buton membatasi dengan ketat pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Sementara Mamu dan Zein ingin mencari pasangan yang bisa membuat hati mereka terpikat dan jatuh cinta. Bukan pasangan yang dijodohkan.
Dalam pertemuan nan singkat itu, Mamu jatuh pingsan. Aneh. Sosok laki-laki yang berjalan di depannya begitu memesona dan menggetarkan rasa cinta yang agung. Mamu tidak akan pernah tahu siapa laki-laki itu jika saja dia tidak melihat cincin yang melingkar di jarinya dan baru dia sadari beberapa hari kemudian! Cincin itulah yang mengantarkan Mamu pada Zein dan membuat cinta di dada mereka kian menggelora.
Masalahnya, Zein ternyata adik kandung pangeran yang menguasai Buton, sedangkan Mamu hanya juru tulis biasa. Mamu dan Zein tidak sekelas, sekalipun cinta mereka tulus. Buku ini merupakan karya pertama Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi di bidang penulisan. Pada saat menulis kisah ini usia beliau belum genap 14 tahun. Usia yang sangat belia untuk bisa menelurkan sebuah karya sastra.
Sering mahasiswi itu menoleh ke arah lelaki yang berdiri di sebelah kanannya, jaraknya hanya tujuh meter. Ia berani menolehkan wajahnya ketika lelaki itu menyetel pandangannya ke jalan raya, mata lelaki itu mengintai-ngintai angkot yang lewat.
Dua puluh menit berlalu, mobil berwarna hitam dengan lampu yang menyala berhenti di depan gerbang kampus. Mahasiswi itu segera bergegas ke arah mobil membuka pintu dan masuk.
"Maaf, Non, Om telat dua puluh menit. Macet."
"Nggak papa, Om." sahutnya.
Hujan masih deras, supir itu berkali-kali menekan kelakson, mengisyaratkan agar lelaki yang sedang berdiri di sebelah kanan pos itu juga masuk ke dalam mobil. Mahasiswi itu telah menyuruh supirnya untuk menekan kelakson sebanyak lima kali. Karena lelaki itu tidak mengerti juga, akhirnya perempuan yang berparas Hummy itu menurunkan kaca mobilnya.
"Sampai kapan betah berdiri di situ? Ayo masuk! Angkot nggak akan lewat kalau hujannya belum reda."
Lelaki itu pun mendekat dan supir membukakan pintu depan sebelah kiri.
"Tinggal di mana, Nak?" tanya supir sambil memutar setir ke kanan.
"Di desa Fakkir Qabla Anta'zima, Om berpikirlah sebebelum bertindak. Lebih tepatnya di masjid Shaseedishal."
"Owh, tepat sekali, kami melewati desa itu juga."
Mobil berlari dengan kecepatan enam puluh. Sesekali ia melihat ke kaca spion. Tampak di belakangnya perempuan yang berani bertanya padanya tadi sedang membaca buku yang tadi ia pegang. Perempuan itu merasa sering dirinya dilihati lewat kaca spion, tajam betul matanya. Akhirnya ia memberanikan dirinya untuk bertanya untuk kedua kalinya.
"Kamu tinggal di masjid ya?"
"Ya, alhamdulillah"
"Oh, sudah saya duga."
"Duga bagaimana?"
"Ya biasanya orang yang mengumandangkan adzan di masjid kampus adalah orang yang dipilih oleh dosen dari mahasiswa yang memang tinggalnya di masjid."
"Gitu, ya?" kata lelaki itu menganggukkan kepalanya. Dalam hatinya berkata, "Ini orang memang tau atau sok tau sih?"
"Ya begitu, oh ya kenalkan namaku, Marwa."
"Saya..," Belum sempat ia menyebutkan namanya, dilanjutkan oleh Marwa.
"Kamu, Firman bin Furqan bin Faisal bin Fauzan, kan?"
Ia kaget seperti disengat listrik, Marwa tahu namanya, nama ayahnya, kakeknya dan sekaligus nama bapak dari engkongnya. Ia bengong sejuta bahasa, "Dari mana orang ini tahu nama lengkapku?" bisik hatinya sembari menggetarkan bibirnya. Diam-diam Marwa membaca tulisan yang tertulis di batang sepeda Firman yang diparkirkannya di dekat Pos Pak Satpam yang diberi isolasi warna putih sehingga tulisan itu transparan dan mudah dibaca siapa saja. Alasan kenapa ia menuliskan itu ialah agar orang lain segan mencuri sepeda yang mempunyai nama-nama orang beribawa di sana.
"Ya benar." jawabnya telat.
Perlahan mobil menepi ke kanan mendekati sebuah masjid di pinggir jalan. Nama masjidnya, "Shalatlah Sebelum Engkau Dishalatkan." Nama pendeknya "Jangan tinggalkan shalat atau akrab disebut Shaseedishal"
"Mampir dulu yuk, Om? Kita shalat maghrib berjama'aah. Mumpung azan baru selesai dikumandangkan. Saya tinggal di Masjid Shaseedishal ini, Om." kata Firman sebelum turun dari mobil.
Pak Supir melihat ke arah Marwa. Marwa menganggukkan kepalanya petanda ia setuju untuk mampir. Mobil itu segera diparkirkan di halaman masjid. Mereka pun turun lalu Firman dan Pak Supir menuju kamar mandi.
Setelah berwudhu, Firman masuk ke dalam masjid dan berdiri di depan sebagai imam shalat maghrib. Rakaat pertama ia membaca surah Al-Qiyaamah dari awal sampai akhir dan rakaat kedua ia membaca surah Al-Insan dari awal sampai dengan ayat delapan belas.
Marwa berdiri di bagian saf paling depan untuk perempuan. Suara indah imam muda masjid Shaseedishal itu menggetarkan qalbunya. Tak kuasa ia menahan air matanya yang telah menetes membasahi pipinya yang chubby. Ia hafal betul ayat yang dibacakan imam muda itu. Walaupun suaranya sendiri terhitung bagus, tapi masih dikalahkan dengan suaranya sang imam.
Setelah shalat, Pak Supir pamit kepada sang imam.
"Wah, suaramu bagus sekali, Nak"
"Terima kasih, Om."
Firman mengantarkan Pak Supir ke mobil, Marwa sudah menunggu di dalam mobil. Jendela kaca mobil itu ia turunkan sampai kandas, sebab hujan sudah reda sepuluh menit lalu.
"Lain, kali kita sering-sering shalat jama'ah di sini ya, Om?," Marwa mencoba merayu supirnya.
"Aku suka shalat di sini, karena masjidnya besar dan bersih."
"Suka masjidnya atau suara imamnya nak, Marwa?"
"Dua-duanya, Om." Sahut Marwa sembari melihat ke arah Firman. Firman kaget untuk ketiga kalinya mendengar yang diucapkan Marwa, lebih-lebih ketika memutar rekaman suaranya yang di telepon genggam Marwa. Ternyata Marwa merekam suaranya Firman sebelum takbir pertama waktu shalat magrib tadi. Volume handphone itu sengaja dikeraskannya agar Firman mendengarnya. Marwa tersenyum dan tertawa kecil melihat raut muka Firman yang kaget seperti barusan dijatuhi petasan sebesar jempol kaki.
"Lain kali, kita bawa karyawan stasiun tv, Om, untuk disiarkan secara langsung dari masjid Shaseedishal ini, agar dunia tahu bahwa suara masjid ini dapat menyejukkan hati." Kali ini canda Marwa sedikit berlebihan, tetapi supirnya tetap menanggapinya dengan baik.
"Wah, bagus itu, Non. Om setuju sekali." Akhirnya Firman angkat bicara,
"Kalau sempat itu terjadi, Aku enggak tahu lagi harus bilang apa? Mungkin Aku enggak akan jadi imam lagi?"
"Loh, kenapa?" Marwa terheran mendengarnya.
"Yaa.. karena Aku enggak mau masuk tv, Ukh."
"Ya udah deh, pokoknya nanti tetap kita datangkan karyawan stasiun tv." balas Marwa tetap mempertahankan usulnya. Firman hanya membisu. Mobil itu dinyalakan dan lambaian tangan Firman untuk Pak Supir dan Marwa setelah menjawab salam mereka.
Keesokan harinya Marwa menuliskan perintah dalam secarik kertas. Kemudian kertas itu ia serahkan pada Pak Satpam untuk diberikan kepada Firman, laki-laki kemarin sore yang menunggu angkot di pos Satpam. Pak Satpam ingat orang itu. Lalu surat itu dibaca Firman, kurang lebih begini bunyinya, "Kalau tidak mau aku datangkan karyawan stasiun tv, nanti pulangnya bareng kami lagi ya!? By: Marwa" Berdebar hati Firman membaca paragraf singkat sekaligus ancaman mendadak itu. Karena ia tidak mau terkenal dan masuk tv, selepas kuliah ia memutuskan untuk pulang bersama Marwa dan supirnya.
Hari-hari berikutnya, Marwa menyuruh Firman menunggu di pinggir jalan di depan masjid Shaseedishal itu, untuk berangkat bersama ke kampus. Marwa melarang Firman mengendarai sepedanya yang dituliskan nama-nama orang berwibawa itu, lagipula ia hanya sendiri saja yang diantar ke kampus. Maka dari itu ia mengajak Firman menumpang dengannya. Begitu pun ketika pulang kuliah, Marwa selalu menunggu Firman di depan gerbang, karena mahasiswi sepuluh menit lebih awal pulangnya daripada mahasiswa. Pernah suatu waktu mahasiswa pulang lebih awal daripada mahasiswi. Firman tidak ingin menunggu, ia merasa tidak enak selalu menumpang gratis dan duduk manis di dalam mobil orang lain. Sampai di rumah, ia telah mendapati telepon genggamnya panggilan tak terjawab sebanyak dua puluh kali dan satu inbox via whatsapp,
"Kalau sepedanya sudah rindu dengan kampus, pemiliknya kasih kabar dong supaya kita tahu bahwa sepeda itu memang setia kepada pemiliknya dan agar yang lain tidak cemburu dengan setianya itu. Dan yang lain tidak merasa tersakiti dan berharap lebih."
Firman merasa bersalah besar pada dirinya sendiri. Ia paham betul apa yang dimaksud oleh Marwa. Yang Marwa maksud adalah setegas ini, "Kalau sudah tidak mau lagi naik mobil bersama kami, kasih tau dong supaya kami tahu bahwa kamu memang tidak mau naik mobil kami lagi. Agar kami tak merasa tersindir dan disakiti!"
Sejak kejadian itu Firman tidak bisa mengelak lagi. Secepat apapun ia pulang lebih awal, ia akan tetap menunggu Marwa di depan gerbang kampus dan selambat-lambatnya Marwa berangkat dari rumahnya, ia akan tetap menunggu di depan masjid Shaseedishal itu.
***
Suatu malam di dalam kamar masjid Shaseedishal, temannya Firman bernama Gunawan, membagi isi hatinya kepada Firman.
"Saya sedang dapat musibah, Akhii"
"Musibah apa?" sahut Firman sambil membaca buku dan duduk di atas kursi.
"Saya bingung harus bagaimana? Saya pingin cepat menikah, tapi orang tua Saya bilang Ana harus punya rumah dan menyediakan perabotannya dan harus punya gaji bulanan. Atau sabar menunggu sampai tamat kuliah maka semuanya akan disiapkan oleh orang tua Saya. Saya bingung harus gimana sekarang?"
"Kalau Saya boleh menanggapi, saran orang tua Akhi itu bagus. Supaya Akhi benar-benar mapan dulu barulah berumah tangga. Sebab mapan itu bukan hanya mapan memberi nafkah batin saja tapi harus mapan memberi nafkah lahirnya juga. Supaya istri Akhi nantinya tidak kecewa pada diri Akhi sendiri, Akhii"
"Tapi, bukankah rezeki itu sudah ada yang ngatur? Allah. Lalu kenapa kita masih takut tak dapat rejeki?"
"Bukan begitu maksud saya, Akhii. Setiap kita ini memang sudah diatur rejekinya oleh Allah Subhaanahu Wataala. bahkan lalat saja pun sudah ada rejekinya. Tapi menikah itu adalah bagi mereka yang sudah mampu memberi nafkah lahir dan batin, bukan nafkah batin saja. Kalau belum mampu ya kita dianjurkan untuk berpuasa, tapi kalau akhi Gunawan sudah mampu ya menikahlah."
"Akhii, Firman, di luar sana banyak orang-orang nikah muda, tamat SMA dan bahkan ada yang tamat SMP, anak bau kencur saja pun sudah menikah. Walaupun sebagian orang tua mereka adalah orang kaya, tapi banyak juga orangtuanya yang pas-pasan bahkan rata-rata menengah kebawah, tapi mereka berani menikah, Akhii"
"Akhii, Gunawan, mereka yang menikah muda itu adalah pilihan mereka sendiri dan mereka merasa sudah mampu. Ya kalau Akhi Gunawan merasa sudah mampu, ya menikahlah dan jangan ditunda-tunda lagi. Tapi kalau kita sedikit lebih sabar lagi, memapankan diri dulu dan mengejar cita-cita, maka itu akan lebih baik daripada terburu-buru, pontang-panting membanting tulang mencari nafkah sambil kuliah, bisa jadi kuliah bolos mulu. Ia kalau orang tua kita kaya? Kita tinggal minta ke mereka. Kalau memang Akhi merasa sudah mampu lahir dan batin, ya silakan Akhii dan jangan tunggu lama-lama lagi."
Gunawan terdiam merenung, tidak menjawab. Ia membuang pandangannya ke luar jendela, mengamati bintang-gemintang di langit, pikirannya mencoba untuk mencerna apa yang telah diucapkan teman satu kamarnya itu. Bintang-bintang di langit seperti buih bergenangan di atas permukaan air bah. Malam itu Guanawan membawa pikirannya ke alam pulau kapuknya dan Firman melahap buku di genggamannya hingga ia tertidur pulas di atas kursi dan menyembah ke atas meja.
Jarak tiga kilo meter dari masjid Shaseedishal, Marwa sudah tenggelam dengan alam mimpinya, tadi ketika ia masih rada-rada sadar menggenggam handphonenya, jempolnya telah menekan kolom send di layar handphone yang panjangnya satu jengkalan itu. Yang akhiran kata mereknya mirip menyebutkan kata, "Langsung"
Jam menunjukkan pukul tujuh lewat lima pagi. Firman sudah menunggu Marwa sejak lima menit yang lalu. Sambil menunggu, ia membuka inbox yang keterangan waktunya menunjukkan pukul 00:25. Dia baca, "Apakah benar ada elang yang terbang jauh ke negeri seberang dan pulang membawa sebuah hadiah yang kemudian dipakaikan di pergelangan tangan seorang tuan Putri? Bila ada, Aku ingin elang itu datang ke rumahku secepatnya."
Jantung Firman berdetak kencang setelah membaca inbox itu, ia sangat paham apa yang dimaksud Marwa. Itu adalah kode rahasia yang mudah dipecahkan. Zaman sekarang perempuan memang ahlinya memberi kode-kode pada laki-laki, tetapi terkadang lelakinya saja yang kurang peka menanggapi kode-kode cemerlang itu. Tapi kebanyakan lelaki memang tau namun tetap membiarkannya, mungkin sedang mengumpulkan modal tuk bulan madu selama sebulan di kampung yang elok nan menawan.
Tepat pada pukul 07:15, mobil berkap hitam mengkilat itu berhenti di depan Firman, lalu ia pun masuk.
Marwa tidak memandang Firman sedikit pun. Sejak tadi subuh badannya panas dingin melihat pesannya telah terkirim ke Firman, rada-rada sadar dan tidak sadar ia melakukannya. Tetapi pesan itu memang sudah seminggu yang lalu ia tuliskan di buku diarinya. Ingin segera ia sampaikan ke Firman secara langsung di dalam mobil, tapi ia tidak pernah bisa melakukannya sehingga cara konyol itu telah membuat dirinya demam, apalagi ketika ia melihat inbox itu telah dibaca Firman lima menit yang lalu dan kini Firman sudah berada di dalam mobil. Marwa benar-benar salah tingkah.
"Ada. Pasti ada!" balas Firman singkat dan tepat. Marwa percaya tidak percaya melihat isi inbox itu. Orang yang mengirim pesan padanya hanya berjarak lima belas sinti meter darinya dan orang itu duduk manis di depannya. Marwa kikuk, ia menunduk malu dan bergetar tangannya memegang handphone. Karena ia tidak mau dianggap orang yang tidak bertanggung jawab atas tingkahnya, tidak mau dianggap cemen dan tidak berani. Maka ia pun membalas pesan Firman.
"Tidak perlu membawa permata apalagi singgasana, cukup penuhi syarat sederhana dan setia sehidup dan se-surga."
"Kalau jodoh, elang itu akan bertamu,"
"Sampai kapan aku harus menunggu elang itu?" Kali ini Firman benar-benar mati kutu, tidak bisa membalas inbox dari manusia yang sedang duduk di belakangnya, wajahnya menatap ke layar handphone. Firman tidak tahu pasti kapan ia siap menikahi Marwa. Tanda-tanda saling cinta sudah lama berlampu hijau, namun tanda-tanda untuk berumah tangga masih jauh dari kata mendekati. Firman mengambil buku tulisnya dan merobek satu lembar kertas kemudian ditulisnya lah kata-kata untuk menyakinkan Marwa.
Perlahan mobil berhenti di depan gerbang kampus Awamaalia. Seperti biasa, Firman turun dan membukakan pintu untuk Marwa.
"Jangan dibaca sebelum sampai di dalam kelas." Firman menyerahkan lipatan kertas itu kepada Marwa. Firman mempersilakan Marwa untuk masuk duluan ke dalam kampus. Ia tidak ingin orang-orang akan menggosipinya dan Marwa dari belakang. Padahal teman-temannya tidak pernah berburuk sangka, temannya mengira bahwa mereka adalah bersaudara kandung walaupun hal itu sulit untuk diyakini. Marwa berhidung mancung, Firman berhidung besar dan sedikit pesek.
Marwa bermata biru, Firman bermata kucing. Marwa berkulit putih, Firman berkulit kuning langsat, Marwa suka warna pink, Firman suka warna cabai, hitam, hijau dan merah. Marwa hobi jogging, Firman hobi memancing. Marwa makan apel, Firman malah memilih makan kacang polong. Hanya Gunawan yang tahu hal ini bahwa mereka tidaklah bersaudara.
Sampai di dalam kelas, Marwa duduk di atas kursinya. Ia benar-benar penasaran apa yang ditulis Firman untuknya. Mulai dari gerbang kampus tadi jantungnya berdetak tak menentu.
"Elang yang Kau maksud itu adalah elang apa adanya, ia tidak pandai mengucap janji, ia tak punya banyak kriteria, ia akan bertamu bila waktunya sudah tepat, untuk sekarang elang itu harus menguatkan kuda-kudanya agar ia kokoh dan tidak akan goyah walau angin kencang meniupnya yang sedang berdiri di atas ranting pohon yang kurus. Semoga tuan putri itu juga sabar menunggu di singgasananya, juga sabar menunggu cincin bermata berlian itu. Man Shabara Zhafira."
Marwa senyam-senyum sendiri membaca tulisan di kertas satu lembar itu. Ia tidak sulit mengetahui maksud tulisan Firman. Bukankah ia adalah ahlinya berkode-kode? Ia lipat kembali kertas itu serapi lipatan gadis pertama kali jatuh cinta, seperti mendapat surat dari sang pangeran raja, lalu ia selipkan di dalam buku dairinya.
Selesai jam terakhir, Marwa langsung menuju gerbang. Tadi adalah pelajaran balaghah untuk semua kelas dan untuk semua semester, mulai dari semester satu sampai dengan semester delapan. Di kampus Awamaalia hanya ada satu jurusan yaitu Bahasa Arab. Supirnya sudah menunggu sejak sepuluh menit yang lalu. Marwa mendekat ke mobil, ia tidak menemukan Firman di dalam mobil.
"Pangeran elangku kemana, Om?"
"Elang? Oh Firman maksud, Non? Mungkin masih di Masjid, Non." Marwa mengerti, sepuluh menit yang lalu Firman sedang mengumandangkan azan, tentunya Firman masih mengimami shalat dzuhur berjamaah di masjid kampus Awamaalia.
Tujuh menit menunggu, Firman datang dengan menggendong tas ranselnya yang berwarna hitam lalu masuk ke dalam mobil setelah mengucapkan salam.
Baru satu menit mobil itu berjalan, Marwa mulai menyusun ulang kata-kata yang telah ia siapkan di kelas tadi untuk menaklukkan Firman. Ia senang sekali melihat raut muka Firman yang merah seperti ayam bertelur, seperti orang sedang mencicipi sambal balado yang dapat merubah warna wajah seketika, jelas sekali terlihat lewat kaca spion.
"Om, yang duduk di samping kiri Om itu bagaimana, Om?"
"Bagaimana apanya, Non?"
"Bagaimana kalau,,." belum selesai ia bicara. Firman menyahut,
"Kalau Aku ajak mampir untuk makan siang di tempatku, Om."
"Kalau makan siang sih, Om ngikut aja. Om udah lapar juga." jawab Pak Supir.
"Ihh, bukan itu maksudku, Om. Maksudku ialah bagaimana kalau ia jadi anak bapakku?" Firman tak tahu lagi mengatur posisi duduknya, miring ke kiri salah, miring ke kanan tak enak, tegap juga susah, hanya menunduk malu. Ini adalah kesekian kalinya ia ditekak Marwa. Pak supir juga tidak menyangka Marwa sepemberani itu. Biasanya ia tidak banyak bicara, pendiam seperti ibunya. Tetapi ibunya kalau lagi senang saja, pasti orang di sekitarnya akan tercengang dengan tingkahnya. Begitu pun dengan Marwa, sifat ibunya telah menurun dan mengalir di dalam jiwanya.
"Wah, kalau menurut Om sih cocok, Non."
"Nah kalau begitu, beritahu kepada bapak kalau Aku telah menemukan elangku. Suruh bapak mengundangnya ke rumah ya, Om?"
"Wah, kalau itu gampang, Non. Nanti malam Om ogomongin sama bapak." sahut terakhir dari Pak Supir. Marwa dan Pak Supir terkekeh-kekeh menyaksikan perubahan raut muka Firman. Merah padam.
Firman hanya diam, suasana hening seketika. Sampai di depan masjid Shaseedishal, Firman turun.
"Om, tolong jangan undang elang itu!"
"Hahaha." Pak supir dan Marwa tertawa secara bersamaan mendengar yang diucapkan Firman. Pak Supir jadi heran sendiri ketika mendengar kata, "Elang" karena orang yang bicara barusan tadi adalah masih utuh manusia. Belum berubah.
Malam itu Firman tidak bisa menikmati kerlipan bintang di langit, gelisah telah mengganggu tidurnya. Dia tidak tahu harus berbuat apa kalau sampai bapaknya Marwa mengundangnya. Tiga kilo meter dari masjid Shaseedishal itu, Marwa berseri-seri menatap kertas satu lembar yang tadi pagi diberikan Firman di depan gerbang kampus Awamaalia.
Kata-kata sudah disusun dan sudah diketik di kolom pesan whatsapp, hanya tinggal tekan send. Dua insan itu hanya menatap layar handphonenya. Akhirnya secara bersamaan pesan itu terkirim juga. Handphone itu dua-dauanya berbunyi serentak.
"Ana enggak bisa menikmati indahnya bintang malam ini, Ukh." Muka Marwa tampak cerah membacanya.
"Akh, Ana nggak bisa menikmati indahnya bintang malam ini." Firman mengerutkan keningnya membaca inbox dari Marwa. Dia menyangka bahwa Marwa meng-copy-paste pesan yang ia tulis tadi.
Handphone Marwa berdering, "Ana juga, Ukh."
"Ana juga, Akh." Lagi-lagi Firman mengerutkan kening. Ia mengira Marwa bercanda padanya. Akhirnya ia pun menonaktifkan handphonenya dan tidur. Marwa menatap layar satu jengkalnya, menunggu balasan dari Firman tapi tak kunjung dibalas juga. Marwa pun mengutarakan niatnya untuk melanjutkan mimpi indahnya kemarin malam.
Di dalam mimpinya, ada seekor elang membawa gelang permata, elang itu hinggap di jendala kamarnya dan menyerahkan gelang permata padanya. Namun, diujung mimpinya selalu tak mengindahkan.
***