Tiga hari sudah Gunawan di Kampung Firdaus. Hari ini ia kembali ke rumah setelah berbulan madu di kampung yang menawan itu.
Meera hampir saja tidak mau diajak pulang, ingin menambah satu hari lagi. Namun karena suami yang mengajak ia tidak bisa menolak apalagi sampai membantah. Barang-barang sudah dikemasi, telah masuk ke dalam koper warna ungu. Lima menit kemudian mereka pun meninggalkan kampung Firdaus.
"Semoga ke sini lagi nanti ya sayang pada hari ulang tahunku." kata Meera pada Gunawan suaminya. Gunawan hanya mengangguk dan fokus pada jalan, memandang ke depan, penuh dengan tanggung jawab ia menyetir mobil bulan madu, mobil kesayangannya itu.
Sehari setelah ditelepon Dokter Nadia, Tauke langsung datang menjenguk Firman yang masih terbaring di rumah sakit Asal Eswid, rumah sakit kecap manis. Tauke membawa segala macam buah-buahan, semuanya per-satu kilo gram. Anggur, apel, stroberi, alpukat, rambutan, duku, salak, manggis, mangga dan buah nangka yang juga seberat satu kilo.
Lima jam Tauke dari rumah menuju Kampung Arab yang punya rumah sakit Asal Eswid itu. Tiga jam naik mobil dari rumah ke pelabuhan, dari pelabuhan menyeberang ke kampung Arab dua jam. Tauke dan dua orang anak buahnya telah sampai di dalam rumah sakit di tempat Firman berbaring.
Sampai di depan pintu ruangan Firman, Tauke mengeluarkan kaca dan sisir dari dalam kantong jas yang ia kenakan lalu merapikan rambutnya. Dokter Nadia sedang menyuapi Firman makan bubur.
"Asslamualaikum," sapa Tauke.
"Wa'alaikum salam, silakan masuk, Tauke, anak Tauke sudah sehat. Sudah bisa makan bubur." Kemudian Tauke dan anak buahnya masuk dan duduk di sebelah kanan Firman.
"Perkenalkan, namaku Randa, boleh juga dipanggil Darmanto, biasanya orang-orang memanggilku Tauke," Dokter Nadia sedikit heran, kenapa ayah menanyakan nama anaknya? Pikirnya. Dokter Nadia paham, mungkin saja si Tauke ingin mengembalikan ingatan anaknya.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Tauke.
"Aku tidak punya nama, Om."
"Ya sudah, mulai sekarang kau kuberi nama, Firman." Tauke tahu namanya, tadi Tauke hanya mencoba agar Firman mengingat namanya. Indentitas Firman terselipkan di atap mobil reotnya yang sekarang di dalam gudang Tauke. Tauke sangat mengerti bahwa Firman Amnesia, lupa segalanya karena kepalanya terbentur. Tauke sangat ahli mengembalikan ingatan seseorang.
Dulu ia pernah ikut kursus pengobatan herbal, di sana ada latihan cara mengembalikan ingatan orang yang amnesia. Salah satu caranya ialah dengan mencoba mengingatkannya kembali dengan masa lalunya. Dulu Tauke kurang percaya dengan trik ini, ia hanya percaya trik bahwa jika ada yang terbentur lalu amnesia maka kepalanya harus dibenturkan lagi agar ingatannya kembali.
Hal itu telah dicoba Tauke kepada anak buahnya dua tahun lalu. Walhasil anak buahnya malah makin parah, hampir saja jadi gila. Tauke pun mencoba dengan trik yang satunya lagi: dengan mengingatkannya pada masa lalu pasien dan ia berhasil. Anak buahnya yang amnesia itu telah sehat dan sekarang ia juga ikut bersama Tauke ke rumah sakit Asal Eswid dan sekarang sedang berdiri di samping Tauke.
Dokter Nadia pun tahu bahwa nama pasiennya yang botak itu bernama Firman. Tauke menyerahkan segala macam buah-buahan yang dibawanya ke Dokter Nadia untuk diberikan kepada Firman. Segala pengobatan semuanya ditanggung Tauke. Tadi ketika Tauke ingin mengambil kendali untuk mengembalikan ingatan Firman, Dokter Nadia melarang, karena ia tidak ingin Tauke salah trik.
Dokter Nadia sangat ahli dalam hal itu, maka dari itu ia melarang Tauke. pasiennya adalah tanggung jawabnya. Lagipula si Tauke orangnya tidak sabaran, bisa-bisa kepala Firman dibenturkan ke dinding. Tauke menyerah dengan rayuan Dokter Nadia. Sisiran rambut Tauke yang tadi berdiri jadi layu, disapu angin rayuan Dokter Nadia.
"Tidak Tauke, dia adalah tanggung jawabku. Pengunjung tidak diperkenankan melakukan apa-apa kecuali hanya menjenguk, maaf. Walau pun Tauke adalah bapak kandungnya, saya melarang akan itu. Mohon kiranya Tauke memahamiku duhai Tauke yang baik." Kata Dokter Nadia.
"Baiklah, Dokter, kalua begitu kami pulang dulu. Saya titip dia pada Dokter untuk mengurusinya."
"Baiklah, Tauke, dengan senang hati."
Tauke pun kembali bersama dua anak buahnya. Uang pengobatan Firman telah ia bayarkan yang lalu maupun untuk sebulan kedepan. Puluhan juta telah habis untuk pengobatan Firman, tidak apa-apanya bagi Tauke. Ia telah menganggap Firman sebagai anak kandungnya sendiri, ia tidak punya anak laki-laki.
Gunawan tiba di depan rumah Firman. Mengetuk pintu.
"Firman ada, Pak?" Bapaknya Firman yang membukakan pintu.
"Loh, bukannya kalian sudah bertemu di kampung Firdaus, Nak?, dia belum kembali. Kenapa tidak kalian ajak dia pulang?"
"Ha? Dia belum balik juga, Pak? Kami tidak bertemu dengannya. Kirain udah balik dia. Ibu ada, Pak?"
"Ibunya Firman ke rumah Marwa."
"Owh begitu. Ini, Pak jaketnya Firman. Kemarin itu minjam ke Ibuk. Nanti kalu Ibuk telah kembali salam ke Ibuk ya, Pak?"
"Ya silakan masuk dulu ke dalam, makan."
"Terimakasih, Pak, kami harus buru-buru. Ibuk di rumah sudah telepon berkali-kali agar cepat balik. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Ibu Firman ke rumahnya Marwa kemarin sore. Mendapat kabar dari ibunya Marwa lewat telepon bahwa Marwa telah tiada sehingga ibunya Firman pun datang ke sana. Ibunya Marwa mewaspadai agar tidak diberitahu pada bapaknya Firman, karena bisa jadi besar masalahnya.
Walaupun hanya kabar menantu yang meninggal, tapi menantunya jugalah seperti anak kandungnya. Terlebih Marwa jugalah bersama Firman. Kalau Marwa meninggal lalu Firman kemana? Bukankah Firman juga meninggal? Tentunya pertanyaan itu akan menghantui siapa saja yang mendengar kabar burung itu. Berangkatlah ibunya Firman ke rumah Marwa ditemani air mata pilu. Pertanyaan selama ini telah terjawab, kenapa Firman lama sekali tak kembali? Musibah besar telah menimpa Marwa.
Teman-teman angkatan dan dosen-dosen kampus Awamaalia telah hadir di rumah duka, Marwa. Ratna dan Retno juga hadir. Terlihat serasi Ratna duduk manis di belakang Retno. Belum lama mereka menikah. Dulunya sering beradu mulut lewat chat, sekarang pasangan pengantin baru itu terlihat serasi dan romantis, tetapi mereka belum berbulan madu.
Teman-teman angkatan tertawa kagum dan gembira menyaksikan tingkah mereka yang terkadang seperti anak kecil bahkan di depan umum pun demikian.
"Papa sayang, mama nggak bisa bawa tasnya, berat sayangku." Rayuan manja Ratna pada suaminya Retno.
"Kamu sih sayang, bawa tasnya seberat satu kilo. Bawa yang ringan saja kan ada sayangku."
"Ya, nanti kita mampir di mall ya, Sayang? Aku mau beli yang ringan aja deh."
"Ya sayangku, tapi pakai duitmu!"
"Eh, Papa sayang! duitmu kan duitku juga! Tapi duitku ya bukan duitmu, gimana sih jadi suami!?"
"Ya, ya Mama sayang." Sahut Retno mengalah.
Setelah semuanya hadir, rektor kampus pun berdiri di tempat.
"Biklah, terima kasih atas kehadiran semuanya. Sebelum kita melanjutkan tahlilan kita, kita ingin mendengar langsung dari temannya Marwa yang mendapatkan berita duka ini. Agar kita semua tahu ceritanya, apa penyebabnya Marwa meninggal, di mana kah ia sekarang dan di mana Marwa dimakamkan? Kepada anak kami Ratna agar maju mengambil tempat, saya persilakan." Ratna pun mengambil tempat dan memulai menjelaskan.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh…"
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." sahut hadirin serentak, suara itu memenuhi rumah ruang tamu dan halaman rumah Marwa.
"Kemarin saya dapat inbox dari nomor yang tidak dikenal, lewat inbox WhatsApp. Dia mengabarkan kepada saya bahwa teman kami Marwa telah tiada. Segera saya mengirimkan inbox itu ke group kami. Inilah sebabnya teman-teman hadir di sini. Terima kasih atas kehadirannya. Semoga amal kebaikan sahabat kami Marwa diterima di sisi-Nya."
"Ha? Lewat inbox? Whatsapp pula? Bahaya!" sahut salah seorang temannya yang sangat mengerti sekali dengan tingkah Ratna, ia sangka Ratna telah berubah ternyata masih saja seperti dulu. Temannya yang dulu merepetinya, sekarang ia juga hadir di rumahnya Marwa. Kemudian ia pun berdiri dengan memasang muka merah padam, tanpa dipersilakan rektor kampus.
"Kepada teman kami Ratna, kami harapkan tetap berdiri di tempat dan jangan duduk dulu. Saya kenal sekali denganmu, kamu tidak pernah berubah. Berita yang kamu sampaikan pastilah keliru. Coba lihat, mana handphonemu? Sini aku lihat!" katanya dengan nada meninggi. Ratna mendekat. Siska adalah teman sebangkunya Ratna di kuliah, kenal betul ia dengan Ratna dan kebiasaan Ratna.
Dulu juga ia yang mengingatkan Ratna agar behati-hati dalam menyebarkan berita. Namun tetap saja terulang, hari ini juga dikhawatirkan Siska terulang kembali. Maka dari itu ia berani berbicara lantang di depan semua hadirin. Mereka yang hadir hanya diam dan memperhatikan dengan saksama.
Ayah dan ibunya Marwa, pipi mereka masih dibasahi air mata. Sedikit bocoran masalah pribadi Siksa, ialah pada masalah hati dan perasaan Siska yang terpendam. Ia telah menanam perasaan cinta kepada Retno di dalam hatinya, Retno adalah cintanya yang bertepuk sebelah tangan. Maka kata Saiber adalah kata yang cocok untuk menyebut dua orang yang berebutan, Retno adalah rebutan Siska dan Ratna, dan pemenangnya adalah Ratna.
Maka sudah tidak heran jika sampai saat ini Siska tetap menyimpan perasaan sedikit dendam kepada Ratna, menangislah Ratna di depan umum dan ini memang harus ia lakukan demi terlihatnya sebuah kebenaran. Ratna memberikan handphonenya kepada Siska dan Siska membaca isi inbox itu.
"Assalamu'alaikum…
Innalillahi wainna ilaihi Raji'un…
Telah berpulang ke rahmatullah, teman kita, sahabat kita, satu hati, satu perjuangan, Marwa Binti Zamzuri dua minggu yang lalu. Al-fatihah buat Marwa.
Kalian yang membaca berita ini jangan terkejut ya? Aku mengetahuinya dari bibik aku bahwa Marwa telah dirawat di salah satu rumah sakit dan menghilang, tidak diketahui entah pergi kemana. By: Pakpuk." Siska membacakan isi inbox itu di depan umum.
Ratna meng-copas lalu menghapus sebagiannya, agar tidak kelihatan terlalu bercanda pikirnya. Sikapnya yang telah ceroboh ditampar malu dengan tindakan Siska. Namun hadirin, terutama rektor dan orangtuanya Marwa masih was-was, antara benar dan tidak. Bisa saja itu adalah benar dan bisa saja tidak. Mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan tahlilan.
Semuanya pulang ke rumah masing-masing. Perasaan ibu Firman pun sedikit puas dan lega, tetapi ia masih dihantui pertanyaan, lalu kemanakah Firman dan Marwa? Tanyanya dalam sanubari. Sampai di rumah, Retno memarahi istrinya Ratna.
"Kamu itu ya, Mah, bikin papa malu saja. Kenapa sih belum berubah? Kalau dapat berita itu tolong jangan sembarang dibagikan dan kalau membagikannya jangan setengah saja dan membuang setengahnya. Sudah banyak kerugian gara-gara berita yang hoax, jangan sampai cintaku padamu yang tulus berubah pula jadi cinta yang hoax Mama sayang. Please deh, berubah. Buang kebiasaan buruk yang telah lama masuk ke dalam jiwamu. Mulai sekarang handphonemu papa yang pegang selama sebulan, sebagai hukuman.
Kalau saja berita kematian Marwa ini terbongkar bahwa tidak benar adanya, maka akan lebih malu lagi kita. Bisa-bisa ibunya menuntutmu sayangku." Retno marah, namun kata sayang tidak pernah absen, karena telah jadi darah daging panggilan sayang itu. Ratna hanya diam, tidak berani menyahut. Rencana mau singgah di mall untuk beli tas baru tidak dipenuhi Retno. Ratna menangis malu.
Gunawan sudah sampai di rumahnya, sang ibu menyambutnya dengan hangat. Hidangan sudah disiapkan satu jam yang lalu saat Gunawan dan Meera masih di jalan. Meera mencium tangan mertuanya dan kembali ke Gunawan, tidak pernah bergeser dari samping Gunawan. Seakan Gunawan adalah bagian dari tubuhnya yang tidak bisa ia aputasi.
Tauke dan anak buahnya siap menyeberang ke pelabuhan, hari ini ia telah menjenguk Firman yang ia anggap sebagai anaknya sendiri. Ia berterima kasih pada kedua anak buahnya itu yang gara-gara mereka Firman jadi miliknya. Timbul niat di dalam hati Tauke untuk menyembunyikan Firman dan mengadopsinya.
Dokter Nadia mengupas satu buah apel dan mengirisnya lalu memberikannya kepada Firman, ia sayang sekali pada Firman. Ia menganggap Firman sebagai sahabat dan juga sebagai cintanya. Ia mengurusi Firman dengan cinta, menyuapi Firman dengan perasaan sayang, menemani Firman dengan cinta dan semua yang ia lakukan pada Firman adalah dengan cinta.
Pernah terdetik di hatinya untuk melarikan Firman keluar dari Kampung Arab dan membawanya ke kampungnya lalu menjadikan Firman sebagai suaminya. Entah apa yang membuatnya cinta pada Firman, hanya ia yang tahu.
Sudah dua hari ibu Firman tidak di rumah. Bapaknya Firman sangat rindu berat pada ibunya Firman. Firman boleh sajalah pergi hingga bertahun pun lamanya tidak terlalu rindu baginya, namun kalau ibunya Firman yang pergi sehari saja terasa sebulan. Sudah dua hari istrinya tidak di rumah maka terasa dua bulan. Malam ini adalah malam rindu.
Malam yang dingin, angin sepoi-sepoi berlalu-lalang, burung-burung menyanyikan lagu rindu. Bumi merindukan hujan, malam merindukan bulan, pagi merindukan mentari, ombak merindukan angin, hati merindukan kekasih, Tauke merindukan Dokter Nadia, Firman merindukan Marwa dan bapaknya Firman merindukan istrinya. Maka bapaknya pun berguman, "Lathirtu Ilaiki Syauqan ya Habibty, akan aku kirimkan rindu padamu duhai kekasihku."
Bapaknya Firman pun membacakan puisi rindunya yang berjudul "Salju RIndu" untuk ibunya Firman.
"Duhai kau yang kurindu
Andaikan kau tahu betapa rindunya diriku
Kau takkan membiarkanku menjauh darimu
Kau takkan mengasingkanku sendiri tanpamu
Selalu bersamamu di setiap waktu
Merayumu memelukmu membelaimu
Duhai kau yang kurindu
Kuingin waktu ini segera berlalu
Agar aku tak ditusuk rindu di setiap mengingatmu
Andai saja angin adalah sahabatku
Burung-burung adalah prajuritku
Para tukang pos adalah partnerku
Maka akan kusampaikan padamu
Betapa rindunya aku
Betapa sakitnya kumenahankan tusukkan belati rindu
Setiap saat luka rindu ini disayat bambu
Duhai kau yang kurindu
Sudikah dirimu kurindu?
Berhakkah kumerindukanmu?
Atau rinduku hanyalah rinduku?
Rindumu bukan milikku?
Rindumu untuk yang kau rindu?
Bukan diriku dan bukan untukku?
Tak mengapa kau berpaling rindu
Atau berpura-pura merindukanku
Atau sekadar membalas rasa iba atas rinduku
Tetapi aku tetap merindukanmu
Tetap menyebutmu dalam sujudku
Di setiap mengingatmu kuterbawa rindu
Di setiap melihat bulan kuterbawa rindu
Kumelihat dirimu di rembulan tersenyum manis padaku
Kau bagaikan purnama merindu
Merindukanku yang sedang dilanda salju rindu
Oh semoga rinduku membeku
Menjadi es batu rindu
Ketika hadirmu padaku
Ku akan memecahkannya padamu
Melimpahkannya untukmu
Menaburkannya di sekujur tubuhmu
Agar kau juga merasakan betapa dinginnya salju rinduku
Betapa dahsyatnya kerinduanku padamu
Betapa lamanya kumenahankan rindu
Aku yakin kau kan memelukku
Mencairkan salju rinduku dengan kehangatanmu
Duhai kau yang kurindu
Ketika hadirmu sepenuhnya padaku
Saat ini esok dan di setiap waktu
Aku takkan melepaskanmu
Ketika bersamamu
Maka terobatilah luka rinduku
Oh kutak ingin lagi memelihara rindu
Mengulangi rindu adalah kebodohanku
Ku tak akan membiarkanmu menjauh dariku
Ku tak akan dan sungguh takkan kulepaskan dirimu
Aku setia padamu
Menyanyangimu
Membahagiakanmu
Kau adalah bidadari yang kurindu
Bersamaku hingga akhir waktu."
Firman juga tidak mau kalah, ia jugalah ahlinya dalam berkata-kata bagaikan puisi. Firman pun mulai mengeluarkan curahan hatinya. Ia hanya mulai sedikit mengingat kembali, ya ia mengingat nama seseorang yang tidak pernah terhapus dari hatinya, dia adlah Marwa. Firman mulai berkata:
"Kau tahu duhai kekasihku, Marwa. Saat aku kehilanganmu, angin, petir,hujan, awan, ikan, hewan, pohon, serangga bumi dan seisinya adalah sahabatku. Mereka adalah sahabat yang baik. Mereka menghiburku, mencoba mengobati rasa rinduku padamu dengan melukiskan wajahmu di atas batu.
Rinduku sudah tak sanggup kukendalikan, begitupun rindumu padaku. Namun ketika keinginanku kuat untuk menemuimu, aku selalu disadarkan oleh hujan bahwa kita berbeda dimensi tempat dan waktu. Kupanggil kura-kura, kutuliskan di punggungnya betapa aku merindumu. Kura-kura itu lama sekali, tidak ada kabar apakah rinduku telah sampai padamu(?) Mungkin kura-kura itu membeku bersama salju. Kupanggil burung-burung, kutuliskan di sayap-sayapnya rasa rinduku, kuingin kau segera mengetahuinya.
Terlalu lama, ya burung-burung itu terlalu lama membawa kabar. Mungkin mereka punah melewati rintangan awan yang selalu menangis melihat nasibku. Kupanggil angin, kubisikkan padanya rasa rinduku untukmu, juga lama. Ia terlalu lambat berembus dan tersesat di permukaan laut, ombak ingin menari bersamanya. Hanya ada satu cara tercepatku saat ini, kuingin rinduku segera tersampaikan padamu, jika tidak aku akan mengering lalu membusuk ditelan bumi. Aku ingin menyampaikan rinduku padamu sekarang juga.
Kupanggil hujan dan petir, kuyakin mereka pasti mampu. Kutahu kau sedang menunggu rinduku, kau sedang membuka jendela dan menngalihkan pandanganmu ke langit, karena awanlah kutahu kau merindukanku sehingga semakin dahsyatlah rasa riduku. Aku tidak ingin melukai hatimu, aku harus menyampaikan rinduku. Maka ketika kau merasakan hujan dan mendengar halulintar menyambar, ketahuilah, bahwa itu adalah salam rinduku padamu."
Malam ini adalah malam rindu, semuanya merindu kepada yang berhak menerima rindu, kepada yang dirindu. Tauke pun menyampaikan rindunya pada Dokter Nadia lewat jendela kamarnya, menatap ke arah laut.
"Kau tahu duhai Adek bernama Nadia, angin ini membawa kabar rindu dariku untukmu. Terimalah rinduku duhai adek di pulau rindu." Tak ia sadari, Tauke pun mengeluarkan angin perutnya, anak buahnya kebauan kentutnya.
Pagi-pagi sekali, Ratna menelepon Siska. Panggilan ketiga pun diangkat oleh Siska.
"Siska, kau dengar baik-baik, Marwa telah ditemukan!!" Fenomena ini diistilahkan dengan, "Tedoh ne he" yang artinya, rindu sekali!
***