Chereads / Kamukah Jodohku? / Chapter 12 - Kmapung Kekucakeme

Chapter 12 - Kmapung Kekucakeme

"Aku bahagia bila ada yang bertamu

Tamunya menunggu anakku

Silakan masuk duhai putriku

Lihatlah teman-teman setiamu sudah lama menunggu."

Pak Lurah membukakan pintu dan mempersilakan Marwa masuk. Retno, Ratna, Siska dan Najwa Detektif menatap dengan pandangan tajam. Retno melihat hidungnya Marwa, tidak mirip dengan hidung Marwa sahabatnya. Ratna melihat bagian pipinya, tidak mirip sama sekali. Siska melihat bagian dagunya, jauh sekali bedanya dan Najwa Detektif melihat bagian matanya, tidak mirip.

Marwa yang mengetuk pintu tadi lebih mirip dengan Pak Lurah. Pipinya kurus, hidungnya pesek, bola matanya merah kekuningan dan dagunya tumpul. Retno yang tidak pernah bersajak maupun berpantun, kali ini dia mencoba menyusun kata-katanya untuk menjawab bait-bait pantun berantakan Pak Lurah. Retno sendiri tidak yakin bisa menjawabnya, namun karena kesalnya pada Pak Lurah, sebab sudah lama menunggu dan ternyata orang yang ditunggu bukan orang yang dimaksud.

"Kami kemari mencari bidadari

Sehingga sampailah di rumah yang mewah

Duhai kamu bukan Marwa binti Zamzuri

Ternyata kamu anaknya Pak Lurah."

Ratna belum percaya kalau yang barusan bicara adalah kekasihnya, ia pandangi lagi Retno baik-baik, ia cubit hidung Retno.

"Duhai, Retno kekasihku, suamiku, belahan jiwaku, pangeran setiaku, kamukah yang barusan bicara itu sayang? Sungguh damai rasanya di hati mendengar kata-katamu. Sudikah kiranya kau menyusunnya untukku? Arjuuka ya pangeranku?!"

"Ya sayangku, nanti akan kususun kata yang khusus dan special untukmu." sahut Retno dengan membalas cubitan manja di pipi Ratna. Retno yang tadi hendak marah pada Pak Lurah kini marahnya sudah reda kembali setelah mendengar kata-kata istrinya, ia pun memilih diam dan ia serahkan pada Najwa Detektif untuk menangani masalah serius atas harapan palsu dari Pak Lurah. Dua jam menunggu dan yang ditunggu malah tidak merasa ditunggu, karena ia juga sama sekali tidak mengenal orang-orang yang menunggu.

"Pak Lurah, bisakah bapak jelaskan pada kami bagaimana cara bapak merubah wajah sahabat kami ini, Pak? Duhai kau Marwa sahabatku, masih ingatkah kau padaku?" Najwa Detektif menatap Pak Lurah dan Marwa.

Pak Lurah tidak menjawab, ia mempersilakan anaknya untuk menjawab. Anaknya sendiri lebih bijak darinya.

"Yang bapak katakan benar. Saya ini Marwa anaknya bapak. Kenalkan namaku Marwa binti Sambudi dan kami asli kampung sini. Sejak kecil aku tinggal di sini."

Najwa Detektif langsung percaya dengan apa yang dikatakan Marwa binti Sambudi. Ia tahu bahwa yang dikatakan Marwa adalah dari hati yang dalam. Najwa Detektif tahu sekali isi hati orang lain, jika ada orang yang berbohong maka ia akan segera membalas dengan kata-kata yang sangat pedas dan menyayat hati.

Retno menunduk malu, Ratna tenang seketika, tidak merasa salah sambung dengan kabar yang ia dapatkan dari orang lain. Siska merah padam, sudah tiga kali dibohongi oleh Ratna. Najwa Detektif pun menarik Ratna dan Siska keluar ke teras depan, mereka pamit sebentar dan meninggalkan Retno di dalam bersama Pak Lurah. Marwa ke belakang, membuatkan kopi untuk Pak Lurah dan Retno.

"Ratna, kamu tahu Marwa di desa ini dari siapa ha!?" tanya Siska mengancingkan gigi kapaknya.

"Dari sepupu aku yang kemarin lewat sini." Ratna menjawab tanpa dosa.

"Namanya siapa dan di mana dia sekarang?" Najwa Detektif tak sabaran ingin ketemu orangnya.

"Aku minta maaf. Sudahlah, kalian tidak perlu mencarinya. Biar aku saja yang berurusan dengannya." Ratna menjawab sekenanya.

"Ratna, sepulang dari sini kau harus antarkan aku ke sepupumu itu. Aku tahu dia pasti menyembunyikan Marwa yang sesungguhnya. Dialah yang telah menjadikan kita seperti bonekanya yang mudah ia arahkan ke sana-kemari. Kali ini ia tidak boleh lepas dariku!" Najwa Detektif mulai menunjukkan emosinya.

"Tapi dia sepupu dekat aku, Najwa."

"Maupun ia adik kandungmu sendiri, ia akan kumasukkan ke penjara!" tegas Najwa Detektif. Kali ini Ratna bergetar, badannya panas dingin, ia tidak sanggup berdiri dan ia masuk ke dalam dan duduk di samping Retno, memeluk Retno.

"Enam jam kedepan, kita akan menemukan Marwa binti Zamzuri bukan Marwa binti Sambudi!" terang Najwa Detektif pada Siska dengan tegas setelah Ratna masuk ke dalam. Setelah makan malam, mereka pun pamit pada Pak Lurah, juga pada Marwa dan ibunya. Kali ini giliran Najwa Detektif yang berujar.

"Kami pamit dulu, Bapak, Ibuk dan Marwa. Maaf sudah merepotkan, terima kasih atas hidangannya yang sangat lezat. Kalau ada waktu Bapak, Ibuk dan Marwa, sudi kiranya bertamu ke rumah kami juga,"

"Ya, tak mengapa. Lain kali mampirlah lagi kemari. Rumah ini terbuka lebar untuk tamu seperti kalian yang sudah mau bercerita pada kami tentang Awamaalia University, Kampung Arab dan Kampung Firdaus itu."

Ketika berhadapan dengan Pak Lurah, Najwa Detektif pun membacakan pantun pamitan pada Pak Lurah.

"Sebelum saya membacakan pantun pamitan pada bapak, dengar dulu pesan saya pak. Lain kali bapak jangan salah dengar. Marwa binti Zamzuri bukan bin Sambudi. Mengerti kan, Pak?"

"Minum kopi campur gula, mengerti Nona.Ya saya mengerti Nona, tapi kan cuma beda huruf saja. Nada kedengarannya juga mirip sekali, Nona. Maklumlah untuk sekali ini." Pak Lurah membela diri.

"Ya, aku memaklumi." Di depan rumah mereka berbaris sejajar menyamping dan menghadap ke pemilik rumah. Najwa Detektif pun melantunkan pantun pamitannya pada keluarga besar Pak Lurah desa Limat Menit.

"Aku Najwa detektif

Aku dan teman-temanku mohon pamit

Terima kasih kami pada Pak Lurah yang aktif

Salam bahagia buat desa lima menit

Serius deh aku jadi posesif!"

"Posesif kenapa?" Siska menyelidiki.

"Karena desa ini unik."

Setelah mengucapkan salam, mereka pun meninggalkan rumah Pak Lurah dan menuju tempat mobil diparkirkan. Tak lama mereka meninggalkan desa Lima Menit. Rembulan dan bintang di angkasa menerangi bumi dan seisinya, padi yang sedang hijau indah dan memukau itu tampak mengkilat dengan sinar lampu mobil Retno.

***

Pak Rektor memohon kepada ayah Marwa agar tidak dilaporkan problematika misterius kehilangan Firman dan Marwa ke polisi.

"Usah dilaporkan, ada teman mereka bernama Najwa Detektif, ia pasti bisa menemukan titik peristiwa ini." Begitu terang Pak Rektor pada ayah Marwa meyakinkan. Entah angin dari mana yang berembus, mendengar nama Najwa Detektif ayah Marwa percaya bahwa Najwa Detektif akan mengatasi masalah ini dengan segera mungkin.

"Najwa Detektif itu pernah datang ke rumah kita ini, diajak Marwa mampir waktu mereka masih kuliah dulu sayangku. Dia loh yang dulu pakai kaca mata itu. Teman Marwa hanya dia yang pakai kaca mata." Ibunya Marwa menambahi. Jadilah bapaknya Marwa semakin yakin. Masalah ini pun dipendam keluarga dan saudara terdekat saja, tidak dilaporkan ke polisi. Menunggu Najwa Detektif menemukan solusi.

***

Sehari sudah tidak bertemu benar-benar terasa setahun bagi Tauke. Apalagi saat mengingat kata terakhir yang diucapkan oleh Dokter Nadia itu. Tauke merasa sedang berjalan di atas salju tanpa memakai sepatu, mulai dari ujung kaki sampai ujung kepalanya dingin padahal ia sedang berada di dalam mobil yang tak beratap, kepanasan.

Ketika mengingat kata terakhir Dokter Nadia yang katanya: my family, namun Tauke salah dengar malah jadi: my sweety, kata itu lah yang membuat hati Tauke berbunga-bunga dan ia tidak tahu bagaimana lagi membungkus bunga-bunga itu, sangkingkan banyaknya! Ia tak sanggup lagi menahan rindunya pada Dokter Nadia karena sangkingkan rindunya.

"Cepat lah sikit! Tancap gas! Lama kali lajumu, Botak!" Tauke sudah tak sabar lagi ingin sampai di Kampung Arab. Botak pantang diperintah, yang tadinya kecepatan enam puluh kini jadi kecepatan seratus empat puluh kilo meter perjam. Hingga-hingga di tikungan pun hampir saja jatuh ke jurang.

"Hati-hati Kau Botak! Aku mau nikah sebentar lagi dengan Dokter Nadia. Jangan Kau bunuh aku selagi perjaka! Celaka Kau nanti, Botak!" Tauke geleng-geleng. Si Botak akhirnya memperlambat dengan kecepatan empat puluh. Makin lama sampainya.

Satu jam kemudian mereka sampai di pelabuhan. Botak membangunkan Tauke dari tidurnya. Tauke tertidur karena angin santai dengan kecepatan empat puluh itu.

"Eh, kok udah magrib di sini tapi kita baru sampai. Lambat betul lah kau bawa mobil Botak. Nanti waktu pulang biar aku saja yang nyetir!"

"Maaf, Tauke aku sengaja pelan-pelan. Aku tidak mau Tauke mati selagi perjaka."

"Baguslah kalau begitu. Nanti kamu saja yang nyetir." Padahal dia sudah pernah menikah.

Mereka pun naik ke kapal dan menyeberang ke Kampung Arab. Dua jam perjalanan, mereka sampai di Kampung Arab dan masuk ke rumah sakit Asal Eswid. Tauke segera naik ke lantai atas tempatnya Firman dan Dokter Nadia. Sampai di depan pintu Tauke mengeluarkan cermin, memeriksa kerapian rambutnya lalu memencet bel. Sudah tiga kali bel itu dipencet namun tidak ada yang membukakan pintu. Sudah lima menit berdiri tetap tidak ada yang membukakan pintu.

"Dokter Nadia, bukalah pintunya duhai adek berhati melati." Tauke coba merayu, namun tetap saja pintu itu tertutup. Tiba-tiba petugas kebersihan lewat.

"Bapak mencari pasien di ruang ini, Pak?"

"Jangan panggil bapak lah. Aku ini masih muda, panggil saja aku Tauke."

"Tauke mencari pasien yang ada di ruangan ini ya, Tauke?"

"Ya betul sekali, saya ke sini mencari belahan hati saya."

"Pasien dan Dokter Nadia sedang tidak ada di dalam, Pak, eh Tauke. Sejak kemarin ruangan ini kosong."

"Kemana mereka?"

"Silakan tanya ke petugas yang di depan, Pak."

"Kau ini, aku sudah bilang aku ini masih muda. Panggil saja aku Tauke." Tauke kembali mengingatkan dengan sabar. Petugas kebersihan mohon diri. Tauke dan Botak menuju petugas yang ada di depan sana.

"Selamat siang, Tauke, ada yang bisa kami bantu?"

"Dokter Nadia dan Firman anak saya kalian sembunyikan di mana? Tega betul lah kalian menyembunyikan belahan hatiku tanpa memberitahu sepatah kata pun padaku!"

"Kami tidak menyembunyikan mereka, Tauke. Tapi Dokter Nadia sendiri lah yang membawa Firman pergi. Katanya dibawa pulang kampung."

"Pulang kampung macam mana? Firman kan masih sekarat!?"

"Tidak, Tauke. Firman sudah sembuh. Hanya saja ingatannya yang tidak bisa disembuhkan dan Dokter Nadia mohon izin ke kami untuk membawa Firman ke kampungnya. Di sana akan dipulihkan ingatan Firman."

"Apa kubilang, Dokter Nadia memang keras kepala. Kubilang aku saja yang memulihkan ingatan Firman, tapi dia tetap menolak. Kekasihku itu memang sedikit berbeda denganmu Dokter Mega. Boleh saya minta alamat Dokter Nadia?"

"Maaf, Tauke, kata Dokter Nadia jangan beritahu pada Tauke alamatnya. Nanti kalau sudah sembuh dia akan mengembalikan Firman pada, Tauke."

Tauke diam seketika. Ia duduk di bangku tunggu itu. Botak memijat-mijat kepala Tauke. Kebiasaan yang sudah sering dilakukan Botak kalau Tauke sedang dirundung pilu. Hati siapa yang tidak pilu jika orang yang dicintai tidak ingin bertemu? Jangankan bertemu, cinta saja tidak. Cinta Tauke bertepuk sebelah tangan. Tak lama Tauke pun pulang dengan membawa luka sementara. Ia tak menyerah, suatu hari nanti ia akan menemukan Dokter Nadia atau Dokter Nadia sendiri yang akan datang kepadanya, memintanya untuk memakaikan cincin pada jari manisnya Dokter Nadia. Tauke sangat yakin akan itu.

***

Sehari semalam Dokter Nadia dan Firman dalam perjalanan menuju kampung terpencilnya Dokter Nadia, di tepi gunung dan akhirnya mereka sampai juga pada malam harinya. Desa ini adalah desa yang sangat elite. Jarak masing masing rumah ke rumah yang lainnya sepuluh menit dengan jalan kaki.

Masing-masing penduduk memiliki gedung tiga lantai, dua kolam renang di samping kiri-kanan, di depan rumah ada lapangan bola, di belakangnya ada taman yang di dalamnya diisi hanya dengan dua jenis bunga saja: mawar dan melati. Yang tinggal di desa ini menyebut nama desanya dengan: Kekucakeme-yaitu singkatan dari nama-nama berikut ini; kepompong, kupu-kupu, capung, keong dan merpati.

Ada apa dengan nama desa ini?, tentunya tidak sembarang ngasal jadi kepala desanya memberikan nama desa Kekucakeme. Pastilah ada sebabnya. Alkisah mengatakan bahwa kepala desa yang pertama kali adalah seorang pakar cinta. Dia awalnya hidup di kota, namun karena ditinggal pergi oleh sang kekasih akhirnya ia menyendiri, menyepi dan mencari kehidupan baru dan tempat yang baru.

Waktu itu ia masih berumur dua puluh dua tahun dan pacarnya menikah dengan orang lain, dibawa pergi ke luar negeri. Ia datang ke desa ini yang dulunya hanya ada satu rumah yang berdiri. Ia pun dijadikan tuan rumah sebagai anak angkat dan ia menjadi pengusaha sukses. Tak lama ia membangun desa Kekucakeme ini dengan desa yang terkenal elite. Seorang pakar cinta yang galau gara-gara dikhianati kekasihnya.

Dulunya nama desa ini adalah: Kembalilah padaku lagi. Dengan maksud agar si pujaan hatinya kembali lagi padanya walaupun dalam keadaan janda, ia tetap menerimanya. Dan pujaan hatinya itu benar-benar kembali lagi padanya dalam keadaan janda dan si pakar cinta menerima kekasihnya dengan lapang dada.

Sempat lima tahun nama desa ini bertahan dan setelah lima tahun akhirnya ia merenungkan kembali nasibnya kemudian ia pun menamai desa ini dengan nama: Kekucakeme, dari hasil renungannya di tepian sungai. Karena ia adalah seorang pakar cinta, ia pun menjabarkan maksud dari Kekucakeme itu. Lebih kurangnya begini: Pacaran itu seperti Kekucakeme.

Kepompong: yang masih dalam balutan. Perlu kesabaran menunggunya menjadi kupu-kupu, perlu sabar menunggunya menerima balasan kasih sayang. Kelihatan saja ia tertutup namun apabila sudah didapatkan hatinya, jiwa raganya pun dikorbankannya untuk kekasihnya, begitulah perempuan. Kupu-kupu: kini ia sudah punya sayap.

Harus selalu perhatian terhadapnya, harus benar-benar merawatnya karena bisa jadi ia terbang ke mana-mana dan tak mau kembali lagi pada asalnya. Pun sama ketika si tuan gombal sudah diterima, dituruti maunya, sudah diberikan semuanya: hati dan jiwa. Lama-lama makin banyak tingkahnya, susah mengaturnya dan tidak seperti pertama kali mengenalnya.

Ia ingin mencari hati yang baru, begitulah lelaki. Capung: jam terbangnya lebih tinggi. Makin hari makin jadi-jadi, lupa pada janji-janji, terlalu tinggi ia meninggalkan bumi sedangkan ia tak tahu betapa sakitnya ketika ia jatuh suatu hari nanti, yang juga sering dilakukan laki-laki. Keong: lambat nian lajunya. Ketika diajak ke hal yang lebih serius, mengajak ke hal yang lebih baik, diajak segera berumah tangga, segera menikah, tapi ia menghadirkan dengan sejuta alasan.

Ingin berlama-lama lagi pacaran, persis seperti lajunya keong untuk menuju pelaminan. Lama-lama mencurigakan, yang juga sering dilakukan lelaki. Merpati: kelihatannya saja jinak, tapi susah ditangkap. Kelihatannya saja pacaran itu enak, kelihatannya saja romantis, kelihatannya saja so sweet, kelihatannya saja bahagia, padahal sering juga berantamnya, padahal susah menjadikannya teman hidup di dunia hingga ke surga, sulit diajak untuk segera berumah tangga, lama-lama makan duka, yang sering dialami keduanya.

Begitulah kepala desa pakar cinta itu menjabarkan nama desa ini: Desa Kekucakeme, walaupun agak lebay sih penjabarannya.

Penjaga gerbang itu membukakan pintu gerbang, dan Dokter Nadia memarkirkan mobil merah ranumnya. Dokter Nadia penyuka warna merah. Hari ini ia serba merah kecuali warna bibirnya, pink.

"Kita sudah sampai, Firman. Ini rumah kita. Ayo turun dan masuk ke dalam." Dokter Nadia turun dan diikuti Firman. Ia melihat ke sekeliling, pemandangan ini belum pernah ia saksikan sebelumnya. Ia berjalan di samping kirinya Dokter Nadia menuju pintu masuk.

"Bapak, Ibuk, kenalkan ini pasien aku, namanya Firman. Firman ini ayah dan ibuku."

Ayah dan ibu Dokter Nadia mempersilakan Firman duduk dan Dokter Nadia segera mengecek ke lantai dua. Ia masuk ke dalam kamarnya yang setahun sekali ia tempati. Setelah meletakkan barang bawaannya, Dokter Nadia ke kamar adiknya yang laki berumur enam tahun.

"Ricky, ada tamu tuh di bawah. Yuk turun!"

"Baiklah kakak. Kapan kalian sampainya?"

"Baru saja."

Dokter Nadia dan Ricky turun ke bawah. Sampai di ruang tamu Ricky mejabat tangan Firman.

"Aku Ricky dan boleh dipanggil, Rick."

"Saya Firman dan biasanya juga dipanggil Firman."

"Nice to meet you." kata Ricky lalu ia pun kembali ke kamarnya. Firman ingat namanya yang ia dengar dari Tuke, padahal memang itu nama aslinya.

"Ayah dan Ibuk ke mana?" tanya Dokter Nadia pada Firman.

"Tadi sempat ngobrol bentar dan beliau pamit keluar naik mobil warna hitam."

"Owh, pasti membeli sesuatu."

"Beli apa?" tanya Firman penasaran.

"Aku nyuruh beliau beliin kamu pakaian. Sebenarnya aku ingin mengajakmu belanja tapi kamu kelelahan dan kamu belum terlalu fit. Oh ya nanti kamu tidur di kamarnya Ricky, sebelah kamarku di lantai dua."

"Baik."

Tak lama mengobrol di ruang tamu, Dokter Nadia mengantarkan Firman ke kamar Ricky kemudian Dokter Nadia kembali ke kamarnya lalu beristirahat. Ia kembali pada pulau kapuknya yang sekian lama telah tak ia huni.

***