Chereads / Kamukah Jodohku? / Chapter 17 - Kampung Cemburu

Chapter 17 - Kampung Cemburu

Pagi ini amat cerah sekali, mentari terasa lebih hangat. Pohon-pohon di belakang rumah Gazhi tampak bahgia ketika mentari mengenai daun-daunnya.

Semilir angin pagi menghampiri selururuh manusia yang memiliki hidung yang tidak sumbat. Pagi ini terasa lebih indah dan lengkap ketika menatap hijaunya padi-padi yang masih seumur dara.

Seperti kebanyakan manusia lainnya, pagi ini Ghzai duduk di depan rumahnya dengan ditemani secangkir kopi buatannya sambil menggenggam handphone miliknya. Ia buka inbox WhatsApp dari Najwa Detektif yang isinya mengajaknya menikah, namun Ghazi malah tidak mau membalas. Ia letakkan kembali handphone itu. Najwa Detektif menelepon berpuluh-puluh kali tapi Gazhi tidak mau mengangkat. Rasa takutnya lebih besar dibandingkan rasa cintanya dulu pertama kali pada Najwa Detektif.

Dulu ia yang berlari secepat harimau mengejar kijang untuk dimangsa, demi mendapatkan cintanya Najwa Detektif, namun sekarang begitu ia mendapatkannya ia pun mulai mencari cara untuk menghindarinya. Jangankan memberi Najwa Detektif makan setelah menikah, membeli segelas kopi saja ia masih ngutang. Hal itulah yang membuatnya semakin ciut. Maka segala cara ia lakukan untuk menghindari Najwa Detektif. Yang pertama kali ia lakukan adalah menonaktifkan handphnoe miliknya, mengganti kartu baru dan yang kedua ia ingin merantau.

Ia ingin bekerja keras untuk mendapatkan uang yang banyak, walaupun tidak banyak yang didapat nantinya, setidaknya untuk mahar ia bisa membelikannya. Ghazi hanya berpesan pada ibunya, "Jika ada teman-temanku atau orang sepesial yang bernama Najwa Detektif mencariku, katakan bahwa aku sedang mencari mahar dan selalu ada untuknya."

Najwa yang yang selalu ditagih kedua orang tuanya merasa sangat didesak, ia juga sedikit menyesal terlalu berlebihan mempresentasikan kebaikan Ghazi tempo hari. Karena teleponnya tidak pernah masuk dan inbox pun tidak pernah dibalas. Ia bertekad mendatangi Ghazi ke rumahnya. Amat disayangkan, Ghazi sudah pergi kemarin sore dan ibunya menyampaikan pesan itu pada Najwa.

Najwa hanya bisa menangis, sepanjang jalan pulang ia mengeluarkan air mata. Sampai di rumah, setelah mobil putih itu ia parkirkan ia pun segera berlari ke kamarnya, menguncikan pintu kamarnya dari dalam. Ia tidak mau diganggu. Ia tidak ingin diganggu siapa pun terma kedua orang tua yang sangat ia sayangi. Ibu dan ayahnya berkali-kali berusaha membujuknya, merayunya agar bersabar bahwa Ghazi akan menikahinya. Namun tiap kali ia mendengar nama Gazhi ia malah menangis sekuatnya.

Berminggu-minggu di kamar dan tidak pernah lagi keluar dari kamar, mandi pun tidak pernah, makan semaunya, tidur sengantuknya. Badannya yang dulu seberat tujuh puluh kilo gram kini hanya empat puluh tujuh kilo saja. Ia hanya menanti seorang Ghazi untuk menyembuhkannya kembali.

Teman-temannya menjenguk namun tidak ia beri masuk ke dalam kamar, dari pintu kamar teman-temannya mencoba sesekali berbohong bahwa mereka membawa Ghazi, tapi Najwa Detektif sudah kenyang dengan omong kosong. Ia tidak mau lagi dibohongi. Maka teman-temannya berniat mencari Ghazi di tanah ia merantau. Mereka tidak mencari Firman terlebih dahulu, karena kejadian misterius hilangnya Firman hanya bisa dipecahkan oleh Najwa Detektif.

Mereka mendatangi rumah Ghazi dan bertemu ibunya Ghazi, ibu sebatang kara yang masih paruh baya sudah ditinggal suami sejak Ghazi masih sekolah menengah pertama. Rumah itu lumayan besar, sangat besar jika hanya dihuni dua orang dan sangat terasa sempit jika dihuni sepeuluh orang.

Dindingnya dari kayu, lantainya semen kasar, masuk ke rumah Ghazi seperti melihat gambar hitam putuh di layar televisi. Beda sekali dengan Najwa Detektif yang tegolong anak orang kaya.

"Ghazi tidak beritahu saya dia merantau ke mana. Ia hanya meninggalkan pesan bahwa kalau ada temannya datang menanyakan keberadaanya, bilang ia sedang mencari mahar untuk Najwa. Saya ini hanya punya Ghazi di rumah ini, Nak. Saya tidak punya harta berharga lainnya." Teman-teman Ghazi hanya bisa menunduk. Marwa, Siska dan Ratna tidak bisa menahan air mata. Retno, sejak ibu Ghazi bercerita, ia tidak pernah melihat ke depan, ia hanya menunduk diam.

Ghazi bekerja di sebuah kampung. Kampung ini setiap bulannya selalu saja didatangi para perantau dan hampir semua perantau yang datang adalah orang yang berpendidikan.

Kampung Cemburu, ya itulah nama desa yang Ghazi datangi. Karena Kampung Cemburu ini sangat menghormati para perantau dari mana saja selagi ia masih bisa berbahsa Indonesia. Kepala desa di kampung ini memang sengaja menamainya Kampung Cemburu, karena memang orang-orangnya sangat pecemburu. Mereka mudah cemburu apabila di kampung sebelah lebih sering didatangi oleh perantau dari luar daerah sehingga kampung tersebut lebih maju dalam segala hal. Maka kepala desa berinisiatif memberi tugas pada beberapa anak mudanya untuk ngojek dan mereka yang bekerja ngojek digaji oleh kepala desa.

Ada pun orang baru yang datang, anak muda yang menunggu di gerbang antar dua kampung itu berebut seperti memperebutkan harta karun. Dan kebetulan Ghazi didapatkan oleh tukang ojek dari Kampung Cemburu Dua dan langsung di bawa ke rumah kepala desa tempo hari.

Ketika Ghazi ingin membayar ongkos, anak muda itu tidak mau menerima karena kepala desa sendiri melarang menerima ongkos dari para perantau yang masuk ke desa mereka. Salah satu syarat mutlak perantau di kampung ini adalah pandai baca Al-Quran, dan syarat embel-embel lainnya termasuk orang yang berpendidikan dan minimal tamat SMA atau Pesantren. Maka sebelum tukang ojek itu membawa para perantau, mereka melihat KTP si perantau dan harus hafal alfatihah serta salah satu dari surat pendek dari juz tiga puluh. Dan semua syarat itu tidak pernah diketahui publik kecuali hanya dua kampung ini saja yang tahu. Kampung pertama adalah Kampung Cemburu Satu dan yang kedua Kampung Cemburu Dua, Ghazi diambil oleh tukang ojek dari Kampung Cemburu Dua.

Kenapa syarat-syarat tersebut tidak dibagikan ke publik? Karena demi menghindari orang yang mengaku peace religion dan berusaha menghafal dan mengikuti syarat-syarat demi bisa masuk ke Kampung Cemburu. Karena, selain mewah, kampung ini sangat terkenal dengan keindahan alam yang mereka punya, sebelas dua belas dengan kampung Firdaus.

Ghazi adalah orang yang cerdas, ia bisa menyelesaikan kuliah di Awamaalia University adalah karena kecerdasannya. Namun begitu ia wisuda, putus juga beasiswanya dan pekerjaan pun tidak ada yang mau melamarnya. Terpaksalah ia melamar dan mendatangi pekerjaan yang ada di Kampung Cemburu ini. Kampungnya unik dan tidak begitu banyak rumah penduduk di dalamnya, terpencil di pinggir gunung, indah di pandang dari kejauhan dan nyaman ditempati ketika sudah berada di dalamnya. Karena penghasilan utama di Kampung Cemburu ini adalah kopi, maka sudah barang pasti Ghazi bekerja di kedai kopi.

Ibu-ibu yang paruh baya ketika bekerja juga suka minum kopi. Jumlah masing-masing penduduk hanyalah lima puluh rumah penduduk saja dan sudah termasuk rumah pak lurah. Dua Kampung itu, jika dilihat dari atas bukit kejauhan, bisa dihitung pakai jari telunjuk. Tapi jangan heran, satu rumah di kampung ini bisa menampung minimal sepuluh orang.

Selain bekerja di kedai kopi sebagai pengolah kopi dan penghidang minuman kopi, Ghazi juga mengajar mengaji dan mengajar kursus bahasa arab dan bahasa Inggris. Mereka sangat senang sekali belajar bahasa arab. Sangat tidak heran jika ada sebagian murid Ghazi adalah bapak-bapak, ibuk-ibuk, kakek dan nenek-nenek. Dan mereka yang sudah tua masih kuat ingatannya ketika Ghazi memberikan kosa-kata pertama dalam bahasa arab bahwa "Qahwah" itu artinya "Kopi", dan keesokan harinya, mulai dari bapak, ibuk kakek, dan nenek-nenek, ketika nongkrong di kedai kopi terbesar di kampung mereka, mereka pun mulai memesan kopi dengan menggunakan kosa-kata bahasa arab. Namun ketika pelajaran bahasa inggris yang diajarkan Ghazi, seratus kali diulangi susah betul mereka mengulanginya.

"Coffee." kata Ghazi di depan murid-muridnya yang lanjut usia.

"Kope." kata mereka serentak. Semakin fasih Ghazi mengatakan coffee dan semakin kental pula mereka mengatakan kope. Beda sekali dengan anak muda mereka yang sangat semangat dengan dua bahasa itu. Mereka sangat mudah mempraktekkan sesama mereka dengan bahasa arab dan bahasa inggris.

Begitulah yang terjadi di Kampung Cemburu Dua. Sedangkan di Kampung Cemburu Satu, mereka lebih tertarik dengan bahasa inggris dan bahasa arab nomer tiga setelah bahasa Indonesia dan Inggris. Mereka tidak mau menamai desa mereka dengan kampung inggris atau kampung arab, sebab Kampung Cemburu lebih nyaman mereka dengar dan memang seperti yang mereka rasakan juga.

Gaji Ghazi untuk satu bulannya adalah dua ratus ribu dari mengajar dan tiga ratus ribu dari bekerja di kedai kopi. Maka sebulan ia dapat mengumpulkan lima ratus ribu. Ghazi tinggal di rumah bangunan yang khusus disediakan untuk para perantau dari luar daerah. Adapun Ghazi mengajar adalah yang digaji langsung oleh Pak Lurah Kampung Cemburu Dua.

***