Gunawan hampir saja sampai di kampung Firdaus. Sekarang ia sedang berada di bukit yang agak tinggi. Terlihat jelas dari bukit itu tertulis, "Firdaus's Village".
Gunawan memutar setir ke kiri. Sampai di depan gerbang, Gunawan mengeluarkan tiket yang sudah ia print dari jauh hari. Tiket yang dibooking Meera sejak seminggu yang lalu. Tak lama gerbang itu terbuka dengan santun, penjaga gerbang memberi hormat kepada mobil bulan madu. Gerbangnya terbuat dari baja.
Penjaganya kekar dan berseragam rapi berdiri sebelah kiri-kanan. Lampu hias digantung di mana-mana. Tulisan, "Welcome dan Ahlan Wasahlan" dengan berbahasa inggris dan bahasa arab. Setiap hurufnya diberi lampu warna-warni yang berkelap-kelip. Gedung-gedungnya seragam tujuh lantai berdiri kokoh mengisi sekeliling kawasan.
Pagarnya juga terbuat dari baja. Sungainya mengalir bersih, burung-burung menghiasi di pinggir sungai yang diberi besi melentang menyeberangi sungai. Setiap gedung mengarah ke laut. Masing-masing gedung mempunyai tujuh puluh empat kamar dengan masing-masing lantai mempunyai dua belas kamar. Laut hanya seratus lima puluh meter dari lokasi, sangat jelas terlihat dari dalam kamar. Di setiap kamar, di depannya ada bunga yang selalu diganti-ganti.
Tamannya dilengkapi dengan segala macam bunga, rumputya hijau dan luas. Tempat ayunan couple untuk semua pengunjung. Sungai yang mengalir seluas lima meter itu melewati pinggiran taman. Pekerja di hotel di kampung Firdaus ini hanya mengerti dua bahasa: arab dan inggris. Setiap gedung mempunyai sepuluh penjaga. Dan di lokasi ini berdiri sebuah masjid yang megah, imamnya didatangkan dari Arabic's Village. Suaranya merdu, fasih dan hafal A-Qur'an.
Gunawan memesan kamar nomor tujuh puluh dua di lantai tujuh di gedung, "Syahrul 'Asal" semua bangunan di dalam lokasi mempunyai nama. Bahkan bangunan untuk kandang kuda pun diberi nama dengan, "Al-Hishanu for Honeymoon", kuda untuk bulan madu. Kuda itu ditunggangi untuk mereka yang ingin pergi ke pantai, sebab mobil dilarang keras dibawa masuk ke tepi pantai.
Gunawan tidak berpikiran ingin mencari Firman. Ia ingin segera beribadah, yang sudah lama sekali ditunda-tunda sang istri. Dengan menempelkan kartu kamar di pintu nomor tujuh puluh dua yang diberikan padanya, Guanawan dan Meera masuk ke dalam kamar. Ia buka jendela yang mengarah ke laut. Kamarnya cukup luas dan sangat bersih. Ada cermin, Spring bad, sofa, kursi couple, meja makan, lemari es, lemari pakaian dan rak buku.
Rak buku ini selalu dilengkapi dengan koleksian yang baru. Setelah menata rapi semua isi koper, Gunawan bergegas mandi dan Meera mengambil dua buku. Satu buku nonfiksi dan satu buku novel di rak buku yang dari tadi memanggilnya. Meera ingin membaca untuk buku nonfiksinya.
Sambil menunggu Gunawan, Meera sempat membaca tiga puluh halaman. Tips yang dapat ia kutip dari buku yang telah ia baca ialah: "Agar berbulan madu bahagia, pastikan membawa uang yang cukup" dan agar bulan madu tidak terganggu, "Pastikan handphone-mu nonaktif". Meera segera menonaktifkan handphonenya. Gunawan keluar dari dalam kamar mandi.
"Handphonmu mana, Bang?"
"Ada di dalam jaket, kenapa dik?" Meera tidak menjawab, ia segera menuju jaket gunawan lalu ia ambil handphon di dalamnya kemudian mendekat ke arah Guanawan.
"Bang, dengerin. Di dalam buku ini aku membaca tipsnya agar menonaktifkan handphone. Agar nyaman dan tidak ada yang ganggu, hehehe."
"Ah, bisa aja kamu." sahut Gunawan sembari mencubit manja hidung Meera.
"Bukan aku, tapi buku ini. Bacalah kalau tidak percaya!" jawab Meera memasang mimik manisnya yang cemberut.
"Ah sudahlah, kamu mandi sana buruan." Sambil cemberut Meera mengambil handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi. Setelah mengganti pakaian, memakai minyak rambut dan wangian, sambil menunggu Meera mandi. Gunawan mengambil buku yang tadi ditunjukan istrinya padanya, ia buka lalu ia baca halaman pertma.
Sudah dua paragraf ia baca, kurang menarik. Kemudian ia mengambil novel. Halaman pertama ia baca begitu menarik lalu ia teruskan hingga setengah buku. Bukunya hanya seratus halaman saja, novel mini atau novelet. Hampir habis novel itu ia baca, Meera belum usai juga mandinya. Novel itu bercerita tentang dua orang pengantin baru yang kaya raya.
Mereka ingin sekali berbulan madu ke kampung Firdaus namun tidak pernah kesampaian karena begitu berangkat ada-ada saja yang menghalangi. Yang sering menghalangi mereka adalah ban mobil yang bocor dan tiketnya habis dibooking orang lain. Akhirnya sampai berbulan-bulan mereka tidak pernah berbulan madu. Sang istri masih perawan. Dan.., tinggal dua halaman lagi, hampir selesai, Meera keluar dari dalam kamar mandi dengan mengenakan handuk. Gunawan menutup bukunya.
Tiga jam setelah mandi, mereka duduk di luar jendela yang mempunyai teras. Di luar jendela itu dilengkapi dengan dua kursi dan satu meja. Mereka melanjutkan dengan mengobrol, sambil mengobrol mereka memesan ayam panggang pada pelayan. Segala permintaan akan dikabulkan pelayan dengan menekan tombol-tombol yang ada di samping pintu kamar hotel Sepuluh menit setelah dipencet pelanggan akan datang membawakan sesuai permintaan, sesuai dengan tombol apa yang telah dipencet. Berbagi cerita semasa kuliah di kampus Awamaalia.
Tidak pernah terdetak untuk mencari Firman dan Marwa di sekitar Hotel dan tidak pernah pula bertemu secara kebetulan di taman. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua puluh tiga lewat empat puluh menit. Mandi sudah, membaca Al-Quran sudah, mengobrol di di teras luar jendela sambil menikmati ayam panggang sudah, shalat sunah juga sudah.
Saatnya Gunawan membacakan puisi karangannya sendiri. Yang dulu ia karang bersama Firman di dalam kamar masjid Shaseedishal. Firman juga mengarang puisi. Namun sampai saat ini Firman belum membacakan puisinya. Sudah tidak diragukan lagi kalau urusan puisi. Bukankah kampus mereka hanya ada satu jurusan? Yaitu sastra arab. Marwa dan Meera juga telah menyusun puisinya sejak lama, malah sejak mereka semester tujuh dulu.
"Senja merah
Lautan merah
Awan merah
Taman merah
Bibir merah
Duhai adek si tuan putri yang sedang gelisah
Izinkan aku menyentuh rumanmu yang merah merekah."
"Duhai pangeranku
Bila kau membuat taman maka bunganya adalah milikmu
Bila kau menyelam ke dalam lautan, maka ikannya jugalah milikmu
Saat kau mendaki gunung, maka buah-buahannya tentulah milikmu
Selamat memetik buah yang kau mau
Selamat memanen duhai pangeranku."
Awan menangis bahagia, menurunkan hujan yang gerimis. Lautan melahirkan ombak, menari bersama angin malam. Kodok hijau mulai bersorak gembira, membacakan puisi kepada kura-kura. Angin mulai sepoi-sepoi, membawakan lagu bulan madu. Bunga-bunga di depan kamar, menutup diri, malu mengintip dua insan yang tengah beribadah.
***