"Tu-tunggu!"
Mata hazel itu berkedip-kedip, sesekali bergerak cepat mengelilingi seluruh bagian parkiran sore itu.
"Ja-jangan begini, hei!"
Nafasnya terengah-engah cepat, wajahnya memerah bagai kepiting rebus. Ia menelan ludahnya dengan susah payah. Mendadak matanya berubah menjadi putih dan dia mengerang lemas. Lalu, detik berikutnya dia menoleh ke kanan dan ke kiri, mengecek kondisi. Dia takut jika seseorang mendengarnya barusan.
"Hhmmp… slrp.."
"Pelankan suaramu," bisiknya dengan mengigit bibir bawahnya.
Ini benar-benar di luar kendalinya. Dia ingin menolaknya, tapi sepertinya rasanya terlalu menggoda. Ia juga lupa apa yang terjadi sebelumnya, yang jelas sekarang, seorang wanita muda tengah duduk berjongkok di hadapannya. Wanita itu sedang menikmati rudal keras miliknya. Wanita muda itu mengulumnya seperti sedang menikmati es krim manis, sesekali lidahnya terjulur nikmat. Rasanya benar-benar memabukan hingga ke ubun-ubun.
"Si-sial, apa yang kau lakukan padaku?" tanyanya terengah-engah, tapi dia tidak berencana untuk mendorong wanita itu menjauh.
Wanita itu melepaskan kulumannya. "Masih kurang?" tanyanya sembari mengocok rudal miliknya.
"He-hentikan, kita di tempat umum."
"Aku bisa melihat kau menikmatinya, Pak," senyum wanita muda itu yang kemudian melanjutkan kegiatannya.
Kali ini kulumannya berubah menjadi liar. Wanita itu bahkan menggerakan kepalanya maju dan mundur. Ketika dia memundurkan kepalanya, wanita itu memberikan hisapan dalam, yang seketika itu membuat parter seksnya melayang.
"Sial! Nyawaku seperti sedang disedot!" serunya dalam hati.
"Gimana, Pak? Slrp, slrp, apakah masih bisa dipertimbangkan lagi?" tanyanya diselingi dengan menjilat bagian kepala rudal.
"A-apanya?" Nafasnya terengah-engah, padahal sedikit lagi dia akan mencapai orgasme.
Wanita muda itu tersenyum miring, lalu menjilati lubang rudal yang entah sejak kapan menjadi kesukaannya.
"Nilai ujianku." Setelah menjawabnya, wanita seksi itu melanjutkan kegiatan mereka.
Hah? Oh iya, ternyata karena itu. Karena itu wanita muda ini datang dan memberikan blowjob kepadanya. Tapi rasanya dia pernah melakukan ini sebelumnya, kira-kira kapan ya?
"Aargh! Persetan!" erangnya lagi.
Dia kemudian mengulurkan tangannya menjambak rambut hitam legam itu, setelah itu menggerakan kepala itu maju mundur dengan tempo keinginannya. Detik berikutnya ia menambah kecepatan temponya. Dilihatnya mata biru itu tengah mengawasinya sedari tadi. Ia juga bisa mendengarkan suara erangan manja dari mulut merah ceri itu.
"Seksi, sangat seksi!" pikirnya dengan menahan desahannya sendiri.
Semakin cepat tempo yang dia ciptakan, dia semakin merasakan urusan yang mendesak di dalam dirinya. Ia semakin tidak tahan, dia tidak tahan, harus dikeluarkan sekarang.
"Aangghh!!" ia melenguh nikmat.
"Hmph! Hmph!"
Sembari mencapai puncak dan memuntahkan putih miliknya, dia membenamkan kepala wanita muda itu dalam-dalam. Ia berharap agar semua cairan nikmatnya langsung mengalir hingga ke bagian terdalam tenggorokan wanita muda itu.
"Puah! Uhuk! Uhuk!"
Sepertinya dia terlalu liar, sampai membuat wanita muda itu terbatuk-batuk dan memuntahkan beberapa bagian cairan putihnya.
Terakhir dia hanya terengah-engah sembari menyandarkan tubuh pada bagian pinggir mobilnya. Dilihatnya wanita muda itu kembali menelan sisa cairan nikmatnya yang sempat dia muntahkan ke telapak tangan wanita itu sendiri.
"Gila, seksi sekali!" serunya dalam hati.
Wanita muda itu kemudian merogoh tas kecilnya, mengambil tisu untuk membersihkan mulutnya. Sedetik kemudian, ia kembali mengulum rudal itu, untuk membersihkan sisa-sisa tetesan terakhir.
Setelah membersihkan sampai benar-benar bersih. Wanita muda itu kemudian berdiri, merapikan rambut, serta merapikan dandanannya. Setelah memoles sedikit pemerah bibir, wanita itu menatapnya dengan tatapan, yang.. yang.. bagaimana penjelasannya? Sopan?
Dia sangat terkejut, sebab wanita itu seperti dua orang yang berbeda dalam hitungan detik.
"Enak?" tanyanya.
Sial, wanita muda itu mengucapkannya dengan wajah dan nada yang sopan dan santun.
Dia yang sedari tadi mencoba untuk merapikan celananya hanya bisa mengangguk malu.
"Saya sangat berharap mendapatkan nilai bagus untuk ujian akhir semester ini. Saya pamit dulu, selamat sore, Dosen Reid."
Dilihatnya wanita muda itu berjalan keluar dari parkiran mobil. Dosen Reid masih terengah-engah, dia lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Menyesali dengan apa yang diperbuatnya barusan.
"Dia melakukan ini agar aku mengubah nilainya lagi? Sial!" gumamnya.
***
Kota Crosaroni, tiga bulan yang lalu.
"Apa-apaan ini?!"
Rambutnya mengayun cepat, mata birunya membulat begitu melihat kartu hasil studi pertengahan semester yang di kirimkan via email ke akunnya.
Sore itu Sasha dan Yasmin baru menyelesaikan mata kuliah terakhir di hari ini. Mereka memutuskan untuk mencoba sebuah café baru di dekat kampus. Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba saja percakapan grup kelas mereka ramai, hal itu membuat ponsel keduanya terus bergetar.
Saat keduanya mengecek, ternyata teman-teman mereka memberitahukan kalau kartu hasil studi pertengahan semester telah dikirimkan via email kampus. Tentu, Sasha dan Yasmin memutuskan untuk mengeceknya bersama.
"Sasha, kau masuk ke peringkat pararel lagi loh," kata seorang wanita cantik bermata cokelat. Ia kemudian menggulirkan ponselnya, mengecek namanya sendiri, "syukurlah namaku masuk ke sepuluh besar di kelas. Kerja bagus, beasiswaku sekarang berada di posisi aman."
"Cih!"
Sasha kemudian menghabiskan satu potongan besar kue yang dia beli dengan sekali santapan. Ia teramat kesal, perubahan suasana hati temannya jelas disadari oleh temannya, tapi dia sedikit bingung, kok tiba-tiba sih?
"Ada apa?"
Setelah meneguk colanya, setelah itu menghela nafas lega. "Tidak apa-apa, aku ada urusan."
"Hah? Urusan? Bukannya tadi kau bilang sedang tidak ada acara?"
Sasha yang saat itu sedang memakai jaket rajutnya, seketika itu berhenti sejenak dan mengejapkan matanya. "Oh ya, sekarang aku baru ingat."
"Apa?"
"Aku pergi dulu. Besok kita masuk kelas pagi, kan?"
"Ya, pukul 8 pagi. Jangan sampai telat! Kau mahasiswa teladan di kelas kita."
Sasha menganggukan kepalanya, setelah itu mengambil tasnya dan mengecup ubun-ubun temannya dengan manis.
"Besok ketemu lagi ya. Untuk tugas kelompok kita, nanti malam aku kirimkan via email."
"Oke, lebih cepat lebih baik, bye bye hati-hati di jalan, Say!"
Sasha melambaikan tangannya. "Bye bye!"
*
Esok paginya, Sasha berangkat lebih awal. Saat salah satu teman satu kelasnya masuk ke dalam, dia langsung salting saat melihat sosok Sasha yang telah duduk di bangku paling tengah. Wanita berambut hitam itu sibuk berdandan, membubuhkan pemerah pipi, begitupun dengan pemerah bibir dengan satu lip produk saja. Setelah itu mengenakan pita putih di atas rambutnya.
"Hai!" sapa Sasha.
"Halo," jawab salah satu mahasiswa itu santai dengan membuka tasnya.
"Duduklah di sebelahku, mengapa harus berjauh-jauhan?"
"Aah, rasanya aneh sekali duduk di sebelah orang pintar sepertimu."
"Aku cuman pintar, tidak akan mengigitmu."
"Biasanya yang pintar dan cantik, itu tidak waras."
"Ngawur ya!"
Tak lama kemudian, masuklah beberapa mahasiswa lain. Dalam waktu singkat ruang kelas itu penuh dengan mahasiswa semester tiga. Salah satu teman Sasha, yang bernama Yasmin, muncul dengan wajah yang sumringah.
"Berangkat pagi beneran rupanya."
"Iya lah," jawab Sasha sembari tersenyum, dia kemudian mengeluarkan laptop miliknya, "ngomong-ngomong, tugasnya sudah aku email ya."
"Oke, aku sudah lihat pagi ini. Sudah kukerjakan juga, besok kau terima jadi."
Sasha tersenyum. "Oke, tidak sulit, kan?"
"Tidak, aku menggunakan metode yang kau ajarkan. Bagus sekali, belajarku jadi lebih efektif."
"Bagus!"
"Hei, Sasha!" seru salah seorang teman sekelas mereka, "kau masuk peringkat pararel lagi ya? Selamat ya!"
"Gila, makan apa kau tiap hari? Protein ikan mentah?" imbuh satu temannya lagi.
Sasha tertawa mendengarnya. "Aku cuman makan mie instan."
"Bohong banget! Aku makan mie instan malah masuk peringat dua puluh dua!"
"Kau makan mie instan rasa apa? Sasha makan yang rasa apa, beda rasa beda efek, bro."
Teman-teman sekelas tertawa mendengarnya.
"Sasha, jawab dong. Kau makan mie instan rasa apa?" tanya Yasmin mendesak.
"Aku makan rasa kare pedas semalam, seringnya rasa kuah original sih," jawab Sasha.
Yasmin tertawa mendengarnya.
"Tuh, dia sering makan rasa original, kau makan yang rasa apa?"
"Waduh, aku makan rasa ayam bawang kuah keju."
"Makanya kau tidak sepintar Sasha, kan! Hahahaha!"
Semua isi kelas itu tertawa mendengarnya. Candaan anak-anak benar-benar lucu. Tawa mereka memenuhi seluruh isi ruangan kelas pagi ini.
Tiba-tiba salah satu dari mereka melambaikan tangan sembari memberikan kode untuk diam. Beberapa di antara mereka berlari kembali ke kursinya.
"Ssstt!"
"Sssttt!"
Seketika itu, mata biru Sasha yang awalnya lembut dan penuh jenaka langsung berubah menjadi mode serius. Dia melihat ke arah pintu masuk di depan sana. Seorang pria berpakaian polo merah dengan celana kain hitam, masuk ke dalam kelas. Pria itu memiliki rambut berwarna cokelat dipotong rapi lengkap dengan poni. Kacamata berbingkai hitam itu membingkai wajah tampan sekaligus manis itu. Pria itu berjalan ke arah meja di pojok sana.
"Selamat pagi!" sapa pria itu sembari meletakan laptop dan ponselnya.
"Pagi, Dosen Reid!" sapa anak sekelas.
Matteo Reid, namanya. Seperti yang dikatakan oleh teman-teman Sasha. Dosen Reid adalah dosen muda, yang baru mengajar selama 7 tahun di Crosaroni University. Kalau kata teman-teman, Dosen Reid sekarang berumur 35 tahun. Cukup muda, karena para dosen yang lain umurnya di atas 40an.
Beberapa teman Sasha mengagumi sosok Dosen Reid. Selain tampan, pintar, dan berprestasi, pria bermata hazel itu juga memiliki tubuh atletis dan tangan yang seksi. Pakaiannya selalu casual tapi modis. Terakhir adalah Dosen Reid masih belum menikah dan belum memiliki pacar. Oke dicatat!
Seberapa tampan dan baiknya dosen itu, di mata Sasha, Dosen Reid adalah yang terburuk. Sebab dalam ujian pertengahan semester tadi, nilai untuk mata kuliah yang diajarkan oleh Dosen Reid adalah C. Gila gak tuh.
"Sudah setahun dibimbing Dosen Reid, dan orang itu masih memberiku nilai C. Padahal aku tidak pernah absen, tugas juga mendapat nilai bagus. Pada saat ujian berlangsung juga lancar, belajar mati-matian pun juga tidak mempan," geram Sasha dalam hatinya.
Tidak hanya Sasha. Seluruh teman-temannya juga mengeluhkan hal yang sama, berarti memang pada intinya Dosen Reid ini adalah orang yang sangat buruk. Pelit nilai. Ibarat karena nila setitik rusak susu sebelanda. Begitulah.
"Oke, buka buku halaman 55," kata dosen itu.
Selama proses mengajar, Sasha tidak pernah sedikitpun mengedipkan matanya menatap ke arah Dosen Reid. Dia benar-benar marah dan kesal dengan pria itu.
"Aku tidak akan memaafkan dia! Aku harus menyusun rencana lagi agar bisa mendapatkan nilai sempurna pada ujian akhir nanti!"
-Bersambung ke Chapter 02-