Pygmalion wa Tane wo Maku Volume 1

ITSNovel
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Chapter 1

Bunga merah keunguan itu tak kunjung layu setelah berkilau kemerahan.

Di bagian atas pot yang tumpah karena tanah, dia memegangi lututnya sambil menatap ke ruang kosong dengan mata yang jernih.

Dengan lembut aku membungkuk dan meraih kulitnya yang telanjang dan mulus. Dilihat dari suhu yang ditransmisikan melalui telapak tanganku, aku bisa berasumsi bahwa waktu untuk kebangkitannya telah ditetapkan. Dengan melihat ekspresinya saat ini, aku hanya bisa merasa bahwa dia memanggilku untuk membangunkannya.

Hanya sedikit lebih dan waktu siang hari akan benar-benar lenyap, membuat ruangan ini tenggelam ke dalam kegelapan malam sepenuhnya.

Aku harus bersikap sebelum kegelapan mengusir malam hari. Jika tidak, para pengikut malam akan datang dan membawanya pergi lagi.

Aku mengambil belati itu dan menyisipkan ujungnya, dengan hati-hati, di antara telapak kakinya dan memotong akarnya.

Berlawanan dengan penampilannya, akarnya lembut seperti benang sutra yang dipintal tipis dan tidak menyebabkan sedikit pun hambatan pada pisau belati itu.

Setelah dilepaskan dari pundaknya [beban], penglihatannya tidak berhenti mengembara di dalam kekosongan.

Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit.

Mirip dengan seorang anak yang dengan penuh semangat menantikan awal sebuah pertunjukan, aku terus-menerus menunggunya untuk berbicara sambil menelan air ludahku.

Namun, dia tetap diam sepanjang waktu, terlihat tidak berbeda dengan patung ukiran yang halus. Akar yang menahannya sudah hilang, namun dia tidak menunjukkan tanda untuk berdiri dan terus memandangi penglihatannya yang kosong ke depan.

Aku mulai menggiling gigiku.

(Mengapa?)

Sebuah tatapan sedih lagi. Tidak ada gunanya berapa kali aku mencoba.

(Kenapa?!)

Dimana aku mengacaukan? Apakah ada sesuatu yang kurang? Aku tidak memiliki petunjuk yang sebenarnya.

Bahkan setelah melakukan semua upaya, waktu dan segalanya demi dia, inilah hasilnya.

[Kenapa sih ?!]

Kemarahan meluap terangkat dari mulut ku sebagai jeritan keras, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan.

Aku hampir tidak berdiri mengandalkan kaki putus asa dan menatapnya.

Tenggorokanku mengering, dan rasa sakit mengalir di mataku.

Sensasi tanganku telah lenyap entah di mana, dan aku sudah berhenti merasakan bau mabuk yang melayang di sekitar rumah.

Orang-orang akan menyebut tempat ini sebagai neraka.

Mereka mungkin juga menyebutku sebnagai iblis.

Tidak, aku bukan iblis.

Aku seorang anak yang memungut batu dengan sia-sia. Biji-biji yang aku rajin kumpulkan tanpa ampun akan menghancurkan iblis, lagi dan lagi.

Aku selalu melakukan permainan dalam adegan menyedihkan, konyol, dan menyedihkan.

Tapi terlepas dari semuanya, aku perlu terus menumpuk biji-biji itu. Percaya bahwa suatu hari nanti, dia akan datang dan membawa ku keluar dari tanah kosong yang mengerikan ini.

Hanya itu yang bisa aku lakukan.

Aku memindahkan pisau-pisau itu tepat di lehernya yang terulur dan menariknya keluar dengan satu gerakan.

Garis darah baru mulai mengalir keluar di ruangan yang remang-remang ini.

*****

Bunga yang bisa memicu kenangan akan wisuda, hal pertama yang biasanya terlintas dalam pikiran adalah bunga sakura. Di kota tempatku tinggal, bunga sakura tidak ketinggalan zaman, karena mereka selalu gugur, bersama dengan warna pink muda bahkan sebelum berbunga. Itu sebabnya, gambaran bunga aprikot yang mekar pada waktu yang tepat, memiliki dampak paling kuat pada ku daripada bunga sakura saat mengingat wisuda.

Meskipun demikian, para siswa yang lulus berkumpul di halaman depan sekolah tidak peduli dengan bunga apa yang sedang mekar; Mereka malah menyesali perpisahan teman-teman mereka dan perpisahan sekolah mereka.

[Sudah lulus, tiga tahun pasti sudah lewat dalam sekejap mata]

Sambil menerima sinar matahari musim semi, teman sekelasku Isezaki Akira sedang melihat bangunan sekolah berdinding putih yang bersinar dengan emosi yang dalam. Dia telah memasuki sebuah universitas swasta bergengsi di awal tahun baru, dan sekarang dengan damai menikmati saat-saat terakhir dalam kehidupan sekolahnya. Sebuah dunia yang berbeda dariku, yang gagal sepenuhnya dalam ujian semester pertama, dan sekarang menunggu hasil tes akhir sambil gemetar ketakutan.

[Memang, tiga tahun ini telah berlalu dalam sekejap]

Bisikanku sepertinya tidak sampai ke telinga siapa pun karena suara yang derak.

Beberapa gadis memasuki kelas dan menyerahkan koleksi tanda tangan ke guru wali kelas yang menarik perhatianku.

Di atas kertas itu, namaku, Mamesaki Kuuya, tidak ditulis di sana. Maksudku, sama sekali tidak tahu apa yang harus ditulis dan hanya dengan kata-kata yang tidak menarik seperti: [terima kasih tahun ini, hati-hati] bukanlah sesuatu yang akan aku lakukan sendiri.

[Semua orang, berkumpul di sini, kita sedang berfoto]

Yang memanggil kami memegang smartphone di tangannya, adalah teman sekelasku yang lain, Iruse Misaki. Dengan sosok seperti model dan karakter polosnya, banyak siswa laki-laki telah jatuh cinta padanya. Tapi dari mereka semua, Isezaki adalah satu-satunya yang tetap berada dalam posisi pacarnya selama tiga tahun penuh.

[Isezaki dan Iruse duduk di tengah. Ah, dan semua orang berpindah sedikit ke sisi

ini]

Dengan bimbingan fotografer pria sukarela, selusin orang terkurung di satu tempat. Sambil berjalan di dalam kerumunan, aku langsung duduk di belakang Misaki dan Isezaki.

Memikirkannya sekarang, Isezaki dan Misaki berada di kelas yang sama selama tiga tahun. Yang berarti mereka menunjukkan keintiman mereka setiap hari kepada orangorang. Misaki masuk perguruan tinggi setempat, jadi cukup jelas bahwa hubungan mereka akan tetap seperti ini untuk waktu yang sangat lama.

[Baiklah, aku mengambilnya!]

Saat ini shutter ditekan, angin musim semi membawa bau rambut Misaki ke hidungku.

[TN: Shutter, bagian dari kamera]

Akibatnya, wajahku setengah tegang dan setengah ternganga menatap ekspresi memalukan di foto itu.

Musim semi kedelapan belas, rangkaian masa muda.

Beberapa hari kemudian, aku gagal masuk ke universitas, dan kehidupan baru Ronin ku telah dimulai.

[TN: Ronin = orang yang gagal setiap ujian masuk universitas dan sedang menunggu kesempatan lain]

Orangtua ku bercerai saat aku memasuki kelas enam sekolah dasar. Aku belum diberi tahu alasannya.

Ibu dan aku yan meninggalkan rumah. Sejak itu, kami menghabiskan dua tahun bersama sebelum dia meninggal dunia. Sudah lebih dari enam tahun sejak aku terakhir bertemu dengan ayahku.

Orang yang menyarankan untuk tinggal bersamaku setelah kematian ibuku adalah pamanku, adik laki-laki ayahku, Haruhito.

Jadi saat ini, aku tinggal di bawah atap yang sama dengannya. Entah ayah ku tahu tentang kelulusan ibuku atau tidak, dia terus mengirim 50.000 yen setiap bulan ke rekening bank ku sebagai biaya pengurusan anak, yang sepenuhnya aku berikan kepada Haruhito sebagai uang sewa.

Aku disarankan untuk memasuki persiapan sekolah, tapi aku menolak secara positif untuk memilih jalur ronin sebagai gantinya, hanya karena pemusatan mata kuliah dan ujian coba akan berakhir dengan biaya yang besar dari sejumlah uang.

[Anak seperti kamu tidak perlu memikirkan hal-hal yang tidak perlu seperti ini. Jika itu tentang uang, entah bagaimana aku bisa mengurusnya, pergilah!]

Aku bersyukur atas kata-katanya, tapi jika seseorang membayar untukku puluhan ribu yen sepanjang tahun tidak terasa benar. Pada akhir diskusi yang panjang, orang yang memberi adalah Haruhito.

Seperti ini, kehidupan Ronin ku telah dimulai.

Aku mencari perpustakaan di kota untuk belajar sejak tinggal di rumah sepanjang waktu yang membuat ku tertekan. Jadi, niatku untuk pergi keluar adalah mengubah mood-ku, lebih dari sekadar berpikir untuk meningkatkan efisiensi belajarku.

Perpustakaan yang aku kunjungi terpisah dari rumah oleh tiga stasiun kereta api dan terletak di pusat kota. Setiap kali berjalan melewati kemacetan lalu lintas, aku berkewajiban untuk menyaksikan para salarymen yang sibuk melewatiku dan wajah aktif para pemuda yang berjalan mondar-mandir di tanah sambil berceloteh satu sama lain. Aku mengalami kesulitan bertindak seolah-olah aku tidak terganggu karena dikelilingi oleh orang-orang seperti ini.

Aku meninggalkan rumah pada pukul sembilan pagi, mengabdikan diri untuk belajar sepanjang hari di perpustakaan, dan saat matahari terbenam, aku naik kereta kembali ke rumah, meninggalkan kota yang diserap oleh keinginan dan hasrat orangorang.

Kehidupan rutinku tidak lain hanyalah berulang-ulang seperti sebelumnya.

Saat aku terus menjalani rutinitas ini yang penuh dengan pasang surut, bertemu Misaki lagi merupakan kebetulan yang pasti.

Pada malam hari ketika dimulainya musim hujan yang baru diberitakan, aku memilih untuk berjalan ke jalur yang berbeda ke stasiun dengan lebih sedikit orang di dalamnya saat ini.

Mendekati sebuah taman kecil yang ditelan di antara bangunan-bangunan itu, aku melihat kios penjual bunga, berdiri tepat di bawah lampu jalan. Sepotong bunga yang dipotret dengan pot yang dibuat dengan jelas membuat hiasan cantik ke sudut jalan yang menyedihkan.

... jual beli warung pada malam hari ini?

Dengan penasaran dan kombinasi yang tidak biasa ini di jalan, aku memusatkan perhatianku pada klien yang menilai jual bunga sambil berjongkok.

Itu adalah Misaki.

Melihat dia mengenakan pakaian biasa adalah pertama kalinya bagiku, bagaimanapun, setelah menghabiskan tiga tahun bersamanya di kelas yang sama, tidak mungkin aku bisa salah dengan orang lain. Tidak sampai dua bulan berlalu sejak terakhir kali aku melihatnya pada upacara kelulusan [wisuda] dan dia sudah berubah menjadi wanita yang cantik dan dewasa.

Orang yang berurusan dengannya adalah seorang gadis kecil yang mengenakan rajutan musim panas yang hitam. Mungkin orang tuanya meninggalkannya untuk menjaga toko.

Sambil menatap sosok rampingnya, aku hanya bisa berasumsi bahwa dia adalah murid sekolah menengah paling terkenal.

Gadis kecil itu secara tidak sengaja menoleh ke arahku.

Yang menarik perhatianku, bahkan lebih, adalah kecantikan misteriusnya yang menonjol meski dikelilingi oleh semua bunga cerah itu dalam proses pemekaran mereka. Kulit putih berkilauan yang belum tersentuh oleh siapa pun, selaput hitam [iris] memantulkan rasa melankolis, dan wajah yang teratur mulai dari hidung kecil, dan terus sampai ke bibir mudanya yang menyerupai kuncup bunga. Jenisnya berbeda dengan milik Misaki, tapi dia memang gadis yang cantik. Jika Misaki adalah dahlia yang elegan di bawah sinar matahari, maka gadis kecil itu adalah Cereus yang mekar dalam malam menunggu cahaya fajar, sementara dengan tenang berjemur di bawah sinar bulan.

Namun, di suatu tempat di dalam penampilannya yang sempurna, aku juga bisa menerima kesan yang sedikit dingin keluar. Keindahan itu mencerminkan perasaan seolah-olah dia telah terlepas dari lukisan ilusi, ditarik oleh seorang seniman yang menuangkan seluruh hatinya dan mungkin melakukannya, atau dengan kata lain, kecantikan yang sangat tidak realistis. Begitulah kesempurnaan penampilannya.

[Apa yang bisa aku bantu?]

Dengan suara tipis, seakan membunyikan bel kuningan, namun, gema itu sepertinya tidak meninggalkan telingaku.

Butuh beberapa saat untuk menyadari bahwa dia mengarahkan kata-kata itu ke arahku. Aku tidak bisa bertindak secara alami pada saat itu. Itu normal saja, maksudku, pikiranku penuh pemikiran tentang cara memanggil Misaki saat aku berdiri seperti orang bodoh di depan mereka berdua.

[Hm, apakah itu kamu Mamesaki?]

Misaki mengangkat kepalanya. Aku langsung melihat riasan kecil yang dia miliki pada wajahnya yang awalnya bersih.

[Ya, maksud ku, aku kebetulan lewat di sini dan melihat sosok yang kukenal]

Sambil merasa gugup, aku berusaha semaksimal mungkin untuk membuat senyuman.

[Apa kamu kembali dari tugas malam ini, Mamesaki?]

[Ya, aku sedang belajar di perpustakaan]

Meskipun aku tahu betul bahwa tidak ada gunanya menolaknya, aku masih samarsamar menyembunyikan fakta bahwa aku adalah seorang Ronin.

Berperilaku seolah-olah dia bahkan tidak tertarik dengan apa yang aku katakan, dia menjawab dengan "aku lihat", dan berdiri setelah mengambil sebuah kantong plastik dengan tanaman pot di dalamnya.

[Aku ingin meluangkan waktuku dan berbicara denganmu, tapi aku agak sibuk sekarang, jadi mungkin lain kali]

Sambil mengayunkan tanganku saat mengejar sosoknya yang tertinggal dengan mataku, aku mulai memikirkan apa yang harus dilakukan setelah ini. Aku tidak berniat membeli bunga sejak awal. Aku baru mengenal seseorang yang aku kenal dan mampir untuk menyapa mereka.

[Apa kau mungkin kenalannya?]

Tepat pada saat aku memutuskan untuk memilih alasan acak dan pergi, gadis kecil itu bertanya kepada ku, tentu saja, aku tidak bisa mengabaikannya dan melanjutkan perjalananku.

[Dia adalah teman sekelasku di SMA, apakah dia sering kemari?]

[Ya, dia adalah pelanggan biasa yang datang ke sini sesekali. Tak terhitung banyaknya orang yang memanggilku tanpa bermaksud membeli apapun, jadi pengunjung seperti dia sangat berharga]

Melihat kecantikannya, aku tidak akan terkejut dengan jumlah pembeli etalase. Ini adalah sifat pria untuk tertarik pada bunga yang sedang mengobrol.

Berpikir tentang hal seperti itu aku memeriksa label harga dan terkejut. Semuanya bukan main harganya.

[Daripada tidak berniat membeli, bukankah menurutku mereka baru saja kehilangan niat untuk melakukannya?]

[Meskipun harga yang tinggi ini, beberapa orang masih membelinya dariku. Seperti seorang pelanggan mabuk yang kehilangan dompetnya, atau salarymen yang pulang ke rumah pada pagi hari melupakan ulang tahun pernikahannya. Bahkan setelah mengetahui bahwa harganya lebih tinggi daripada harga di pasar, jika dia bisa membelinya, maka dia dengan senang hati akan membayar]

Membuang karakter polos yang sesuai untuk usianya, gadis kecil itu mulai berbicara dengan cara yang matang, menunjukkan kesan misterius pertama yang aku lihat darinya. Mungkin mengambil sikap ini yang bertentangan dengan penampilan luarnya yang murni dan polos adalah hasil dari berurusan dengan orang yang berbeda pada tempat dan waktu seperti ini.

Aku tidak berencana untuk membeli sesuatu darinya, jadi aku mungkin akan menghalangi pekerjaannya jika tinggal di sini terlalu lama. Aku secara acak mencantumkan beberapa patah kata dan meninggalkan tempat itu.

[Beri tahu aku jika Kamu memiliki bunga tertentu yang tidak kamu butuhkan, aku dapat membelinya darimu]

... .. Seorang penjual bunga, membeli bunga dari pelanggan?

Berjalan kembali ke stasiun kereta, kata-kata aneh yang telah dipancarkan gadis kecil itu ke arahku masih menggema di telingaku.

Selama aku berada di kereta api, aku mulai mengingat gosip yang aku dengar di hari-hari SMA-ku.

Rumor penjual bunga di sudut jalan.

Gadis kecil cantik yang muncul di sudut jalan malam dan menjual bunganya ke orang-orang yang lewat.

Selain fakta bahwa dia membuka kiosnya pada malam hari, tidak ada yang tahu dari mana asalnya.

Mengambil jalan yang sama seperti hantu dan terwujud secara tiba-tiba di tempattempat tak terduga, dikatakan bahwa semua orang yang melihatnya mendapatkan banyak uang.

Sebuah cerita konyol yang dibuat untuk menarik minat kaum muda. Sampai lulus, aku tidak pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa mereka telah menemuinya.

[Seorang gadis penjual bunga kecil membawa kebahagiaan bersama, ya ...]

Siapa tahu, mungkin mereka orang yang sama.

Sambil memikirkan gadis kecil itu, wajah Misaki tumpang tindih.

Bukan wajah Misaki yang sudah matang yang baru saja aku lihat sebelumnya, tapi yang masih memiliki perasaan bersalah yang tak lagi ada di masa SMA-ku.