Rabu 2 February 1471.
Perempuan muda cantik berambut hitam panjang dan mata biru pucat. Memakai baju dan celana yang tidak layak dipakai. Dia juga tidak memakai sandal atau semacamnya. Lalu tangan dan kakinya diborgol bersama tahanan lain Berjalan pelan di lorong-lorong rahasia bawah tanah. Semuanya di tempatkan pada tempatnya masih-masih. Perempuan ini bernama Kasih.
"Sepertinya hasil lemparan dadu ku. Menginginkan aku untuk terus dimakan oleh ular."
Setelahnya, Kasih pun tidur. Besoknya, waktu jam istirahat setelah memukul batu tiba-tiba dia dipukul oleh salah satu orang yang besar badannya hingga tertidur di tanah. Kemudian dia dikeroyok hingga babak belur. Begitu juga dengan hari-hari yang terus berlalu, melewati hari yang sangat miris, dan menyedihkan. Setiap mereka para tahanan lain mendapatkan moment dimana pengawas tidak ada atau tidak melihat bahkan tidak menyadari mereka, mereka terus dan terus menyakiti Kasih. Bulan Febuarinya penuh dengan rasa sakit yang terus datang padanya. Bulan pun berganti, pada saat Malam Minggu 10 Maret 1471. Di penjara mengalami kebakaran akibat salah satu ruangan tahanan mengalami lampu yang meledak gara gara konslet. Tidak tau apa yang sebenarnya terjadi, yang pasti lampu di setiap lorong depan tahanan meledak dan ledakannya terdapat percikan yang memicu api menyala. Begitu juga dengan ruangan tahanan, lampu berpecahan di setiap ruangan satu persatu pecah dan terbakar. Saat itu Kasih tidur lalu terbangun akibat berisik lampu pecah, dia kaget tiba-tiba api yang berkobaran di luar ruangannya. Menjenguk diluar dengan kasar, dia sudah tidak punya harapan untuk hidup karena api yang panas bertebaran dimana-mana. Suara orang-orang tahanan berteriakan minta tolong, mereka terbakar dan gosong secara cepat. Keadaan yang tidak normal ini Kasih depresi, berpikiran bahwa dia sudah tidak bisa di selamatkan. Dia juga mengingat bahwa ada beberapa organ tubuhnya yang patah dan bengkak sehingga dia semakin pasrahkan diri kepada api tersebut. Kasih berjalan dan menyatukan dirinya ke dinding menyeretnya kebawah hingga duduk termenung Menunggu ajal menjemput.
"Aku akan mati? Setelah melihat keluargaku di bunuh habis-habisan depan mataku, di fitnah oleh warga sekitar sebagai pelaku yang membunuh keluarganya sendiri, dipenjarakan di sini lalu disiksa dan dipukuli oleh orang-orang rendahan, kemudian diakhir cerita aku mati dibakar....Apa ini cerita yang menarik bagi tuhan?"
Kasih pun tertawa putus asa. Apinya semakin besar dan semakin dekat ke ruangannya, diambang putus asanya. Harapan datang ketika dia mengedip mata. Pedang Katana Tiba - tiba bergeletakan di depannya.
Pedang katana nya memiliki ciri:
Tsuka (ę, Tsuka ?menyala. "pegangan") memiliki balutan biru pucat, dengan ornamen hitam, dan Tsuba (é, Tsuba ?menyala. "penjaga") adalah bulat. Dalam angsuran selanjutnya, pelindungnya berbentuk oval, dan tsuka-ito tampaknya dikepang dari bahan putih dan biru muda. Bilahnya juga diberi garis temper yang menonjol, dan dengan pelindung perunggu berornamen dengan motif salju.
Karena Kasih tidak ingin hidupnya berakhir maka dia meraihnya.
"Aku kira kesempatan untuk bermain ular tangga ini sudah habis."
Berbalik badan menghadap dinding yang terbuat dari material kuatnya melebihi besi, Kasih berkuda-kuda untuk memotong dinding semen tersebut.
"Aku pikir, Pedang katana ini, pastinya bukan sembarang pedang. Maka dari itu aku ingin mencoba untuk membelah dinding ini."
Mengonsentrasikan dirinya pada pedangnya. Kasih menebas tak terhitung jumlahnya sehingga dia tampak hanya menghunus dan menyarungkan kembali pedangnya. Distorsi berbentuk kerucut menonjol keluar dari Kasih dan distorsi hitam dan biru. Alih-alih langsung muncul di sekitar dinding, distorsi itu membentuk bola biru tua yang menyebabkan distorsi yang lebih intens yang kemudian ditutup dengan garis miring. Butiran pasir dinding selesai berjatuhan. Seperti dugaannya, pedang katana yang dipakai bukanlah pedang biasa. Selanjutnya, karena api semakin banyak dan semakin dekat dengan dirinya.
Akhirnya dia pun berlari melintasi lorongan yang penuh dengan api di kedua sisi, hingga akhir Kasih selamat dan meninggalkan penjara. Dia sudah berlari cukup jauh dari penjara sambil membawa pedang katana tadi. Tak lama kemudian, suara ledakan dari belakang muncul setelah dia sudah jauh berada di hutan. Melihatnya ke langit, asap yang tebal menyelimuti. Kasih mengabaikannya dan berlari lagi hingga dimana dia menemukan sebuah perkemahan kecil, api unggun yang tampak menyala dan satu tenda kuning berdiri di belakang api unggun.
Kasih bersembunyi dibalik pohon karena dia melihat pemilik dari tenda, seorang kakek yang keluar dari tenda kemudian beberapa saat dia duduk di depan api unggun. Kakek tua yang berjenggot panjang. Berambut putih mata coklat. Dia tampaknya sedang menunggu seseorang.
"Hei nak, pengintip seperti itu tidak bagus. Jika mau, kesini lah!"
Kasih terkejut dia mengetahui, keberadaannya. Karena kasih mencurigainya, kasih berjalan perlahan menuju dia sambil memegang gagang pedangnya.
"Bagaimana kamu tau aku ada di situ?"
tapi Kakek tersebut tetap tenang melihat api unggun yang menyala.
"Ohohoho... Pedangmu itu sebenarnya punyaku. "
"Kamu?"
"Benar. Duduklah, aku akan sedikit bercerita."
Kasih pun duduk berhadapan diantara api unggun.
"Kenapa kamu memberiku pedang ini?"
"Dia sudah menemukan tuan yang baru."
"Tuan?"
"Benar nak, saat sampainya di sini, dia secara tidak langsung berteleport dengan sendiri ke dirimu. Aku juga saat itu terkejut melihat Pedang katana yang bernama 'Neela Laws' . Pedang yang lebih tajam daripada pedang yang pernah dibuat oleh manusia, tidak berada di tanganku lagi."
"...Ditanya apa dijawab apa. Dasar tua."
"Pedang katana Neela Laws itu memiliki hukum sendirinya. Dia akan mencari pengguna atau tuan yang layak baginya. Tidak sembarang orang yang mampu mengunakannya."
"Ohh ternyata begitu."
Kakek tersebut bangun dari duduknya lalu berjalan ke tenda.
"Aku sudah mengantuk. Jika kamu ingin tidur maka tidurlah disana. Kau pasti akan mempelajari sesuatu yang tidak pernah diajari siapapun."
Dia meninggalkan Kasih dan tertidur pulas. Kasih hanya bisa diam di depan api unggun.
"Mempelajari sesuatu yang tidak pernah diajari katanya?"
Kasih pun berbaring, melihat-lihat bintang malam. Tampil indah disaat jauh, kemudian dia mengantuk dan tertidur. Beberapa jam kemudian, api unggun padam. Suasana menjadi dingin. Kasih tidak tahan dengan kedinginannya pun terbangun. Dia berdiri kegigilan, berusaha mencari sesuatu untuk menghilangkan rasa dinginnya. Pada saat itu dia menemukan kedua batu dan setumpuk ranting kayu. Kasih menemukan ide yang baik, disusun satu persatu ranting kayu lalu menggesek-gesek batu di atas ranting berharap dia akan berhasil menyalakannya dengan mudah hingga matahari mau muncul, Kasih baru saja berhasil menimbunnya. Lalu jadilah api unggun yang menyala baginya, tapi suasana sekarang mulai tidak sedingin tadi. Kasih kemudian ingin tidur kembali dan dia tertidur. Tak lama kemudian dia terbangun. Kakek keluar dari tenda dan bertanya padanya.
"Apakah kamu sudah mempelajarinya?"
Kasih masih terlihat Ngantuk menjawabnya.
"Tidak."
Lalu kakek menjawab.
"Makhluk hidup jika sudah merasa nyaman, dia akan tetap ingin bersamanya. tapi disaat kenyamanan itu pergi, dia akan berusaha keras dan tak mungkin mau menyerah karena dia tak ingin kenyamanan itu hilang dari dirinya hingga saat tujuannya sudah tercapai. Dia merasa lega tapi hanya sementara."
Kasih tak lama kemudian tersadarkan. Semalaman dia seperti apa yang kakek tua itu bilang pada dirinya tadi.
"Artinya..." Belum habis berbicara kakek itu menutup membicarakan dengan berkata
"Tidak perlu mengucapkan nya. Jika kau mengerti maka tanamkanlah pada hatimu."
Beberapa saat kemudian, Kasih meninggalkan kakek itu.
"Terima kasih, kakek tua."
Kakek tersebut tersenyum lepas setelah dia mengerti. Kenyamanan hanyalah sesaat, jika sudah hilang. Jangan mencarinya, walaupun kamu mendapatkannya itu tidak akan lama dan tidak akan sama seperti dulunya.