Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

CINTA DI SEKOLAH JINGGA

TB_zAHRA
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.2k
Views
Synopsis
Dep dap dep dap dep dap..... Derap langkah kaki menggema di sepanjang lorong bangunan lantai dua. Seorang pemuda berlari, lalu jatuh tepat di depan toilet wanita lantaran tubuhnya menabrak pria tambun berpakaian rapi berwarna mocca. "Em, maaf Pak.” Pemuda tujuh
VIEW MORE

Chapter 1 - SEKOLAH JINGGA

Dep dap dep dap dep dap.....

Derap langkah kaki menggema di sepanjang lorong bangunan lantai dua. Seorang pemuda berlari, lalu jatuh tepat di depan toilet wanita lantaran tubuhnya menabrak pria tambun berpakaian rapi berwarna mocca.

"Em, maaf Pak." Pemuda tujuh

belas tahun itu segera bangkit.

"Ish, Sultan ... kenapa musti lari?" Pria paruh baya yang terlihat buruburu itu membenahi letak ikat

pinggangnya. Sultan nyengir.

"Tapi kenapa Bapak keluar dari toilet wanita?"

Salah tingkah tak bisa menjawab, pria yang dipanggil Pak Agus dan dikenal sebagai guru BK itu meninggalkan Sultan dengan mengayunkan tapak tangannya.

Sepersekian detik, datang wanita cantik keluar dari ruangan yang sama dengan Agus, membenarkan posisi roknya.

"Sttt ... jangan bilang siapa-siapa!"

Sultan bergeming melihat tanpa kedip hingga wanita usia tiga puluhan itu hilang ke balik dinding menuruni anak tangga.

"Apa yang mereka lakukan? Pak Agus dan BuRisma....." Sultan berpikir sejenak. "Ah bodo!"

Siswa polos itu tak mampu menerka apa yang terjadi.

Ingat sesuatu, Sultan kembali berlari menyusuri lorong bangunan hingga ke ujung, menuju loteng dimana tiga temannya sudah lebih dulu ada di sana.

"Dep, dap, dep, dap, dep....:

Derapnya semakin cepat, hingga tersengal saat berhenti di depan temannya.

»

"Bray... Bray Sultan membungkuk dengan tangan memegangi dua lutut, nafas ngosngosan membuat pundaknya naik dan turun.

"Sompret, Lo kenapa si'?" Rayyan yang merupakan ketua geng 'perjaka' melepas rokok yang di sesapnya, mematikan dengan menyematkan ke dinding loteng yang hanya setengah meter.

Sejak setahun lalu, tepatnya di semester dua kelas sepuluh mereka tiga sekawan mengikrarkan diri menjadi satu bagian dengan nama

'Perjaka's Geng". Nama perjaka lahir dari situasi yang terjadi kala itu, di mana Rayyan, Sultan dan Raka menjadi korban bully seniornya. Pasalnya, karena mereka sama-sama jomlo, mereka sepakat menamai geng mereka dengan sebutan "Geng Perjaka, disusul setengah tahun kemudian, Udin bergabung dengan mereka.

SMU Jingga memang dikenal sebagai sekolah swasta paling nyeleneh, bahkan banyak orang menyebutnya "Area Bebas Tuhan". Bukan hanya di kalangan siswa, kebobrokan moral itu terjadi juga di kalangan guru-gurunya. Hanya beberapa yang bertahan dengan 'kebaikan" sebab masih

mau menggunakan akal, walau hanya versi takaran manusia tanpa dibimbing wahyu.

Meski sebelumnya sekolah tersebut pernah terbakar, tak lantas menjadi 'koreksi' dan "perenungan' bahwa musibah sebenarnya adalah bentuk teguran bagi mereka yang doyan maksiat.

Sebelumnya, bukan tempat itu bukanlah sebuah bangunan sekolah, akan tetapi gudang tua tak berpenghuni. Sampai belasan tahun, pemilik tanah berusaha menjualnya namun tak ada yang berminat karena cerita dan kejadian mistis di dalamnya, yang kemudian oleh ahli warisnya, bangunan

tersebut dipercayakan pada sebuah yayasan untuk dibangun sekolah. Sehingga masyarakat desa Jingga dengan wilayah luas dan penduduk yang banyak tak perlu lagi jauh-jauh sekolah ke kota.

1?

"Itu ... itu ... itu, ada guru baru NapasSultan masih terengah. Sedang ketiga temannya memicingkan mata.

"Emang kenapa kalau ada guru baru?" tanya Udin datar.

"Biasa aja kali, ada guru baru aja kek liat setan Lo!" Raka menimpali.

"Udah-udah, Lo dan Lo diam!" Rayyan menunjuk pada Udin dan Raka. Keduanya 'mingkem' seketika. "Atur napas Lo, bicara yang jelas.

Key ...!" sambung Rayyan, sembari memegang pundak Sultan.

Kini Sultan berdiri tegak, mengatur napas, menghirup dan menghembusnya dalam,

"Begini Bray, bukan guru biasa tapi .. tapi ... seorang Ustadz!"

"Apa?!" Ketiganya kompak berseru, terkejut dengan mata melebar.

"Wah gawat ini Nan, bisa-bisa markas utama kita lenyap karena guru baru itu." Raka tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

Tak pelak Udin ikut khawatir meski belum tahu duduk masalah yang sebenarnya.

Markas utama itu adalah mushola yang sudah dialihkan fungsi karena sejak dibangun lima tahun lalu belum digunakan sebagai mana mestinya. Setelah senior mereka sibuk dengan kegiatan persiapan ujian dan kelulusan, geng perjaka berhasil mendudukinya.

Mereka semua saling pandang.

"Tenang, ini tahun ketiga gue di sekolah ini. Dan asal Lo-Lo tau. Bukan Cuma satu guru agama yang anakanak bikin gak betah di sekolah ini, tapi tiga. Dan gue ikut andil untuk itu. Dan karena gue sekarang jadi senior paling beken dan disegani, gue akan memimpin investigasi pengusiran guru itu kali ini." Rayyan

bicara mantap, membuang semua kecemasan yang ada di kepala anak buahnya.

"Oya Nan, tadi gue lihat Zara digodain sama Fadli. Gue takut cewek sholeha itu ternodai." Raka membuka obrolan.

"Bodo." Rayyan menjawab datar, dengan posisi menyandar, matanya melihat ke arah langit dengan pikiran menerawang entah kemana.

"Gak ada kali cewek sholeha gak nutup aurat" Udin menyahut ucapan Raka, "muslimah tuh wajib nutup aurat. Kalo gak, ya ahli neraka! Karena mereka gak akan mencium bau surga yang .....

"Ah ceramah lagi, kenapa juga Lo kabur dari pondok kalo Lo suka ceramah kek gini!" Raka menoyor tubuh Udin.

Rayyan dan Sultan berdecih, ikut heran melihat sikap Udin.

"Bukannya bagus ya, kalau ada Ustaz di sekolah ini. Jadi kalian yang badung-badung ini bisa tobat karena ada yang mengingatkan." Udin mengaduk es serut dengan sedotan yang dipegang, sesekali menyedotnya.

Semua anggota geng melihat ke arahnya.

Tak nyaman dengan pandangan teman-temannya, dia membuka

suara. "A, ap, apa ada yang salah?" Udin nyengir.

"Ka, ambilin senjata gue!" Perintah Rayyan pelan.

Raka mengangguk.

Kini Udin dihujani Rayyan dengan pukulan dari sebuah buntelan majalah.

"Au, au, au..." Udin meringis. "Iya, iya. Maaf, gue keceplosan!"

"Sekali lagi Lo bilang kita-kita badung. Habis Lo dimakan Bos!"

Udin masih meringis dan mengusap-usap pundaknya, sedang Rayyan tersenyum arogan.

"Emang itu buntelan apa sih? Sakit

juga kena tangan gue?"

"Tunggu sampe kepolosan Lo hilang, baru gue kasih tau! Setelah Lo tau isi bundelan ini, saat itulah Lo sah jadi anggota kami." Kini Rayyan mengayunkan ke kepala Udin.

Seperti sebelumnya Udin cepat mengusap bagian yang terkena pukulan.

"Trus sekarang?"

"Lo masih magang dodol. Hahahha." Tawa Raka lepas begitu saja, disusul Sultan dan Rayyan. Udin nyengir.

"Jujur gue udah nyaman kek gini, kalo dulu sering dibully, sekarang gue bebas ngebully anak-anak semau

gue karena punya geng." Sultan terlihat sedih.

"Benar, sekolah bobrok ini tempat terindah buat gue." Dengan nada lemas, Raka menyandarkan tubuh ke dinding loteng.

"Udah, udah. Gak usah cengeng. Kita bisa manfaatkan isu keangkeran sekolah ini buat ngusir tu guru baru" Rayyan menyulut rokok baru, kemudian menyesapnya dalam.

"Ngomong-ngomong soal angker, emang gimana awal mulanya sih? Jujur meski gue sering dengar tapi belum tau sebabnya." Tanya Udin yang penasaran.

"Sttt jangan keras-keras. Kata

nenek gue, mereka bisa mendengar kita." Sultan berbisik. Suasana ramai mendadak terasa senyap dan aneh.

"Alahhhhh," Rayyan mengayunkan tangan. "Gak ada yang begituan! Udah lama gue di sini gak pernah nemuin yang begitu-begituan." Pria tampan usia sembilan belas tahun itu menghembuskan asap rokoknya.

"Kata Ustaz gue di pondok dulu, gak ada yang namanya hantu!" Udin menimpali ucapan Rayyan.

"Itu karena Lo berdua belum pernah liat penampakan, kek kita berdua. Ya kan Ka?" Sultan bicara meyakinkan.

Raka mengangguk berkali-kali.

'Wusss" Angin kecil menerpa mereka, membuat Raka dan Sultan menelan ludah karena takut, yakin itu sebuah tanda penghuni astral sekolah menyapa mereka karena membicarakan keberadaannya.

"Heh kalian," seorang siswi wanita tiba-tiba sudah di depan pintu loteng, rok pendeknya bergerakgerak karena angin di loteng.

Empat pemuda itu kini menatap ke arah gadis berseragam.

"Rayyan, Lo dipanggil kepsek. Urusi noh guru baru" Siswi itu menyampaikan maksudnya.

"Duh males banget, kenapa gak Lo aja sih Net?!" Rayyan masih

menyesap rokoknya.

"Gila aja Lo! Gue Cuma sekretaris, harusnya Lo jadi ketua OSIS kerja yang bener donk. Jangan Cuma sibuk sama geng jomblo Lo!" Janet mengacak pinggang tak terima.

Rayyan mematikan rokoknya, mendekat pada Janet. "Emangnya Lo gak jomblo?"

Janet gugup karena didekati seseorang yang selama ini mengisi hatinya. berusaha tenang. "Gue jomblo karena gue terhormat, gak kayak kebanyakan cewek di sini!" Ucapnya ketus. "Udah ah, buruan ...!" Janet mendorong tubuh Rayyan menuju lantai bawah. "Lo semua! Jangan kesorean di tempat ini!" Kini

tangan gadis cantik itu menunjuk pada tiga siswa geng perjaka. Mereka berdua pun meninggalkan loteng.

Melihat Rayyan dan Janet hilang dari pandangan, Raka buru-buru menarik tangan Sultan pergi dari loteng dengan melihat ke sana ke mari. Disusul Udin yang merasa aneh dengan tingkah teman-temannya.

Di ruang kepala sekolah, selain kepsek, ada Pak Agus, juga seorang pria dengan wajah berseri-seri yang merupakan guru baru dan baru saja tiba hari ini ke sekolah. Dari pakaiannya yang rapi, tak terlihat berbeda dengan guru lain, hanya saja di Sekolah Jingga dalam hitungan detik semua kejadian akan

menyebar ke seluruh sekolah karena kebiasaan beberapa siswa yang gigih menguping dan menyebar berita. Begitu pun perkenalan guru baru bernama Luthfi satu jam lalu di ruangan itu.

Setelah lulus pondok empat tahun lalu, Luthfi meneruskan kuliah di STAI dan begitu lulus mendapat tawaran kerja di Desa Jingga. Meski awalnya menolak karena akan menikah, tetapi ia memutuskan mengambil tawaran itu setelah ayah sang wanita menjatuhkan pilihan pada lakilaki lain yang lebih mapan karena memiliki pekerjaan tetap. Berbeda dengan Luthfi, meski dia anak orang kaya belum memiliki pekerjaan dan mandiri finansialnnya.

"Ini dia ketua OSIS di sekolah ini." Kepala sekolah menunjuk pada Rayyan ketika dia memasuki ruangan bersama Janet.

Semakin ' mendekat, Rayyan menyalami Luthfi, mata mereka saling menatap. Dengan senyum di antara keduanya yang berbeda arti, jika Luthfi tersenyum tulus, Rayyan tersenyum dengan pikiran akan menyingkirkan lelaki di depannya tersebut.

D

"Fiuhh ..." Udin kesusahan mengelap keringat di keningnya, dengan membawa kresek berisi empat cup minuman, dan beberapa camilan.

Hari terasa terik, untuk merayu teman-temannya hari ini ia sengaja membawa camilan. Juga tugas fisika mereka yang sudah ia kerjakan dan persiapkan dalam tas.

Diletakkanlah makanan dan minuman, lelaki berkulit sawo matang itu bergumam,

"Kenapa Rayyan belum selesai juga. Di mana yang lain? Dasar senior penakut ... herman gue." Bibirnya berdecih mengingat Sultan dan Raka yang kekanak-kanakan.

Baru beberapa detik Udin berada di loteng, tiba-tiba matanya gagal fokus terhadap benda yang terikat di salah satu besi panjang yang menempel di dinding loteng

sebuah tali.

"Hei tali apa ini? Sejak kapan ada di sini?" Dengan penasaran Udin memegang tali di hadapannya dan mengikuti.

Sampai ia mendongak ke luar loteng kepala melewati dinding setengah meter, ada sesuatu yang terlihat di bawah sana.

Benda dengan warna seperti pakaian yang ia kenakan, seperti sosok tubuh berlumuran darah.

Merasa tak begitu jelas benda apa yang dilihatnya, karena dirubung belukar, segera ia mencari teropong kecil yang diletakkan di dalam tas gendongnya untuk memastikan.

Matanya membulat sempurna.

""

"Ma ... ma ... mayyaaaaaatt .... ! Suaranya memekak, berlari pergi ketakutan.

D

Setelah sampai di musala, Luthfi benar-benar tak menyangka.

"Apa ini benar musala Na .. ehm siapa tadi?" Luthfi memutar jari telunjuknya berusaha mengingat namasiswayangsedangbersamanya.

"Rayyan, Pak!"

"Ya Rayyan. Tempat ini lebih layak disebut gudang berantakan ketimbang musala." Jari-jari Luthfi kini sibuk menggores tebal debu

di atas lemari tempat menyimpan mukena dan sajadah. "Sepertinya kita akan bekerja keras."

"Kita?" Rayyan merasa ucapan guru baru itu adalah beban yang diletakkan di pundaknya tiba-tiba.

Langkah demi langkah, memasuki musala yang berukuran sekitar 5x10 M, kaki Luthfi berhenti saat menginjak sesuatu. Benda kotor berbaur debu, berbentuk balonbalon kecil. Ada sekitar lima buah.

"Apa ini?" Luthfi menjumput satu dan mengangkatnya tepat di depan wajah Rayyan.

"Itu kaya balon, ya, Pak? Mungkin punya Jingga, tapi bauuuu!" Hanan

menutup hidungnya. "Balon? Siapa Jingga?"

"Jingga itu anak Ibu Risma, hampir setiap hari dia main di sekolah ini."

"Coba perhatikan lagi, ini bukan mainan anak-anak." Luthfi mencurigai sesuatu.

Rayyan memicingkan mata. Menyelidik. Lalu geleng-geleng tak mengerti.

"Ini kondom!" seru Luthfi.

"Apa?! Bukan Pak, saya pernah melihatnya di google, bukan seperti ini bentuknya." Rayyan membantah ucapan Luthfi.

"Ck. Aku sering patroli dan

mendapati di kos-kos mahasiswa, waktu masih kuliah dulu."

"Oya Pak? Pantes bau banget." Rayyan ikut terkejut, walaupun dia pernah memegang kondom saat disodori seniornya dulu, tetapi tidak tahu jika bentuknya bisa berubah saat terisi sesuatu.

Batinnya merutuk, "Sialan, siapa yang berani maen di markas utama kami?" Sejurus kemudian dia bicara, "Oh mungkin itu Pak, ada yang mampir sekolah di saat kosong, dan, dan mereka begituan ...."

"Ini lebih cocok disebut pesta seks, tapi orang gila mana, yang main di tempat ibadah?!"

"Kami akan membersihkannya, Pak."

"Sepertinya kita kembali ke masa jahil. Huft." Luthfi menghela berat.

Keributan mendadak terdengar di luar musala, semua berlarian menuju belakang sekolah.

"Ada apa?" tanya Luthfi, keduanya saling pandang.

Rayyan mengangkat bahunya. Lalu mereka bergegas keluar, mencari tahu apa yang terjadi.

Seseorang menghampiri dua pria yang keluar dari musala itu.

"Yan, ada mayat di belakang sekolah."

Mereka pun berlari, ikut berkerumun di sana.

Ramainya orang, tanpa disadari ada seseorang yang meletakkan sesuatu di tas jinjing Luthfi.

Seorang gadis, terkulai, tubuh penuh darah karena jatuh tepat mengenai batu besar yang ada di semak-semak. Dilehernya masih terikat tali. Gadis itu seorang sekretaris OSIS bernama Janet.

"Apa dia bunuh diri?" Lutfhi melihat ke atas di mana ada tali lain yang putus di sana. Diikuti mata Rayyan tertuju pada arah yang sama. Mereka tak menyangka, belum ada satu jam berpisah dengan Janet, malah sekarang bertemu dalam keadaan

tak bernyawa.

Kepsek, Agus, Risma dan guru lain berdatangan.

Ada satu sosok aneh memegang gunting besar, bicara lantang.

"Penghuni bangunan ini sudah marah. Siapa yang suka bermainmain di sana!?" Tukang kebun yang sejak awal berdiri bangunan sekolah sudah bekerja di sekolah itu mengayunkan guntingnya ke arah loteng. "Harusnya kalian menghormati penghuni bangunan ini!" Sambungnya lagi, matanya mengitari semua orang.

Semua orang berbisik-bisik. Luthfi semakin mendekat pada mayat,

dilihatnya tali tanpa menyentuhnya.

"Tali ini di potong! Ini pembunuhan!"

Semua terkejut.

"Tidak mungkin, bagaimana jika dia memotongnya sendiri?" Ucap seorang guru.

"Lihatlah, ada beberapa lebam di bagian tubuhnya." Luthfi menunjuk untuk meyakinkan.

"

"Tapi Guru lain hendak menimpali, tapi segera dipotong ucapannya oleh kepala sekolah.

"Sudah, sudahjangan berspekulasi, panggil polisi."

D

Malam hari di sebuah rumah kecil, rumah dinasyang disediakan yayasan untuk guru dari luar, Luthfi sedang mengatur perabot sederhana yang dipersiapkan untuknya.

"Apa ini? Ini bukan miliku," gumamnya mengeluarkan gunting kecil dari tasnya. Menggeleng pelan, dan meletakkan begitu saja di laci meja.

Meski hidup bergelimang harta, dia terbiasa hidup mandiri dengan bekal secukupnya dari orang tua. Sehingga tidak sulit untuknya beradaptasi di kampung yang jauh, dan serba seadanya. Sekedar belanja pun ia harus menempuh belasan meter, hanya ada warung-warung

kecil di sekitar rumah.

"Assalamualaikum." Suara di depan pintu menghentikan aktifitasnya seketika.

Dua sosok tamu sudah ada di depan pintu, Ridho dan Pak Jarwo seorang warga setempat paruh baya. Lelaki yang merupakan tokoh desa itu datang mengantarkan pemuda yang mencari rumah guru yang baru dikenalnya.

"Waalaikumsalam." Ia raih gagang pintu, membukanya.

"Ridho, sampe juga Lo Bro." Luthfi mempersilakan keduanya masuk.

"Iya untung saja tempat terpencil ini terlacak GPS." Ridho, teman

sekampus dan satu kostnya dari kota itu melepas sepatu, "Oya sebentar gue ambil sesuatu di motor." Ia keluar.

Luthfi mengangguk, "Bawa apa Lo? Repot-repot aja Lo. Tapi bawanya banyak kan? Haha."

Ridho berlalu dengan tersenyum, Pak Jarwo terkekeh mendengar guyonan Luthfi.

Tidak sampai dua menit, Ridho kembali masuk.

"Ini aneh aku tadi meletakkan benda itu di motor. Kenapa bisa tak ada?"

"Ada apa?" Luthfi menangkap raut Ridho yang tak wajar.

"Itu ... gue tadi beli martabak dan soto babat kesukaan Lo. Tapi aneh, gue cari gak ada. Jadi cuma ada buah ini yang gue beli di kota tadi siang." Mengangkat kresek berisi buah di tangan kanannya.

Luthfi mengernyitkan alis, "Emang di mana belinya?"

Di pasar besar, di pertigaan setelah masuk ke desa ini.

Luthfi dan Pak Jarwo saling pandang.

"Tidak ada pasar di sini. Semua orang kalau mau beli yang macammacam harus ke kota. Gue sudah keliling desa kemaren, gak ada pasar di desa ini. Harusnya ... yang Lo

lihat saat masuk desa itu bangunan sekolah, SMU Jingga tempat gue ngajar."

Pak Jarwo menghela nafas.

"Itu pasar jin Mas, orang yang pernah melihat, akan mendengar orang-orang tertawa bercanda jual beli di sana, meski sudah diganti bangunan beberapa kali. Mereka masih juga tak mau pergi."

Luthfi dan Ridho melebarkan matanya.

"Jadi banyak kejadian dulu di sana. Bangunan gudang tua, awalnya hanya membuat orang pingsan, namun setelah kasus pemerkosaan di tempat itu, beberapa kali menelan

korban. Siti yang sepuluh tahun lalu digarap rame-rame oleh pacarnya, hamil dan menikah. Entah kenapa saat waktu melahirkan dia sudah ada disana. Untungsaja ada yang melihat saat ia berjalan ke sana, hingga bayinya bisa diselamatkan walaupun nyawa wanita itu melayang karena perdarahan pasca melahirkan." Pak Jarwo menceritakan tentang bangunan tua yang kini menjadi bangunan sekolah.

Luthfi dan Ridho memegangi leher belakang yang meremang.

"Apa mungkin kematian siswi di sekolah bernama Janet tadi ada kaitannya?" Luthfi bicara pelan. Ridho sontak menoleh, melihat

kearahnya, diikuti desahan panjang Pak Jarwo.

"Kalau boleh saya ingin bercerita," sambung pria paruh baya itu.

"Ya, Pak. Silakan. Kami juga ingin tahu banyak hal tentang kampung ini." Luthfi menyahut.

D