tinggalkan adiknya jadi korban pesta seks Dimas dan teman-temannya.
Begitulah, dalam keluarga, Siti sudah dijaga dengan mendisplinkan agama namun di luar sana banyak sekali bajingan yang siap menghancurkannya. Santri lugu itu terus dirayu dengan sosok alim Dimas, hingga akhirnya takluk juga. Ah, menyesal tidak ada guna. Kenyataannya, mana ada pacar sholeh?
Melihat kejadian yang menimpa Siti, masyarakat dipaksa keadaan untuk kembali percaya hanya dengan aturan Tuhan Yang Maha Esa, perzinaan tak tumbuh subur di Nusantara dengan berbagai modus
pelakunya.
Akhirnya, demi nama baik keluarga, pemuda-pemuda bajingan itu dibiarkan bebas. Dimaafkan begitu saja. Tak dibawa ke jalur hukum, apalagi viral di sosial media. Mereka memilih menutup mulut dan telinga, hanya berharap tak ada Siti lain di luar sana.
Dan Dimas selaku pacarnya menjadi penanggung jawab tunggal, harus menikahi Siti sebab kejadian malam itu membuat Siti hamil setelahnya."
Pak Jarwo mengakhiri kisahnya dengan sebuah pesan. "Itu hanya mitos, sebenarnya saya sendiri itu tidak tahu ....
"Lalu kenapa sampai ada rumor kuntilanak dan arwah wanita di sekolah Jingga, Pak?" Luthfi masih penasaran.
"Duh, serem amat, sih, Fi?" Ridho menimpali.
"Jadi ... kurang lebih setahun setelahnya, Siti nampaknya sudah lelah.
Sore itu ia keluar rumah, merasa frustasi dan putus asa. Dengan hanya memegang uang 20000 yang ia ambil dari kantong suami, ia bertekad pergi ke kota, mencari perlindungan. Baru setahun pernikahan, Dimas sudah bermain api dengan wanita lain.
Bukan hanya pengkhianatan, sejak
menikah Siti kerap kali menjadi bulan-bulanan suaminya sendiri. Kehamilan itu terjadi karena pergumulan dengan empat pria sekaligus.
Tentu saja meski sudah mau menikahi Dimas tetap memandang rendah pada Siti, dan tidak mengakui anak itu sebagai anaknya.
Keegoisan membuat Dimas lupa, siapa penyebab semua tragedi ini. Setelah hamil, ibu dan kakak Siti yang merasa malu, bahkan meninggalkan remaja yang hamil itu sendiri di desa Jingga, bersama lelaki bejat yang sudah menghancurkan hidupnya.
"Wanita haram! Aku menyesal, kenapa dulu sudi tanggung jawab
atas kehamilanmu yang belum tentu aku bapaknya." Ucapan Dimas meremas-remas seonggok daging merah dalam dada. Siti sadar, inilah hukuman untuk semua kebodohannya sendiri.
"Salah siapa Mas? Salah siapa aku hamil? Salah siapa sampai aku berhubungan dengan empat lelaki sekaligus? Katakan salah siapa!" Tak terima Siti berteriak padanya, ini bukan yang pertama ia melawan suami.
Merasa harga dirinya terluka, dia menampar dan bicara lebih keras, "Kalau tak terima kenapa tak minta cerai?! Aku akan menceraikanmu!"
Begitulah, pertengkaran hampir
terjadi setiap hari. Terakhir siang itu, saat Siti mengeluh sakit akibat kontraksi-kontraksi — palsu yang dialami beberapa bulan belakangan.
"Mas perutku sakit, bisakah kita ke rumah ibu saja?" Siti berusaha bangkit dari ranjang.
"Tak perlu, nanti waktunya lahir ibumu juga kesini. Lagian aku males ketemu kakakmu yang brengsek itu. Kamugakusahmanja dan dewasalah. Mereka juga belum memaafkanmu!" Dimas berlalu, dengan handphone ditangannya menelpon seseorang, tanpa menoleh untuk melihat reaksi sang istri.
Bagaimana Siti tak manja dan harus dewasa? Usianya baru enam
belas tahun, dan kehamilan ini membuatnya semakin labil.
"Hallo, ya Risma. Tunggu sebentar, Abang segera kesana!" Dimas berlalu begitu saja, dada Siti terasa semakin sesak.
Sudah lama ia berharap agar Dimas mencintainya seperti saat dia mengejar dulu, atau setidaknya dia sedikit iba dan bertanggung jawab dengan benar terhadap istrinyam. Namun semua itu sia-sia. Kini, semua menyisakan benci dan luka.
Segera Sitikemas pakaian, bertekad pergi ke kota. Setidaknya di sana ada ibudan kakakyangakan menguatkan.
Agar tak ada warga yang curiga,
Siti hanya membawa satu pakaian ganti di tas kresek. Berjalan, tanpa meminta bantuan siapapun mengantar.
"Siti mau kemana?" Mak Ijah penjual cendol di warung kecil dekat rumahnya menyapa.
"Ke rumah Dhira Mak," jawab ibu muda itu cepat.
"Ooh. Hati-hati perutmu sudah besar sekali." Mak Ijah mewantiwanti. Tentu saja besar sekali, karena memang sudah lewat hpl.
Siti mengangguk dan cepat pergi.
Tak ingin membuat orang lain curiga.
Sudah dua kilo Siti berjalan, tidak tahujam berapa akan sampai ke kota. Hari sudah mulai gelap, menjelang magrib.
Hujan turun, memaksanya singgah kegudangtua,yangkatawargaangker. Ah, terserahlah ... meski ia membenci anak dalam kandungannya itu, ia harus tetap menyelamatkannya sebagai penebus kesalahan.
Mulas yang ia rasa semakin menjadi-jadi, tidak seperti sebelumnya. Mencari tempat nyaman di pojok teras bangunan, ia bersandar.
Dalam gelap, sesekali terang karena kilatan cahaya petir, ia nikmati setiap rasa sakit itu sendiri.
"Apa aku akan melahirkan? Aku tak tahu. Bukankah sudah sering kabar di luar sana, ABG melahirkan dengan mudah di WC, kebun atau taman sekolah, mereka bahkan juga dihinggapi rasa takut dan khawatir oranglain tahu kondisinya.
Dan aku? Jelas kondisiku lebih baik dari mereka, aku yakin bisa melewatinya sendiri. 'Ibu maafkan aku'!"
la hirup nafas dalam-dalam, agar rasa ini berkurang.
"Aaarrrg!" teriak Siti akibat sakit benda yang keluar dari rahimnya, disusul tangis bayi yang bersahutan dengan derasnya suara hujan.
Tak peduli perih dan ngilu yang dirasa, bayi berlumuran darah itu diraih, diusap untuk melihat wajahnya, meski pusatnya masih menyatu dengan benda seperti tali panjang dari rahim Siti.
Darah terus keluar, sangat banyak. Hingga lantai penuh dengan cairan berwarna merah kehitaman. la pikir mungkin memang seperti ini orang melahirkan. Tak tahu sebab apa, semua rasa berbaur jadi satu, air terus keluar menggenangi mata, lalu jatuh menimpa wajah begitu saja. Membuatnya kesulitan melihat dengan jelas.
Terdengar suara deru motor, turun darinya dua orang. Pak Darman dan
istrinya, yang hari itu mereka pulang dari kota.
"Ya Allah, Siti ... apa yang terjadi Nduk? Pak cepat ambil air minum, telpon warga lain juga! Ya Allah ... bagaimana cara memutus tali pusar ini?" Ibu Darman sibuk melihat keadaan Siti dan bayinya, membuka gamis bagian bawah yang sudah kuyub dengan darah, lalu melihat apa yang terjadi.
Siti lemas, ia serahkan bayi itu pada Bu Darman tanpa mampu mengucap sepatah kata.
"Siti... Siti ...!" Ibu Darman terus memanggil, Pak Darman yang sebelumnya sibuk menelpon ikut memanggil dan mengguncang
tubuh Siti, semakin lemas dan lemas, hingga akhirnya meninggal.
Begitulah Siti meninggal di bangunan tua itu yang kini dibangun sekolah. Semua orang beranggapan Siti dibunuh hantu-hantu di sana dan sekarang pun ia jadi hantu dan menggentayangi banyak orang."
"Sebentar ... saya kurang setuju, maaf bukan kurang tapi tidak setuju sama sekali, jika Siti dianggap jadi hantu dan gentayangan. Sejatinya .. dalam Islam tidak ada orang meninggal lalu jadi hantu, itu penyesatan agidah namanya." Luthfi membantah dugaan Pak Jarwo.
Ridho mengangguk, setuju dengan apa yang Luthfi sampaikan.
"Entahlah ... kami ini miskin pengetahuan seperti itu Mas." Pak Jarwo pasrah terhadap sanggahan pria di hadapannya.
"Sayayakin, adaorangyang sengaja memanfaatkan kisah Siti untuk kepentingan pribadinya. Rumor tentang hantu sekolah terus ditiup agar orang tidak melihat penyebab sebenarnya." Luthfi memandang serius pada Pak Jarwo dan Ridho.
D