Dimas —suami Risma—tengah sibuk di kamarnya, mencari sesuatu. Terdengar ketukan pintu, tak ada yang membuka.
Ketukan kedua, belum ada yang membuka. Dengan malas Dimas bangkit, keluar kamar.
"Oli, pada kemana sih? Risma! Jingga!" Menengok ruang tengah
dan arah dapur, benar-benar tak ada orang.
Merasa terlalu lama tak ada yang membuka, tamu itu menggedor.
"Iya, iya!" Meminta si tamu sabar. "Siapa sih? Malam-malam begini, mana hujan, gak ada sopansopannya." Dimas merutuk kesal.
Saat dibuka, seorang wanita memakai gamis putih kumal dengan kerudung sedada, membelakangi pintunya.
"Siapa ya?" Dimas mengerutkan dahinya.
Wanita itu menghadap kearah Dimas, mata Dimas melebar tak percaya.
"Si... Si... Sitt .. Ti!"
Disela takut, dipandanginya sosok itu dari atas hingga ujung gamis bawahnya. Wajah pucat, tatapannya kosong. Hanya ada seraut kebencian dan dendam di sana. Semakin pandangannya ke bawah, bongkahan darah menyembul dari balik gamis bawah Siti. Kini seluruh pakaiannya terlihat kuyub dengan darah.
"Ti... iddaa ... aaak!" Dimas berteriak sekuat tenaga, agar Siti enyah dari pandangnya.
"Bang, Bang. Bangun Bang!" Risma mengguncang tubuh Dimas agar terbangun.
Dimas terengah-engah.
"Untung Cuma mimpi."
"Mimpi apa sih? Udah ah, gak usah kelamaan. Buruan siap-siap, aku sudah telat!" Risma menarik selimut Dimas. Wanita itu terlihat segar setelah mandi.
.Risma membuka pintu, "Aaaaarh!"
Dimas berlari ke arahnya, tak kalah panik, takut Siti benar-benar muncul di hadapan mereka.
"Ada apa sih?"
Di depan pintu kamar, Jingga mematung. Seorang anak usia sepuluh tahun itu masih memakai piyama berwarna cream, dengan rambut masih acak-acakan setelah bangun tidur. Belum lagi wajahnya
yang selaku terlihat pucat. Mirip penampakan hantu kecil.
"Aduh Jingga, ngagetin tante aja sih! Buruan mandi, kita sudah telat!" Risma mengomel, seraya melangkah ke dapur.
Sejak kecil, Risma memang tidak suka dipanggil ibu oleh Jingga. Hingga ia minta dipanggil sebagai tante.
"Apa ibu datang?" Parau suara Jingga bertanya datar.
Mata Dimas membulat, pertanyaan Jingga langsung mengingatkan pada mimpinya barusan. Sejak lama, Dimas merasa bahwa anaknya punya kepekaan terhadap keberadaan makhluk sebelah.
Sementara Risma menghentikan langkahnya dan berbalik. "Siapa? Ibu?" Risma berdecih, kini matanya melihat ke arah Dimas, "Sudah kubilang. Harusnya anakmu ini kamu taruh di panti, atau RSJ sekalian. Pembicaraannya selalu ngelantur." Tangannya menyilang di dada.
"Udah Jingga, cepat mandi!" Dimas tak ingin keributan berkelanjutan pagi ini.
.Di teras rumah.
"Hai Jingga!" Sambil memasang sepatu, Dhira menyapa Jingga.
Jingga hanya menatap tanpa membalas, meski ekspresinya datar Jingga sangat senang setiap kali
wanita itu mendekatinya.
"Nanti setelah kamu selesai sekolah, Bunda bisa ketemu kamu di SMU Jingga dan maen bareng." Dhira mengusap rambut Jingga yang diikat cepol.
Mendengar ucapan Dhira, wanita yang menyayanginya seperti anaknya sendiri itu, seulas senyum menghiasi wajah Jingga.
"Mau kemana kamu serapi itu?" Risma yang baru keluar melihat dengan heran penampilan Dhira.
"Oh, ini Bi. Tadi malam aku dapat pesan dari kepsek, kalau sudah ada guru agama baru di sana. Jadi sesuai janjiku sebelumnya, mau ngajar
ketika ada orang baik yang bisa diajak kerja sama ngajar Islam di sana. Yah, bibi tahu sendiri kan, kalau aku kemarin maksa ngajar tanpa ada teman yang sejalan, bisa-bisa aku ikut larut seperti kalian."
"Hemh, bicaramu itu pelan, runut, sok lembut tapi ujung-ujungnya selalu bikin mau muntah! Bukannya kamu udah nolak lamaran kepsek, kenapa sok-sokan masih mau ngajar di sana?"
Risma tersinggung dengan ucapan ponakannya itu.
Karena hanya terpaut lima tahun dan kuliah di kejuruan Islam, Dhira semakin berani bicara ceplas-ceplos pada Risma.
Dhiratersenyum, "Niatku mengajar karena Allah kok Bi. Bukan karena kepsek. Ya udah ya sayang, Bunda pergi dulu. Belajar yang bener dan jangan bikin ulah lagi." Diusapnya lagi kepala Jingga, kemudian pergi meninggalkan mereka.
Dimas sudah di atas motor,
"Ayo cepat naik. Kamu jangan terlalu keras pada Dhira."
"Kenapa Bang? Kamu sudah mulai ada hati sama dia?" Mata lentik Risma melotot.
"Cemburu niye. Ayo cepat Jingga! Ayah males denger istri ayah ngomel kalau sampai telat." Dimas menggoda Risma. Tak ayal cubitan
keras mendarat di perut Dimas. "Nu!"
"Rasain. Gak lucu tau!" Risma tersenyum masam.
"Kamu yakin pulang hari ini Dho? Tinggallah sehari-sehari lagi." Luthfi sibuk membenahi kemejanya.
"Ya iyalah, gue itu bukan jomblo Bro. Gak tahan lama-lama pisah sama bini. Ah pake gue lagi aku ngomong. Cinta itu memang bosa merubah semua. Hahaha."
Luthfi berdecak.
"Seindah itukah kehidupan pengantin baru?"
"Kalau mau tahu, buruan kawin."
Ridho bicara setelah menyuapkan mendoan ke mulut.
"Bukan aku gak mau, tapi emang belum ada yang mau aku nikahi."
"Halah, bilang aja belum bisa mupon dari Hanna. Kasihan banget sih lo! Udah lupain tuh, masih banyak gadis lain yang cantik, sholehah dan setia! Contohnya Zulfa noh, jelasjelas dia minta ditaarufin sama kamu malah kamu tolak dan tinggal ke sini.
Luthfi menghela, "Bukan belum bisa move on, aku sadar 100026 kalau jodoh itu mutlak di tangan Allah, jadi ngapain lama-lama sedih. Kalau soal
Zulfa, aku gak cocok dengan dia yang meski cantik dan auratnya tertutup