Tapi setelah melihat hidup Iris selama hampir seminggu, ada satu kesan yang menempel di kepala Emily selain semua kekurangannya. Yaitu kesan bahwa hidup Iris kelihatannya damai sekali!
Padahal harusnya dia tahu kalau ada banyak orang yang mencemooh dan bahkan stres karena sikap dan ketidak berbakatannya. Tapi anehnya terlepas dari itu semua, dia malah kelihatan seperti orang yang tidak punya beban hidup dan hanya senang menikmati kehidupannya yang santai.
Tapi bagaimana bisa dia bersikap seperti itu saat banyak orang mengharapkan kemampuannya? Walaupun, yaa, kalau belakangan ini sepertinya memang sudah tidak banyak lagi orang yang masih berharap. Bahkan raja dan ratu juga sudah tidak.
Kalau ratu sih memang seorang ibu penyayang yang baik hati. Jadi dia tidak pernah memaksa apapun. Tapi raja kabarnya dulu juga lumayan mengharapkan banyak dari Iris untuk seperti kakaknya, Arina. Hanya saja setelah dipaksa melihat kenyataan berkali-kali, raja pun akhirnya menyerah juga dengan harapan itu.
Sedangkan kalau kakaknya sendiri, tuan putri Arina...
"Iris!" Panggil tuan putri Arina sambil lari-lari kecil.
Kemampuan sihir mereka tentu saja berbeda. Tapi bahkan dari segi penampilan, sejujurnya kakak beradik ini juga tidak kelihatan segitunya mirip.
Dengan rambut abu-abu gelap yang terurai sempurna, Arina juga memiliki garis rahang dan mata yang tajam sehingga dia memiliki persona yang sangat berkarisma. Dibanding Iris yang masih agak mirip sang ratu, Arina justru terlihat lebih mirip dengan kakek buyutnya.
Ditambah, tidak seperti Iris yang sedang memakai pakaian latihan, Arina kelihatan mengenakan gaun formal seakan dia habis menghadiri pertemuan penting. Karena tidak seperti Iris, Arina memang tuan putri yang punya banyak pekerjaan negara.
"Ah, maaf kuganggu sebentar ya." Kata Arina sambil tersenyum ke arah Emily yang hanya bisa mengangguk. Walaupun di hatinya dia agak kesal juga karena sepertinya Iris hampir bisa menumbuhkan satu daun tadi.
"Iris, Aku merindukanmu!" Seru Arina sambil langsung memeluki adiknya.
"Kakak bukannya sedang, entahlah, rapat di suatu tempat gitu?" Sahut Iris.
"Aku bilang pada mereka Aku mau libur hari ini. Habisnya Aku sudah lama tidak melihatmu." Balasnya riang.
Melihat itu, Emily jadi teringat sesuatu lagi dari dokumen pembelajaran Iris. Di halaman 9, di sana tertulis kalau tuan putri Arina kadang-kadang suka mengajari Iris sendiri.
Malah, aslinya Arina memang sangat ingin kalau dia saja yang jadi guru pribadi Iris. Tapi karena dia adalah satu-satunya pewaris tahta yang bisa diandalkan, dia terlalu bagus kalau hanya jadi seorang pengajar. Apalagi untuk murid payah seperti Iris!
Menurut catatan, kemampuan Iris juga bukannya berkembang pesat saat diajari kakaknya sendiri, yang disebut-sebut sebagai salah satu penyihir terhebat di abad ini.
Tapi kalau ada hal yang bagus, yah, setidaknya Iris memang kelihatan lebih terbuka kalau bersama dengan Arina. Bahkan Emily yang memperhatikan dari jauh pun bisa melihatnya.
Melihat itu, Emily jadi terpikir sesuatu lagi. Bahwa betapa beruntungnya Iris memiliki keluarga yang tidak menekannya meski dia tidak punya bakat. Tapi, iya, orangnya juga hampir tidak sadar diri sih. Meski mungkin itu sebabnya dia jadi bisa menikmati hidupnya seperti itu.
"Oh, sedang coba sihir pengendalian tanaman ya?" Komentar Arina kemudian. "Bagaimana guru barumu? Dia kelihatan tidak menyenangkan!" Tambah Arina dengan tawa candanya.
"Dia banyak bicara!" Iris membalasnya dengan tawa juga. "Dan dia terus mengambil cemilanku."
"Mm, daripada sihir tanaman, bagaimana kalau Aku ajarkan sesuatu yang lain?" Kata Arina kemudian.
"Kemarin saat Aku bertemu dengan pedagang dari Kolia, kau tahu, tempat yang suka membuat pahatan batu itu. Aku dengar darinya kalau di sana, mereka tidak hanya memahat menggunakan alat pahat, tapi juga dengan tangan kosong. Jadi mereka melakukan sihir pada tangan mereka supaya bisa cukup keras untuk memahat." Ceritanya.
"Pakai kuku gitu? Memangnya itu sihir?"
"Sihirnya membuatmu bisa memodifikasi tanganmu sendiri. Aku contohkan ya." Jelas Arina yang kemudian mengulurkan tangan kanannya sendiri dan terlihat mulai berkonsentrasi.
Awalnya tangannya mulai memerah, kemudian berurat, berurat yang banyak, sampai akhirnya kukunya tumbuh panjang jadi tajam mengerikan.
"Kuncinya adalah mengendalikan aura sihir di tanganmu dalam putaran tertentu. Tapi ternyata lebih mengerikan daripada yang kukira ya." Katanya agak tertawa dan akhirnya mulai mengembalikan tangannya seperti semula. "Mempertahankannya juga agak sulit."
Agak tercengang, Iris terdiam agak lama. "...Kakak, kau terlalu banyak mempelajari sihir aneh. Jangan temui orang Kolia itu lagi, sepertinya mereka orang aneh." Komentarnya kemudian. "Lagipula itu termasuk sihir penguatan kan? Terlalu sulit buatku."
"Begitu?" Arina kelihatan berpikir lagi. "Kalau begitu, bagaimana kalau sihir perubahan udara? Kau bisa membuat udara jadi aroma tertentu lho."
"Eeh? Aku bahkan belum bisa mengendalikan udara yang biasa." Keluh Iris.
"Kalau begitu sihir hipnotis? Atau sihir membuat lem dari air?" Arina terus saja mengajukan sihir-sihir sulit pada Iris. Tapi karena Iris terus mengeluh tidak bisa, ujung-ujungnya Arina hanya menemani Iris mengendalikan sihir-sihir dasar seperti biasa.
Dari jauh, ternyata daritadi Emily menggunakan sihir untuk meningkatkan indera pendengarannya supaya dia bisa menguping seluruh pembicaraan kakak beradik itu. Tapi alih-alih mendapat ide untuk pembelajaran Iris, Emily malah tidak bisa berhenti takjub dengan tuan putri pertama itu!
Padahal semua sihir yang Arina sebutkan tadi adalah sihir-sihir tingkat lanjut yang sudah jelas penguasaannya sangat sulit. Tapi didengar dari cara bicaranya, kelihatannya Arina hanya melihat sihir itu satu-dua kali dan kemudian dia sudah bisa mempelajarinya sendiri?!
Rasanya dipanggil jenius juga masih penghinaan.
'Sebenarnya tingkat sihir tuan putri Arina sekarang sudah bagaimana?'
Dalam catatan yang belum diperbarui, sebenarnya tingkat sihir Arina sudah naik ke 'specialist', tingkat tertinggi yang bisa didapatkan oleh seorang penyihir secara formal. Tapi rasanya kemampuannya masih terus meningkat??
Padahal harusnya semakin tinggi tingkat sihirnya maka akan semakin sulit menaikkannya, tapi kelihatannya Arina masih lancar-lancar saja mempelajari sihir-sihir baru. Orang jenius memang berbeda ya.
Mungkin tidak akan mengejutkan kalau tidak lama lagi dia akan melewati sihir raja dan ratu, bahkan mungkin penyihir agung sekalipun. Atau jangan-jangan malah sudah…?
Sambil menunggu, Emily jadi iseng ingin mencoba melakukan sihir-sihir yang disebutkan oleh Iris tadi. Tapi tidak butuh waktu lama, Emily akhirnya mulai merasa bodoh sendiri saat hasilnya nihil.
Padahal sewaktu sekolah, Emily terkenal tidak pantang menyerah dalam mempelajari sesuatu. Tapi yang ini memang beda. Pepatah 'usaha bisa mengalahkan bakat' kelihatannya sama sekali tidak berlaku kalau melawan tuan putri Arina.
Tapi lagi-lagi kenapa?! Padahal kakaknya sehebat itu, tapi si adik ini tetap saja tidak bisa menghasilkan apapun meski sudah berusaha--sedikit.
Walaupun sebenarnya itu juga masih mending daripada saat dia latihan fisik. Karena bukan hanya tidak tertarik, Iris selalu ogah-ogahan melakukannya. Misalnya saat dia langsung menjatuhkan dirinya setelah push-up 2 kali.
Ini hampir jalan buntu. Padahal berbeda dengan latihan sihir, yang namanya fisik, kalau dilatih pasti bisa berkembang. Dan itu berlaku untuk manusia manapun di dunia ini. Tapi kalau anaknya ogah-ogahan seperti ini…
"Tubuh tuan putri kelihatannya lumayan lentur, bagaimana kalau coba salto?" Kata Emily pada hari berikutnya.
Memandanginya sebentar, Iris ternyata tidak langsung membantah dan malah menurut. Hanya saja bukannya salto, dia hanya berguling ke depan dan langsung tiduran, sehingga Emily jadi menggerutu dalam hati.
'Berguling seperti itu anak kecil juga masih lebih baik!'
Sebenarnya Emily juga sudah memikirkannya beberapa hari ini, apakah dia harus mencoba memarahi tuan putri ini sesekali. Tapi pertama, mengajar dengan galak bukanlah gaya Emily. Dan kedua, menurut riwayat pengajaran Iris, cara itu biasanya tetap tidak berhasil. Dalam kebanyakan kasus, biasanya dia malah ngambek atau hanya bersikap tidak peduli.
Ditambah, hari ini suasana hati Iris malah lebih tidak bersemangat daripada biasanya. Mungkin Iris masih ingin belajar ditemani tuan putri Arina? Karena walaupun pelajarannya tidak begitu membuahkan hasil, setidaknya dia kelihatan lebih santai kalau bersama kakaknya.
"Tuan putri lebih suka belajar dengan tuan putri Arina ya?" Tanya Emily sambil ikutan duduk di sebelah Iris.
"Hm? Tentu saja. Daripada dia terus keluar tidak jelas, lebih baik dia di sini saja mengajariku."
Mengangkat sebelah alisnya, Emily agak kaget dengan jawaban yang dia dengar. "...Anda tidak suka tuan putri Arina bekerja?" Tanyanya.
'Tapi dia satu-satunya pewaris tahta yang bisa diandalkan negara ini', Emily melanjutkan perkataannya dalam hati.
"Dia terus saja bertemu dengan orang aneh. Kadang dia jadi suka pakai pakaian aneh, makan makanan aneh, dan suka mempelajari sihir aneh." Balasnya. "Mentang-mentang jenius, dia jadi sembarangan belajar hal-hal tidak berguna." Balasnya.
Mendengar itu Emily jadi agak terenyak. Siapa yang menyangka kalau Iris justru mengkhawatirkan kakaknya karena dia terlalu jenius? Padahal dari semua orang, rasanya tuan putri Arina adalah orang terakhir yang perlu dia khawatirkan.
Emily tahu dia memang dekat dengan kakaknya, tapi ternyata di punya pikiran seperti itu…
"Kalau begitu apa tuan putri tidak berpikir untuk menemaninya bekerja ke luar sekalian? Kalau anda bisa menguasai beberapa kemampuan dasar, anda pasti bisa menemaninya supaya anda juga bisa mengawasi tuan putri Arina."
Tapi seperti biasa, secercah harapan itu menghilang dengan cepat. "Tapi kudengar bekerja itu merepotkan." Jawabnya agak merengut. "Lagipula kalau dipikir-pikir, yah, kak Rina pasti baik-baik saja. Palingan dia jadi sedikit aneh saja."
Meski hampir putus asa, Emily masih menahan dirinya. "Padahal menurut saya tuan putri Arina juga pasti senang kalau anda bisa menemaninya."
Tapi anehnya, Iris malah menyeringai. "Tentu saja, soalnya Aku adik yang manis."
"...Oke, push-up lagi."