" Memang kau siapa?" Zen memicingkan matanya, menatap Aizawa serius.," obatnya membuatku tak konsentrasi, jadi kamu terlihat buram, apa aku mengenalmu?"
" ini pertama kalinya kita bertemu ... "
" Ya,kan? Tapi ... Suaramu terdengar tidak asing ... "
Pintu kembali terbuka. Sekarang seorang laki-laki berwajah manis masuk, dia terlihat kurus seperti Aizawa . Aroma alkohol kembali tercium.
" Zen-kun, ayo pulang,"
Zen menghela nafas, dia terlihat kesal," bukankah acara belum selesai?"
" Ami bilang kamu sakit, aku sudah ijin untuk mengantarmu," dia berjalan mendekat lalu memberikan tas soren pada Zen. Matanya menatap Aizawa sekilas, terlihat tak ramah.
Zen menyampirkan tas sorennya," aku bisa pulang sendiri,"
" Kamu tak dalam kondisi baik untuk pulang sendiri," si cowok menarik punggung Zen untuk berjalan pergi. " jadi berhentilah keras kepala,"
" jangan pegang," Zen menepis tangan si cowok, dia lalu berjalan ke arah pintu.
" Aku hanya khawatir,"
Sosok mereka menghilang setelah pintu tertutup.
Balkon tersebut kembali hening. Tak ada lagi bau alkohol...tak ada lagi wangi mawar. Hanya Aizawa sendiri.
Aneh...
Seiring dengan menghilangnya si rambut merah tersebut, perasaan sepi yang menderanya kembali muncul. Dan tanpa sadar dia melihat ke arah mata oren tadi terpatri.
Sosok berambut merah itu membekas dengan kuat dalam ingatannya. Seseorang yang jiwanya tak berada di dunia. Apakah dia akan baik-baik saja?
Apakah dia akan bertemu kembali?
Aizawa melipat tangannya dan menaruh dagunya disana, melakukan hal yang sama seperti Zen.
Di dunia ini, manusia hanya datang untuk berjalan lewat didepannya, dan dengan ratusan ribu penduduk yang bermukim di Tokyo berapa persen kemungkinan dia akan bertemu dengan orang yang sama? Diapun tersenyum pahit.
***
" Aku bisa pulang sendiri, Hoshii," gumam Zen pelan, dia sudah cukup lama menahan pengaruh Aphrodisiac yang dia minum, dan sepertinya pertahanannya hampir memudar, " jangan ikuti aku."
Ami atau Hoshii, entah siapa diantara mereka berdua yang memasukan obat terkutuk itu, dia ingin segera pulang menjauh dari mereka.
" Apakah kamu minum alkohol? " tanya Hoshii khawatir," kamu terlihat mabuk,"
" Aku... ukh..." Zen membungkuk, sepertinya tenaganya menghilang. Zen memegang kaos di dadanya. " hanya tak enak badan... hhh...hhh"
Dia harus bisa menuntaskannya di rumah, kalau tidak, akan berbahaya jika dia lebih lama lagi disini. Tapi perjalanan ke rumahnya cukup jauh, apa dia bisa menahannya di kereta? Sementara jika dia naik Taxi hanya akan menghabiskan jatah uang makannya selama 1 bulan.
" Zen-kun?!" Ami berlari kedekatnya, dia menangkup wajahnya, " mukamu merah dan suhu badanmu panas, kamu sakit?"
Lutut Zen lemas, dia ambruk di pelukan Ami, nafasnya sudah terengah. Libidonya sudah naik sedemikian rupa membuat sentuhan di wajahnya saja menyiksanya.
Ami dan Hoshii saling menatap penuh arti.
" Aku bawa mobil, biar aku antar kamu, oke?"
Hoshii memangku Zen yang sudah tak berdaya. Mereka berduapun berjalan ke arah pintu keluar.
" Lepaskan aku … " pinta Zen tak tahan, bahkan dia tak memiliki tenaga untuk berontak.
" Tenanglah, kami akan mengantarmu istirahat," Ami menenangkannya.
Hoshii membaringkan Zen di kursi belakang, lalu dia duduk di kursi depan, disebelah Ami di kursi pengemudi. Cewek itupun menjalankan mobilnya.
Lemah Zen menatap mereka berdua dari belakang. Apakah dia sudah salah paham? Mungkin saja orang yang memberi aphrodisiac itu bukan mereka? Tapi siapa lagi? selama 2 tahun terakhir, mereka berdualah yang sering mengejarnya, bahkan tak sampai 2 hari yang lalu, mereka memintanya untuk jadi sex partnernya dalam waktu yang berbeda.
Zen memejamkan matanya tak tahan. Tapi tak sampai berapa lama, dia bisa merasakan mesin mobil mati. Terdengar pintu terbuka, dan sekali lagi, Hoshii memangkunya. Dia mengerjapkan matanya lemah. Warna merah Neon memenuhi area pandang di sekelilingnya
Ini... bukankah Red Districk?
Emosi menyeruak di dadanya, tapi dia tidak punya tenaga lagi untuk berteriak.
" Kalian...yang mencampur obatnya?" tanya Zen sesak.
" Kamu tak memberi kami pilihan, Zen-kun," Ami tersenyum sedih padanya.
" Sialan..."umpatnya lemah.
Mereka berdua membawa Zen memasuki Love Hotel, dan memesan kamar luas untuk mereka bertiga.
Air mata Zen jatuh.
Malam itu untuk ke sekian kalinya dia merasakan dirinya mati kembali. Lagi-lagi oleh manusia.
Meninggalkan luka memori yang lebih dalam yang tak bisa terhapuskan oleh apapun.
Diapun menyerah .
Membiarkan dirinya termakan oleh keserakahan manusia yang tak pernah dia bisa mengerti.
Toh, dirinya sudah menjijikan sejak awal oleh hal yang sama.
Setelah ini berakhir dia akan berlari dari mereka.
***
Tiga bulan berlalu.
Dan Aizawa makin merasa janggal dengan dirinya.
Pertemuannya dengan Zen membuat dia tak bisa menghentikan diri untuk melirik kearah rambut pendek berwarna merah. Memeriksa wajahnya.
Seperti dugaannya, tak semua rambut merah yang dia lihat adalah orang yang sama, dan dia selalu merasa kecewa.
Kenapa? Apa yang membuatnya tak bisa lupa?
Mall, minimarket, jalanan yang dia lewati, restoran yang dia kunjungi, bahkan bar tempat terakhir mereka bertemu. Matanya akan langsung mengarah ke arah balkon, berharap dia berdiri disana.
Tapi sosoknya tak pernah terlihat lagi.
Memangnya apa yang akan dia lakukan kalau mereka bertemu?
Menanyakan kondisinya?
Penasaran apakah dia akan mengingatnya? Atau hanya menikmati rasa tenang saat bersamanya?
Aizawa menghela nafas bingung.
Gerimis turun membasahi distrik kawasan Shinjuku, Aizawa menatap awan mendung dari balik jendela kantornya yang lebar. Lalu matanya menulusuri tiap warna gedung gedung yang menghiasi pemandangan di jendelanya. Warnanya menyatu dengan warna kelabu di langit.
Dunia yang tanpa warna. Dunia yang sering dia lihat setelah seseorang meninggalkannya.
Entah kenapa dia ingin makan sesuatu yang hangat dan berwarna merah. Mungkin itu bisa mengurangi keinginannya untuk memikirkan warna tersebut?
Diapun berdiri dan melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya.
Berjalan dengan payung dan melewati gerimis mungkin akan menenangkan pikirannya yang juga diselimuti awan mendung.
Dan mungkin dia bisa sedikit terinspirasi dari setiap melodi alami dunia. Seperti tetesan hujan yang jatuh kebumi... Atau dari gesekan daun yang dilewati oleh angin... Langkah kaki manusia yang teredam oleh air.
Aizawa membuka payungnya, asistennya mengikuti dari belakang. Dia sudah memakai kacamata dan masker untuk menutupi wajahnya, dan wig cokelat untuk menutupi rambut hitamnya. Berharap hal itu cukup untuk menyembunyikan identitasnya.
Restoran yang dia tuju 15 menit jalan kaki dari kantornya. Menyediakan ramen pedas yang dia suka. Warna kuahnya yang anehnya ingin dia lihat saat ini. Setidaknya bisa memberikan warna dalam kehidupannya yang sudah kelabu. Aizawa tersenyum miris.
Namun, tak sampai 10 menit dia berjalan, langkahnya terhenti, Aizawa membeku di tempatnya.
Surai warna merah menghiasi penglihatannya. Menyembul dari balik payung transparant yang dia pegang. Dia berjalan dengan langkah kecil dari kanan jalan didepan Aizawa, lalu dia memunggunginya.
Jaket Sukajan merah yang sama seperti terakhir mereka bertemu. Aizawa tentu tak bisa melupakan punggung yang berdiri membelakanginya malam itu, dengan rambut merahnya yang tertiup angin musim semi.
Tanpa sadar Aizawa mengikutinya. Menyamakan tempo langkah kakinya, menjaga jeda diantara mereka.
Aizawa tertawa kecil saat payung di depannya berputar pelan.
Apakah moodnya sedang baik?